Malam telah datang menyambut di ujung hari yang paling melelahkan bagi Yoongi. Selesai sekolah dan bekerja seharian, Yoongi memilih mampir ke sebuah minimarket yang tak jauh dari tempat kerjanya. Dia tidak membeli apa-apa selain obat merah, plester, dan alkohol untuk meredakan rasa sakit bagian wajahnya yang sekarang sudah babak belur akibat kejadian siang tadi. Perutnya kram. Dia sudah mencari obat pereda rasa kram di semua tempat. Namun, nihil. Yoongi tidak juga menemukannya.
"Maaf tuan, ada yang bisa saya bantu?"
Yoongi menoleh. Memastikan siapa yang datang menghampirinya. Oh, ternyata seorang gadis. Dia pelayan di toko ini sepertinya. Jelas, Yoongi melihat seragam, apron, dan bros nama tanda pengenal di bajunya. Senyum Yoongi mengembang, membalas senyum ramah dari gadis pelayan itu.
"Apakah ada obat pereda kram?" tanya Yoongi.
Gadis pelayan itu tersenyum seraya mengangguk antusias, "Ada. Mau saya ambilkan?"
"Ya, tolong ya."
Apa? Seorang Min Yoongi dengan mudahnya mengucap kata tolong? Tidak, tidak. Ini bukan seperti Yoongi biasanya. Kenapa pria itu jadi sangat ramah dengan gadis selain Yewon? Biasanya, jika Yoongi berinteraksi dengan gadis mana pun, cueknya diluar manusiawi. Sangat dingin, sungguh. Tapi, entah mengapa mood Yoongi senang saja ketika melihat gadis pelayan itu.
"Baik, saya ambilkan. Anda tunggu sebentar." ujar pelayan itu, kemudian segera mengambil obat yang Yoongi minta di lain tempat.
"Terimakasih." Yoongi tersenyum.
Tidak membutuhkan waktu lama, pelayan gadis itu sudah kembali memberikan obatnya kepada Yoongi.
"Ada yang bisa saya bantu lagi?" ujarnya.
Yoongi menggeleng, "Tidak. Aku ingin membeli obat ini saja. Terimakasih."
Gadis itu tersenyum, "Baik, kalau begitu mari saya antar ke kasir."
Yoongi menurut. Langkahnya terus mengikuti pelayan itu dari belakang menuju kasir depan untuk membayar belanjaannya.
_____***_____
"Semuanya 2,400 won."
Yoongi mengangguk. Mengeluarkan dompet berwarna hitamnya di saku celana belakang. Meraba-raba sakunya di kanan kiri, namun dia masih belum menemukannya.
Yoongi mengumpat, "Ah, shit!"
"Ada apa, tuan?" tanya pelayan itu penasaran.
"Aku kecopetan"
Pelayan itu bingung harus bagaimana. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tatapannya blank ke arah Yoongi, begitu pun dengan Yoongi sendiri.
Tersenyum kecut, sepertinya tidak ada lagi jalan keluarnya. Hanya ini satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk membantu pria itu, "Ah, kalau begitu tidak apa, tuan. Bawa saja belanjaan ini. Biar-----"
"Hei, apa maksudmu?" pekik seseorang yang muncul di belakang Yoongi tiba-tiba.
Matanya terbelalak saat ahjussi berjas hitam menatap tajam ke arah gadis pelayan itu, "Bagaimana kau bisa dengan baiknya membiarkan pria ini pergi membawa belanjaannya tanpa membayar?"
"Kau ingin membuat toko ini bangkrut, hah?" umpatnya kembali.
Gadis pelayan itu meneguk ludah. Wajahnya menunduk, "Maaf, ahjussi."
"Dan, kau!" pria itu menunjuk Yoongi.
"Y- Ya?" ucap Yoongi ragu.
Ahjussi tua itu masih menatap tajam Min Yoongi. "Saya adalah bos di toko ini. Jadi, jangan macam-macam! Cepat, berikan uangmu. Atau, akan ku teriaki kau maling."
Pelayanan itu mengelak, "Ah---maaf, ahjussi. Sepertinya tuan ini memang habis kecopetan."
"Lalu, kita harus membiarkan saja dia tidak membayar uang belanjaannya?" Jeda, "Jelas bukan urusan kita, Jae!"
Gadis pelayan itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Tidak apa, tuan. Biar saya yang membayar semuanya."
"Kau yakin mau membayar semuanya? Uang gajimu bahkan selalu habis untuk membayar pengobatan adikmu itu, kan? Pakai acara sok baik segala. Ya sudah, terserah! Tetapi, waktu gajianmu masih tidak berubah ya?" ujar pria tua itu yang tersenyum remeh.
Mengangguk datar, "Baik, ahjussi"
Pelayan gadis itu kemudian memasukkan belanjaan Yoongi ke dalam kantong plastik berwarna putih. Tersenyum, seraya memberikannya kepada Yoongi.
"Ini belanjaannya, tuan"
Dibalasnya senyuman itu. Yoongi tersenyum memperlihatkan gummy smile nya kepada pelayan itu. "Terimakasih. Kau sungguh gadis yang baik."
"Tidak apa, tuan. Saya juga pernah mengalami kejadian seperti itu. Hanya ingin membantu" sahut sang pelayan yang masih tersenyum ramah.
"Kalau begitu, saya permisi." ujar Yoongi.
Tidak menjawab. Gadis pelayan itu hanya mengaguk menatap Yoongi hingga lonceng pintu keluar berbunyi. Tanpa disadari, pria Min itu sudah meninggalkan toko.
.
.
.
.
.
.
.
"Shin Jaemin!"
Gadis itu sontak terkejut dari lamunannya. Kembali mengarahkan pandangannya ke lawan bicara. "Iya, ahjussi?"
"Sudah, tutup saja tokonya. Waktu lembur mu sudah habis. Aku khawatir besok kau sakit, dan ambil cuti lagi!"
Mengangguk pelan. Gadis itu menurut, "Baik, saya tutup tokonya sekarang."
Tanpa berlama-lama, gadis itu merapihkan semua peralatan dan uang-uang yang ada di dalam laci. Kemudian, mencatat pengeluaran dan pemasukan hari ini. Dia memang bekerja di bagian kasir dan keuangan. Justru itu setiap pulang, dia agak sedikit terlambat. Dua pekerjaan sekaligus, dia yang memegang.
"Jae?"
Gadis itu menoleh, "Ya, ahjussi?"
"Kau besok masih sekolah?"
Mengangguk pelan, "Iya. Ada apa, ahjussi?"
"Tidak apa. Ku kira kamu sudah lulus. Tapi ternyata masih bekerja part time ya?"
Gadis itu hanya tersenyum kecut, "Ya---mau bagaimana lagi? Aku, adik, dan ayah juga masih butuh uang kan?"
"Yang kuat, ya? Saya yakin kau pasti bisa menghadapi semua ini." ujar pria itu.
Gadis yang bernama Shin Jaemin itu tersenyum manis. Dia tahu sikap bos nya satu ini. Agak keras, tapi sebetulnya baik dan perhatian. Tegas, namun terkadang menyebalkan juga. Mood nya gampang berubah. Jaemin sangat paham.
_____***_____
Setelah selesai, Jaemin segera membuka apron dan bros namanya. Kemudian, mengganti seragamnya dengan jaket jeans berwarna terang serta celana levis. Sudah rapih, Jaemin langsung meraih tas selempangnya dan hendak keluar toko. Sedangkan bosnya, sudah pulang saat Jaemin masih repot menutup tokonya. Tak lupa juga, gadis itu mengunci pintu toko dan memastikan semua sudah tertutup dengan rapat dan aman.
Namun, matanya menatap heran saat seorang pria yang masih duduk sendirian di depan tokonya. Seketika ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini sudah hampir pukul sebelas malam, tapi kenapa pria itu masih ada disini? Ah, bukannya pria itu yang tadi berbelanja di sini? Dengan segera, Jaemin menghampiri pria itu.
"K- kau?" ujarnya ragu.
"Ah---kau pelayan yang baik hati di toko ini, kan? Kenapa disini? Sudah tutup tokonya?" sahut pria itu yang tersenyum lirih menatap Jaemin.
Namun, Jaemin tiba-tiba melihat banyak luka memar di bagian wajah pria itu. Serius, dia sedikit khawatir. Justru itu dia sebenarnya ingin bertanya kepada pria itu.
"Wajahmu kenapa memar-memar begitu? Apa kau habis berkelahi?" tanyanya khawatir.
Pria itu menggeleng, "Tidak. Ini hanya luka biasa."
"Luka biasa bagaimana? Lihat, bahkan tanganmu juga membengkak! Biar ku tebak, pasti dari tadi kau berusaha mengobatinya sendiri namun tanganmu masih tidak bisa digerakkan, bukan?" tebak gadis itu cermat.
Pria itu hanya terdiam. Menundukkan kepalanya karena merasa malu. Gadis itu tahu betul keadaannya, sungguh. Peka sekali.
"Hei!"
Kedua pupil matanya terbelalak kaget. Jaemin menatap heran. Padahal, dia hanya mencolek punggungnya. Tapi, kenapa sehisteris itu menanggapinya?
"Aku hanya mencolek, kenapa kaget sekali?" ujar Jaemin.
Pria itu tersenyum kaku, "T- Tidak, aku tidak apa."
"Mau ku bantu obati luka di wajahmu?" Gadis itu menawarkan bantuan.
Menggeleng pelan, "Itu akan merepotkan mu. Aku bisa melakukannya sendiri"
"Kau yakin? Coba, tanganmu gerakkan. Aku ingin lihat" ujar Jaemin tak percaya.
Tersenyum kecut. Sekarang pipinya bahkan sudah memerah menahan malunya. Pria itu akhirnya memperlihatkan deretan giginya yang rapih.
Tanpa basa-basi, gadis itu langsung mengambil alih. Merebut botol alkohol dan obat merah dari tangan si Pria. Menarik kursi tepat di sebelah pria itu. "Mari, obati dulu lukamu."
Matanya terbelalak lebar. Tidak menyangka dengan perlakuan gadis ini. Akhirnya, pria itu menyerah. Membiarkan sang gadis mengobati luka di wajahnya.
Tapi, tunggu.
Itu artinya, wajahnya juga akan disentuh gadis ini? Astaga, jantungnya betul-betul belum siap.
"Sebelumnya maaf, sentuh-sentuh wajahmu. Tapi aku hanya ingin menolong. Tidak apa, kan?" ucap sang gadis seraya menuangkan alkohol pada kapas.
Pria itu tersenyum, "Y- Ya, tidak apa."
_____***_____
Tunggu.
Apa-apaan posisi ini? Wajah itu begitu dekat dengan jarak wajahnya. Mata sayu itu jelas terlihat menatap mata sipitnya. Ah, bukan. Maksudnya bukan menatap matanya. Tapi, fokus menatap luka yang akan diobatinya. Jangan Ge-Er! Dia hanya ingin menolong, bukan? Hembusan nafasnya terasa hangat dirasa pria itu. Bahkan, dirinya bisa mengendus nafas hangat gadis itu.
"Cih, dasar mesum!" umpatnya.
Gadis itu masih fokus mengobati luka di wajahnya dengan lembut. Dengan sabar, sang gadis juga telaten mulai dari membersihkan lukanya, memberikan obat merah, sampai menempelkan plester di bagian dahi pria itu.
Oh, Ayolah----tidak mungkin! Astaga, jantung ini benar-benar tidak bisa diajak damai sekarang ya? Detak jantungnya kelewat tak normal. Mungkin saja gadis ini bisa mendengarnya dengan jelas. Pria itu bahkan hanya bisa meneguk ludahnya susah payah. Terlalu menikmati pemandangan indah dari sini. Matanya begitu cantik dan terlalu nyaman untuk ditatap.
"Selesai. Nanti, pastikan lagi kau mengompres luka-lukanya dengan air hangat di rumah, ya?" ujar gadis itu yang membuat si pria tersadar dari lamunannya.
"Ah, iya?"
Gadis itu menghela nafasnya lembut, "Ini sudah selesai. Tapi, pastikan kau mengompres lukanya lagi di rumah."
Si pria mengangguk, "Baik, terimakasih sudah menolongku."
Gadis itu tak menjawab. Hanya mengaguk seraya meloloskan sebuah senyuman manis di kedua sudut bibirnya.
"Karena semuanya selesai, jadi aku harus pulang. Ini sudah malam. Kalau begitu, aku pamit" ujar gadis itu dan langsung merapihkan obat-obatnya.
Srett!
Pria itu menahan tangan sang gadis yang akan beranjak dari kursinya.
"Kenapa?" tanya gadis itu datar.
"Eumm, tidak apa. K- Kau.. pulang sendiri atau dijemput?" sahut si pria gugup.
Gadis itu mengerenyitkan dahi, "Ada apa?"
"Tidak, aku hanya bertanya."
Sang gadis menghela nafasnya pelan, "Sepertinya aku akan pulang sendiri."
Pria itu meneguk ludah lagi. Jujur, dia sendiri juga tidak tahu kenapa setiap berbicara dengan gadis ini selalu gugup.
"K- Kalau begitu, mau pulang denganku?" Akhirnya, ucapan itu berhasil lolos dari mulutnya.
"Eumm----ya, aku sih tidak masalah. Kamu sendiri? Bagaimana jika nanti pacarmu melihat kita jalan berdua?"
"Aku tidak punya pacar"
Gadis itu mengangguk datar, "Ya sudah, kalau begitu"
.
.
.
.
.
.
.
Bak terlihat sepasang kekasih, jalan beriringan berdua di bawah rembulan terang bersama dengan hembusan angin yang terasa sejuk menyapu tubuh mereka. Masing-masing, disibukkan dengan pikirannya sendiri. Tidak ada percakapan disana. Suasananya kelewat canggung. Jaemin dan pria itu sama sekali tidak ada yang ingin membuka pembicaraan duluan.
Hanya suara gemuruh dan jangkrik yang terdengar di indra pendengaran mereka. Sesekali si pria berdeham pelan untuk mencairkan suasananya jika sudah benar-benar canggug. Namun, tetap saja gadis itu tidak peduli. Masih memilih untuk diam, tak ingin menatap wajah pria itu. Ingin bicara duluan, si pria juga malu, sungguh. Apakah dia sangat lemah dalam mendekati wanita?
Pria itu mati kutu. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya menghela nafasnya kasar, "Omong-omong, kau bekerja di toko itu?".
"Hanya bekerja part time. Paginya aku harus sekolah" sahut gadis itu.
"Kau anak sekolah?"
Sang gadis mengaguk, "Ya. Aku kelas dua, sekolah menengah atas."
Pria itu tidak menjawab. Hanya mengaguk pelan.
"Ada apa?" tanya sang gadis.
"Tidak. Kita sepantaran"
"Oh, ya? Kau juga masih sekolah? Kenapa pulang selarut ini?" Gadis itu bertanya heran.
"Aku juga bekerja paruh waktu. Sama sepertimu."
Gadis itu mengaguk pelan. Tak ingin meresponnya.
"Sepertinya kita juga senasib" ujar si pria.
Sang gadis tersenyum kecut, "Haha, sepertinya begitu"
Baiklah, kali ini suasananya kembali canggung. Mereka sama-sama payah dalam berinteraksi, mungkin? Tidak Jaemin, tidak si pria itu, keduanya seakan puasa bicara. Astaga, apa lagi yang harus mereka lakukan?
"Boleh tanya sesuatu?" ujar pria itu.
"Ne?"
"Boleh ku tanya sesuatu padamu?" ujarnya sekali lagi.
Gadis itu mengaguk ragu, "Ya, apa?"
"Siapa namamu?"
Oh, tentu saja sang gadis terkejut. Matanya terbelalak lebar. Pria yang baru saja dikenalnya tadi tiba-tiba mengajaknya berkenalan? Ini pasti ada apa-apanya. Mungkinkah dia pria tidak baik-baik? Sungguh, Jaemin takut sekarang. Keringatnya bercucuran di punggung dan dahinya. Lagipula, ini sudah malam. Dia juga bodoh, kenapa menerima ajakan si pria itu pulang bersamanya? Jalan berdua seperti ini di malam hari, bukankah itu mengkhawatirkan?
Sudahlah, Jaemin segera membuang pikiran negatifnya jauh-jauh dan tetap harus berjaga-jaga.
"K- Kau, kenapa ingin tahu namaku?" ujar Jaemin.
Pria itu terkekeh, "Kenapa? Memangnya aneh jika ingin tahu namamu?"
"Tidak juga, sih"
"Jadi, aku boleh kenalan?"
Pria itu tersenyum menatap sang gadis seraya mengulurkan tangannya. Tak lupa memperlihatkan gummy smile nya yang lebar, "Namaku Min Yoongi"
Gadis itu melongo. Menatap kosong wajah sang pria. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi, sungguh. Mulutnya tidak bisa berhenti mengaga kecil. Sesekali mengedipkan kedua matanya untuk memahami pria ini.
"Ah, Y---Ya, Min Yoongi? Senang berkenalan denganmu" ucap gadis itu tersenyum kecut. Tak lupa dia juga membalas uluran tangannya.
"Boleh ku tahu namamu?"
.
.
.
.
.
.
.
Belum sempat gadis itu bicara, tiba-tiba seseorang tersenyum seraya melambai ke arahnya. Pria itu masih duduk di motor, menggunakan helm yang menutupi wajahnya.
"Pacarmu?" ujar Yoongi.
Sang gadis menoleh ke Yoongi, kemudian menggeleng pelan.
Setelah membuka helmnya, barulah Jaemin tahu siapa pria yang melambai ke arahnya itu.
"Ayah?" ucap Jaemin.
Yoongi mengerenyitkan dahi, "Ayah? Itu ayahmu?"
Gadis itu mengaguk, "K- Kalau begitu, aku langsung pamit ya, Yoon? Senang bisa berkenalan denganmu. Semoga kita bisa bertemu lagi"
Setelah itu, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Langkahnya dipercepat dan langsung meninggalkan Yoongi yang masih terdiam berdiri disana. Gadis itu berlari kecil menyusul motor yang katanya 'sang ayah' datang menjemputnya. Yoongi masih berdiri disini. Tidak tahu kenapa? Hanya ingin memastikan jika gadis itu pulang dengan selamat. Dan setelah dia pergi, Yoongi sedikit merasa menyesal. Tiba-tiba saja dirinya payah begini saat bersama gadis itu. Bibirnya terasa kelu seperti orang bisu saat itu. Sungguh, Yoongi benar-benar merasa malu bicara padanya.
Entah kenapa alasannya? Yoongi juga tidak tahu.
"Akhh! Kenapa sih, kau Min Yoongi?!"
Sekarang Yoongi betul-betul frustasi. Menjerit sendiri tidak jelas malam-malam begini? Untung saja tidak ada orang. Jika ada, mungkin dia sudah dikira orang gila sekarang. Muka yang jelek itu mungkin, semakin kelewat jelek kalau keadaannya begini. Pria itu tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya menghela nafas dan menyesali dengan apa yang sudah terjadi. Kesempatan untuk mengetahui nama gadis itu sangat sia-sia.
"Bodoh kau, Min Yoongi. Bodoh!"
"Sanking kelewat bodohnya, kau bahkan menyesal tidak sempat mengetahui nama gadis itu. Dari tadi, kemana saja? Tidur?" umpatnya lagi.
Pria Min itu hanya mendecak kesal. Menendang asal kaleng bekas yang tidak sengaja ia temukan di tengah jalan. Menekuk bibirnya kebawah, berbentuk seperti garis lengkung. Seperti bocah, kan?
Sambil mendongakkan kepalanya menatap langit, Yoongi kembali menghela nafas beratnya.
_____***_____
"Semoga besok kami bertemu lagi"
.
.
.
.
.
.
.
~ to be continued ~