Derap langkahnya begitu cepat untuk sampai ke tempat tujuan. Entah mengapa hari ini menjadi hari yang pertama kali baginya bersemangat menuju sekolah. Biasanya, pria itu datang ke sekolah dengan ekspresi wajah yang selalu sama. Setiap hari, datar. Dingin, layaknya es balok yang ditaruh di dalam lemari pendingin. Sangat tidak mungkin untuk dicairkan, bukan?
Hari ini beda. Pria berkulit putih pucat itu justru selalu memasang senyuman khasnya sedari bangun tidur tadi. Perasaannya bahagia sekali. Bahkan, sang ibu dan juga adiknya kaget tidak percaya jika ini Min Yoongi. Mungkin Yoongi kerasukan Jung Hoseok? Atau jiwa Yoongi yang tertukar? Begitu dikira mereka sejak tadi. Entah sedari sarapan, mereka agak aneh melihat Yoongi seceria itu. Bagus, sih----justru ibu dan adiknya senang jika Yoongi bisa tersenyum begitu setiap hari. Bukannya hanya sekali-kali. Semuanya berharap begitu.
.
.
.
.
.
.
.
Selesai.
Setelah sarapan, Min Yoongi dengan semangat berpamitan kepada ibunya. Tersenyum memperlihatkan gummy smile dan gusinya yang khas. Tak lupa pria itu juga menghampiri sang adik yang dari tadi bengong melihat tingkah aneh kakaknya. Bahkan, sarapannya pun menjadi terlambat. Dia hanya terus memperhatikan sang kakak tadi.
Mengusak kepala adiknya, "Jeon, aku pamit dulu ya?" ujar Yoongi. "Jangan lupa, habiskan sarapannya. Jika tidak, ku sumpahi kau jomblo seumur hidup"
Pria itu kemudian menatap seraya mengerlingkan sebelah matanya ke arah Jungkook. Aneh, sih----Jungkook hanya menganga saat meresponnya. Tidak ada jawaban disana. Hanya sang ibu yang membuka suara disaat keadaannya hening begitu.
"Hati-hati, Yoon" ujar sang ibu.
Yoongi mengangguk seraya tersenyum menatap ibunya. Kemudian, meraih tas berwarna hitam dan meninggalkan rumah sederhana itu.
_____***_____
Seperti biasa, Yoongi menuju halte dan menunggu sampai bus sekolah itu datang. Setiap hari, kebanyakan pria-pria seumuran Min Yoongi lebih tertarik naik motor atau mobil pribadi untuk pergi ke sekolah. Oh, tapi Yoongi tidak. Dia sangat paham keadaan hidupnya. Lagipula, dia sudah terbiasa naik bus umum seperti ini. Yoongi itu bukan tipe pria yang manja. Justru, dia terlahir sebagai pria yang paling tahu apa itu kerja keras.
Yoongi membuka resleting tas hitamnya, hendak mengeluarkan sesuatu di dalam sana. Mengecek keberadaannya, apakah dia lupa membawa atau tidak. Ternyata, tidak. Setangkai bunga mawar sudah digenggamnya. Mawar itu masih sangat segar. Yoongi sengaja untuk mampir terlebih dulu ke toko bunga sebelum sampai halte.
Senyumanya mengembang. Menatap indah tangkai mawar, dimana bunganya masih ditutupi oleh plastik bening. Tak lupa, Yoongi sudah merangkai tali pita buatannya sendiri. Pita itu berwarna merah muda. Sebetulnya, Yoongi tidak terlalu mahir membuat kerajinan seperti ini. Namun, itu semua ia lakukan demi si penerima mawar ini. Apapun itu untuknya, Yoongi melakukannya dengan senang hati. Dan dia sangat bahagia setiap kali membahas tentangnya.
Kemudian, pria itu juga mengeluarkan secarik kertas berwarna biru muda di dalam tasnya. Hanya kertas berukuran kecil. Jadi, Yoongi dapat menempelkannya di bawah pita yang sudah terpasang pita merah muda di bawahnya. Hanya sebuah puisi sederhana. Tidak begitu romantis menurutnya. Yoongi adalah seorang pria yang hanya mampu menulis lirik lagu. Bukan menulis puisi. Jadi, dia agak kurang percaya diri menuliskan ini semua. Itu bukanlah kemampuan Min Yoongi.
Perasaannya, sangat senang bercampur gugup. Dia tidak tahu ingin mengekspresikan kebahagiaannya bagaimana sekarang. Pokoknya, pria itu sangat senang. Mencium aroma mawar sesungguhan itu cukup mengurangi sedikit rasa gugupnya. Harus memberi reaksi apa saat mawar ini diberikan untuknya?
Ah, tapi----tunggu.
Sebenarnya, mawar itu untuk siapa? Mengapa pria seperti Min Yoongi ini bisa berubah menjadi sangat romantis begini karenanya? Mari lupakan sejenak. Hari ini, sebaiknya fokus dulu untuk sekolahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ini sudah waktunya istirahat. Akhirnya, setelah berjam-jam duduk memandangi papan tulis dan menghadapi beberapa guru killer menyebalkan itu, murid-murid dipersilahkan beristirahat. Sebagian ada berhamburan menuju cafetaria. Mengisi perut kosongnya. Sebagian juga, ada yang lebih memilih berdiam di kelas. Mengistirahatkan otak dan matanya. Ada juga yang menggosip, membaca buku, dan pergi ke lapangan untuk bermain basket. Tapi, Min Yoongi sendiri masih sibuk memperhatikan gadis itu dari kejauhan.
"Sekarang atau nanti?"
Pertanyaaan itu selalu berputar di dalam otaknya. Dia ingin memberi mawarnya sekarang. Tapi, ia gugup. Jika nanti, mungkin temannya akan merebut duluan. Mengajak gadis itu pergi keluar. Atau----keburu si brengsek itu mengajak makan duluan. Ah, tapi Yoongi bingung. Rasa gugup dan bahagia semuanya bercampur menjadi satu.
Sebetulnya, Yoongi tidak pernah memberikan sesuatu pada seorang gadis. Ini adalah pertama kali pengalamannya membiarkan sebuah puisi untuk gadis yang sangat ia cintai. Bukan Yoongi namanya yang peduli dengan semacam puisi, rayuan, atau apalah. Untuk memikat hati gadis, dia bukan juaranya.
"Kim Yewon, bisa bicara sebentar?" ucap Yoongi. Sekarang, dirinya sudah benar-benar berdiri tepat di hadapan gadis itu.
"Penting?"
Yoongi mengangguk, "Ah, tidak. Sebetulnya tidak terlalu penting. Tapi, ku mohon---"
Gadis itu memutar bola matanya malas, "Baiklah---tapi, sebentar saja ya? Aku ingin pergi makan"
Senyumnya mengembang di kedua sudut bibirnya. Dia tersenyum sumringah, "Iya" ujar Yoongi.
"Ikut aku, Kim"
Yoongi meraih tangan mungil gadis itu dan segera pergi keluar kelas. Entah, Yoongi akan membawanya kemana? Gadis itu pun tidak tahu. Pola pikirnya sulit sekali untuk ditebak. Mereka hanya terus berjalan seraya bergandengan tangan. Terlihat seperti pasangan yang sangat romantis. Dan ini tentu membuat hatinya begitu senang karena bisa menggenggam tangan gadisnya. Yoongi rindu, sungguh. Dia rindu sentuhan lembut gadis itu.
Sampai di suatu tempat, Yoongi melepas genggamannya. Tempat yang tidak terlalu dikunjungi banyak siswa. Begitu nyaman, tenang, dan sunyi disini. Sebuah tempat yang tak jauh dari taman sekolahnya. Ah, ralat----maksudnya, tempat itu berada di tengah-tengah antara taman dan balkon sekolah.
"Untuk apa kau mengajakku kesini?" Yewon membuka suara. Dari tadi, pria itu hanya berdiam diri menatap ujung sepatunya.
Yoongi mulai berani mendongkakan kepalanya. Menatap gadis itu lirih, "A---Aku hanya ingin memberi ini, Kim"
"Apa?"
Yoongi menyerahkan setangkai mawar beserta puisi yang dibuatnya semalaman kepada gadis itu. Yoongi takut. Sebenarnya dia gugup sekarang. Bibirnya seolah-olah kelu tak mampu mengeluarkan kata-kata yang sedari dulu ia pendam. Tuhan, rasanya Yoongi ingin menangis. Namun, tidak mungkin juga di depan gadis ini kan?
"Mawar? Untuk apa?"
"Aku ingin memberi ini padamu. Karena, aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku terhadapmu. Baiklah, kau boleh memaki ku sekarang. A- Aku----- Ah,"
Sungguh, Yoongi sangat gugup sekarang. Entah mengapa dirinya menjadi pria payah seperti ini di depan gadis itu? Tubuhnya benar-benar kaku. Gemetar. Jika ada alat pemeriksa detak jantung seperti yang ada di rumah-rumah sakit, mungkin suaranya berisik jika detak jantung Yoongi diperiksa sekarang. Berdegub dua kali lebih cepat dari detak jantung manusia normal pada umumnya.
Astaga, Yoongi harus bagaimana sekarang?
_____***_____
"Yoon, kenapa melamun?"
"Aku menyukaimu Yewon-ah"
Yewon meneguk ludah, "Ini sebuah pengakuan, Yoon?"
"Ini bahkan lebih dari sebuah pengakuan. Ini adalah perasaanku yang sesungguhnya padamu, Kim." ujar Yoongi. "Jadi, aku mohon--- beri aku kesempatan terakhir kalinya untuk mencintaimu, Kim----apa tidak bisa?"
Gadis itu hanya menghela nafasnya berat, "Maaf Yoon, tapi aku tidak bisa memberi kesempatan itu"
"Kenapa?"
Sungguh, entah ini yang keberapa kalinya Yewon terisak dengan ucapan Yoongi melirih seperti ini. Hatinya terasa sakit jika pria ini hampir menangis di hadapannya. Yewon tidak ingin membuatnya memohon seperti ini. Tapi, takdir yang mengubah segalanya. Dia tidak mempunyai hak untuk mengatur nasib. Jika saja mereka tidak terlibat cinta segitiga begini, mungkin Yewon----akan terus bersama Yoongi.
_____***_____
"Kim, jawab aku" ujar Yoongi lirih. Matanya sudah membendung air mata. "Kenapa?"
"A---aku, tidak mencintaimu lagi, Yoon" sahut Yewon. Sekarang mereka sudah sama lirihnya.
Pria itu menunduk. Menutup wajahnya yang bahkan sudah penuh dengan air mata. Yoongi menangis. Sesulit inikah memperjuangkan cintanya? Yoongi tidak tahu harus bagaimana lagi. Hatinya hancur berkeping-keping seperti halnya serpihan kaca yang jatuh pecah dan beling itu menusuk hatinya. Inginnya berdarah, tapi tidak keluar. Hanya itu yang bisa Yoongi definisikan perasaannya. Menggigit bibir bawahnya menahan kelu. Menyedihkan sekali hidupnya. Apa benar, Tuhan tidak berpihak padanya?
Tapi, Yoongi mohon..
Hanya sekali ini saja, Yoongi berharap agar kebahagiaan itu berpihak padanya. Dia sangat berharap, gadis ini menerima setangkai mawar dan puisinya. Itu adalah kebahagiaan Min Yoongi yang tak terhingga, mungkin.
.
.
.
.
.
.
.
"Yoon, sekali lagi maafkan aku---"
Senyumnya mengembang. Dirinya seolah baik-baik saja terhadap gadis itu. Meskipun, matanya masih penuh dengan buliran air mata, "Tidak apa, Kim" sahut pria itu. "Aku mungkin memang bukan yang terbaik untukmu. Ini semua pantas ku terima, karena sudah menyia-nyiakan perasaanmu selama ini"
"Yoon, jangan bilang seperti itu" ujar Yewon lirih.
Yoongi tersenyum miring. Menyeka air matanya, "Kau harus berjanji padaku"
"Apa?"
"Berbahagialah dengan Namjoon. Dia, pria yang sangat mencintaimu. Takut kehilanganmu, dan aku yakin. Dia juga tidak bisa membiarkan kau yang menangis seperti ini." ujar Yoongi. "Aku bukan pria yang pantas untuk bersamamu. Lihatlah, selama ini aku tidak pernah membuatmu tersenyum bahagia denganku. Tapi, kau lihat ketulusan Namjoon. Bahkan, dia rela menunggumu sedari dulu. Dia tidak akan pernah mengecewakan mu, Kim---"
"Yoon,"
"Tinggalkan aku, atau kau tidak pernah bisa bahagia."
Tangisnya meledak. Yewon betul-betul merasa berapa sulitnya mendapatkan cinta itu hanya karena terhalang perasaannya. Jika hatinya mudah berubah, mungkin dia masih berusaha agar tetap mencintai Min Yoongi. Namun, semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh jutaan peluh dan perjuangan untuk menata hatinya yang hancur berkeping-keping itu.
"Kim, boleh aku mememelukmu untuk yang terakhir kalinya?"
Yewon mengangguk setuju. Akhirnya, tautan itu berlangsung dengan perasaan masing-masing yang mungkin telah berbeda. Yoongi memeluk Yewon dengan sangat erat, seperti takut kehilangan. Yewon bisa merasakan hatinya perih ketika mendengar isakkan pria Min itu. Entah sudah yang keberapa kalinya Yewon melihat Yoongi selirih ini.
Tidak ingin berlama-lama, Yoongi melepas tautan itu terlebih dulu. Dia hanya tidak ingin jatuh terlalu dalam dengan gadis itu. Merelakannya pergi bersama dengan pria yang bahkan lebih mencintainya, itu cukup membuat Yoongi bahagia. Dia yakin Yewon akan bahagia dan tidak akan pernah menangis seperti ini. Tidak seperti saat bersamanya.
_____***_____
"Jadi untuk yang terakhir kalinya, kau mau menerima pemberianku ini?" ujar Yoongi. Dia mengingatkan mawar merah berserta puisi singkat itu.
Yewon mengangguk, "Bukankah ini pemberian pertama dan terakhirmu untukku?"
Yoongi terkekeh, "Ah, maksudku begitu"
"Hm, baiklah---aku terima" singkat Yewon. "Aku tidak menyangka kau ternyata juga merupakan pria yang bisa se romantis ini, Yoon"
"Tidak. Aku begini hanya untukmu"
Gadis itu memutar bola matanya malas, "Ya----terserah padamu"
"Kalau begitu, aku pamit ke kelas duluan ya?" ujar Yoongi.
Yewon mengangguk, tanda mengizinkan. "Baiklah, aku juga ingin menyusul Namjoon."
Yoongi membisu. Entah mengapa hatinya terluka saat gadis itu menyebut namanya. Tapi, Yoongi tidak ingin egois. Apapun itu, dia rela membiarkan gadis ini bahagia atas pilihannya.
Dengan segera, Yoongi meninggalkan gadis itu yang masih berdiam kaku disana sambil menatap mawar dan membaca secarik kertas berisikan puisi pemberiannya.
Yoongi tahu Yewon membacanya. Dia mengumpat di balik dinding sebelum akhirnya Namjoon menghampiri gadis itu. Senyumnya mengembang, memperlihatkan gummy smile yang khas. Namun, senyum itu seketika meredup. Melihat sang gadis memberikan kotak hadiah berwarna merah muda kepada Pria Kim itu.
Sungguh, hatinya kembali pedih. Jika biasanya sang gadis memberikan sesuatu hanya untuknya, kini semua itu berubah. Tidak ada lagi bentuk perhatian dan kasih sayang padanya. Yoongi pasrah. Pria Min itu hanya menatap lirih pasangan serasi disana sambil menggigit bawah bibirnya menahan luka di hatinya. Dan yang lebih membuatnya sakit lagi, tiba-tiba sang gadis melempar mawar pemberiannya ke tempat sampah.
Yewon juga merobek kertas puisi buatannya, lalu membuangnya ke danau. Mengingat, di belakang sekolah mereka terdapat danau yang luas dan indah. Airnya jernih dan sangat tenang. Tapi, danau itu sepertinya sudah tak sejernih awal lagi akibat sampah kertas yang dibuang sang gadis. Danau itu sudah tercemar. Sama seperti hatinya saat ini. Tercemar karena sebuah penolakan cinta.
Jelas, itu namanya penolakan cinta secara tidak langsung, bukan?
Hatinya begitu sakit. Jika saja ada sebuah silet tajam digenggamnya, mungkin Yoongi akan segera menyilet nadinya menggunakan silet itu. Ribuan pisau telah menusuk kasar dadanya. Mengapa semuanya begitu cepat berakhir dengan penyesalan? Sesulit inikah hidupnya? Dimana kebahagiaan itu yang dulu ibunya pernah janjikan?
Yoongi hanya pria biasa. Hatinya juga bisa sakit dan terluka seperti pria pada umumnya. Bayangkan, jika seorang pria se cuek Min Yoongi ini, pada akhirnya menangis dan mengeluarkan air matanya. Bukankah itu begitu menyakitkan? Harapannya hancur begitu saja dengan mudahnya. Padahal, Yoongi berusaha begadang semalaman, tidak tidur hanya untuk membuat puisi sederhana itu. Dia juga menyisihkan sedikit sisa uang gajinya untuk membeli mawar itu. Tapi, semua itu----berakhir membuatnya sakit.
.
.
.
.
.
.
.
Tak lama setelah pasangan itu pergi, Yoongi segera keluar dari persembunyiannya. Mengambil kembali mawar itu yang sudah tergeletak di dalam tong sampah. Mungkinkah gadis itu berfikir semua pemberiannya sama sekali tidak ada harganya?
Dengan langkah lunglai tanpa harapan, Yoongi membawa mawar itu lagi dan meninggalkan tempat itu. Perasaannya benar-benar kacau sekarang. Harapannya mungkin sudah tidak ada lagi dengan gadis itu. Tapi, Yoongi tetap ingin menyimpan mawarnya. Entah kenapa, dia merasa terdapat seribu kenangan disini. Meskipun sama sekali tidak membuatnya bahagia, Yoongi hanya ingin mengenang kejadian ini seumur hidupnya. Dia, rela.
.
.
.
.
.
.
.
~ to be continued ~