Sementara itu Fabian hanya tersenyum, dia benar-benar tak habis pikir. Terlebih setelah mendengar jawaban yang tak nyambung dari Yoga. Apa hubungannya? Hal itu terus aja berkutat di otaknya. Namun demikian, dia tak berniat untuk bertanya lebih jauh. Karena dia paham, jika Yoga paling tak suka ditanyai.
"Jika kamu tidak ada kepentingan di sini, bukankah lebih baik kamu kembali bekerja?" sindir Yoga.
"Aku hanya ingin bertemu sepupuku, apa itu salah?" tanya Fabian, menggoda Yoga.
"Aku tidak mau ketemu kamu," ketus Yoga.
Ujaran-ujaran ketus itu, jika didengar orang lain mungkin akan terkesan sangat jahat. Namun bagi Fabian itu tak lain hanyalah gurauan dari Yoga. Sebab, sedari dulu ucapan Yoga memang selalu seperti itu.
"Becca ulang tahun, lo disuruh dateng ntar malem," ucap Fabian.
Sebuah penekanan saat Yoga meletakkan bulpennya berhasil membuat semua orang melirik ke arahnya. Meski begitu Yoga masih memandang lurus dokumen yang ada di tangannya.
"Aku tidak mau," tolak mentah-mentahnya.
"Kalau lo nggak mau dia nggak mau pulang sampai lo dateng,"
"Coba saja,"
Meta tampak menggigil mendengar ucapan-ucapan dingin dari Yoga. Dia melirik ke arah Pak Cipto yang rupanya telah tersenyum ke arahnya. Sepertinya, orang-orang ini telah terlalu terbiasa oleh Yoga. Itu sebabnya ucapan sepedas itu bagi mereka adalah wajar.
Setelah menahan napas, Meta pun memutuskan untuk duduk. Mengabaikan perbincangan itu, dan fokus pada pekerjaannya. Meski sesekaki ia melirik sekilas, saat Fabian bicara panjang lebar, sementara Yoga benar-benar mengabaikannya. Lagi, Meta menghela napas panjang, dia benar-benar tak menyangka jika akan melihat pemandangan paling mengenaskan seperti ini.
"Jika mata Anda sudah selesai bekerja, bukankah lebih baik digunakan untuk memeriksa file-file yang telah saya kirim?" sindir Yoga. Tepat setelah Fabian pergi dari ruangannya. Meta tampak kelabakan, dia buru-buru memperbaiki posisi duduknya kemudian lurus-lurus memandang komputer fi depannya. "Dasar tak berguna,"
Andai bisa, Meta benar-benar ingin melempar bosnya itu dengan komputer yang ada di depannya, atau jika tidak dia akan memberikan racun tikus kepada minumannya. Dia benar-benar tak menyangka, jika ada manusia paling aneh sedunia bernama Yoga.
*****
"Dokumen ini bisa Bapak tanda tangani?" Meta mendekat ke arah Yoga sambil membawa berkas-berkas yang dimaksudkan. Tanpa sengaja, pinggulnya menyentuh punggung tangan Yoga, dan pria itu langsung menepisnya. Mengambil tisu, kemudian membersihkan punggung tangannya.
Meta mencibir, merasa tak terima dengan perlakuan Yoga, dia pun dengan sengaja menyenggol lengan Yoga. Sontak cowok itu langsung menghindar, dan menatapnya dengan tajam.
Brak!!!
Meta nyaris melompat, saat dokumen yang baru saja ia serahkan itu dibanting ke meja. Tatapan Yoga dingin, tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Ada apa, Pak?" tanya Meta hati-hati. Saat ini dia menjadi takut kalau akan dibunuh oleh Yoga.
"Dasar tak berguna," geram Yoga.
"Apa? Anda bilang saya tidak berguna? Bagian dari mana yang tak berguna itu, Pak?" tanya Meta, emosinya benar-benar tersulut karena ucapan pedas Yoga.
Yoga kemudian melempar dokumen itu sampai tercecer di lantai, kemudian memicingkan matanya kepada Meta dengan tajam.
"Apa mata Anda sudah buta untuk melihat betapa menjijikkannya kertas-kertas itu? Anda hanya perlu membawanya dari meja Anda ke meja saya, tapi dengan kondisi kertas yang sangat menjijikkan," kata Yoga lagi.
Meta mengamati 'kertas menjijikkan' yang dimaksud Yoga. Rupanya, ada beberapa kertas yang tak sengaja terlipat di sana. Apa hanya karena itu atasannya marah?
Meta hendak membantah, tapi ia kembali berpikir, jika dia terus membantah pasti Yoga akan benar-benar menendangnya dari perusahaan sekarang juga.
"Maaf, Pak, saya printout kan lagi," putusnya kemudian. Memunguti kertas-kertas itu kemudia membawanya kembali ke mejanya.
Meta mengembuskan napas berat, ini sudah waktunya makan siang, dan Yoga tak ada tanda-tanda keluar dari kantor. Apakah cowok itu benar-benar tidak makan siang? Atau dia telah memesan makanan dari luar?
Dahinya Meta pun berkerut, dia bingung sekarang. Jika dia keluar, apa itu pantas. Apa Yoga mengizinkan?
Lagi, Meta menghela napas panjang. Dia sudah kelaparan karena pekerjaannya. Dan dia sudah tidak tahan untuk itu. Buru-buru ia mengambil ponselnya, kemudian menelepon Kinan.
"Hallo, Kin? Elo udah makan siang belum?" tanyanya setelah sambungan telepon terhubung.
"Belum, Met, ada apa?"
"Bareng yuk, gue segera turun, ya--"
Brak!!!
Meta langsung terjingkat saat mendengar bulpen Yoga diletakkan dengan begitu keras. Cowok itu tatapannya sangat tajam, dan mengintimidasi, dan untuk sesaat pandangannya kembali kepada file-file yang ada di tangannya.
"Tidak tahu malu," celetuk Yoga. Yang berhasil membuat Meta semakin melotot.
"Hallo, Met, ada apa? Lama bener," kata Kinan di seberang.
"Eh, nggak usah, Kin. Gue nggak jadi ikut makan siang, ya, dah!"
Meta langsung menutup teleponnya, kemudian meletakkan kembali ponselnya di meja.
Meta sama sekali tak mengerti, kenapa Yoga bisa seperti itu. Ini hanya masalah makan siang, toh pekerjaan bisa dilakukan setelahnya. Tapi Meta tak bisa protes, dilihat dari raut wajahnya Meta tahu jika Yoga sedang dalam kondisi mood yang buruk. Lagi, Meta menghela napas panjang. Sepertinya dia harus mengalah sekarang.
"Pak Yoga, sekarang waktunya jam makan siang, Pak," Pak Cipto datang, mengingatkan Yoga.
Sementara Yoga, hanya meliriknya sekilas, kemudian kembali sibuk dengan beberapa pekerjaan lainnya. Tanpa jawaban, ucapan Pak Cipto bagaikan angin lalu. Untuk kemudian, Pak Cipto menangkap sosok Meta juga masih duduk, dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Lho, Mbak Meta tidak makan siang?" tanya Pak Cipto.
Meta menggeleng, dengan senyuman hangatnya. Kemudian, ia berdiri hendak meminta tanda tangan kepada Yoga. Namun tiba-tiba kepalanya terasa pusing, sampai langkahnya terhuyung ke belakang.
"Mbak Meta kenapa? Mbak Meta sakit?" tanya Pak Cipto dengan nada cemas.
"Tidak apa-apa, Pak. Hanya sedikit pusing,"
"Kalau begitu saya ambilkan teh, dan cemilan dulu, ya, Mbak."
Setelah menuntun Meta, Pak Cipto buru-buru menyuruh OB untuk menyiapkan cemilan, dan teh hangat manis untuk Meta. Sebenarnya dia tahu kalau Meta belum sarapan sedari pagi, pasti karena itu Meta sampai pusing.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.05 dan pekerjaan Yoga, dan Meta baru saja selesai secara bersamaan. Meta menghela napas lega, kemudian ia beranjak dari kursinya. Berjalan terburu menuju lift karena ia ingin segera pulang, dan makan.
Namun sayang seribu sayang, saat ia menunggu lift, bosnya sudah berdiri di sampingnya. Tampak menunggu lift khusus atasan itu terbuka. Sementara di belakangnya Pak Cipto berdiri dengan sangat patuh.
Meta mendengus, sampai detik ini liftnya tak kunjung terbuka, sementara lift bosnya sudah terbuka dengan sempurna. Kepalanya pusing, dia ingin benar-benar pulang sekarang.
"Mbak Meta, sekalian ke sini saja. Lift itu kebetulan sedang macet," kata Pak Cipto.
Meta tampak memandang Yoga ragu-ragu, namun bosnya itu tak acuh. Kemudian membuat Meta menyetujui tawaran Pak Cipto. Masuk ke dalam lift khusus untuk pegawai-pegawai dengan jabatan tinggi.
"Oh ya, saya lupa mengambil beberapa berkas," kata Pak Cipto lagi, yang berhasil membuat Yoga melirik, dan Meta melotot tak percaya. "Saya ambil dulu, Pak, silakan tunggu saya di bawah."
"Tidak perlu kutunggu?" tanya Yoga lagi, tampak jelas jika dia kurang nyaman berdua dengan Meta.
Pak Cipto tersenyum tipis, kemudian dia menggeleng, "tidak perlu, Pak." katanya. Keluar dari lift kemudian lift itu pun tertutup.