Nada sedikit berlari ketika bunyi bell rumahnya berbunyi, saat ini ia seorang diri dirumah sebab pagi pagi sekali Devian sudah berangkat ke kantor. Ada perdebatan kecil diantara keduanya sebelum Devian pergi, perdebatan itu dimulai dari Devian yang enggan pergi ke kantor dan mengabaikan panggilan Reyhan karena ingin menghabiskan waktu dirumah bersama Nada untuk mengganti waktu seminggu bahkan sebenarnya mengganti waktu berbulan-bulannya yang telah ia sia-siakan sebelumnya untuk membuat Nada senang. Tapi nyatanya keputusan itu malah tidak membuat Nada senang sama sekali, justru wanita itu marah sebab Devian telah mengabaikan pekerjaannya juga tanggung jawabnya. Kemudian saat sampai didepan pintu, Nada meraih handle dan membukanya dengan perlahan
"Nada bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"
"Oh ibu! Ya.. Na-nada su-sudah baik-baik saja" balasnya, Nada tidak bisa menutupi kegugupannya, ia bahkan secara terang-terangan mengedarkan pandangannya mencari sosok yang tidak ingin dia temui. Mengingat kejadian beberapa hari yang lalu Membuat Nada sedikit waswas. Lalu seakan mengerti dengan keadaan Nada, Tetia lantas tersenyum canggung dan mengatakan bahwa ia datang seorang diri. Nada yang sadar akan ketidak sopanannya buru-buru minta maaf dan mempersilahkan Tetia masuk, ia membuatkan minum lalu duduk diruang tamu bersama ibu mertuanya.
"Maaf ibu baru mengunjungimu" ungkap Tetia dengan intonasi lirih "Tidak apa-apa bu, Nada baik-baik saja kok, maaf sudah membuat ibu khawatir" katanya "Kau benar baik-baik saja? Ibu tidak bisa lepas memikirkanmu Nada" Nada mengangguk, jemarinya saling bertautan ia berusaha menghilangkan kegugupannya "Ya.. Nada baik-baik saja" sahutnya, Tetia mendesah, ia tampak frustasi ketika hendak membuka percakapan lagi
"Aku sudah tahu semuanya. Siapa ayah dari bayimu.." Nada tercekat, matanya membelalak menatap Tetia penuh keterkejutan. Nada sadar sepenuhnya hari ini pasti terjadi dimana rahasia yang ia simpan rapat-rapat akhirnya terbongkar, ia hanya tidak menyangka Devian dan Tetia mengetahuinya dengan cara yang tidak pernah ia duga, ia tak menyangka kalau ia akan bertemu dengan pria itu. Tunggu, pria itu? Ibu mengenalnya? "I-ibu mengenalnya?" Tetia mendesah, matanya mulai memanas, ia genggam jari jemari Nada yang berkeringat.
"Maafkan aku Nada.. tapi aku memang sangat mengenalnya dengan baik" Nada semakin membeku, apakah Nada tidak salah dengar? "Ma-maksud ibu bagaimana? Nada tidak paham" ungkapnya pelan, Tetia tidak bisa menahan diri untuk menangis, ia merasa sangat bersalah kepada menantu kesayangannya "Aku benar-benar minta maaf Nada, tapi ketahuilah aku baru saja mengetahui kebenaran ini. Ayah bayi itu.. adalah puteraku Nada.. dia Adik tiri Devian"
Secara otomatis pegangan tangan mereka terlepas, Nada melepasnya, ia beringsut menjauh dengan pikiran kosong. Nada butuh waktu untuk memproses kalimat Tetia. Puteranya? Yang menghamili Nada puteranya yang lain? Kenyataan gila macam apa ini? Takdir seperti apa ini? Demi Tuhan ia merasa dipermainkan. Lalu wajahnya yang pucat semakin pucat, membuat Tetia dirundung perasaan cemas. Nada memeluk dirinya sendiri, ia memeluk perutnya yang terasa menyakitkan. Rasanya hanya beberapa hari ia merasakan kebahagiaan, tapi kenyataan ini jelas membuatnya sakit, jadi apakah Devian mengatakan cinta dan memperlakukannya dengan baik karena ini? Karena dia tahu bahwa adiknya penyebab hancurnya hidup Nada? "Na-nada kau baik-baik saja?" Tetia menyentuh lengan Nada, tapi perempuan itu segera menepisnya tanpa sadar.
"Tidak! Aku tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa aku baik-baik saja? Tidakkah ibu tahu betapa aku membenci pria itu?"
"Dia sudah mengakui kesalahannya Nada.. Rafael sudah mencarimu kemanapun, tapi saat itu kau ada dirumahku karena—"
"Karena aku hampir saja gila bahkan berniat membunuh diriku sendiri. Dia sudah menghancurkan hidupku bu" Nada segera memotong perkataan Tetia dengan suara bergetar. "Sayang... maafkan ibu. Ibu tahu Rafael tidak termaafkan. Tapi dia sangat menyesalinya Nada. Semua yang dilakukannya secara tidak sadar" Tetiapun tak kalah gemetar. Ia sendiri merasa telah gagal mendidik puteranya. "Aku... aku—"
"Rafael ingin menjelaskannya padamu. Bersediakah kau bertemu dengannya?"
"Tidak!! Tidak ada yang peru dijelaskan lagi. Maafkan Nada bu, tapi Nada—"
"Tidak apa-apa ibu mengerti, mungkin tidak sekarang Nada. Tapi ibu mohon padamu, untuk memikirkannya, aku menyayanginya seperti anakku sendiri, kaupun begitu. Tidak banyak aku meminta darimu Nada"
Dan Nada hanya bisa bungkam. Ia menutup bibirnya rapat, kenyataan bahwa ia sulit melupakan kejadian itu membuatnya tidak bisa menerima Rafael, sebab saat ini Nada sudah teramat benci dengannya.
✖️✖️✖️
Devian baru saja kembali dari kantor setelah menghadiri rapat, sekarang pria itu lebih cepat pulang dibandingkan dulu, bahkan sebelum makan malam siap. Ia lalu melangkahkan kakinya menuju dapur, aroma masakan sudah mulai tercium dari ruang tamu. Sedikit mengendap agar tak terdengar, ia tiba-tiba melingkarkan tangannya diperut Nada yang tersentak, kepalanya ditenggelamkan diatas pundak setelah sebelumnya ia mengecup pipi Nada.
"Aku merindukanmu.." Nada tersenyum gusar, ia melepaskan pelukan Devian, namun pria itu tidak membiarkannya. "Devian aku sedang masak"
"Aku tahu, aku melihatnya"
"Maka lepaskan aku, aku kesulitan menggerakkan tubuhku" sahutnya kini mulai mematikan api kompornya. Devian yang mendengarnya lantas menggoyangkan tubuh istrinya ke kanan dan kiri ia bergerak beberapa kali. "Aku sudah menggerakan tubuhmu"
"Astaga Devian... lebih baik kamu membersihkan dirimu. Setelah itu makan—"
"Setelah itu berpelukan lagi. Baiklah nyonya Alexander. Perintah segera dilaksanakan.. tapi biarkan aku menciummu dulu" tanpa menunggu jawaban Devian segera memagut bibir Nada, menghisapnya dengan lembut lalu memperdalam ciumannya. Bahkan Nada hampir kehilangan keseimbangannya karena ciuman yang mulai menggairahkan itu. Kemudian Setelah pagutan itu selesai dan mengakibatkan bibir Nada yang membengkak Devian kembali menciumnya cepat. "Aku suka, rasanya selalu manis.. aku segera kembali sayang" ucapnya seraya tersenyum, lalu beranjak pergi, tanpa ia tahu bahwa Nada kini menatap punggungnya dengan mata berkaca-kaca. Tidak ada semburat senyum diwajahnya, hanya perasaan kecewa yang mendalam yang kini ia rasakan.