Chereads / Wanita Sang Boss / Chapter 5 - Hilangnya Kewarasan

Chapter 5 - Hilangnya Kewarasan

Meeting pertama yang Meta lakukan bersama bos di sebuah hotel berbintang. Dia tidak heran di mana ia akan meeting, mengingat bagaimana perusahan tempatnya bekerja, itu adalah hal yang sangat wajar. Hanya saja, selama perjalanan Meta tak diajak bicara sepatah kata pun, bahkan untuk membahas masalah meeting nanti pun tidak. Ini adalah kali pertama dia bekerja sebagai sekertaris, dan dia benar-benar awam dengan hal itu. Tapi sepertinya atasannya tak peduli, karena selalu menginginkan sempurna adalah fokus utamanya.

"Mbak Meta silakan turun," kata Pak Cipto.

Meta lantas turun, kembali mengekori Yoga, dan Pak Cipto. Menuju sebuah ruangan private yang telah disediakan oleh bagian hotel. Seorang laki-laki ada di sana, kemudian seorang wanita pun juga. Berdiri saat melihat Yoga, dan rombongannya datang. Menampilkan senyum mereka, sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Sebuah keberuntungan, diberi kesempatan untuk bertemu dengan pemilik perusahaan paling maju di sini...," kata laki-laki itu. "Silakan duduk, Pak."

Yoga pun duduk, kemudian Meta mengikuti langkahnya dengan duduk di sampingnya. Bahasa tubuh yang tampak percaya diri dengan pakaian seperti itu, benar-benar membuat Yoga terus mengusap wajahnya dengan kasar. Jujur, dia benar-benar sangat terganggu dengan itu.

"Mari kita bahas pekerjaan kita," kata Yoga.

Tanpa basa-basi, dan dengan perkataan yang sangat singkat. Meta menahan napasnya, melirik ke arah Yoga. Kenapa sampai banyak yang ingin bekerja sama dengan cowok model seperti Yoga? Meta benar-benar tak mengerti. Atau karena perusahaan Yoga adalah perusahaan nomor satu untuk saat ini, jadi perusahaan lain tidak akan peduli. Mau bosnya semengerikan Yoga pun, mereka akan dengan senang hati menawarkan promosi agar setidaknya mendapatkan investasi yang mumpuni untuk membantu mendompleng kelangsungan hidup perusahaan mereka.

"Omong-omong, Pak. Pak Yoga pintar memilih sekertaris, kalau saya punya sekertaris seperti sekertaris Bapak, saya akan betah tinggal ke kantor,"

Meta langsung melotot saat rekan bisnis Yoga mengatakan hal itu, dengan tatapan nakal laki-laki itu tersenyum ke arahnya.

Meta lantas memeriksa penampilannya, dia yakin karena pakaiannya ini laki-laki itu berani berkata selancang itu. Dia ingin sekali menampar laki-laki itu, tapi dia juga merasa segan dengan bosnya. Jujur, dia pun sama sekali tak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan, terasa tercekik di seluruh bagaian mana pun. Namun Meta pun tak ada pilihan lain, sebab dia sedang tak punya uang lebih untuk sekadar membeli beberapa stel pakaian kerja untuk dirinya sendiri.

"Maaf, jika bapak ingin punya sekertaris yang bisa membuat Bapak betah di kantor, kenapa Bapak tidak mencari salah satu di tempat hiburan saja?" sindir Meta.

Yoga langsung menoleh ke arah Meta, pandangannya tajam seolah menginterupsi Meta untuk diam.

"Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung Anda,"

"Maaf, tapi saya sudah merasa tersinggung," kata pedas Meta.

Rahang Yoga mengeras, tanpa mengatakan apa pun dia berusaha untuk tetap tenang. Sembari melihat jam tangan di pergelangan tangannya, dan melihat perdebatan yang tak kunjung berhenti akhirnya Yoga berdiri dari tempatnya.

"Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai, saya pamit dulu," putus Yoga pada akhirnya. Mengakhiri perdebatan Meta, dan rekan bisnisnya.

Yoga benar-benar tak habis pikir, sekertaris barunya benar-benar sangat berani. Apakah benar seketarisnya ini dari kalangan orang baik-baik? Semua yang Yoga bayangkan dulu tentang wanita yang sekarang menjadi sekertarisnya, benar-benar terasa berbanding terbalik. Bahkan Yoga merasa, selama ini dia benar-benar telah salah sangka. Yoga benar-benar semakin emosi memikirkan hal itu.

Dengan tergesa, Yoga masuk ke dalam mobil. Belum sempat Meta masuk dalam mobil, Yoga langsung menyuruh Pak Cipto untuk melajukan mobilnya.

"Pak, kok saya ditinggal!" teriak Meta, berlari mengejar mobil atasannya. Kemudian mobil sedan hitam itu berhenti, membuat Meta mendekatinya. Tapi, pintu mobil itu dikunci rapat-rapat, hanya kaca saja yang diturunkan setengah.

"Jangan hancurkan reputasi perusahaan saya, dengan penampilan, dan ucapan Anda," kata Yoga. Mobil itu melaju lebih kencang, seolah sengaja meninggalkan Meta.

Mata Meta terasa panas, tanpa sadar dia pun menangis. Berjalan menepi untuk mencari taksi. Dia benar-benar tak menyangka, jika bosnya akan sedingin ini padanya. Bukan hanya dingin, tapi kejam juga.

Apakah ada bagian yang salah dari Meta hari ini? Tidak, dia hanya memakai pakaian agak ketat karena dia tak punya uang untuk membeli pakaian kerja miliknya sendiri. Dia hanya menunggu mendapatkan gaji pertama untuk bisa memberi beberapa setel pakaian kerja untuknya. Lalu, apakah dia juga salah ketika dia membela dirinya sendiri ketika dilecehkan oleh seorang pria yang kurang ajar? Tidak, dia sama sekali tak salah. Sebab cewek mana pun di dunia ini, pasti akan marah ketika dihina dengan cara seperti itu oleh seorang cowok yang tak tau diri. Tapi, apa yang dilakukan oleh bosnya? Bosnya, dengan begitu dingin dan kejam meninggalkannya sendiri. Bosnya, telah benar-benar membuat Meta tahu, jika semua yang tampak sempurna, belum tentu di dalam hatinya sempurna juga.

Meta menunduk, mencoba mengambil dompet yang ada di tasnya. Jika dia kembali ke kantor dengan menggunakan taksi, pastilah uang bulanannya untuk makan ini akan benar-benar habis. Dan dia tidak akan makan apa-apa lagi. Dia mendengus, mencoba menahan rasa sesak meski dia pun sebenarnya tak bisa. Dia benci, benar-benar benci kepada bosnya.

Apakah dia lebih baik berhenti saja dari pekerjaannya? Dia bekerja, bukan mengemis kepada siapa pun. Dan dia merasa jika bosnya telah sangat keterlaluan kepadanya. Dia bisa mencari pekerjaan di tempat lain, dia seorang lulusan terbaik, dan dia memiliki pengalaman kerja yang cukup baik. Tapi, pengalaman kerja?

Meta mendengus lagi, karena Subroto sialan itu dia dicap buruk sebab keluarnya ia dari pekerjaan. Dia tak mengundurkan diri, tapi dipecat dengan tak hormat karena sudah melakukan tindakan yang buruk kepada perusahaan. Setidaknya, itulah yang teman-teman kantornya tahu waktu itu.

Meta duduk di pinggir trotoar, matahari sudah semakin terik, bahkan dahinya pun telah mengeluarkan banyak keringat. Dia benar-benar merasa seperti orang yang sial sekarang.

"Gue nggak mau diperlakuin kayak gini, gue ini kerja, bukan jadi babu. Mending gue pulang aja, nggak usah balik kerja lagi," putusnya pada dirinya sendiri.

Meta langsung berdiri, melangkah menuju tempat teduh, mencari keberadaan angkot atau ojek siapa tahu ada. Tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari bundanya, entah ada apa lagi.

"Hallo, Bun?" kata Meta dengan suara bergetar. Biasanya di depan bundanya dia akan menangis. Tapi, dia coba sekuat tenaga untuk tahan.

"Met, kamu di mana? Kok suaranya bising? Emangnya kamu nggak kerja, Nak?" tanya bundanya.

Sontak Meta terbelalak, kemudian dia pun menepi, "oh, kerja dong, Bun. Ini Meta lagi... lagi keluar bentar ada urusan," kilah Meta.

Bagaimana ia akan menjelaskan kepada bundanya, bahkan bundanya sangat bahagia jika Meta telah bekerja. Dan itu benar-benar membuat Meta semakin sedih. Terlebih, dia tak mungkin membuat bundanya terbebani. Bundanya sudah cukup banyak masalah karena orang itu. Orang yang sangat jahat itu.

"Syukurlah, Met. Bunda seneng dengernya. Ohya, Bunda mau ngomong sama kamu...," suara di seberang itu sesaat terdiam, seolah telah menimbang-nimbang apa pantas untuknya mengatakan lagi, "uang yang Meta kemarin kasih itu--"

"Diambil lagi ama laki-laki itu, Bun?" tanya Meta tampak kecewa. Dadanya semakin terasa sakit, seperti dirajam ratusan jarum sekali waktu.

"Met--"

"Sekarang katakan ama Meta, di mana laki-laki itu, Bun?"

"Dia... dia--"

"Nggak ada di rumah lagi? Kabur lagi, Bun? Bunda, Meta mohon, jangan pernah lagi kasih uang kepada laki-laki itu, Bun. Meta ngasih uang gaji Meta buat Bunda, bukan buat dia," kata Meta tampak semakin kecewa.

"Tapi, biar bagaimana pun, Nak--"

"Oh yaudah, Bun, nanti kalau Meta gajian Meta akan kirimin Bunda. Meta tutup dulu, ya!"

Meta langsung menutup telepon dari bundanya. Dia tidak mau semakin emosi tiap laki-laki itu dibahas. Saat ada sebuah angkot lewat, Meta buru-buru masuk ke dalam angkot itu. Duduk di bagian ujung sambil susah payah menahan air mata. Kedua tangannya dicengkeram kuat. Rahangnya mengeras tiap kali memikirkan dirinya akan seperti ini.

"Mau turun di mana, Neng?" tanya sang sopir.

"GM Group, Mang,"