Sebulan berlalu.
Banyak pakaian yang sudah mereka masukan ke dalam koper, kesibukan tengah melanda apartemen Karang meski hanya dirasa oleh Pelita serta kekasihnya saja. Hari ini mereka akan pergi ke Bandung, seperti janji Karang hari itu dan sama sekali belum ditepati karena banyak masalah yang menghampiri mereka hingga harus berjuang sedemikian rupa.
Pelita yang sedang berdiri di depan cermin lemari sembari memegang dua botol shampo pada masing-masing tangannya, ia terlihat bingung memilih.
"Karang mau yang baru apa yang udah dipakai sih?" tanya gadis itu, ia sudah seperti seorang istri yang harus mengurus segala keperluan Karang setiap harinya.
"Mana aja, yang penting baunya sama," sahut Karang sembari menarik resleting koper besarnya.
Pelita berdecak, "Iya tahu, semua baunya juga sama kali. Malah nggak jelas."
Gadis itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, meletakan shampo lama dan memilih yang baru untuk dibawa Karang. Ia keluar dan memasukan benda itu ke dalam ransel kecil milik Karang.
"Kamu sarapan dulu, belum sarapan kan, tadi?"
"Iya."
Pelita menarik tangan Karang menuju meja makan, meminta laki-laki itu agar duduk. Setelahnya ia yang kembali sibuk dengan urusan dapur, bukankah sudah pantas ia menjadi seorang istri?
Karang mengamati aktivitas Pelita yang kini sibuk menggoreng omelete, belum lagi urusan susu dari dalam kulkas sampai gadis itu mondar-mandir mengambil gelas dan memasukan sisa susu cair lagi ke dalam lemari pendingin.
Karang jadi gemas sendiri, ia menarik tangan Pelita dan memaksanya duduk di pangkuan laki-laki itu.
"Karang apaan sih, aku mau siapin sarapan kamu. Kita udah telat lho, anak-anak rumah cancer juga pasti udah nungguin kamu," gerutu gadis itu.
"Sebentar aja nggak apa-apa kali." Karang merengkuh tubuh Pelita dari belakang, menyandarkan dagu pada bahu kanan gadis itu. Meresapi lagi aroma lembut yang membuai, memabukan tiap kali Pelita berada di dekatnya.
"Ini ngapain lagi sih kamu!" hardik Pelita, jika sedang kesal terlihat makin menggemaskan.
"Pelita ...."
Gadis itu menoleh ke sisi kiri, mendapatkan bibir Karang yang merenggut miliknya. Ciuman itu terasa lembut dan perlahan, tangan Pelita terangkat mengusap lembut wajah Karang, ia sangat mencintainya.
Hingga sesi ciuman itu berakhir, Pelita lantas mencubit paha Karang. Membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Argh! Kenapa dicubit sih, Ta?"
Pelita melepas pelukan Karang dari perutnya, ia beranjak.
"Itu karena kamu udah nakal, pagi-pagi minta cium. Kita lagi buru-buru lho ya, malah khilaf aja."
"Jadi suka sama yang namanya khilaf." Karang terkekeh geli setelahnya, apalagi mendapat pelototan dari Pelita.
***
Standing by my window,
Listening for your call,
Seems i really miss you after all,
Time ... won't let me keep, this said thoughts you myself.
I just like to let you know, i wish i never let you go ....
And i'll always love you, deep inside this heart of mine i do ... love you.
And i'll alwayas need you, and if you ever change your mind i still ... i will, love you ....
Anak-anak penderita cancer itu duduk bersila di sekeliling Pelita, menikmati lagu yang tengah ia nyanyikan bersama petikan gitar di pangkuannya.
Sedangkan Karang berdiri di dekat mereka sembari mengarahkan kamera dengan angle yang pas, dia ingin menyimpan semua kenangan indah terus bersamanya. Melihat anak-anak itu ceria juga membuatnya bahagia, apalagi senyum mereka terukir karena hiburan yang gadis itu berikan, Pelita memang pembawa kebahagiaan di mana pun baginya.
"Sini gue aja yang fotoin." Ucapan itu membuat Karang menoleh, mendapati Ardo datang seorang diri menghampirinya.
"Lo di sini?"
"Iya, sini gue aja yang fotoin. Lo sana aja sama Pelita, biar gambar yang di foto makin sempurna," ujar Ardo.
"Thank's." Karang menarik tali kamera hingga melewati kepalanya dan memberikan benda itu kepada Ardo.
Ia menghampiri Pelita dan duduk di sebelahnya, tersenyum ceria melihat orang-orang di sekitarnya bahagia.
"Bisa lihat ke sini semua nggak, bakal bagus nih Emak sama Bapaknya udah jadi satu," seru Ardo yang mengarahkan kamera pada mereka diselingi kekehan geli.
Pelita mengehentikan nyanyiannya, ia dan Karang beranjak pun anak-anak penderita cancer itu. Mereka semua saling berhimpitan di dekat Karang serta Pelita, tangan kanan Karang merangkul bahu gadisnya.
"Siap ya, semua harus senyum," perintah Ardo setelah mendapatkan angle yang pas.
"Satu ... dua ... tiga!"
Semua orang tersenyum hangat dan ckrek!
Foto penuh kebahagiaan itu dapat diabadikan dengan kamera, setidaknya mereka masih bisa membuat anak-anak itu bahagia untuk hari ini, karena esok tak tahu apa yang menanti dan harus dialami. Hidup serta kematian seseorang selalu beriringan, tak ada yang tahu kapan akan mati, tempat ataupun bagaimana keadaannya.
Hari ini, esok dan seterusnya berusaha kuat menjalani apa pun untuk segala aral yang membentang, memancing kepedihan, memaksa air mata keluar, memikul beban berat dan segala kepiluan tentang awan hitam. Semua akan lekas reda, tunggu saja pelangi yang indah datang menghampiri, karena berjuang lebih berharga daripada diam saja dan pasrah dengan keadaan.
Karang dan Pelita belajar banyak tentang kepedihan, bagaimana cara bersabar dan menyikapi hal itu, semua akan berakhir, mereka percaya hal itu.
Sekarang yang perlu disyukuri adalah hadirnya cinta, cinta dan cinta ....