Chereads / How to be Your Girlfriend? / Chapter 5 - Part 04

Chapter 5 - Part 04

Yoongi lagi-lagi meringis. Mengeluh pada ayahnya. Dia tahu kalau ayahnya tidak bisa apa-apa. Dirinya hanya bisa memandangi nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Mengusap perlahan foto kenangan itu seraya menahan rasa sesak di dadanya.

"Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana perasaanku terhadapnya."

"Hanya saja, aku takut akan benar-benar jatuh cinta padanya, ayah----"

Pria itu menarik bibir memperlihatkan senyum miringnya. "Bagaimana ini? Apa yang harus ku lakukan, ayah? Ah---- andai saja ayah masih ada, aku akan banyak cerita soal masalah ini pada ayah. Karena jujur, tidak pernah ada orang yang bisa membuatku tenang ketika diajak cerita. Selain ibu."

"Ibu memang satu-satunya yang paling terbaik." Jeda, "Iya, tidak ada yang bisa mengalahkan perempuanmu, ayah----"

Pria Min itu kembali tersenyum miring. "Aku sampai iri pada ayah, karena berhasil menemukan dan memiliki sosok seperti ibu."

"Andai saja, aku bisa menikahi gadis seperti ibu. Mungkin aku termasuk lelaki yang paling beruntung."

_____***_____

Yoongi menidurkan kepalanya di atas nisan itu. Rindu. Dia sangat merindukan sosok sang ayah yang dulu selalu menimang tubuhnya setiap pulang bekerja. Yoongi ingat, sebagaimana tubuh mungilnya dulu selalu digendong sang ayah ke atas layaknya kapal terbang.

.

.

.

.

.

.

.

'Ayah, aku ingin naik pesawat. Apa itu rasanya menyenangkan?'

'Ah, jadi tunggu aku dewasa dulu ya--- baru boleh naik pesawat bersama ayah dan ibu?'

'Baiklah, Yoongi akan tunggu sampai Yoongi sudah dewasa nanti.'

'Ayah jangan kemana-mana sebelum Yoongi dewasa, ya---'

Dan jawaban mereka, "Iya, Yoon. Ayah dan ibu selalu menunggu sampai Yoongi dewasa. Kita bisa bersama selamanya, ne? Jangan pergi kemana-mana dulu."

_____***_____

Selalu begitu. Jawaban yang sangat Yoongi ingat dari mulut mereka. Jawaban yang membuatnya menyesal, karena tidak ada kebenaran disana. Takdir berbohong pada Yoongi. Ayahnya meninggalkannya pergi terlebih dulu. Padahal, dia belum sempat merasakan naik pesawat dengan ayahnya seperti yang ayahnya janjikan.

"Ayah---- kau? Kau berbohong padaku." ujarnya lirih. Yoongi kembali menangis. Tidak puas rasanya hanya menangis sekali setiap ia kesini. Ke makam yang sunyi itu.

Yoongi mengusak kasar kepalanya berkali-kali, "Seharusnya jangan mengatakan begitu kalau akhirnya ayah tidak bisa menepati janji."

"Ah---- Ya sudah, tidak apa. Bukan saatnya aku menyesali apa yang sudah terjadi. " ujar pria Min itu yang kini terlihat frustasi.

Seketika ia melirik jam tangan berwarna silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Kemudian, ia kembali mengusap perlahan batu nisan itu. "Ayah, ini sudah sangat larut. Aku takut ibu menungguku di rumah. Dia lelah, aku tahu. Kalau begitu, aku pamit. Aku selalu menyayangi ayah. Selamat tinggal ayah----"

Dengan berat hati, Yoongi segera beranjak dari pemakaman itu. Sebetulnya dia tidak rela pergi. Yoongi masih ingin banyak bercerita pada ayahnya. Entahlah. Yoongi nyaman saja menyendiri disana. Tidak ada orang mampir ke makam selarut ini. Sengaja. Dia lebih suka pergi ke makam ayahnya malam-malam. Agar tidak ada orang yang mendengar curahan hatinya disana. Dia hanya butuh ketenangan. Aneh, bukan? Tapi---- itulah Min Yoongi.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sampai rumah, Yoongi melihat rumahnya sudah gelap. "Syukurlah, jika ibu tidak menungguku. Dia pasti kelelahan." batinnya.

Tapi, pria Min itu terkejut ketika membuka pintu rumahnya dilihat sang ibu masih terjaga sendirian di sofa seraya menahan kantuk. Yoongi berjalan pelan menyalakan lampu rumahnya. "Ibu kenapa belum tidur?"

Ibunya membuka mata perlahan. Terkejut bukan main tiba-tiba putra sulungnya sudah duduk tepat disampingnya. "Yoon, sudah pulang? Kenapa larut sekali?"

"Aku ambil lembur, bu. Jungkook bilang dia akan outing class. Dan itu membutuhkan biaya lagi."

Mengusap kepala Yoongi perlahan. "Yoon, jangan suka memaksakan diri. Kau juga harus memikirkan sekolahmu, nak. Hoseok bilang kau jarang datang ke sekolah karena pergi bekerja. Lagi-lagi ambil lembur, kan?" ujar ibunya.

Yoongi bungkam. Sial, kebohongannya terbongkar sekarang. Hanya karena mulut ember pria Jung itu. Mau apa lagi? Dia hanya bisa terdiam. Merasa bersalah. "Maafkan aku bu, ini semua ku lakukan untuk membantu ibu. Aku tahu, ibu lelah. Usia ibu akan terus bertambah. Aku hanya ingin berusaha meringankan beban ibu sedikit. Apa seorang anak rela membiarkan ibunya banting tulang sendirian? Terlebih lagi tanpa suami."

"Yoon, kamu masih belum cukup umur memikirkan semua itu. Kamu sering menasehati Jungkook, 'Tugasmu hanya belajar, Jeon. Jangan pikirkan hyung mu ini.' Begitu kan?"

Lagi-lagi Yoongi terdiam. Semua perkataan ibunya benar. Dirinya hanya bisa menasehati orang lain. Tidak sadar akan kesalahan sendiri. Yoongi merasa sangat bersalah disitu. Namun, di satu sisi ia juga tidak bisa membiarkan ibunya bekerja sendirian. Astaga! Pria itu kembali depresi. Pusing memikirkan semuanya.

Mengapa Tuhan memberinya cobaan seberat ini? Kesalahan besar apa yang telah diperbuat?

"Aku tahu, bu. Aku juga mengerti kondisi diriku sendiri. Hanya saja aku tidak bisa membiarkan ibu lelah sendirian. Bila perlu, Yoongi saja yang bekerja. Ibu cukup fokus mendidik Jungkook. Aku tidak masalah jika tidak lulus. Setelah ini, aku bisa bekerja. Tetapi--- tolong jangan sampai itu terjadi dengan Jeon Jungkook, bu. Aku ingin dia sekolah sampai ke perguruan tinggi. Jangan seperti hyung nya ini." Yoongi mengelus lembut punggung tangan ibunya.

Dia merasa tidak bisa melakukan apa-apa untuk ibunya. 'Anak yang payah.' Begitu Yoongi memberi deskripsi untuk dirinya sendiri. Sampai pendidikannya pun tidak bisa ia selesaikan. Apa yang bisa ibunya bangga-banggakan dari Min Yoongi ini? Kadang Yoongi berfikir, apa ibunya tidak membuang aja bayinya selagi dirinya baru lahir? Hidupnya, cuma menambah beban saja.

"Yoon, ibu ingin semua anak ibu berhasil. Tidak hanya Jungkook. Tapi ibu juga ingin melihatmu memakai toga bersama Jungkook. Dan kita akan berfoto bersama disaat-saat itu." Jeda, "Bukankah itu tandanya kamu juga membantu ibu, nak?---- membuat ibu bangga memiliki anak seperti kalian." ujar ibunya lirih seraya mengelus kedua pipi pria itu perlahan. Ibunya menangis.

_____***_____

Untuk yang kesekian kalinya Yoongi bungkam. Jika ibunya sudah menasehatinya, pasti akan berakhir seperti ini. Ibunya jago sekali membuat Yoongi tak berkutik. Merasakan skak mat di titik akhir pembicaraannya.

"Cukup Yoon. Kamu sudah banyak membantu ibu sejauh ini---- Dan sekarang, fokuslah belajar. Seperti yang sering kau nasehati pada Jungkook. Jangan pikirkan biaya. Nasib akan berubah seiring berjalannya waktu jika kita tidak pernah mengeluh. Keajaiban Tuhan masih ada. Tuhan masih sayang pada kita. Kita tidak akan begini selamanya. Pasti akan berubah. Percaya ibu, kan?" ujar sang ibu penuh keyakinan.

Senyuman itu akhirnya berakhir lolos di wajah Yoongi. Ya, Yoongi tersenyum antusias. Entah mengapa perkataan ibunya selalu membuat dirinya yakin dan akhirnya bangkit lagi. Membuat mood nya juga kembali membaik. Dan hatinya pun kembali tenang dan---- perlahan mencair.

"Bu, ibu memang yang terbaik." singkat Yoongi. Dia akhirnya tersenyum menatap sang ibu. Yoongi semangat lagi dibuatnya.

Ibunya kembali mengusap kepala putranya, "Tidak apa, Yoon. Ibu hanya membicarakan yang sebenarnya. Habisnya, kamu itu keras kepala. Sulit sekali orang menasehatimu."

Yoongi terkekeh, "Kecuali ibu?"

"Ibu tidak tahu. Memang begitu?"

"Sepertinya begitu---" ujar Yoongi singkat. Kemudian memperlihatkan senyumnya pada sang ibu.

Tanpa sadar, Min Yoongi sudah menunjukkan sisi manjanya pada sang ibu. Jelas kelihatan. Dia banyak melakukan aegyo disana. Raut wajah yang jarang sekali Yoongi perlihatkan pada orang lain. Imut, sungguh. Sampai ibunya pun tidak tahan dan akhirnya mencubit gemas pipi gembul itu. Senyum gummy smile nya juga diperlihatkan dengan sangat manis. Perlu diingat juga berapa umurnya sekarang? Dan---- tipe bagaimana macam Min Yoongi ini.

Cepat atau lambat, ini akan membuat sang ibu yakin bahwa putranya akan kembali seperti anak muda pada umumnya. Bisa melakukan sesuatu yang dia sukai. Seperti hal nya menulis lirik lagu. Sang ibu tahu kegemaran anaknya. Pernah, ibunya sengaja membaca beberapa lirik yang sudah Yoongi tulis di catatan kecilnya. 'Bagus. Dia sangat berbakat dalam bidang musik.' batinnya saat itu. Sang ibu juga tidak khawatir lagi anaknya akan lupa menghibur diri karena sibuk membantunya sibuk bekerja seharian.

.

.

.

.

.

.

.

"Sudah, makan dulu. Kau tidak lapar Yoon?" seru Ibunya pada Yoongi. Dia tahu, anaknya sangat hobi melupakan waktu makannya. Sering begitu. Kalau tidak diingatkan.

"Ah, iya. Tadi Yewon ke tempat kerjaku." sahut Yoongi datar.

Mengusak kepala anaknya pelan seraya tersenyum geli, "Hm--- ada apa nih?" Jeda, "Dia perhatian sekali padamu, Yoon." ujar ibunya.

"Dia hanya mengantarkan makan siang untukku, bu. Tapi---- aku lupa memakannya. Akhirnya makanan itu sisa. Lalu, dibawa pulang lagi."

Sebenarnya Yoongi mengucap itu sedikit merasa bersalah. Tapi, kalau lupa siapa yang mau? Dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Salahkan perutnya, kenapa tidak ada alarm yang bisa berbunyi untuk mengingatkan waktunya makan setiap hari.

"Ah, begitu? Ibu pikir, dia gadis yang sangat baik Yoon." ujar ibunya.

Yoongi menghela nafasnya kasar, "Ah, baiklah---- aku paham betul kalau ibu sudah beralih ke topik yang begini. Aku lelah, bu. Ingin tidur."

Hampir bangkit dari sofa, wanita paruh baya itu dengan segera menahan pergelangan tangan anaknya dan menyuruh tetap duduk di sampingnya. "Mau kemana? Makan dulu, Yoon. Ibu sudah lelah masaknya lho---"

Pria itu akhirnya kembali duduk seraya memijit dahinya perlahan, "Baik, Yoongi akan makan. Tapi dengan syarat."

"Astaga Yoon, mau mengisi perut sendiri pun harus pakai syarat?" Ibunya saja bingung kenapa tubuh pria itu tidak merasa lapar sama sekali. Apalagi Yoongi nya?

"Iya" singkat Yoongi.

"Apa?"

"Jangan lagi-lagi membicarakan gadis yang bernama Yewon itu padaku. Aku bosan mendengar namanya, bu." Jeda, "Tidak ibu, tidak Jungkook, tidak Hoseok, semuanya pembicaraan kalian berujung masalah gadis itu.

Ibunya hanya tersenyum geli. Mengusak kepala Yoongi seraya menahan tawa pecahnya. Imut, sungguh. Dia tahu anaknya memiliki sikap Tsundere seperti ini. Malu-malu dengan perasaannya sendiri. Iya. Jika tidak, bukan Min Yoongi namanya.

"Ya sudah, iya. Ibu janji. Tidak membicarakan Yewon lagi." Yoongi mempoutkan bibirnya ke depan. Menekuk wajahnya marah. Ngambek.

Orang seperti Min Yoongi begini bisa marah dengan imut? Oh, jelas. Tapi khusus ke ibunya saja. Ke orang lain, tidak.

Yoongi tersenyum puas. Lagi-lagi memperlihatkan gummy smile nya pada sang ibu. "Yoon, sudah berhenti. Ingat umur." sindir sang ibu.

Wajah yang imut itu perlahan masam. Oh, mungkin aura swag nya telah menurun dari sang ibu. Ibunya baru saja bicara yang mendapat satu tatapan savage dari Yoongi. Jika ibunya saja begitu, tidak salah melahirkan anak seperti Min Yoongi begini.

"Hm, baiklah bu. Aku mau makan jika itu masakan ibu." ujar Yoongi datar.

Sang ibu mengerenyitkan dahinya, "Kenapa begitu?"

"Entah. Yang aku tahu, masakan ibu melebihi makanan semahal dan seenak apapun. Termasuk masakan orang lain." Jeda, "Hanya dengan masakan ibu yang membuatku jadi banyak makan." titah pria Min itu. Kemudian, tersenyum geli. Dia hanya menggoda ibunya.

"Astaga, Yoon! Durhaka sekali kamu menggoda ibumu sendiri."

.

.

.

.

.

.

.

~ to be continued ~