Chereads / the faraway paladin / Chapter 5 - episode 1

Chapter 5 - episode 1

Sesosok malaikat nampak di depan mataku. Dia seorang anak laki-laki, rambut

cokelat kastanyenya sedikit berantakan, dengan kedua matanya yang berwarna

hijau tua. Dan raut wajahnya memancarkan seorang anak yang sehat.

"Jadi ini aku?"

Tanpa sengaja, aku menemukan sebuah cermin tua di rak peralatan pada sudut

kuil. Karena merasa bersemangat mendapat kesempatan untuk mengamati diriku

sendiri, aku meraih cermin itu dan mengambilnya. Aku baru tahu kalau aku lebih

imut dari yang kukira. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin tidak aneh kalau aku

lebih imut dari kebanyakan orang, mengingat aku masih anak-anak sih.

Semua orang 100% lebih imut selama masa kanak-kanak mereka. Bahkan

seorang pria tua berjanggut merupakan anak yang imut apabila kalian melihat

album foto ketika semasa kecilnya.

"Baiklah….." Dengan lembut aku meletakan cermin itu kembali. Aku

mengepalkan tanganku, lalu membukanya lagi. Kepalkan lagi, lalu membukanya

kembali. Tangan yang mungil dan tembem. Itulah tanganku.

Setahun dan beberapa bulan telah berlalu. Yang membuatku terkejut, setelah hari

dimana aku menerima tubuh dan nama ini sebagai milikku sendiri, perasaan

bahwa tubuhku tidak bekerja seperti seharusnya dengan cepat menghilang.

Ingatan tentang bagaimana mengendalikan tubuhku sendiri sebelum kematianku

telah memudar. Sekarang, tungkai kecil inilah yang aku kenali sebagai milikku.

Pikiran dan tubuhku beroperasi secara serempak.

Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk belajar berjalan, bahkan aku sudah

bisa berbicara, meskipun agak balelol. Aku telah menghabiskan setahun terakhir

untuk belajar berjalan secara teratur, dan mempelajari kosa-kata dengan

berbicara bersama Mary dan yang lainnya.

Aku masih merenungkan penampilanku dari waktu ke waktu. Mungkin ini

karena seberapa besarnya kepalaku dibandingkan tubuhku yang mungil, atau

mungkin juga ini ada kaitannya dengan bidang pandangku, rasa keseimbangan,

dan otot yang belum berkembang, sehingga aku merasa kurang nyaman. Sebagai keluhan tambahan, aku masih memiliki ambang rasa sakit yang rendah. Seperti

yang mungkin kalian bayangkan, air mataku selalu keluar tiap kali aku terjatuh.

Namun aku telah membuat kemajuan, sedikit demi sedikit. Kemajuan yang

sewajarnya seorang balita bisa lakukan, mungkin. Aku setidaknya telah tumbuh

dari fase merangkak dan menangis menuju apa yang bisa anak-anak TK lakukan.

Oleh sebab itu, kupikir sudah waktunya bagiku untuk melangkah menuju

tantangan berikutnya.

Aku telah memutuskan untuk hidup dengan benar di dunia ini. Aku

menginginkan tubuh yang bisa aku banggakan, dan aku ingin mempelajari

semuanya. Jadi, yang pertama harus kulakukan adalah….

"Hmmm, jadi kamu mau belajar membaca?"

Saat ini kami berada di salah satu dari sekian banyak ruangan kecil yang terletak

di dalam kuil.

Dindingnya merupakan dinding batu, dengan sebuah kursi kayu kecil dan meja

tulis, bahkan ada pula tempat tidur yang tampak nyaman diletakan di sudut

dinding.

Seorang pria tua tinggi bermata tajam dan memiliki hidung bengkok melayang

di depanku, dia melipat kedua lengannya sembari mengelus-ngelus jenggotnya.

Tubuhnya yang menguap ditutupi oleh jubahnya yang longgar, setengah

transparan dan tidak memiliki substansi. Kukira kalian bisa meyebutnya seorang

hantu, roh atau apalah itu.

"Benar Gus."

Nama dia adalah Augustus sebenarnya, namun Mary dan yang lainnya

menyingkatnya.

Saat ini aku memintanya mengajariku cara membaca. Sejujurnya, ada banyak hal penting yang ingin kutanyakan padanya. Mengenai dunia ini contohnya, atau

ingatan anehku. Namun pertanyaan apapun yang diajukan anak kecil sepertiku

pasti tidak akan dianggap serius.

Jelasnya, tidak akan ada orang dewasa yang menjelaskan fisika astronomi atau

teori fusi nuklir saat seorang anak bertanya "kenapa matahari bersinar?"

Biasanya tidak kan? Kalian hanya akan mendapat jawaban seperti "Karena Pak

matahari sedang melakukan yang terbaik untuk memberi kita cahaya dan

menjaga kita agar tetap hangat." Semacam itu.

Aku benar-benar berusaha menanyai mereka tentang dunia ini, namun mereka

hanya menganggapnya sebagai ocehan anak kecil. Sepertinya masih terlalu awal

bagiku untuk pertanyaan semacam itu. Topik semacam itu hanya bisa dilakukan

setelah aku membangun beberapa pengetahuan akademis, dan setelah aku

berhasil membuat orang lain melihatku sebagai orang yang layak.

"Hmmm, membaca. Membaca ya. Aku akan jujur. Jika ini tidak menghasilkan

uang, sedikit pun aku tidak tertarik. Kau terlalu muda untuk itu nak."

"Tapi aku ingin belajar."

"Terlalu muda. Hus-hus."

Dia melambaikan tanganya malas padaku. Tak seperti Mary si mummy yang

selalu merawatku di tiap kesempatan, dan Blood si kerangka yang menghabiskan

banyak waktu denganku, hantu yang bernama Gus ini memperlakukanku agak

berbeda.

Dia tidak pernah memperdulikanku, dan jika aku menanyakan sesuatu padanya,

dia seringkali membuatku kesal. Dia keras kepala dan terkadang sombong,

biasanya dia sulit didekati. Namun mengesampingkan semua kekurangannya, tak

ada keraguan di dalam benakku kalau dia adalah yang paling pintar diantara

mereka bertiga. Dari diksi1 dan ucapannya, aku bisa merasakan kalau dia cukup

berpendidikan.

"Tapi aku ingin belajar."

"Ya yayaa, aku dengar."

"Ayolah! Ajari aku! Kumohon…!"

Kataku merengek layaknya anak kecil. Aku penasaran, kapan terakhir kali aku

memohon kepada orang tua seperti ini? Mengingat tubuh lamaku sebelumnya,

aku merasa konyol.

"Ayolah! Kumohon! Ayolah Gus! Ajari aku!"

Aku merasa seperti anak kecil. Usia tubuhku mungkin menahan keadaan

mentalku. Itu masuk akal kalau dipikir-pikir. Mengingat aku juga memiliki otak

seorang anak kecil sih. Meski begitu, kenapa persepsi2 dan kesadaranku terasa

seperti orang dewasa? Terlalu memikirkan ini hanya membuatku tersesat dalam

labirin yang terdiri dari otak, pikiran dan jiwa-ku, jadi aku memutuskan untuk

tidak memikirkannya dan terus merengek.

"Demi para Dewa! Baiklah, baiklah, kau puas?"

Setelah menggumamkan sesuatu soal anak-anak, Gus menghela napas dan

kemudian menatapku.

"Benar-benar keras kepala. Jadi kau ingin belajar membaca?" [Augustus]

"Ya."

"Hmmm…. baiklah, pertama-tama…" Gus mengangkat tangannya ke arah rak

buku di dinding, kemudian sebuah buku melayang ke arahnya.

Psikokinesis3? Yah karena dia hantu, jadi itu wajar saja. Fenomena supranatural

tidak lagi mengejutkanku.

"Sebaiknya kau pelajari huruf-huruf ini." Dia lalu membuka buku itu yang di

dalamnya terdapat deretan yang menyerupai huruf abjad. Namun-

"Tidak!! Tidak perlu."

"Tidak perlu? Apa yang tidak perlu?"

"Aku sudah bisa membaca yang ini."

Aku sudah mengerti bagian ini. Aku telah tinggal di kuil ini selama lebih dari

setahun, dikelilingi oleh relief, aku melihat gambar-gambar dan tulisan yang

terukir di dalamnya sambil mendengarkan semua orang berbicara. Membedakan

frekuensi suara dalam huruf-huruf dan kalimat telah memberiku pemahaman

dasar. Pengucapan "E" adalah yang paling sering, diikuti oleh "A" dan "T", jadi

aku memulainya dari sana dan sisanya aku bisa mengikutinya dengan cepat.

Maka dari itu, aku sudah bisa membacanya.

"Maaf?" Gus menatapku terpaku.

"Aku sudah bisa membacanya."

"Apa yang tertulis disini?"

"Ini, ini dibaca 'kelopak bunga semanggi yang bertaburan dan terbawa angin.

Dunia ini, layaknya kehidupanku, selalu berubah-ubah' benar 'kan?"

"Apa Blood atau Mary yang mengajarimu?"

"Tidak. Aku mendengarkan semua orang berbicara, melihat huruf-huruf dan

menemukannya sendiri."

Tinggal di dalam kuil tidak terlalu menarik, dan ada batas seberapa banyak

pergerakanku dalam tubuh anak-anakku saat ini.

Aku jarang menghabiskan waktu untuk berpikir, jadi aku putuskan melakukan

hal itu untuk mengisi waktu, layaknya memainkan puzzle untuk mencegah

kebosanan.

"Will…"

Untuk sesaat, sepertinya Gus tenggelam dalam pikirannya, kemudian

mengajukan pertanyaan dengan nada serius padaku.

"Apa yang ingin kau pelajari?"

"Sesuatu yang bagus dan rumit seperti para Dewa dan semacamnya."

Berdasarkan inskripsi yang telah aku uraikan dari beberapa bagian kuil, huruf-

huruf dunia ini merupakan sebuah abjad fonogram4. Akan tetapi, pada relief

para dewa dan yang lainnya, di tempat yang sama, karakter piktografi5 tiba-tiba

muncul. Itulah yang tidak aku mengerti. Apa sebenarnya itu? Dan bagaimana

aku membacanya? Atau apakah itu hanyalah hiasan saja?

"Sihir… Penciptaan…"

Jadi kali ini kita akan membahas sihir dan penciptan ya?

"Hmm. Darimana aku harus mulai ya…"

"Dari awal," Jawabku.

Terlalu banyak lebih baik daripada terlalu sedikit. Aku diberkati dengan ingatan

yang cukup bagus. Dan juga, jika aku tidak bisa mengingat semuanya, aku bisa

bertanya lagi sebanyak yang aku inginkan

"Kalau begitu duduk yang benar, ini akan memakan banyak waktu. Kita mulai

dari zaman dahulu, dulu sekali, lebih tua dari yang bisa kau bayangkan, saat

dunia baru saja diciptakan. Saat itu, dunia masih merupakan wadah tebal yang

mendidih dalam kekacauan. Dimana 'Mana' yang Agung bergejolak panas dan

tidak dapat mempertahankan bentuk."

Aku tidak mengira dia akan memulainya dengan penciptaan.

"Kita….Memulainya dari sana?"

"Kita mulai dari sana."

Katanya dengan sangat serius

"Dalam kekacauan tersebut, Dewa Pertama (First God) muncul dari tempat yang

tidak diketahui, Dewa pun berkata 'Jadilah bumi', dan 'mana' yang padat di

bawah kaki Dewa pun menjadi bumi, selanjutnya 'mana' yang tipis di atas

kepala Dewa menjadi langit. Saat itu langit dan bumi pun terbelah."

"Kami menamai Dewa tersebut 'Sang Pencipta' atau 'Sang Leluhur', karena

nama sejatinya tak pernah diungkapkan." [Augustus]

Saat mendengarnya, entah kenapa aku merasa ini agak mirip dengan penciptaan

dalam kekristenan dan mitologi Yunani.

"Setelah itu, Sang Pencipta berfirman dan mengukirkan Ayat-ayat-Nya (Signs),

menciptakan matahari dan bulan, memisahkan siang dan malam, dan

mengumpulkan air demi terciptanya lautan dan daratan"

"Api terlahir, angin terlahir, pepohonan terlahir. Para Dewa terlahir, manusia

serta hewan-hewan pun terlahir."

"Dan saat sang Pencipta selesai menciptakan dunia, dan puas akan pesonanya,

dia berkata pada dirinya sendiri 'bagus'. Namun untuk membuat sesuatu yang

'bagus', diperlukan membuat sesuatu yang 'buruk', sama halnya dengan

penciptaan siang dan malam."

"Maka keburukan dan Dewa-Dewa Jahat pun terlahir. Sang Pencipta berusaha

untuk menarik kembali firman-nya, meski begitu bahkan Dewa pun tak bisa

menarik kembali kata-kata yang telah keluar dari mulut-Nya."

"Dewa-Dewa Jahat yang terlahir ke dunia membunuh Sang Pencipta, maka

kehidupan dan kematian pun terlahir. Dan setelah itu dimulailah banyak masa

dan legenda para Dewa."

Gus terdiam sejenak.

"Kata-kata (Words) dan tulisan (Signs) yang digunakan dalam kisah penciptaan

ini disebut Kata-kata Penciptaan," Katanya mengakhiri.

Ah, jadi begitulah semuanya terhubung "Jadi, kata-kata itu yang membuat dunia ini?"

"Benar. Kata-kata dan ayat tersebut, yah untuk gampangnya kita sebut saja

huruf."

"Kata-kata dan huruf memiliki kekuatan."

"Apa yang bisa dilakukannya?"

"Hmm, coba kulihat…"

Jari-jemari Gus menari di udara. Sebuah cahaya misterius terpendar di ujung

jarinya dan menyisakan sebuah jejak saat bergerak, menghasilkan gambar dua

piktografi rumit yang melayang di udara. Gerakanya melambat, dan dengan hati-

hati, perlahan namun pasti menambahkan sentuhan akhir pada simbol kedua.

"Waaah!" Aku bergegas mundur.

Huruf-huruf yang digambar diudara tiba-tiba membara dengan nyala api

berwarna merah terang. Api itu melayang di udara dan aku bisa merasakan

panasnya. Itu memang api asli.

"Cukup untuk demonstrasinya, kau paham?"

Gus menggumamkan satu atau dua syair ritme melodis. Kemudian api itu lenyap

sepenuhnya, seolah yang terjadi bukan apa-apa melainkan ilusi.

Aku terpaku, takjub. Itu sihir lho! Sihir! Bukan trik! Sihir itu nyata dan ada di

dunia ini. Hebat. Aku benar-benar dibuat takjub. Kalian mungkin heran kenapa

aku seheboh ini setelah berurusan dengan hantu, mummy, dan kerangka hidup,

tapi aku punya pendapat kalau sihir adalah sistem yang sama sekali berbeda dari

hal-hal horror dan berbau supranatural.

"Apa kau menyimaknya? Menggambar piktografi untuk Ignis akan

memunculkan Api di tempat itu, dan udara akan langsung terbakar. Jika Kau

mengucapkan Kata Pelenyap (Word of Erasure) untuk memadamkan api, maka api itu akan hilang."

"Inilah yang kumaksud dengan Kata-kata Penciptaan (Words of Creation), yang

secara umum lebih dikenal sebagai sihir."

Yang terpikirkan olehku selanjutnya adalah, ini bukanlah "sihir" yang kukenal

dari game-game komputer, namun lebih kepada novel-novel fantasi kuno. Ini

bukan sekedar kemampuan yang bisa cepat kalian dapatkan hanya dengan

mengeluarkan cukup poin, namun "sihir" disini merupakan salah satu rahasia

paling kuno di dunia yang tak akan pernah bisa dipecahkan tanpa pemikiran

sebelumnya.

Inilah perasaan yang kudapatkan saat hantu tua berhidung bengkok ini

menjelaskan dengan bangga mengenai kekuatan misterius di dalam kamar batu

yang remang-remang.

"Penting untuk dipahami bahwa Kata-kata Penciptaan bukanlah hal yang

menyenangkan. Kendala pada kekuatan ini terletak pada menulis dan berbicara.

Sang Pencipta sendiri menggunakan kekuatan ini dan berakhir dibunuh oleh

Dewa-Dewa Jahat."

Yah, ini bukan candaan. Bahkan hanya dengan menuliskan kata "api" di atas

kertas, maka otomatis kertas tersebut akan terbakar. Ini akan sangat merepotkan,

dan jelas akan menjadi hambatan dalam kemajuan peradaban. Selain itu

kehidupan sehari-hari pun akan terganggu.

"Mempertimbangkan hal ini, Dewa Pengetahuan bermata satu, Enlight,

memisahkan dua puluh konsonan dan lima buah vokal. Agar Kata-kata

Penciptaan tidak berfungsi, dia menyederhanakan karakter dan pengucapannya,

dan menciptakan bahasa rusak yang kita sebut Lidah Umum (Common

Tongue).".

Aku paham, jika kita mengumpamakannya dalam bahasa Jepang, Kata-kata

Penciptaan bisa dianggap karakter kanji yang rumit. Menulis kanji secara

sembarangan itu berbahaya, bisa-bisa kecelakaan terjadi seperti tak sengaja

membakar atau bahkan meledakan sesuatu. Untuk menghindarinya, Dewa yang

bijak menyederhanakan karakternya, dan membuat jenis karakter Jepang lain:

Kana, yang mewakili suara.

Terdapat sebuah perbedaan kalau Lidah Umum menggunakan karakter fonemik,

bukan silabus. Ini lebih mirip alfabet daripada kana sebenarnya.

Note Translator : yang belum tahu kana itu 'hiragana' dan 'katakana'

Yah terserahlah, sekarang aku mengerti kalau karakter tersebut sama sekali tidak

berasal dari rumpun bahasa yang berbeda, dan tidak diukir hanya untuk tujuan

simbolis. Ini masih termasuk bahasa yang sama, ibarat orang Jepang

mencampurkan kanji dan kana.

"Yang barusan kau baca adalah Lidah Umum, dan yang tidak bisa kau baca

adalah Kata-kata Penciptaan, yang ditulis dalam Ayat-ayat para Dewa yang

pernah dipakai untuk sihir berskala besar di zaman kuno. Adapun yang terukir di

sekitar kuil sengaja dibuat agar sihir itu tidak aktif. Beberapa ada yang terhapus,

lainnya sengaja diletakan di tempat yang salah, dan sisanya disatukan kedalam

desain yang rumit."

Oh begitu. Jika merusak simbol-simbol itu mencegahnya untuk aktif, maka

masuk akal kalau itu sengaja dibuat tak beraturan selama masih bisa

mengidentifikasi bentuk aslinya.

Aku penasaran kenapa mereka sampai sejauh itu untuk mencatat Kata-kata

Penciptaan, namun semakin aku menyimaknya, aku merasa semakin mengerti.

"Kata-kata Penciptaan membuat seorang manusia lebih dekat dengan Dewa

daripada Lidah Umum, seperti itu. Ini juga yang menjadi alasan kenapa Kata-

kata tersebut harus diukir di dalam kuil untuk menghormati Dewa dan untuk

beribadah kepada-Nya. Apa sampai disini kau paham?"

"Ya, aku paham." Aku mengangguk berulang kali. Aku bisa mencernanya.

"Hmm. Baiklah, Will, kalau begitu. Apa kau tahu kenapa Kata-kata tersebut

mengandung kekuatan semacam itu?"

Gus mengajukan pertanyaan itu sambil menyeringai. Njirr, jadi si Gus ini lagi

coba ngetes ya…..

"Itu…. seperti kenapa kita berpikir kalau kursi adalah sebuah kursi kan?"

Tanyaku.

"Hmmmm.."

Aku punya perasaan kalau aku pernah membacanya entah dimana. Pertanyaan

semacam ini kurasa bahkan aku pernah mendengarnya di kehidupanku

sebelumnya, mereka membicarakan tentang persepsi, representasi dan konsep.

Pada dasarnya, saat kita melihat kursi empat kaki, tidak peduli entah apa

warnanya, atau terbuat dari kayu apa, kita akan berpikir "Ini adalah sebuah

kursi". Kita akan berpikir seperti itu meskipun bentuknya tidak sama persis, otak

kita akan mengkategorikanya sebagai kursi.

Biasanya kita tidak melihatnya sebagai "papan berkaki empat", apalagi meja,

meskipun sebuah meja memiliki empat kaki juga. Lebih jauh lagi, jika kita

melihat seseorang duduk diatas kursi, kita tidak menyebutnya dengan

"perpaduan antara kursi dan manusia". Namun kita menyebutnya dengan

"sebuah kursi dan seorang manusia".

Tentu saja, kita juga bisa menyebut kursi dengan "sebuah papan dengan empat

kaki" jika kita memilih melihatnya dengan cara berbeda, atau bahkan "potongan-

potongan kayu". Kita juga mampu membedakan "kursi ini" dan "kursi itu",

menyebut bagian-bagian berbeda dalam kategori yang sama.

Yah apapun itu, intinya adalah kita membubuhkan label yang kita sebut "nama"

ke suatu benda. Ini membuat kita bisa mengelompokkan dunia yang kacau ini,

mengkonseptualisasikannya, dan memecahnya menjadi beberapa bagian untuk

membuat persepsi menjadi lebih mudah.Tidak mungkin kita bisa bertahan tanpa

kemampuan itu.

Bahasa adalah kekuatan yang mampu memisahkan dunia dari kekacauan yang

tidak jelas, sama halnya dalam kisah penciptaan yang baru saja aku dengar.

Tampaknya sudah waktunya bagiku untuk meringkas pemikiranku yang bertele-

tele.

"Itu karena Kata-kata (Words) adalah bagian terpisah dari dunia dan yang

menunjukan jalannya." Kataku. Gus sepertinya benar-benar terkejut oleh

jawabanku. Kedua matanya terbuka lebar, dan mulutnya terus membuka dan

menutup. Aku menunduk merasa bersalah.

Kekaguman Gus lebih membuatku merasa malu daripada bangga. Karena aku

memiliki ingatan kehidupanku sebelumnya, aku mempunyai pengetahuan —

meskipun dangkal— harusnya ini mustahil bagi seorang balita sepertiku

mengatakan hal seperti itu.

Jika bakat merupakan sesuatu yang diberikan kepadamu semenjak lahir, maka

mungkin ingatan milikku ini bisa dihitung sebagai bakat. Namun ini masih terasa

tidak benar. Gus terbang keluar ruangan, menembus dinding. Dia menuju Mary

dan Blood yang berada di aula utama, namun bahkan sebelum mencapai mereka,

dia meledak dalam kebingungan…

"Aaa-aa-aa... Anak itu mungkin sama hebatnya denganku!"

Aku mulai merasa semakin tidak nyaman.

"Demi para Dewa. Apa terjadi sesuatu, Old Gus?" .

"Ohh, Mary, anak itu! Kenapa, Aku—"

Aku menyimak dari kejauhan saat Gus dengan bersemangat menceritakan apa

yang barusan terjadi. Dengan lengan biru spektralnya meragakan dengan liar, dia

menjelaskan bagaimana kemampuanku membentuk sebuah argumen yang luar

biasa untuk anak seusiaku, bagaimana berwawasannya diriku, bagaimana

kemampuan untuk memahami sifat sejati alam disamakan dengan bakat sihir…

Mary si mummy mendengarkan dengan tenang.

"Benarkah?" (Mary)

Sedangkan untuk Blood si kerangka, dia bersandar ke dinding, menghadap ke

arah lain. Sepertinya dia tidak tertarik.

"Jika kita melatihnya semenjak dini, dia mungkin akan menjadi sangat hebat!

Secara pribadi, aku lebih memilih untuk tidak memungut sampah dari tanah, tapi

mungkin anak ini berbeda. Dia bisa—"

Aku membeku.

"Pak Tua."

Suara itu menusuknya seperti cambuk, bahkan sebelum aku sempat punya waktu

untuk berpikir. Itu Blood, yang masih bersandar ke dinding. Api biru pucat

tengah membara di lubang matanya yang kosong.

"Hentikan ocehanmu. Kau sudah kelewatan. Anak itu baru berusia beberapa

tahun."

Aku bisa tahu kalau Blood tengah melotot padanya.

"Dia diambil dari tanah! Apa aku salah?"

"Bukan yang itu."

"Sekarang aku tahu kalau dia memiliki bakat, aku tidak bilang kalau aku tidak

mau mengajarinya atau—"

"Masih bukan itu." Blood melangkah ke arahnya. Bagiku, seolah terdapat aura

tak terlihat yang menyelebungi seluruh tubuhnya. Aku benar-benar belum

menyadarinya sampai saat ini, Blood ternyata sangat besar.

"Ya ampun…"

Meskipun aku hanya melihatnya dari kejauhan, aku bisa merasakan aura yang

dikeluarkannya.

"Dengar, Old Gus. Aku tahu wajar bagimu untuk berbicara seperti itu, aku tidak

mau repot-repot mengubah kebiasaan lamamu itu. Ini yang membuatmu menjadi

dirimu."

"Tapi kau jangan sekali-kali memanggil anak itu sampah saat dia sedang

mendengarkan. Aku yakin kau pun tahu bagaimana perasaan anak itu nantinya."

Blood menatapku, lalu kembali lagi ke Gus. Aku tidak mempercayai apa yang

kulihat.

"Mgh…"

Gus yang sinis dan sombong telah ditaklukan. Meskipun biasanya Blood yang

selalu ditegur oleh dua lainnya karena sikapnya yang tidak bertanggung jawab.

"Jika kau tidak mau membesarkan Will, itu terserah padamu. Kau bisa menjadi

orang sinting dimana tak seorang pun dari kami perlu mendengarkan ocehanmu.

Tapi jika kau ingin mengajarinya, bantulah anak itu dan ubah sikapmu. Kau

paham?"

Gus terdiam beberapa saat. Kemudian, secara perlahan mengangukan kepalanya

dan menghela napas, dia mengakui kesalahannya lalu mundur.

"Kau benar. Kata-kata itu tidak bijaksana. Aku akan lebih berhati-hati lain kali.

Maaf Will."

"Uh, tidak apa-apa …"

Aku belum pernah melihat yang seperti ini dari kedua orang itu sebelumnya.

Sembari menarik diri, aku putuskan mengatakan sesuatu untuk meredakan

situasi. Aku harus muncul sehingga kami semua bisa kompak dan terus maju.

"Um, aku baik-baik saja, Gus. Jangan khawatir soal itu." Aku tidak bisa

memikirkan kata yang lebih baik dari ini.

Mendengar itu, Blood juga ikut membeku, dan sedikit menundukan kupalanya

untuk meminta maaf pada Gus.

"Aku juga sudah kelewatan. Seharusnya aku tidak boleh marah padamu secara

tiba-tiba seperti itu. Bisakah kita berbaikan?"

"Mm." Gus mengangguk.

"Kurangnya penyampaian bukanlah hal baru untukmu. Lupakan saja."

(Augustus)

"Hey, Mary, bisa aku pinjamkan Will sebentar padamu?"

Mary tersenyum kepada mereka berdua dengan senyum damainya yang biasa.

"Baiklah. Gus, aku akan mendengarkan ceritamu lagi nanti"

"Will, keluar sebentar." (Augustus)

"B…Baik."

Aku tidak benar-benar mengerti apa yang baru saja terjadi. Ini berlangsung

begitu cepat. Namun ada satu hal yang aku yakini. Blood telah marah, dan dia

melakukannya untukku.