Karang sudah mempersiapkan segalanya untuk hari ini, sejak semalam Gibran—ayahnya menghubungi dan berkata akan datang ke Jakarta hari ini. Semua karena Valerie mengadukan kejadian kemarin, jelas gadis itu tak terima dengan pengkhianatan yang Karang lakukan sangat jelas di depan matanya, Valerie pikir hanya ia yang terluka? Cih, Karang dan Pelita juga terluka atas hubungan rumit itu.
Sekarang, Karang ingin semuanya lebih jelas. Ia sudah menemukan kepastian untuk hidupnya sendiri, ia sudah memiliki seseorang yang benar-benar menerima keadaannya entah baik atau buruk, Karang selalu menginginkan Pelita.
Ia duduk di tepi ranjangnya sembari menatap layar ponsel yang menampilkan room chat dengan seseorang, hari ini ia merindukan Pelita, besok dan seterusnya.
Kepalanya menoleh ke arah pintu tatkala mendengar suara bel berbunyi, mungkin Rangga yang berada di luar sana.
Karang beranjak dari duduknya, mengenakan sepatu dan menghampiri pintu lalu membukanya. Ia cukup terkejut, tapi dibuat biasa saja ketika yang ia lihat bukanlah Rangga melainkan sang ayah. Kenapa bisa datang secepat itu.
Tiga puluh menit berlalu, keduanya berada dalam kebisuan. Kopi yang telah Karang buatkan untuk Gibran pun belum tersentuh meski asap sudah pergi, mereka tengah menikmati masa canggung dalam diri masing-masing, duduk di ruang tamu tanpa saling tatap dan bersebrangan.
"Kenapa kamu lakukan itu?" tanya Gibran, membuka percakapan di antara mereka. Ia meneguk kopi buatan Karang yang sudah dingin itu.
"Karang cuma mau menentukan pilihan, Pa," balasnya memberanikan diri menatap wajah tegas itu. Kumis tipis, alis tebal serta kacamata menempel pada wajah Gibran.
"Bukannya papa sudah menentukan pilihan itu sejak lama, kenapa kamu ubah lagi."
Karang menelan ludah, "Sejauh ini, Papa bukan Tuhan. Karang berhak memilih sendiri, Karang ini laki-laki."
"Papa tahu, papa juga laki-laki. Sayangnya, papa nggak mungkin ubah keputusan itu. Bukannya kamu tahu sendiri bagaimana kita berdua susah dulu, dan ayahnya Valerie yang selamatkan semuanya sampai—"
"Kenapa harus berpacu sama hal itu, Pa? Jadi, Papa rela anaknya nggak bahagia asalkan bisnis lancar."
"Bukan itu maksud papa, kamu harus ingat bagaimana mereka membantu kita saat itu, saat mama kamu ...." Gibran enggan melanjutkan perkataannya.
"Sekeras apa pun usaha Papa buat Karang menyatu sama Valerie, sekeras itu pula usahaku buat menghindar. Namaku Karang, bukannya Papa juga yang kasih nama itu."
"Karang, nggak semudah itu. Valerie bahkan minta hari pernikahan kalian dipercepat."
"Ini gila."
"Coba kamu ada di posisi papa, apa yang akan kamu perbuat?"
Karang menggeleng, ia beranjak dari duduknya karena kesal mendengar permintaan Valerie yang makin menjadi-jadi. Dikhianati bukannya menjauh justru makin ingin menyatu, hal gila macam apa itu!
"Karang nggak mau nikah sama Valerie!" hardik Karang meraih gelas kosong di atas nakas lalu melemparnya ke lantai begitu saja hingga jatuh berantakan.
Gibran menarik napasnya, "Tolong bantu papa untuk berpikir, Karang. Emosi kamu nggak akan mengubah segalanya. Jangan seperti anak-anak lagi, kalau semua ini mudah pasti papa kabulkan semua permintaan kamu. Papa terikat kontrak dengan ayahnya Valerie, jaminannya itu kamu."
"Jadi, aku ini dijual?" Karang yang berdiri di sisi nakas menatap nanar sang ayah, lalu menggeleng.
Gibran memijat keningnya sendiri, "Enggak, mana mungkin papa lakukan hal itu sama kamu. Tolong pahami keadaan papa."
"Karang udah punya gadis yang Karang sayang, Pa! Karang mau sama dia, dan kalau hal itu nggak terwujud biar Karang yang bergerak sendiri. Kalau Papa nggak dukung mau Karang, biar Karang minta dukungan lain. Selama ini Karang selalu nurut sama keinginan Papa, sekali ini aja Karang berontak, karena semua demi masa depan Karang. Maaf, tapi Karang nggak akan pernah nikah sama Valerie."
"Maaf, tapi papa harus bilang ini. Pernikahan kamu akan dilangsungkan dua hari lagi, ayahnya Valerie yang urus semuanya."
"Ini gila! Kalian semua udah gila!" Karang mengacak rambutnya frustrasi.
"Papa minta maaf." Gibran beranjak menghampiri Karang. "Valerie yang minta semua itu dipercepat."
Karang menatap tajam ayahnya, "Oke kalau gitu mau kalian, lakukan apa yang bisa kalian lakukan. Karang akan lakukan apa pun buat semua itu gagal, Karang mau pergi."
"Ke mana?"
"Minta restu sama orang yang berhak kasih restu pertama kali buat pernikahan itu." Setelahnya Karang melenggang pergi keluar dari kamar apartemennya.
"Sofi," gumam Gibran.
***
Lagi dan lagi, kebisuan kembali menyergap. Sejak Karang menjemput Pelita di rumahnya dan mengajak gadis itu pergi, mereka berada dalam kondisi di mana mulut terjahit rapat. Pelita dapat membaca sorot mata sayu Karang, ia seperti tak punya semangat. Kenapa harus mengajaknya pergi kalau begitu? Pelita ingin bertanya lebih dulu, tapi erat genggaman tangan Karang sudah cukup menjelaskan jika ia baik-baik saja, matanya terus menatap jalanan ramai di depan mobilnya.
Jika tak ada Pelita, mungkin Karang lebih memilih bunuh diri karena tak punya penyemangat. Ia punya seseorang yang sedang diajaknya untuk berjuang, titik terbesar masalahnya sedang merangkak ke puncak, sedang mempermainkan hati dan pikirannya. Andai Pelita tahu bahwa keningnya terasa berdenyut, sianida pun takkan ampuh untuknya.
Ia laki-laki, berhak memilih siapa pun yang ingin ia bahagiakan, dan gadis beruntung itu adalah Pelita. Buktinya Karang bisa jatuh hati dua kali padanya, rela melukai dirinya bahkan mati untuk gadisnya.
Mobil itu masuk ke kawasan hutan, entah ke mana tujuan Karang. Banyak pohon karet yang sengaja ditanam rapi seperti barisan berjejer di sisi kanan dan kiri mereka, hawa sejuk menyergap, suasana sekitar juga gelap dan sepi.
"Kita mau ke mana?" tanya Pelita buka suara.
"Ke tempat di mana nggak ada orang lain yang akan ganggu."
Pelita enggan berucap lagi, andai dia bisa baca pikiran laki-laki di sebelahnya, mudah sekali.
Mobil itu menepi di sisi jalan, mereka berdua turun dan Karang kembali meraih tangan gadis itu, mengajaknya melewati jalan setapak yang menjurus ke kawasan hutan karet itu.
Suara burung terdengar bersahutan, sepanjang jalan sunyi sangatlah terasa. Mereka melangkah lebih dalam lagi hingga naik ke atas bukit yang cukup terjal.
Setelah itu Karang menghentikan langkahnya, diam menatap hamparan pemandangan Jakarta dari atas bukit lalu berteriak sekencang-kencangnya.
Pelita tetap diam, sepertinya ia salah tafsir jika laki-laki itu baik-baik saja. Buktinya sekarang berteriak tanpa henti seperti orang gila.
Kata orang, berteriaklah di tempat yang tinggi sekencang-kencangnya maka masalahmu lekas berhenti atau reda. Kata siapa? Apa bisa dibuktikan? Berteriak hanya menghilangkan stres, bukan mengakhiri masalah, seperti yang Karang lakukan.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Pelita yang sudah tak tahan mendengar teriakan Karang yang terus menggema di telinganya.
Karang menoleh, "Hilangin stres, mau ikutan?"
"Boleh."
"Bareng ya, satu, dua, tiga ...." Mereka berdua berteriak sekeras mungkin tanpa takut orang lain akan mencaci, lalu berteriak lagi dan tak peduli jika hari esok takkan datang lagi.
"Danke, untuk bertahan," ucap Karang tiba-tiba, mencetak kerutan di dahi Pelita.
Rambut yang diterpa angin itu terus bergerak, Pelita menyematkan anak rambutnya ke belakang telinga.
"Maksud kamu apa sih? Kayak ada sesuatu gitu ya?"
"Sini deketan." Karang menarik pinggang Pelita agar lebih dekat dengannya, mengajaknya duduk di permukaan sebuah batu besar dengan posisi Karang memangku Pelita lalu memeluk perutnya, menyandarkan dagu pada puncak kepala gadis itu.
Keduanya kembali diam, menatap pemandangan menyejukan hati di depan mereka, tak peduli pada sinar mentari yang mengusik keduanya, tak ada yang berhak menghalangi mereka.
"Aku nggak mau kisah kita berakhir, aku mau terus sama kamu. Dua hari lagi aku harus nikah sama Valerie, Ta."
Jantung gadis itu seolah berhenti, merasa hatinya kembali ditusuk belati tajam hingga darah mengucur ke mana-mana, meninggalkan jejak-jejak kepedihan yang tak bisa diuraikan hanya dengan mata. Pelita memaksa melepaskan tangan Karang yang masih melingkar pada perutnya.
"Ya udah kalau gitu berarti kit—"
"Nggak ada yang akan berakhir," sergah Karang, ia kembali menarik Pelita dalam dekapannya, mana sudi membiarkan gadis itu pergi dengan mudah.
"Terus apa? Kalau kamu mau nikah sama dia ya udah, aku bisa apa? Kalau akhirnya harus begini ya udah."
"Kamu nggak sakit hati? Kamu rela aku sama dia?" Karang berbisik di dekat telinga Pelita, memutar tubuh gadis itu agar menghadapnya.
Wajah sendu gadis itu kini dapat Karang lihat dengan jelas, ia menangkupnya.
"Jangan bilang ini akhir, kisah kita cuma berakhir di bawah tanah nanti. Bisa aku minta tolong sama kamu?"
"Apa?"
"Ada satu orang yang bisa selamatkan hubungan kita, dia sayang sama kamu, Ta. Dia pasti bakal turutin apa pun yang kamu mau."
"Maksud kamu siapa?"
"Orang yang wajib kasih restu buat pernikahan aku nantinya, walaupun aku nggak pernah nampakin diri di depan dia terang-terangan. Aku yakin dia mau ngerti apa yang kamu bilang, kamu cuma perlu jujur soal hubungan kita. Bantu aku, Ta. Aku nggak mau kehilangan ataupun lepas kamu buat siapa pun." Karang memeluk Pelita dengan erat.
"Maksud kamu siapa?"
"Mama."