Pagi ini kamar Yoga tampak kedatangan tamu, sosok yang sampai detik ini masih berbaring di atas ranjangnya. Tertidur dengan pulas, setelah dini hari tadi diberi beberapa suntikan oleh dokter pribadi Yoga. Tidak ada yang serius, kata Pak Wijaya--sang dokter. Hanya saja asam lambung Meta saat itu sedang naik, mungkin karena kelelahan, dan sedari pagi menurut Pak Cipto Meta belum sempat sarapan. Dan itu berhasil membuat kondisi Meta drop. Yoga melirik di nakas samping tempat tidurnya, ada vitamin yang ditaruh di sana. Entah Pak Cipto, atau bahkan dokter pribadinya itu semalam datang. Karena dia tak tahu apa yang telah terjadi semalam.
Kemudian, Yoga sibuk di pentri, setelah melirik sosok di atas ranjangnya masih terlelap. Segelas jus, dan sandwich sudah tersedia, kemudian Yoga menaruhnya di meja samping ranjangnya. Beberapa saat ia memeriksa ponselnya, barang kali hari ini ada jadwal rapat, dan lain sebagainya. Untuk kemudian, ia memutuskan ke ruang sebelah untuk mencari beberapa keringat.
Lagi, Yoga tersenyum sebelum beranjak pergi. Seharusnya ia tak melakukan sejauh ini, seharusnya ia tak membawa perempuan tak berguna itu di sini, sampai akhirnya semua kewarasannya menjadi salah kaprah.
Meta mengerjapkan matanya, ia menyapu seluruh ruangan yang ia tempati sambil tertegun. Tirai menjuntai panjang berwarna abu-abu menutup jendela kaca panjang di sisi kiri, dan sebuah jam dinding terpajang manis di sisi kanannya. Meta kembali meneliti, ruangan catkan putih itu tampak asing di matanya. Ini bukan kamar Kinan, bukan kamar Mbak Tanti, atau pun kamarnya. Sebuah selimut hangat membalut tubuhnya, saat suhu AC terus bergelut mencoba menembus kulitnya, dan ranjang ini, ranjang besar ini....
Meta menarik selimutnya ke bawah, ia kembali tertegun saat tahu jika saat ini dia mengenakan sebuah kemeja berwarna putih, kemeja dengan kancing-kancingnya tak beraturan, dan kemeja tanpa bawahan. Meta sontak mencari-cari, di mana gerangan pakaian yang terakhir ia kenakan. Rupanya pakaian itu berada di sofa kamar ini.
Otak Meta berusaha mencari tahu jawabannya, kemudian dia kembali tertegun dengan peristiwa yang dialaminya di lift. Jantungnya terpacu hebat saat ia tahu jika semalam dia berciuman dengan bosnya, Yoga.
Meta lantas terperanjat, wajahnya merah padam mengingat kejadian mengerikan itu semalam. Dia benar-benar malu bukan main, terlebih setelah dia mengata-ngatai bosnya sampai seperti itu. Apakah setelah ini dia akan selamat? Atau malah riwayat hidupnya akan benar-benar sudah tamat? Meta benar-benar tidak tahu!
"Permisi, Non,"
Meta menoleh saat mendengar suara itu, seorang wanita paruh baya tampak tersenyum penuh arti ke arahnya. Wanita itu memakai seragam layaknya pelayan sebuah istana. Setelah mengambil pakaian Meta wanita itu melirik kemeja yang dikenakan Meta, melirik meja sebelah ranjang Meta yang sudah tersedia sarapan, kemudian wanita itu tersenyum lagi.
Apa yang salah? Tanya Meta pada dirinya sendiri, sambil kembali menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia sangat malu.
"Apa yang terjadi ama gue? Kenapa gue bisa berganti pakaian? Siapa yang gantiin pakaian gue? Ini di mana? Kok bisa gue ada di sini? Apa... apa Yoga sialan itu merkosa gue? Dia tergiur dengan bagaimana montok, dan seksinya gue jadi gue dijebak di sini dan diperkosa sampai pagi saat gue nggak sadarkan diri? Oh, no!!" teriak Meta frustasi.
Tamat, tamat riwayatnya sekarang. Dia telah dinodai laki-laki tak bertanggung jawab seperti Yoga. Bahkan dia telah mendambakan bagaimana ia akan melepas mahkota hidupnya dengan panas, dan penuh gairah. Tapi nyatanya kini....
"Maaf--"
"Dasar cowok nggak tau diri!" teriak Meta.
"Maaf, Mbak Meta?"
Meta langsung mendongak, ternyata sosok yang ada di kamar itu ada Pak Cipto. Meta pun menelan ludahnya yang mendadak kering. Apa, apakah yang merkosanya adalah Pak Cipto? Lantas Meta menggeleng kuat, ia yakin jika Pak Cipto bukan laki-laki seperti itu.
Meta terus mengacak rambutnya frustasi, berusaha sekuat tenaga untuk mengingat apa yang telah terjadi semalam. Namun nyatanya, nihil! Dia bahkan tak mengingat apa pun, selain ciuman panas yang dilakukan Yoga kepadanya.
"Ini di mana, Pak? Kenapa saya ada di sini? Siapa yang gantiin pakaian saya? Terus makanan itu buat saya?" tanya Meta bertubi-tubi.
Pak Cipto tersenyum maklum, perempuan mana yang tidak bingung dengan semua ini. Bahkan, dia pun sangat bingung meski ada rasa bahagia menyeruak dari hatinya.
"Semalam Mbak Meta pingsan, jadi Pak Yoga membawa Mbak Meta ke apatermennnya. Kemudian, Pak Yoga memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa Mbak Meta, kemudian Mbak Meta siuman sekarang,"
"Cuma itu? Tidak ada yang lain? Lalu pakaian saya, kenapa ada di sana, Pak?" selidik Meta lagi. Dia benar-benar kurang puas dengan jawaban Pak Cipto.
"Maaf, Mbak, selebihnya saya tidak tahu. Karena setelah itu saya pulang,"
"Mungkin Ibu-Ibu tadi, Pak yang mengganti pakaian saya?" tanya Meta lagi.
"Ibu tadi ke sini hanya pagi jam 06.30 dan sore jam 16.30 untuk membersihkan apartemen ini, Mbak. Jadi kalau malam, dia tidak datang," jelas Pak Cipto masih dengan nada ramahnya.
"Aduh," keluh Meta.
Dia benar-benar ingin menangis sekarang, bagaimana bisa dia seceroboh ini. Jika benar apa kata Pak Cipto, berarti benar yang mengganti pakaiannya adalah Yoga, yang menyiapkan sarapan adalah Yoga. Dan Yoga, yang memperkosanya?
"Saya benar-benar bangga dengan Mbak Meta...," kata Pak Cipto lagi. Meta diam, sambil memandang Pak Cipto dengan sebal. "Baru Mbak Meta, satu-satunya wanita yang dibawa oleh Pak Yoga ke apartemennya. Satu-satunya sekertaris yang boleh berbagi ruangan dengan Pak Yoga, satu-satunya sekertaris yang kuat dengan sikap-sikap kasar Pak Yoga. Semoga ini menjadi awal yang baik, ya, Mbak."
"Hah?" kata Meta seolah tak percaya. Dia benar-benar bingung, bagian mananya yang menjadi awal baik dari semua hal ini?
Pak Cipto, dan Meta menoleh saat siempunya kamar masuk ke dalam. Melirik Meta sekilas kemudian berjalan menuju lemari pakaian. Sementara Pak Cipto, memilih pergi, dan menutup kamar itu dari luar.
Jantung Meta benar-benar berdetak dengan sangat kencang, dia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan. Saat ini, dia hanya berdua di kamar Yoga, dan dia dengan pakaian yang mengerikan ini. Meta benar-benar takut akan hal itu.
"Saya--"
"Mintalah antar pulang Cipto, sebelum teman-temanmu tahu kalau kamu tidak pulang semalam. Untuk sementara, pakaianmu sedang dicuci sama Bik Nah,"
"Bisa Anda jelaskan apa yang telah terjadi semalam? Kenapa saya bisa berpakaian seperti ini? Siapa yang mengganti pakaian saya?" tanya Meta pada akhirnya.
Yoga tersenyum, setelah mengambil sebuah handuk dari dalam lemari, kemudian ia bersandar di sana, memandang Meta dengan tatapan dinginnya itu.
"Simpel saja, pakaianmu basah saat itu, jadi aku menggantinya. Dan kamu tidak usah sombong, sebab tubuh anehmu tidak akan pernah bisa membuatku tergoda untuk menyentuhnya sama sekali."
Yoga lantas melangkah ke kamar mandi, tapi kemudian dia kembali lagi. Bersedekap sambil memandang Meta yang sudah tampak emosi itu lekat-lekat.