Pagi ini Meta tampak tersenyum riang. Akhirnya, setelah dua hari bekerja dia memakai seragam kerja yang benar-benar pas di badannya. Benar-benar sesuai dengan gayanya. Setelah dia beberapa kali memastikan di depan cermin jika ia pantas. Lantas ia tersenyum sinis, kali ini bosnya sudah tak akan memiliki celah untuk mengolok-oloknya lagi. Terlebih, membuantnya menjadi pegawai paling tak berguna di dunia. Meta kembali tersenyum miring, dia benar-benar akan membalas dendam atas apa yang kemarin dilakukan bosnya. Dan akan membuat bos tengilnya itu bertekuk lutut, dan meminta maaf kepadanya dari apa yang telah ia lakukan dua hari ini.
"Eh perawan tua, ngapain lo senyam-senyum depan kaca? Kesurupan lo?" kata Kinan sembari melempar kaus kaki ke arah Meta.
Dia kemudian memandang sekeliling kamar Meta, tak tercium bau apek lagi, tak terasa pengap lagi. Bahkan bau kamarnya kini sudah kembali wangi. Kinan tersenyum, ternyata bekerja adalah hal efektif untuk menormalkan otak Meta. Terlebih, suasana kamar Meta sekarang sudah kembali seperti dulu. Sudah benar-benar bersih, dan barang-barangnya tertata dengan rapi. Tak seperti beberapa bulan lalu, bau kaus kaki, dan pakaian kotor berserakan di mana pun. Semua tampak kotor, memenuhi ruangan. Terlebih, bercampur dengan bungkus makanan ringan yang dibuang dengan cara sembarangan.
"Buruan gila, ini jam berapa? Keburu entar lo diomelin Pak Yoga," dengus Kinan lagi.
Meta mengibaskan rambut panjangnya, kemudian dia memandang ke arah Kinan dengan percaya diri, "emangnya dia berani gituin gue lagi?" katanya percaya diri. Berjalan sambil berlenggak-lenggok penuh percaya diri.
Kinan memutar bola matanya, tapi dia tak menanggapi ucapan percaya diri Meta. Sementara Mbak Tanti yang baru saja keluar kamar, tampak terkejut dengan apa yang dilakukan Meta. Buru-buru Kinan melotot ke arah Mbak Tanti, kemudian mengisyaratkan untuk Mbak Tanti tidak mengatakan apa-apa.
Sementara Mbak Tanti bertanya apa yang terjadi kepada Meta tanpa suara. Agaknya, dia cukup terkejut, dengan perubahan drastis yang dialami oleh Meta. Dan Kinan menanggapinya dengan menaruh telunjuknya di depan kepala. Yang menandakan, jika Meta sedang tidak waras.
******
"Elo Meta, kan?" tanya seseorang saat Meta berdiri di depan lift. Meta hanya mengangguk sekadarnya, sembari menghentakkan kakinya menunggu lift terbuka.
Sementara, Kinan pamit pergi ke toilet dulu, jadi dia tak bisa naik lift bareng Meta untuk saat ini.
Meta melirik cowok yang ada di sampingnya dengan seksama. Pakaiannya rapi, bahkan memakai jas. Sebuah dasi tampak melingkar manis di lehernya. Rambutnya klimis, jika dilihat dari film-film yang pernah ia tonton, cowok tipe ini adalah cowok kaya. Bisa jadi, cowok ini memegang jabatan cukup tinggi di perusahaan ini.
Meta tersenyum lebar dengan spontan, seolah-olah menandakan jika dirinya adalah sosok wanita yang ramah. Dia tak mau dijuluki cewek ketus, terlebih judes di perusahaan ini. Biar bagaimanapun dia adalah pegawai baru.
"Iya, ada apa, ya? Lo kenal gue?" tanyanya, masih dengan senyum lebarnya. Dia sedang membayangkan, bagaimana cocoknya dirinya bersanding dengan cowok ini. Pasti masa depannya akan cemerlang. Kemudian, khayalan-khayalan panas tercetak dengan sangat apik di otaknya, membuatnya senyum-senyum sendiri.
"Gue Bian, kenalannya Kinan, sepupu dari Yoga," jawab Fabian dengan senyum tipisnya. "Ayo, masuk lift bareng gue," lanjutnya.
Mendengar penuturan itu, senyum Meta langsung memudar, kemudian ia memandang Fabian lagi dari atas ke bawah. Bian? Bian yang sahabat dari Kinan itu, kan?
"Elo cowoknya Kinan?" tebak Meta. Meski dia tahu kalau Meta saat ini masih berpacaran dengan Glenn, tapi dia tak tahu apa yang Kinan lakukan sekarang. Terlebih, ketika ada cowok sekelas Fabian memperkenalkan diri sebagai sahabat Kinan. Bisa jadi, Kinan di perusahaan ini mengaku single dan berpacaran diam-diam dengan cowok yang ada di sampingnya ini.
Fabian langsung tertawa, bersamaan dengan pintu lift tertutup, "bukan... bukan, kita temenan aja, kok. Lagian dia udah ada cowok,"
"Oh," jawab Meta, seolah paham. Dan rupanya, Fabian ini tahu betul kalau Kinan sudah punya cowok. Jadi kira-kira Meta bisa menebak, sedekat apa hubungan persahabatan Kinan, dan Fabian.
"Elo tahu, kan, kalau gue yang ngerekomendasiin elo buat kerja di sini?" tanya Fabian lagi, seolah memberitahu jika Meta memiliki satu hutang budi besar terhadapnya.
Meta kembali tersenyum, tapi dia tak menjawab apa pun. Dia terus berpikir, untuk apa cowok ini memperjelas hal itu? Apakah dia tak ikhlas membantunya untuk mendapatkan pekerjaan? Ataukah Fabian berharap jika ia diberikan bingkisan sebagai ucapan terimakasih? Toh Meta tak merasa meminta tolong pada Fabian, terlebih merengek untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.
"Nggak ada gitu elo bilang makasih ama gue?" tanyanya lagi, yang berhasil membuat Meta berdecak.
"Gue nggak mau bilang makasih," katanya.
"Kenapa gitu?"
"Karena gue nggak ngerasa minta bantuan elo," jawab Meta lagi. Melenggang mendahului Fabian saat pintu lift terbuka.
Fabian tersenyum sendiri mendengar jawaban Meta. Setelah menggigit bibir bawahnya, dia pun menggeleng.
"Menarik juga," gumamnya.
Sementara itu, Meta berjalan semakin cepat. Jantungnya tiba-tiba berdetak tak karuan mana kala ia tak melihat meja kerjanya tak ada di mana pun. Meja kerja, dan seperangkat ruangangannya yang mungil hilang. Apa dia dipecat sama bosnya? Atau apa?
"Ruangan gue! Ruangan gue mana!" pekik Meta yang tampak mulai panik.
Fabian yang berjalan ke arahnya pun ikut mencari-cari dengan ekor matanya. Benar, ruangan Meta tidak ada.
"Maaf, Mbak Meta..." kata Pak Cipto yang berhasil membuat Meta menoleh. Dengan cepat Meta langsung mendekat ke arah Pak Cipto, dia benar-benar panik bukan main.
"Pak, ruangan saya mana, ya? Ruangan saya kok hilang? Apa... apa jangan-jangan saya dipecat?" selidik Meta. Tubuhnya sudah panas dingin, rencananya untuk membuat bosnya jera sudah kalang-kabut entah di mana. Yang sekarang ia butuhkan adalah ruangannya, akan tetapi ruangannya menghilang dari tempatnya.
Pak Cipto tersenyum ramah, dan itu malah semakin membuat Meta geram dibuatnya. Bagaimana bisa, Pak Cipto malah tersenyum di situasi sedarurat ini? Apakah Pak Cipto juga sama seperti bosnya, yang akan bahagia melihat Meta menderita?
"Sama sekali tidak, Mbak. Mbak Meta tidak dipecat. Hanya saja ruangan Mbak Meta sekarang dipindah," jelas Pak Cipto.
"Dipindah ke mana, ya, pak?" tanya Meta bingung.
Sebab di lantai ini hanya ada beberapa ruangan komisaris perusahaan, dan jabatan tertinggi lainnya. Kemudian ruang rapat. Lantas, di ruang mana kira-kira Meta dipindah? Apakah ruangan Meta dipindahkan ke ruangan rapat yang ada di ujung sana? Tapi, itu benar-benar jauh dari ruangan bosnya berada.
"Meja kerja Mbak Meta, dipindah Pak Yoga ke dalam ruangannya."
"Apa?!" kini bukan hanya Meta, tapi Fabian juga. Memekik kaget mendengar jawaban dari Pak Cipto.
"Kok bisa, Pak? Elo nggak becanda, kan? Yoga, berbagi ruangan ama seketarisnya? Serius?" seloroh Fabian. Dia benar-benar paham siapa sepupunya itu, bahkan berbagai ruangan dengannya pun Yoga enggan. Yang Fabian tahu selama ini, ruangan Yoga adalah ruangan privasi baginya. Hampir bisa dihitung dengan jari, siapa saja yang boleh masuk di ruangan itu. Itu pun berwaktu, tidak boleh lebih dari lima menit, tentunya.
"Saya serius, Pak Fabian. Anda, dan Mbak Meta bisa mengecek sendiri langsung ke ruangan Pak Yoga."
Ragu-ragu, Meta, dan Fabian pun masuk ke ruangan Yoga. Mereka terperangah dengan apa yang mereka lihat. Meja kerja Meta benar-benar berada di dalam ruang kerja Yoga. Berada tepat di sebelah kiri, dan menghadap ke barat.
"Ini bener-bener aneh," gumam Fabian. Mengelus dagunya yang berjenggot. Dan dia baru menemukan keanehan ini selama ia kenal dengan seorang bernama Prayoga Mahardika.
"Pak Yoga," kata Pak Cipto. Yang berhasil membuat yang lain menyingkir, memberi jalan pada siempunya ruangan untuk lewat.
Yoga hanya melirik sekilas, tatapannya dingin, dan tajam. Namun tanpa minat, kemudian ia duduk, mengabaikan orang-orang yang sudah sedari tadi berdiri di depan pintu.
"Ga, elo kenapa jadiin satu ruangan elo ama Meta? Bukannya elo paling anti kalau ada orang luar masuk ke ruangan elo, ya? Apalagi jika berlama-lama. Heran gue," kata Fabian. Kemudian, ia duduk sambil menyilangkan kakinya. Berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan dari mulut Yoga.
Sementara Yoga hanya melirik Meta dengan tatapan jauh lebih dingin, kemudian mengabaikannya.
"Aku hanya tidak mau, orang tidak berguna berbuat ulah, dan mempermalukan nama perusahaan," jawab Yoga. Yang berhasil membuat Meta kaget.
Membuat ulah? Meta mencoba memutar otaknya, apa ulah yang telah ia perbuat sampai mempermalukan perusahaan? Apa karena kejadian di hotel kemarin? Lalu apa hubungannya dengan pemindahan tempat kerjanya seperti ini? Meta benar-benar tak mengerti.