Sesosok malaikat nampak di depan mataku. Dia seorang anak laki-laki, rambut
cokelat kastanyenya sedikit berantakan, dengan kedua matanya yang berwarna
hijau tua. Dan raut wajahnya memancarkan seorang anak yang sehat.
"Jadi ini aku?"
Tanpa sengaja, aku menemukan sebuah cermin tua di rak peralatan pada sudut
kuil. Karena merasa bersemangat mendapat kesempatan untuk mengamati diriku
sendiri, aku meraih cermin itu dan mengambilnya. Aku baru tahu kalau aku lebih
imut dari yang kukira. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin tidak aneh kalau aku
lebih imut dari kebanyakan orang, mengingat aku masih anak-anak sih.
Semua orang 100% lebih imut selama masa kanak-kanak mereka. Bahkan
seorang pria tua berjanggut merupakan anak yang imut apabila kalian melihat
album foto ketika semasa kecilnya.
"Baiklah….." Dengan lembut aku meletakan cermin itu kembali. Aku
mengepalkan tanganku, lalu membukanya lagi. Kepalkan lagi, lalu membukanya
kembali. Tangan yang mungil dan tembem. Itulah tanganku.
Setahun dan beberapa bulan telah berlalu. Yang membuatku terkejut, setelah hari
dimana aku menerima tubuh dan nama ini sebagai milikku sendiri, perasaan
bahwa tubuhku tidak bekerja seperti seharusnya dengan cepat menghilang.
Ingatan tentang bagaimana mengendalikan tubuhku sendiri sebelum kematianku
telah memudar. Sekarang, tungkai kecil inilah yang aku kenali sebagai milikku.
Pikiran dan tubuhku beroperasi secara serempak.
Tak membutuhkan waktu lama bagiku untuk belajar berjalan, bahkan aku sudah
bisa berbicara, meskipun agak balelol. Aku telah menghabiskan setahun terakhir
untuk belajar berjalan secara teratur, dan mempelajari kosa-kata dengan
berbicara bersama Mary dan yang lainnya.
Aku masih merenungkan penampilanku dari waktu ke waktu. Mungkin ini
karena seberapa besarnya kepalaku dibandingkan tubuhku yang mungil, atau
mungkin juga ini ada kaitannya dengan bidang pandangku, rasa keseimbangan,
dan otot yang belum berkembang, sehingga aku merasa kurang nyaman. Sebagai keluhan tambahan, aku masih memiliki ambang rasa sakit yang rendah. Seperti
yang mungkin kalian bayangkan, air mataku selalu keluar tiap kali aku terjatuh.
Namun aku telah membuat kemajuan, sedikit demi sedikit. Kemajuan yang
sewajarnya seorang balita bisa lakukan, mungkin. Aku setidaknya telah tumbuh
dari fase merangkak dan menangis menuju apa yang bisa anak-anak TK lakukan.
Oleh sebab itu, kupikir sudah waktunya bagiku untuk melangkah menuju
tantangan berikutnya.
Aku telah memutuskan untuk hidup dengan benar di dunia ini. Aku
menginginkan tubuh yang bisa aku banggakan, dan aku ingin mempelajari
semuanya. Jadi, yang pertama harus kulakukan adalah….
◆
"Hmmm, jadi kamu mau belajar membaca?"
Saat ini kami berada di salah satu dari sekian banyak ruangan kecil yang terletak
di dalam kuil.
Dindingnya merupakan dinding batu, dengan sebuah kursi kayu kecil dan meja
tulis, bahkan ada pula tempat tidur yang tampak nyaman diletakan di sudut
dinding.
Seorang pria tua tinggi bermata tajam dan memiliki hidung bengkok melayang
di depanku, dia melipat kedua lengannya sembari mengelus-ngelus jenggotnya.
Tubuhnya yang menguap ditutupi oleh jubahnya yang longgar, setengah
transparan dan tidak memiliki substansi. Kukira kalian bisa meyebutnya seorang
hantu, roh atau apalah itu.
"Benar Gus."
Nama dia adalah Augustus sebenarnya, namun Mary dan yang lainnya
menyingkatnya.
Saat ini aku memintanya mengajariku cara membaca. Sejujurnya, ada banyak hal penting yang ingin kutanyakan padanya. Mengenai dunia ini contohnya, atau
ingatan anehku. Namun pertanyaan apapun yang diajukan anak kecil sepertiku
pasti tidak akan dianggap serius.
Jelasnya, tidak akan ada orang dewasa yang menjelaskan fisika astronomi atau
teori fusi nuklir saat seorang anak bertanya "kenapa matahari bersinar?"
Biasanya tidak kan? Kalian hanya akan mendapat jawaban seperti "Karena Pak
matahari sedang melakukan yang terbaik untuk memberi kita cahaya dan
menjaga kita agar tetap hangat." Semacam itu.
Aku benar-benar berusaha menanyai mereka tentang dunia ini, namun mereka
hanya menganggapnya sebagai ocehan anak kecil. Sepertinya masih terlalu awal
bagiku untuk pertanyaan semacam itu. Topik semacam itu hanya bisa dilakukan
setelah aku membangun beberapa pengetahuan akademis, dan setelah aku
berhasil membuat orang lain melihatku sebagai orang yang layak.
"Hmmm, membaca. Membaca ya. Aku akan jujur. Jika ini tidak menghasilkan
uang, sedikit pun aku tidak tertarik. Kau terlalu muda untuk itu nak."
"Tapi aku ingin belajar."
"Terlalu muda. Hus-hus."
Dia melambaikan tanganya malas padaku. Tak seperti Mary si mummy yang
selalu merawatku di tiap kesempatan, dan Blood si kerangka yang menghabiskan
banyak waktu denganku, hantu yang bernama Gus ini memperlakukanku agak
berbeda.
Dia tidak pernah memperdulikanku, dan jika aku menanyakan sesuatu padanya,
dia seringkali membuatku kesal. Dia keras kepala dan terkadang sombong,
biasanya dia sulit didekati. Namun mengesampingkan semua kekurangannya, tak
ada keraguan di dalam benakku kalau dia adalah yang paling pintar diantara
mereka bertiga. Dari diksi1 dan ucapannya, aku bisa merasakan kalau dia cukup
berpendidikan.
"Tapi aku ingin belajar."
"Ya yayaa, aku dengar."
"Ayolah! Ajari aku! Kumohon…!"
Kataku merengek layaknya anak kecil. Aku penasaran, kapan terakhir kali aku
memohon kepada orang tua seperti ini? Mengingat tubuh lamaku sebelumnya,
aku merasa konyol.
"Ayolah! Kumohon! Ayolah Gus! Ajari aku!"
Aku merasa seperti anak kecil. Usia tubuhku mungkin menahan keadaan
mentalku. Itu masuk akal kalau dipikir-pikir. Mengingat aku juga memiliki otak
seorang anak kecil sih. Meski begitu, kenapa persepsi2 dan kesadaranku terasa
seperti orang dewasa? Terlalu memikirkan ini hanya membuatku tersesat dalam
labirin yang terdiri dari otak, pikiran dan jiwa-ku, jadi aku memutuskan untuk
tidak memikirkannya dan terus merengek.
"Demi para Dewa! Baiklah, baiklah, kau puas?"
Setelah menggumamkan sesuatu soal anak-anak, Gus menghela napas dan
kemudian menatapku.
"Benar-benar keras kepala. Jadi kau ingin belajar membaca?" [Augustus]
"Ya."
"Hmmm…. baiklah, pertama-tama…" Gus mengangkat tangannya ke arah rak
buku di dinding, kemudian sebuah buku melayang ke arahnya.
Psikokinesis3? Yah karena dia hantu, jadi itu wajar saja. Fenomena supranatural
tidak lagi mengejutkanku.
"Sebaiknya kau pelajari huruf-huruf ini." Dia lalu membuka buku itu yang di
dalamnya terdapat deretan yang menyerupai huruf abjad. Namun-
"Tidak!! Tidak perlu."
"Tidak perlu? Apa yang tidak perlu?"
"Aku sudah bisa membaca yang ini."
Aku sudah mengerti bagian ini. Aku telah tinggal di kuil ini selama lebih dari
setahun, dikelilingi oleh relief, aku melihat gambar-gambar dan tulisan yang
terukir di dalamnya sambil mendengarkan semua orang berbicara. Membedakan
frekuensi suara dalam huruf-huruf dan kalimat telah memberiku pemahaman
dasar. Pengucapan "E" adalah yang paling sering, diikuti oleh "A" dan "T", jadi
aku memulainya dari sana dan sisanya aku bisa mengikutinya dengan cepat.
Maka dari itu, aku sudah bisa membacanya.
"Maaf?" Gus menatapku terpaku.
"Aku sudah bisa membacanya."
"Apa yang tertulis disini?"
"Ini, ini dibaca 'kelopak bunga semanggi yang bertaburan dan terbawa angin.
Dunia ini, layaknya kehidupanku, selalu berubah-ubah' benar 'kan?"
"Apa Blood atau Mary yang mengajarimu?"
"Tidak. Aku mendengarkan semua orang berbicara, melihat huruf-huruf dan
menemukannya sendiri."
Tinggal di dalam kuil tidak terlalu menarik, dan ada batas seberapa banyak
pergerakanku dalam tubuh anak-anakku saat ini.
Aku jarang menghabiskan waktu untuk berpikir, jadi aku putuskan melakukan
hal itu untuk mengisi waktu, layaknya memainkan puzzle untuk mencegah
kebosanan.
"Will…"
Untuk sesaat, sepertinya Gus tenggelam dalam pikirannya, kemudian
mengajukan pertanyaan dengan nada serius padaku.
"Apa yang ingin kau pelajari?"
"Sesuatu yang bagus dan rumit seperti para Dewa dan semacamnya."
Berdasarkan inskripsi yang telah aku uraikan dari beberapa bagian kuil, huruf-
huruf dunia ini merupakan sebuah abjad fonogram4. Akan tetapi, pada relief
para dewa dan yang lainnya, di tempat yang sama, karakter piktografi5 tiba-tiba
muncul. Itulah yang tidak aku mengerti. Apa sebenarnya itu? Dan bagaimana
aku membacanya? Atau apakah itu hanyalah hiasan saja?
"Sihir… Penciptaan…"
Jadi kali ini kita akan membahas sihir dan penciptan ya?
"Hmm. Darimana aku harus mulai ya…"
"Dari awal," Jawabku.
Terlalu banyak lebih baik daripada terlalu sedikit. Aku diberkati dengan ingatan
yang cukup bagus. Dan juga, jika aku tidak bisa mengingat semuanya, aku bisa
bertanya lagi sebanyak yang aku inginkan
"Kalau begitu duduk yang benar, ini akan memakan banyak waktu. Kita mulai
dari zaman dahulu, dulu sekali, lebih tua dari yang bisa kau bayangkan, saat
dunia baru saja diciptakan. Saat itu, dunia masih merupakan wadah tebal yang
mendidih dalam kekacauan. Dimana 'Mana' yang Agung bergejolak panas dan
tidak dapat mempertahankan bentuk."
Aku tidak mengira dia akan memulainya dengan penciptaan.
"Kita….Memulainya dari sana?"
"Kita mulai dari sana."
Katanya dengan sangat serius
"Dalam kekacauan tersebut, Dewa Pertama (First God) muncul dari tempat yang
tidak diketahui, Dewa pun berkata 'Jadilah bumi', dan 'mana' yang padat di
bawah kaki Dewa pun menjadi bumi, selanjutnya 'mana' yang tipis di atas
kepala Dewa menjadi langit. Saat itu langit dan bumi pun terbelah."
"Kami menamai Dewa tersebut 'Sang Pencipta' atau 'Sang Leluhur', karena
nama sejatinya tak pernah diungkapkan." [Augustus]
Saat mendengarnya, entah kenapa aku merasa ini agak mirip dengan penciptaan
dalam kekristenan dan mitologi Yunani.
"Setelah itu, Sang Pencipta berfirman dan mengukirkan Ayat-ayat-Nya (Signs),
menciptakan matahari dan bulan, memisahkan siang dan malam, dan
mengumpulkan air demi terciptanya lautan dan daratan"
"Api terlahir, angin terlahir, pepohonan terlahir. Para Dewa terlahir, manusia
serta hewan-hewan pun terlahir."
"Dan saat sang Pencipta selesai menciptakan dunia, dan puas akan pesonanya,
dia berkata pada dirinya sendiri 'bagus'. Namun untuk membuat sesuatu yang
'bagus', diperlukan membuat sesuatu yang 'buruk', sama halnya dengan
penciptaan siang dan malam."
"Maka keburukan dan Dewa-Dewa Jahat pun terlahir. Sang Pencipta berusaha
untuk menarik kembali firman-nya, meski begitu bahkan Dewa pun tak bisa
menarik kembali kata-kata yang telah keluar dari mulut-Nya."
"Dewa-Dewa Jahat yang terlahir ke dunia membunuh Sang Pencipta, maka
kehidupan dan kematian pun terlahir. Dan setelah itu dimulailah banyak masa
dan legenda para Dewa."
Gus terdiam sejenak.
"Kata-kata (Words) dan tulisan (Signs) yang digunakan dalam kisah penciptaan
ini disebut Kata-kata Penciptaan," Katanya mengakhiri.
Ah, jadi begitulah semuanya terhubung "Jadi, kata-kata itu yang membuat dunia ini?"
"Benar. Kata-kata dan ayat tersebut, yah untuk gampangnya kita sebut saja
huruf."
"Kata-kata dan huruf memiliki kekuatan."
"Apa yang bisa dilakukannya?"
"Hmm, coba kulihat…"
Jari-jemari Gus menari di udara. Sebuah cahaya misterius terpendar di ujung
jarinya dan menyisakan sebuah jejak saat bergerak, menghasilkan gambar dua
piktografi rumit yang melayang di udara. Gerakanya melambat, dan dengan hati-
hati, perlahan namun pasti menambahkan sentuhan akhir pada simbol kedua.
"Waaah!" Aku bergegas mundur.
Huruf-huruf yang digambar diudara tiba-tiba membara dengan nyala api
berwarna merah terang. Api itu melayang di udara dan aku bisa merasakan
panasnya. Itu memang api asli.
"Cukup untuk demonstrasinya, kau paham?"
Gus menggumamkan satu atau dua syair ritme melodis. Kemudian api itu lenyap
sepenuhnya, seolah yang terjadi bukan apa-apa melainkan ilusi.
Aku terpaku, takjub. Itu sihir lho! Sihir! Bukan trik! Sihir itu nyata dan ada di
dunia ini. Hebat. Aku benar-benar dibuat takjub. Kalian mungkin heran kenapa
aku seheboh ini setelah berurusan dengan hantu, mummy, dan kerangka hidup,
tapi aku punya pendapat kalau sihir adalah sistem yang sama sekali berbeda dari
hal-hal horror dan berbau supranatural.
"Apa kau menyimaknya? Menggambar piktografi untuk Ignis akan
memunculkan Api di tempat itu, dan udara akan langsung terbakar. Jika Kau
mengucapkan Kata Pelenyap (Word of Erasure) untuk memadamkan api, maka api itu akan hilang."
"Inilah yang kumaksud dengan Kata-kata Penciptaan (Words of Creation), yang
secara umum lebih dikenal sebagai sihir."
Yang terpikirkan olehku selanjutnya adalah, ini bukanlah "sihir" yang kukenal
dari game-game komputer, namun lebih kepada novel-novel fantasi kuno. Ini
bukan sekedar kemampuan yang bisa cepat kalian dapatkan hanya dengan
mengeluarkan cukup poin, namun "sihir" disini merupakan salah satu rahasia
paling kuno di dunia yang tak akan pernah bisa dipecahkan tanpa pemikiran
sebelumnya.
Inilah perasaan yang kudapatkan saat hantu tua berhidung bengkok ini
menjelaskan dengan bangga mengenai kekuatan misterius di dalam kamar batu
yang remang-remang.
"Penting untuk dipahami bahwa Kata-kata Penciptaan bukanlah hal yang
menyenangkan. Kendala pada kekuatan ini terletak pada menulis dan berbicara.
Sang Pencipta sendiri menggunakan kekuatan ini dan berakhir dibunuh oleh
Dewa-Dewa Jahat."
Yah, ini bukan candaan. Bahkan hanya dengan menuliskan kata "api" di atas
kertas, maka otomatis kertas tersebut akan terbakar. Ini akan sangat merepotkan,
dan jelas akan menjadi hambatan dalam kemajuan peradaban. Selain itu
kehidupan sehari-hari pun akan terganggu.
"Mempertimbangkan hal ini, Dewa Pengetahuan bermata satu, Enlight,
memisahkan dua puluh konsonan dan lima buah vokal. Agar Kata-kata
Penciptaan tidak berfungsi, dia menyederhanakan karakter dan pengucapannya,
dan menciptakan bahasa rusak yang kita sebut Lidah Umum (Common
Tongue).".
Aku paham, jika kita mengumpamakannya dalam bahasa Jepang, Kata-kata
Penciptaan bisa dianggap karakter kanji yang rumit. Menulis kanji secara
sembarangan itu berbahaya, bisa-bisa kecelakaan terjadi seperti tak sengaja
membakar atau bahkan meledakan sesuatu. Untuk menghindarinya, Dewa yang
bijak menyederhanakan karakternya, dan membuat jenis karakter Jepang lain:
Kana, yang mewakili suara.
Terdapat sebuah perbedaan kalau Lidah Umum menggunakan karakter fonemik,
bukan silabus. Ini lebih mirip alfabet daripada kana sebenarnya.
Note Translator : yang belum tahu kana itu 'hiragana' dan 'katakana'
Yah terserahlah, sekarang aku mengerti kalau karakter tersebut sama sekali tidak
berasal dari rumpun bahasa yang berbeda, dan tidak diukir hanya untuk tujuan
simbolis. Ini masih termasuk bahasa yang sama, ibarat orang Jepang
mencampurkan kanji dan kana.
"Yang barusan kau baca adalah Lidah Umum, dan yang tidak bisa kau baca
adalah Kata-kata Penciptaan, yang ditulis dalam Ayat-ayat para Dewa yang
pernah dipakai untuk sihir berskala besar di zaman kuno. Adapun yang terukir di
sekitar kuil sengaja dibuat agar sihir itu tidak aktif. Beberapa ada yang terhapus,
lainnya sengaja diletakan di tempat yang salah, dan sisanya disatukan kedalam
desain yang rumit."
Oh begitu. Jika merusak simbol-simbol itu mencegahnya untuk aktif, maka
masuk akal kalau itu sengaja dibuat tak beraturan selama masih bisa
mengidentifikasi bentuk aslinya.
Aku penasaran kenapa mereka sampai sejauh itu untuk mencatat Kata-kata
Penciptaan, namun semakin aku menyimaknya, aku merasa semakin mengerti.
"Kata-kata Penciptaan membuat seorang manusia lebih dekat dengan Dewa
daripada Lidah Umum, seperti itu. Ini juga yang menjadi alasan kenapa Kata-
kata tersebut harus diukir di dalam kuil untuk menghormati Dewa dan untuk
beribadah kepada-Nya. Apa sampai disini kau paham?"
"Ya, aku paham." Aku mengangguk berulang kali. Aku bisa mencernanya.
"Hmm. Baiklah, Will, kalau begitu. Apa kau tahu kenapa Kata-kata tersebut
mengandung kekuatan semacam itu?"
Gus mengajukan pertanyaan itu sambil menyeringai. Njirr, jadi si Gus ini lagi
coba ngetes ya…..
"Itu…. seperti kenapa kita berpikir kalau kursi adalah sebuah kursi kan?"
Tanyaku.
"Hmmmm.."
Aku punya perasaan kalau aku pernah membacanya entah dimana. Pertanyaan
semacam ini kurasa bahkan aku pernah mendengarnya di kehidupanku
sebelumnya, mereka membicarakan tentang persepsi, representasi dan konsep.
Pada dasarnya, saat kita melihat kursi empat kaki, tidak peduli entah apa
warnanya, atau terbuat dari kayu apa, kita akan berpikir "Ini adalah sebuah
kursi". Kita akan berpikir seperti itu meskipun bentuknya tidak sama persis, otak
kita akan mengkategorikanya sebagai kursi.
Biasanya kita tidak melihatnya sebagai "papan berkaki empat", apalagi meja,
meskipun sebuah meja memiliki empat kaki juga. Lebih jauh lagi, jika kita
melihat seseorang duduk diatas kursi, kita tidak menyebutnya dengan
"perpaduan antara kursi dan manusia". Namun kita menyebutnya dengan
"sebuah kursi dan seorang manusia".
Tentu saja, kita juga bisa menyebut kursi dengan "sebuah papan dengan empat
kaki" jika kita memilih melihatnya dengan cara berbeda, atau bahkan "potongan-
potongan kayu". Kita juga mampu membedakan "kursi ini" dan "kursi itu",
menyebut bagian-bagian berbeda dalam kategori yang sama.
Yah apapun itu, intinya adalah kita membubuhkan label yang kita sebut "nama"
ke suatu benda. Ini membuat kita bisa mengelompokkan dunia yang kacau ini,
mengkonseptualisasikannya, dan memecahnya menjadi beberapa bagian untuk
membuat persepsi menjadi lebih mudah.Tidak mungkin kita bisa bertahan tanpa
kemampuan itu.
Bahasa adalah kekuatan yang mampu memisahkan dunia dari kekacauan yang
tidak jelas, sama halnya dalam kisah penciptaan yang baru saja aku dengar.
Tampaknya sudah waktunya bagiku untuk meringkas pemikiranku yang bertele-
tele.
"Itu karena Kata-kata (Words) adalah bagian terpisah dari dunia dan yang
menunjukan jalannya." Kataku. Gus sepertinya benar-benar terkejut oleh
jawabanku. Kedua matanya terbuka lebar, dan mulutnya terus membuka dan
menutup. Aku menunduk merasa bersalah.
Kekaguman Gus lebih membuatku merasa malu daripada bangga. Karena aku
memiliki ingatan kehidupanku sebelumnya, aku mempunyai pengetahuan —
meskipun dangkal— harusnya ini mustahil bagi seorang balita sepertiku
mengatakan hal seperti itu.
Jika bakat merupakan sesuatu yang diberikan kepadamu semenjak lahir, maka
mungkin ingatan milikku ini bisa dihitung sebagai bakat. Namun ini masih terasa
tidak benar. Gus terbang keluar ruangan, menembus dinding. Dia menuju Mary
dan Blood yang berada di aula utama, namun bahkan sebelum mencapai mereka,
dia meledak dalam kebingungan…
"Aaa-aa-aa... Anak itu mungkin sama hebatnya denganku!"
Aku mulai merasa semakin tidak nyaman.
"Demi para Dewa. Apa terjadi sesuatu, Old Gus?" .
"Ohh, Mary, anak itu! Kenapa, Aku—"
Aku menyimak dari kejauhan saat Gus dengan bersemangat menceritakan apa
yang barusan terjadi. Dengan lengan biru spektralnya meragakan dengan liar, dia
menjelaskan bagaimana kemampuanku membentuk sebuah argumen yang luar
biasa untuk anak seusiaku, bagaimana berwawasannya diriku, bagaimana
kemampuan untuk memahami sifat sejati alam disamakan dengan bakat sihir…
Mary si mummy mendengarkan dengan tenang.
"Benarkah?" (Mary)
Sedangkan untuk Blood si kerangka, dia bersandar ke dinding, menghadap ke
arah lain. Sepertinya dia tidak tertarik.
"Jika kita melatihnya semenjak dini, dia mungkin akan menjadi sangat hebat!
Secara pribadi, aku lebih memilih untuk tidak memungut sampah dari tanah, tapi
mungkin anak ini berbeda. Dia bisa—"
Aku membeku.
"Pak Tua."
Suara itu menusuknya seperti cambuk, bahkan sebelum aku sempat punya waktu
untuk berpikir. Itu Blood, yang masih bersandar ke dinding. Api biru pucat
tengah membara di lubang matanya yang kosong.
"Hentikan ocehanmu. Kau sudah kelewatan. Anak itu baru berusia beberapa
tahun."
Aku bisa tahu kalau Blood tengah melotot padanya.
"Dia diambil dari tanah! Apa aku salah?"
"Bukan yang itu."
"Sekarang aku tahu kalau dia memiliki bakat, aku tidak bilang kalau aku tidak
mau mengajarinya atau—"
"Masih bukan itu." Blood melangkah ke arahnya. Bagiku, seolah terdapat aura
tak terlihat yang menyelebungi seluruh tubuhnya. Aku benar-benar belum
menyadarinya sampai saat ini, Blood ternyata sangat besar.
"Ya ampun…"
Meskipun aku hanya melihatnya dari kejauhan, aku bisa merasakan aura yang
dikeluarkannya.
"Dengar, Old Gus. Aku tahu wajar bagimu untuk berbicara seperti itu, aku tidak
mau repot-repot mengubah kebiasaan lamamu itu. Ini yang membuatmu menjadi
dirimu."
"Tapi kau jangan sekali-kali memanggil anak itu sampah saat dia sedang
mendengarkan. Aku yakin kau pun tahu bagaimana perasaan anak itu nantinya."
Blood menatapku, lalu kembali lagi ke Gus. Aku tidak mempercayai apa yang
kulihat.
"Mgh…"
Gus yang sinis dan sombong telah ditaklukan. Meskipun biasanya Blood yang
selalu ditegur oleh dua lainnya karena sikapnya yang tidak bertanggung jawab.
"Jika kau tidak mau membesarkan Will, itu terserah padamu. Kau bisa menjadi
orang sinting dimana tak seorang pun dari kami perlu mendengarkan ocehanmu.
Tapi jika kau ingin mengajarinya, bantulah anak itu dan ubah sikapmu. Kau
paham?"
Gus terdiam beberapa saat. Kemudian, secara perlahan mengangukan kepalanya
dan menghela napas, dia mengakui kesalahannya lalu mundur.
"Kau benar. Kata-kata itu tidak bijaksana. Aku akan lebih berhati-hati lain kali.
Maaf Will."
"Uh, tidak apa-apa …"
Aku belum pernah melihat yang seperti ini dari kedua orang itu sebelumnya.
Sembari menarik diri, aku putuskan mengatakan sesuatu untuk meredakan
situasi. Aku harus muncul sehingga kami semua bisa kompak dan terus maju.
"Um, aku baik-baik saja, Gus. Jangan khawatir soal itu." Aku tidak bisa
memikirkan kata yang lebih baik dari ini.
Mendengar itu, Blood juga ikut membeku, dan sedikit menundukan kupalanya
untuk meminta maaf pada Gus.
"Aku juga sudah kelewatan. Seharusnya aku tidak boleh marah padamu secara
tiba-tiba seperti itu. Bisakah kita berbaikan?"
"Mm." Gus mengangguk.
"Kurangnya penyampaian bukanlah hal baru untukmu. Lupakan saja."
(Augustus)
"Hey, Mary, bisa aku pinjamkan Will sebentar padamu?"
Mary tersenyum kepada mereka berdua dengan senyum damainya yang biasa.
"Baiklah. Gus, aku akan mendengarkan ceritamu lagi nanti"
"Will, keluar sebentar." (Augustus)
"B…Baik."
Aku tidak benar-benar mengerti apa yang baru saja terjadi. Ini berlangsung
begitu cepat. Namun ada satu hal yang aku yakini. Blood telah marah, dan dia
melakukannya untukku.