Chereads / MEMORI [HIATE] / Chapter 11 - 10. LEBIH DEKAT

Chapter 11 - 10. LEBIH DEKAT

"Clara!"

"Kak Clara!"

"Clar! Nak!"

"Kakak!"

Suara-suara itu terus terngiang ditelinganya. Clara berusaha membuka mata. Pandangannya masih kabur. Yang dia tahu hanya keringat dingin masih mengalir dari dirinya.

Mimpi apa itu, pikirnya.

Pengelihatannya mulai pulih. Papa, mama dan Ana memandang panik dirinya yang baru bangun.

"Eh? Kok papa sama mama disini juga?" tanya Clara bingung.

Tidak ada yang menjawab. Ana langsung maju dan Memeluk Clara sambil menangis, sedangkan papa merangkul dan menenangkan mama yang tampak masih sangat shock.

Clara masih tak paham apa yang terjadi saat dirinya tertidur tadi, yang dia tahu pasti hanya ketakutan nyata yang dia rasakan saat mengingat mimpi itu.

Ana memeluk dirinya kuat. Memang tidak benar-benar menghilangkan ingatan tentang mimpi itu, tapi pelukan adiknya itu membawa kehangatan dan cukup menenangkan dirinya. Clara membelai rambut adiknya lembut.

"Udah, gapapa kok dek," hiburnya.

"Hiks.. tap... i Ana masih.. takut kak," jawab Ana terisak.

"Emang barusan kenapa?" tanyanya penasaran.

Ana tak menjawab dirinya masih menangis takut sambil tetap mendekap kakaknya. Sebenarnya tidak tega dia melihat adiknya yang menangis seperti itu, namun dia tidak bisa menyangkal dia juga senang diperhatikan sampai seperti itu oleh adiknya. Adik yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan dirinya.

Kakak beruntung Tuhan ngirimin adik kaya kamu Na, batin Clara.

Mama yang sudah tenang melepas pelukan papa dan maju mendekati kedua anaknya ini. Membelai punggung Ana sambil menatap Clara lembut.

"Kamu tadi mimpi apa nak?"

"Ehmm... Kenapa ma?"

Clara penasaran dengan apa yang terjadi saat dia tertidur tadi. Kenapa mama sampai bertanya tentang mimpinya.

"Iya, kamu tadi awalnya gelisah sama keringet dingin waktu tidur."

"Untung Ana bangun," menghentikan penjelasannya sebentar mama membelai rambut Ana.

"Ana coba bangunin kamu, tapi gak bisa. Karena takut dia panggil papa sama mama."

"Waktu papa sama mama sampai sini kamu masih keliatan gelisah banget, dibangunin juga ga bisa."

"Sampe tiba-tiba kamu jerit histeris. Semua panik dan coba paksa kamu bangun," jelas Mama dengan lembut.

Setelah penjelasan yang cukup panjang dari mama, Clara akhirnya mengerti apa yang terjadi. Sebelum mulai menjelaskan mimpinya, Clara melepaskan pelukan Ana sambil membelai kepalanya lembut.

"Makasih ya dek, kakak udah gapapa kok," hibur Clara sambil tersenyum.

Clara memandang sendu pada Ana. Mungkin takut dirinya sedih, Adiknya ini menganggukan kepala lalu berusaha menunjukan senyum.

Adiknya terlihat sangat berantakan. Matanya masih sembab karena baru saja menangis.

Setelah semua sudah tenang, papa yang dari tadi diam mengambil kursi belajar untuk duduk dan meminta Clara untuk menjelaskan.

"Jadi?" Tanya papa lembut.

Clara menganggukan kepalanya dan mulai menceritakan mimpi yang dia alami. Cukup lama dirinya menjelaskan tentang mimpi yang dia alami. Setelah selesai papa menganggukan kepala dan berbicara dengan tenang.

"Papa ga bisa bilang itu cuma mimpi."

"Kadang mimpi itu bawa pertanda, jadi yang terbaik untuk saat ini kamu mulai menyiapkan hati buat kemungkinan terburuk," jawab papa mencoba untuk sebijak mungkin.

"Tapi pa, sakit banget nginget kehilangan seseorang meskipun itu cuma mimpi."

"Clara, dengerin papa. Semakin kamu sayang seseorang semakin kamu harus siap untuk kehilangan orang itu."

"Clara sayang sama papa mama?"

"Ya pasti pa."

"Ya berarti Clara juga harus menyiapkan diri buat kehilangan papa sama mama."

"Eh? Kok gitu pa?" tanya Clara panik.

"Nak, secara nalar papa sama mama pasti pergi lebih dulu kembali ke sisi Bapa."

"Loh mama kok ngomongnya gitu!"

Clara marah pada mamanya. Rasa ketakutan kehilangan yang disebabkan mimpinya tadi muncul lagi. Air mata Clara menetes.

"Clara gak suka papa sama mama ngomong gitu," lanjutnya.

Papanya tersenyum melihat reaksi Clara.

"Nak, itu sudah suratan dari sang pencipta. Kita ga diciptain untuk hidup selamanya."

"Itu kenapa papa bilang, semakin sayang kamu ke seseorang. Kamu harus semakin siap kehilangan dia."

"Kalo kamu masih bersih keras ga mau nerima itu, pada akhirnya kamu cuma akan terpuruk dalam kesedihan," jelas papa lembut.

"Tapi pa? Kan..."

"Udah intinya kamu sekarang harus belajar untuk siap. Ga mudah tapi bukan gak bisa," potong papa.

"Iya pa."

Clara tidak bisa melawan lagi. Terima atau tidak penjelasan papa memang benar.

Ana yang mulai tadi memperhatikan, menundukan kepalanya dan mulai menangis.

"Loh Ana kenapa?" tanya mama.

"Enggak ma. Maaf Ana cengeng tapi Ana ngerasa ada yang neken dada Ana denger penjelasan papa. Sakit banget ma."

"Wajar nak. Penjelasan kami ini juga berlaku buat kamu."

"Tapi Ana sedih ma, baru aja Ana bisa hidup sama keluarga yang lengkap. Ana bener-bener ga siap kalo harus kehilangan sekarang."

Papa, mama dan Clara tak bisa mengabaikan Ana. Kata-kata polosnya yang merindukan kasih sayang itu benar-benar membuat hati mereka tergugah.

Mereka mendekati Ana. Mama dan Clara memeluk Ana, sedangkan papa membelai kepalanya lembut.

"Ana gak perlu sedih ya, untuk saat ini cukup terus berdoa sama Tuhan bersyukur atas semua yang Ana punya sekarang. Niscaya Tuhan akan melindungi kami semua," jawab papa bijak.

"Iya nak, yang pasti kami akan selalu jadi keluarga kamu," mama menambahkan.

Clara hanya mendekap erat adik kesayangannya itu. Ana mengangguk dalam tangisnya. Menikmati kehangatan keluarga yang akhirnya kini bisa dia rasakan.

"Ya udah sekarang udah pagi juga. Sana Clara siap-siap, kamu ada try out kan hari ini," kata papa coba mecairkan suasana.

"Iya pa."

"Ana liburkan? Bantu mama bersih-bersih rumah ya hari ini."

"Siap ma. Tapi ajarin masak lagi ya nanti siang.hehe," jawab Ana yang sudah mulai kembali tenang mencoba tertawa.

"Haha, iya nak. Kamu ini, mama malah seneng ada yang bantu."

"Ga kayak kakakmu itu taunya makan aja," sindir mama.

"Eh! Enak aja Clara juga bisa masak!" jawab Clara sengit.

"Masak apa? Indomie?" canda mama.

"Iya itu," jawab Clara polos.

Mendengar jawaban Clara itu semua tertawa. Jawaban ringan yang mengembalikan tawa dirumah keluarga Limanto.

"Hahaha..."

"Eh, Clara serius ih!" balas Clara cemberut tidak terima.

"Haha, iya-iya. Udah ayo semua siap-siap buat kerjain tugas masing-masing. Udah mulai siang ini," tutup papa tegas.

Mendengar ini semua berdiri dan menjawab tegas sambil memberi hormat ala petugas upacara.

"Siap komandan!"

Papa hanya bisa terbengong lalu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan ketiga bidadari cantik ini.

Pagi itupun akhirnya ditutup dengan baik dan mereka semua mulai mengerjakan kewajiban masing-masing.

***

Tryout selesai kegiatan sekolah mulai kembali normal. Siang itu mereka berlima berkumpul di kantin. Setelah menjelaskan kepada Robert dan Kuin, Andre kini ikut berkumpul bersama mereka lagi.

Andre kini bahkan lebih hangat dari sebelumnya. Seakan dia mulai membuka diri, kini dia sudah mau keluar dari kelas saat istirahat.

"Eh, kalian denger ga kemaren si Reza dipindahin?" tanya Robert.

"Hah? Loh aku kira dia ga masuk karena sakit," jawab Clara.

"Sekolah nyembunyiin fakta, aku ga sengaja denger kemaren."

"Jadi si Reza ketahuan bawa obat-obatan terlarang,"

"Hah? Serius ni?" kuin tampak terkejut dengan info ini.

"Iya, ada siswa yang laporin kalo liat si Reza beli obat-obatan terlarang di orang ga dikenal senin kemarin?"

"Loh senin? Itukan pas Andre sama.." sebut Clara.

"Aku ga tau! Kan kamu tau aku habis nganter kamu terus langsung pulang."

"Kan bisa aja kamu balik."

"Yee.. ngapain capek-capek ngurusin pengecut kaya gitu."

"Aduh kalian ini! Malah ribut sih" Kuin menengahi.

"Iya, lagian bukan Andre kok Clar. Senin malem itu dia bantuin aku sama Kuin belajar lewat telepon."

"Eh! Kalian belajar bareng ga ngajak-ngajak!" kata Clara kesal.

"Bukannya kamu yang ga mau pas kita ngajakin belajar bareng Andre?" kata Kuin membalas Clara tak kalah sengit.

"Hehe.. itu kan pas si Andre ngeselin."

"Ehh... Kok jadi aku?"

"Ya kan kamu yang nyuekin aku..!"

"Ehmm ituu.."

"Hahaha.."

Kuin dan Robert tertawa melihat kelakuan dua temannya ini. Tak pernah mereka sangka jika Andre bisa jadi seperti sekarang. Tidak ada lagi sikap dinginnya yang dulu.

Istirahat siang ini dihabiskan dengan perdebatan konyol antara Andre dan Clara. Siswa-siswi disekitarnya tampak takjub kepada perubahan sikap Andre. Andre yang mereka kenal dengan 'psikopat' bisa terlihat menyenangkan seperti itu.

Dilain sisi, mengingat kasus Reza, Ana menatap tajam ke arah Andre.

***

Ana mendatangi pria itu. Nampaknya si misterius ini cukup terkejut dengan kedatangan Ana.

"Eh, Ana? Tum.."

"Kakak kan!" potong Ana.

"Hah?"

"Yang laporin kak Reza."

"Oh, yah kamu tau sendiri."

"Kakak ngapain si cari bahaya kaya gitu!"

"Ya bukan gitu sih Na."

"Jelasin!"

"Hahh.. Iya."

"Sini kamu duduk dulu."

Ana duduk dikursi yang diberikan si misterius. Si misterius pun menceritakan semua yang terjadi senin kemarin.

"Eh? Tubuh kak Clara?" potong Ana saat si misterius menceritakan detail kejadiannya.

"Iya, ya kamu tau kan maksud kakak, itu.. semacam hal 17+ gitu.. ah itulah pokoknya," jawabnya canggung.

"Oh! Iya-iya maaf, Ana paham.. hehe," jawab Ana malu-malu.

"Terus kakak sebenernya mau biarin karena dia milih untuk ga memperpanjang masalah."

"Tapi ya gitu, kakak ga sengaja liat transaksi itu."

"Awalnya mau kakak biarin, tapi kalo dibiarin takutnya malah ntar nular ke anak-anak lain."

"Ya gitu ceritanya akhirnya kakak putusin buat laporin kepala sekolah," jelas si misterius detail.

"Tapi kok dia baru dikeluarin kak? Kan kakak laporannya selasa?"

"Ya buat nyembunyiin identitas kakak."

"Kalo langsung dikeluarin kan ketahuan kakak yang lapor," jelasnya lagi.

"Oh, ngerti-ngerti. Ternyata kepala sekolah cerdas ya!" puji Ana polos.

"Ya iyalah, kalo lola(loading lambat) kaya kamu mana bisa jadi kepala sekolah. Hahaha.."

"Ih! Enak aja! Inget siapa paralel satu kelas X!" jawab Ana sombong.

"Hahaha.. iya iya, kakak cuma bercanda," kata si misterius tertawa sambil mengacak-acak rambut Ana.

"Ih kakak!"

"Hahaha."

"Ya udah kak Ana paham. Ana pulang dulu ya, takut dicariin," pamit Ana.

"Iya. Kamu hati-hati ya."

"Iya makasih kak."

Ana pun pulang kerumah.

Sampai kapan kakak harus sembunyi dari kak Clara, batin Ana.

***

Clara sedang sibuk dengan latihan soalnya saat Ana datang, bahkan dirinya tak menyadari ketika Ana masuk ke kamarnya. Ana langsung merebahkan diri di tempat tidur Clara.

Bugh..

Clara terkejut.

"Eh dek? Udah dateng. Dari mana kamu?"

"Kakak tu serius amat belajarnya, aku masuk sampe ga tau."

"Hehe, ya maaf. Dari mana? Tadi kakak mau ajak pulang bareng ga ada."

"Mampir rumah temen kak."

"Oh, udah mulai punya temen lagi? Haha"

"Weee... Ngejek nih! Udah dong. Siapa sih yang ga mau temenan sama cewek cantik, imut bin pinter macem Ana," katanya sombong.

Mendengar ini, Clara bangun meninggalkan latihan soalnya dan menyerang Ana. Beberapa bulan Ana menjadi adik Clara, dirinya tahu kelemahan terbesar adiknya itu. Adiknya tidak tahan di gelitik di pinggang.

"Hahaha... Iya kakak lupa," katanya sambil terus menggelitik pinggang adiknya.

"Hahahah. Hahah.. haammm.. haha.. pun.. kak," jawab Ana memohon ampun sambil tertawa kegelian.

Melihat adiknya sudah menyerah Clara menghentikan kejahilannya.

"Ih k...akak ih," kata Ana masih kesulitan bernapas.

"Hehe, mau lagi," ancam Clara sambil melakukan ancang-ancang.

Melihat dirinya terancam, Ana buru-buru menggelengkan kepalanya sambil mohon ampun.

"Nggak kak nggak.. ampun ampun!"

Melihat ekspresi ketakutan adiknnya Clara tertawa terpingkal.

"Hahaha"

"Kakak!" kata Ana kesal sambil memasang wajah cemberutnya.

Tak tahan dengan keimutan sang adik, Clara mengacak-acak rambut adiknya.

"Ih kakak, udah ah Ana mau ganti baju dulu," katanya pergi.

"Hahaha," Clara hanya bisa tertawa jahil melihat tingkah kekanakan adiknya itu.

Puas tertawa, Clara berdiri, berjalan menuju meja belajarnya berniat mengerjakan beberapa latihan soal lagi.

Belum sempat sampai di meja belajarnya, hpnya ditempat tidur berbunyi tanda ada panggilan masuk. Dia kembali merebahkan diri ditempat tidur. Mengambil hpnya dia mengecek panggilan masuk itu. Andre.

"Tumben," gumamnya.

Clara mengangkat telponnya.

"Halo Ndre."

"Oh halo. Loh kok.."

"Kenapa?"

"Aku yang nelpon kok jadi kamu yang manggil duluan."

Clara terkikik mendengar candaan Andre, tak pernah terpikir olehnya sahabatnya punya selera humor seperti ini.

"Hihihi... Penting ya?" jawabnya sambil terkikik.

"Ngga juga sih.. hehe."

"Ya udah.. hahaha.. kamu ini ada-ada juga."

"Lagi apa Clar? Ga ganggu kan?"

"Ganggu sih.. barusan aku mau kerja latihan soal."

"Eh... Sory-sory ganggu. Kalo gitu aku tutup ya," jawab Andre panik.

"Eh... Enak aja main tutup!"

"Hah?"

"Ih ga peka! Lupakan! Kamu ada perlu apa telpon?" jawab Clara berubah ketus.

"Eh kok kaya ngambek gitu."

"Bodo!"

"Hah? Ya intinya aku mau ngajak kamu jalan sabtu besok," lanjut Andre tidak mempedulikan keketusan Clara.

...

"Ehh! Kamu ngajak aku jalan?" Ana yang awalnya kesal karena Andre yang tidak peka melembut.

"Iya, tadi Robert sama Kuin ngajakin aku billiard besok."

"Karena aku ga mau jadi obat nyamuk ya aku ngajak kamu juga," jawabnya tenang.

Clara memutar matanya kesal. Tidak pernah dia sangka akan menemukan cowok super ga peka dan terlalu jujur kaya Andre.

"Ohh.. diajak mereka. Iya udah deh, besok ya!" jawabnya kembali ketus.

"Hah? Oh iya. Ok! Ya udah ya."

Tuttt

Belum sempat Clara menjawab panggilannya sudah diputus. Clara mendengus kesal. Dirinya benar-benar tidak paham dengan cowok yang satu ini.

"Ya ampun...."