Kata- kata terakhir Raphael sepertinya sampai kepada Torak, karena setelah itu, dia menundukkan kepalanya dan menatap ekspresi wajah Raine.
Alis gadis itu mengernyit dan dia menggigit bibirnya yang gemetar sementara matanya yang hitam balas menatap padanya, sorot mata indah itu mengisyaratkan ketakutan.
Torak menutup matanya, mencoba untuk mengendalikan monster di dalam dirinya dan memenangkan pertarungan batin ini.
Rahangnya sedikit mengeras, Torak menikmati saat makhluk lain takut kepadanya, ini memberikan rasa dominan yang kuat dan setiap Lycanthropes dan werewolf menyukai saat mereka lah yang memegang kendali.
Namun, ketika Torak melihat Raine yang menatapnya dengan ketakutan, Torak merasakan dorongan yang tidak masuk akal untuk membunuh makhluk apapun yang membuat gadis kecil ini takut.
Sayangnya, dirinya sendiri lah yang membuat Raine takut.
Torak tidak mempercayai ini. Beratus- ratus tahun lalu dia telah mengatakan kalau dia akan mematahkan pasangan jiwanya menjadi dua di detik pertama dia menemukannya.
Namun sekarang, di detik pertama Torak merasakan kehadirannya, dia benar- benar merasakan keinginan yang kuat untuk melindunginya.
Ikatan jiwa yang luar biasa bodoh!
Torak membuka matanya yang kini telah kembali berwarna biru.
Sementara itu, Raine membelalakkan matanya dengan terkejut, bibirnya sedikit terbuka. Dia sangat yakin kalau beberapa detik lalu mata pria ini berwarna hitam dan bukan biru. Tapi sekarang, mata yang kini menatapnya lekat- lekat telah berubah warna menjadi warna biru yang indah, yang dapat membuat dirinya terhipnotis dalam hitungan detik.
Raine menatap matanya untuk beberapa saat sebelum akhirnya menyadari kalau dekapan pria itu pada tubuhnya telah mengendur. Raine berpikir untuk menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri.
Namun, dia tidak cukup cepat untuk mendorongnya menjauh.
Pada akhirnya, Raine jatuh dalam pelukannya lagi. "Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu." Pria itu berkata dengan nada memohon.
Suaranya yang lembut begitu menenangkan di telinga Raine dan untuk sesaat, Raine mempercayainya. Ada rasa bergelenyar yang aneh, seolah ada puluhan kupu- kupu yang mengepakkan sayapnya di perutnya.
Raine berhenti meronta seraya dia merasakan tangan pria itu menahannya dengan kuat dan kokoh.
Namun, rasa takutnya masih tersisa. Tubuh Raine gemetar.
Di sisi lain, Raphael melangkah mendekati mereka, membuka payungnya yang lain kemudian memayungi Torak dan Raine .
"Apakah itu 'dia'?" Raphael bertanya dengan lembut.
"Ya, milikku." Torak menjawab dengan desahan lega dan rasa bangga.
Torak menepikan rambut Raine yang basah untuk dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas. Gadis dalam dekapannya ini memiliki sepasang mata indah sewarna batu obsidian, yang berusaha menghindari tatapan Torak.
Raine menggigit bibir bawahnya dengan gugup yang membuat Torak menarik dagunya agar Raine berhenti melakukan itu.
Warna kulitnya begitu pucat seolah sinar matahari tidak pernah menyentuh gadis ini sama sekali.
Tubuhnya begitu kecil, tapi terasa sangat pas dalam pelukannya. Tidak akan berlebihan kalau Torak mengatakan dia mampu untuk mematahkan tubuh Raine hanya dalam hitungan detik saja, tapi walaupun itu hanyalah sebuah pengandaian untuk menyakitinya, pemikiran itu sendiri sudah membuat Torak takut.
"Raine, apa yang kamu lakukan di sana? Mana obatnya?"
Suara yang tidak asing membuat Raine kembali ke kesadarannya. Dia membalikkan tubuhnya dan melihat Madame Anne, kepala perawat di panti asuhan, yang telah berdiri di balik jeruji besi dari pintu gerbang.
Jari jemarinya yang gemuk berusaha untuk membuka pintu gerbang sementara tangannya yang lain memegang sebuah payung kuning.
Pada saat ini, hujan yang turun semakin deras dan tidak ada satupun dari mereka berempat yang berada dalam keadaan yang baik dalam terpaan angin yang dingin.
"Apa yang kalian lakukan padanya?" Madam Anne menyorot mereka dengan tatapan galak, terutama pada Torak yang masih memeluk Raine dalam dekapannya. "Biarkan dia pergi!" dia menuntut.
Raine sekali meronta, berusaha untuk membebaskan dirinya, tapi Torak menolak untuk membiarkannya pergi.
"Torak, kamu harus membiarkannya pergi." Raphael berbisik dan dia bersumpah bahwa warna mata Torak, untuk sesaat, berubah menjadi merah sebelum kembali menjadi warna asalnya. Shock, Raphael tergesa- gesa menambahkan. "Dia basah kuyup dan kedinginan, dia akan sakit kalau berdiam diri lebih lama lagi disini."
Raphael menarik- narik dasinya dengan gugup, mata yang berwarna merah bagi seorang Lycan, bukanlah tanda yang baik. Itu berarti, monster di dalam diri mereka tengah murka karena saran yang dia berikan untuk membiarkan gadis itu pergi.
Torak menundukkan kepalanya untuk melihat Raine dan baru menyadari kalau gadis itu tidak dalam kondisi yang baik. "Aku akan membawanya bersama kita," Torak berkata tegas.
"Tidak, kita tidak bisa melakukannya seperti itu." Raphael menggelengkan kepalanya. "Ini bukan wilayah kekuasanmu Torak, kamu tidak bisa membuat keputusan sendiri. Mungkin dia masih memiliki keluarga disini…"
"Keluarga apa?! Dia tinggal di panti asuhan!" Torak membentaknya. "Dan ya! Aku bisa melakukan apapun yang aku inginkan, tidak peduli wilayah siapa ini! Mereka dapat protes setelah aku membawanya bersamaku!"