Chereads / Wanita Sang Boss / Chapter 31 - Diam

Chapter 31 - Diam

Pagi ini Meta tampak sarapan sendiri, sementara Yoga, masih tampak sibuk di ruang kerjanya. Dia tampak sedang memeriksa dokumen yang kemarin dibawakan oleh Hardi, dan Pak Cipto. Bahkan Meta pun tahu, sedari semalam Yoga bahkan tidak sempat tidur.

Lagi, Meta menggigit rotinya setengah tak minat. Dia terus melirik ke arah Yoga. Bahkan, roti panggang yang ia buatkan untuk Yoga pun tak disentuh, beserta kopi hitam kesukaannya.

Sebenarnya Meta ingin sekali menawarkan Yoga langsung. Tapi, dia tak ingin menganggu kesibukan Yoga. Dia takut, malah membuat konsentrasi Yoga buyar.

"Pak Yoga masih di ruang kerjanya, Mbak?" tanya Pak Cipto, yang berhasil membuat Meta menoleh.

Meta mengangguk, kemudian dia menggeser tempat duduknya. Seolah memberi isyarat agar Pak Cipto ikut duduk.

"Sarapan dulu, Pak. Sambil nunggu Pak Yoga selesai," kata Meta.

"Saya sudah sarapan tadi, Mbak. Kopi, boleh," kata Pak Cipto.

Meta lantas menuangkan secangkir kopi untuk Pak Cipto, membuat laki-laki paruh baya itu menyesapnya dengan nikmat. Tampak Pak Cipto tersenyum menikmati kopi itu, kemudian dia meletakkan gelasnya di atas meja.

"Apa Pak Yoga yang memberikan resep ini kepada Mbak Meta?" tanya Pak Cipto. Meta tampak kebingungan, kemudian dia menggeleng. "Rasanya benar-benar selera Pak Yoga, Mbak," lanjutnya.

Meta baru tahu jika dia dan Yoga memiliki selera kopi yang sama. Namun demikian, yang menjadi fokusnya saat ini adalah Pak Cipto. Antara bertanya atau tidak, Meta benar-benar penasaran akan banyak hal.

"Pak Cipto sudah kerja lama, ya, dengan Pak Yoga?" tanya Meta hati-hati. Setelah beberapa kali menimbang-nimbang. Barangkali pertanyaannya ini tidak pantas.

"Sudah lama sekali, Mbak. Mulai dari waktu Eyang Pak Yoga masih ada," jawabnya kemudian.

"Jadi, Pak Cipto tahu sedikit banyak tentang perjalanan perusahaannya Pak Yoga sampai bisa seperti sekarang, ya, Pak?" tanya Meta lagi.

Pak Cipto tampak menghela napas panjang, kemudian dia memandang langit-langit ruang makan itu. Seolah ia melihat kenangannya dulu.

"Dulu GM Group nyaris bangkrut. Eyang Pak Yoga bahkan nyaris menjual sahamnya kepada orang lain. Namun Ayah Pak Yoga bersikeras, sebab itu adalah perusahaan yang dirintis dari enol oleh Eyang Pak Yoga. Meski Ayah Pak Yoga sendiri enggan untuk terjun di dunia bisnis. Waktu itu Ayah Pak Yoga menjual beberapa simpanannya, baik itu tanah, perhiasan isrinya, sampai meminjam uang di bank. Untung Ayah Pak Yoga adalah orang yang memiliki banyak teman, jadi dia meminta beberapa temannya yang ada di luar negeri untuk menjadi investor, menutupi kekurangan yang belum cukup. Awalnya, Ayah Pak Yoga pun tidak setuju jika Pak Yoga memiliki minat di bidang bisnis. Hingga akhirnya, Ayah Pak Yoga sadar, jika putranya harus membantu Eyang Pak Yoga. Dan begitulah cerita di balik berdirinya perusahaan GM Group kembali, Mbak."

"Lalu Paman-Paman Pak Yoga?" tanya Meta lagi. Sebab dia ingat, jika Yoga sempat membahas paman-pamannya yang menjadi salah satu orag baik yang bergotong royong mendirikan perusahaan.

"Mereka hanya saling menyalahkan, dan menghindar ketika Kakek Pak Yoga sedang berada dalam kondisi sulit. Dan ketika perusahaan mulai jaya, di saat Kakek Pak Yoga sakit keras waktu itu sebelum beliau meninggal, mereka saling berebut meminta saham atas perusahaan itu."

Meta terdiam mendengar penjelasan dari Pak Cipto. Bahkan, untuk kejelekkan paman-pamannya pun Yoga menutupinya rapat-rapat. Sebenarnya, orang seperti apa Yoga itu? Dia masih mengatakan hal yang baik, kepada orang yang telah melakukan hal buruk kepadanya.

"Sudah datang, Pak?" tanya Yoga, yang berhasil membuat Meta, dan Pak Cipto menoleh.

"Bapak sudah siap?"

"Sarapan dulu," potong Meta. Sambil melotot ke arah Yoga seolah jika dia tak sarapan sekarang, maka hidupnya akan sengsara setelah ini.

"Aku disuruh sarapan pacar dulu, Pak," kata Yoga. Meta pun mendelik, tapi dia tak mengatakan apa pun. Terlebih, saat Yoga duduk manis di sampingnya, mengambil roti panggang yang ada di meja.

"Untukku?" tanyanya. Meta pun mengangguk. "Aku akan menjadi gemuk kalau kamu membuatkanku sarapan setiap pagi. Bukan begitu, Pak Cipto?" ujar Yoga lagi.

"Iya, Pak. Pasti," jawab Pak Cipto.

Pak Cipto agaknya mengulum senyum melihat tingkah Yoga. Melihat kondisinya sekarang di perusahaan yang jabatannya terancam, tapi benar-benar kontras dengan mimik wajahnya yang tampak begitu berseri.

*****

Di kantor Meta agaknya dibuat pusing oleh beberapa laporan yang harus ia periksa. Laporan ini adalah laporan rahasia dari Yoga yang dipercayakan kepadanya. Dan dia baru tahu, masalah dalam perusahaan tidaklah semudah yang ia pikirkan.

Lagi, dia melihat Yoga yang tampak memijat pelipisnya. Pasti saat ini laki-laki itu sangatlah lelah, dan mengantuk. Betapa keras kerjanya tapi tak dihargai oleh rekan bisnisnya, ini benar-benar merupakan hal yang sangat ironis.

Meta terjingkat saat ponselnya berdering, tampak jelas nama Kinan di sana. Padahal ini adalah jam kerja, jarang-jarang sahabatnya akan menelepon.

"Halo, Kin, ada apa? Tumben banget sih, jam kerja elo telepon," tanya Meta, setengah berbisik sebab dia takut jika telepon dari Kinan akan menganggu kerja Yoga.

"Met, gue... gue...," kata Kinan tampak terputus dari seberang, suaranya serak. Seperti Kinan tengah menangis, dan itu berhasil membuat Meta semakin khawatir. "Gue putus ama cowok gue, Met."

"Apa!" Meta memekik sambil berdiri, membuat Yoga yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya pun langsung menoleh. "Gue, abis ini gue ke sana, Kin," katanya kemudian dengan suara setengah berbisik.

Yoga menyipitkan matanya, bertopang dagu kemudian memandang Meta dengan seksama. Sementara Meta hanya bisa tersenyum getir, dia benar-benar sangat malu dengan apa yang baru saja ia lakukan.

"Jadi, ada apa sampai sekertarisku menjeris dengan begitu kencangnya?" tanya Yoga pada akhirnya.

"Itu, Pak. Kinan, sahabat saya yang kebetulan sahabat Fabian juga. Dia... dia putus sama pacarnya, Pak. Dan saya yakin ini karena ulah Fabian. Karena Kinan sama pacarnya itu sebentar lagi akan tunangan, Pak! Pacarnya itu sayang sekali dengan Kinan!" jawab Meta berapi-api.

"Apa Kinan sedang bekerja?" tanya Yoga lagi. Meta pun menggeleng. "Kamu ingin menemuinya?" Meta pun mengangguk kuat-kuat mendengar pertanyaan itu. sebab benar, jika dia ingin segera menemui Kinan. Saat ini sahabatnya itu sedang hancur, dan dia ingin ada bersama dengan Kinan.

Yoga menghela napas panjang, kemudian dia memundurkan kursinya dari meja. Memandang Meta yang tampak memandangnya dengan seksama. Lagi, Yoga tampak tersenyum, ingin sekali dia menarik tubuh Meta agar berada di pangkuannya. Namun, dia selalu berusaha untuk menahan apa pun yang ingin ia lakukan.

"Pergilah, aku akan menyuruh Hardi untuk mengantarmu. Nanti, aku akan menjemputmu ke sana,"

"Seriusan, Pak? Bapak tidak bercanda, kan?" tanya Meta dengan wajah sumringahnya.

"Tapi aku minta upah," kata Yoga dengan senyuman khasnya.

"Iya, apa saja, Pak. Asal tidak meminta saya membelikan barang mewah."