Tangan kiri Karang terus menggenggam tangan gadisnya meski tetap fokus mengemudikan mobil pagi ini, jalanan mulai macet, hal itu makin membuat kegugupan dalam diri Karang meningkat. Ia mendesah setelah menginjak rem dengan pelan karena banyak deretan mobil di depannya yang juga berhenti, sisi kanan-kiri pun terhimpit kendaraan yang sama. Tangannya melepas genggaman pada Pelita, lantas menyugar rambut dengan frustrasi.
Pelita hanya tersenyum tipis menanggapi sikap kekasihnya yang sudah setahun belakangan selalu setia bersamanya, ia tahu apa yang tengah Karang rasakan—hari ini Karang akan diwisuda setelah berhasil lulus dan menyandang predikat sebagai mahasiswa terbaik, apalagi IPK yang diraih Karang mendekati sempurna.
Bunyi klakson mobil terus bersahutan, menambah kebisingan di jalan raya, hal itu tentunya menambah kecemasan Karang karena jam sembilan ia harus sudah sampai di kampus, kurang lima belas menit lagi, tapi mereka masih berada di jalan dan terjebak macet. Sial sekali!
Karang mendesah, ia ikut menekan klakson karena sangat gemas dengan keadaan yang tak memihaknya.
"Kamu ngapain, sih? Ngapain bunyiin klakson juga, namanya juga macet. Malah tambah berisik," ujar Pelita terganggu.
"Mereka nggak mau jalan, sebentar lagi acara wisuda mau dimulai."
"Iya, aku tahu. Pakai cara yang lain aja."
"Cara apa, Ta? Lima belas menit lagi, waktunya nggak mungkin jalan mundur."
Pelita terdiam, menerawang sejenak, setelah itu senyumnya terbit.
"Kamu lari aja," saran Pelita.
Karang mengerutkan keningnya, "Lari?"
"Iya, lari dari sini ke kampus. Bisa lari 'kan? Masa nggak bisa sih, lagian jalannya udah padat merayap kayak gini, kalau kamu nunggu duduk di sini terus jelas bakal telat, Karang."
Karang manggut-manggut, "Perlengkapannya mana?"
"Di jok belakang, aku ambil alih mobil kamu. Papa sama mama kamu pasti udah nungguin di kampus sekarang, jadi harus semangat."
"Oke." Karang menarik tengkuk Pelita, lantas mencium kening gadis itu. Setelahnya keluar dari mobil, dan mengambil sebuah shopping bag di jok belakang yang berisikan seragam toga serta perlengkapan lain untuk acara wisudanya nanti. Setelah itu Karang melangkah melewati mobil-mobil yang masih diam tanpa sanggup bergerak, setelah tiba di trotoar barulah laki-laki itu berlari penuh semangat menjemput ijazahnya di kampus.
***
Meski sudah berada di kampus dan mengenakan seragam toga khas warna hitam serta mortarboard di kepalanya yang membuat Karang terlihat begitu menggemaskan, tetap saja ia cemas karena Pelita tak kunjung datang. Sebentar lagi ia akan diwisuda, naik ke atas altar di dalam aula bersama teman-teman satu angkatannya, ia terus melirik arlojinya sambil sesekali menoleh ke belakang—menatap pintu masuk aula yang terbuka lebar. Karang tahu, semua itu salahnya, harusnya tadi ia juga mengajak Pelita berlari—bukan meninggalkannya mengurus mobil dalam keadaan macet.
Karang mendengkus kasar, pikirannya mulai kacau, apalagi mendengar dosen tengah berkutbah pada semua tamu undangan dan mahasiswa yang duduk berjejeran. Isi kepala serta fokusnya tak bisa disatukan, ia sangat gusar karena Pelita tak kunjung datang.
Ardo, Sofi serta Gibran juga duduk di sebelahnya. Mereka terlihat antusias mendengarkan pidato dari seorang dosen pria yang berdiri di atas altar, sedangkan Karang justru seperti cacing kepanasan, tak bisa diam.
Saat pembawa acara memanggil mahasiswa jurusan fotografer, orang-orang berpakaian toga lengkap dengan mortarboard di kepala mereka beranjak, hanya Karang yang tak mendengarkannya karena terlalu sibuk memikirkan nasib Pelita.
Hal itu membuat Sofi, Ardo serta Gibran menoleh pada Karang.
"Hey, lo nggak mau diwisuda sekarang? Apa tahun depan?" tanya Ardo sembari menepuk paha Karang.
Laki-laki itu menoleh, "Eh, iya. Lupa." Karang mengusap tengkuknya, ia beranjak keluar dari barisan kursi yang terisi penuh oleh orang-orang, langkahnya menapaki tangga menuju altar, berbaris di belakang teman-teman seangkatannya. Masih saja laki-laki itu menatap ke arah pintu, sosok Pelita tak kunjung muncul, Karang berdecak.
Hingga seorang dosen memberinya sebuah tabung yang dililit dengan kain warna hitam berisikan ijazah serta dokumen penting lainnya, setelah itu Karang diminta untuk berpidato di depan semua orang apalagi ia adalah mahasiswa lulusan terbaik tahun ini.
Karang mengembuskan napas panjang, ia harus fokus untuk itu apalagi di depan orang tua serta saudaranya, hari ini hari pelepasannya, semua orang pasti membanggakan dirinya sebagai sosok laki-laki berprestasi. Karang meraih sebuah mikrofon dari tangan pembawa acara itu, ia mulai berpidato sebaik mungkin di depan banyak orang.
Hingga sosok Pelita muncul, gadis itu tetap berdiri di ambang pintu sembari melempar seulas senyum tulusnya pada Karang, ia bahagia melihat kekasihnya berdiri di sana sembari mengumandangkan segala motivasi yang bisa dibaginya dengan orang lain, Karang adalah sosok pejuang, siapa yang tak bangga punya kekasih seperti itu?
Karang pun mengulas senyum ketika sosok gadis itu muncul, ia makin bersemangat berpidato di depan semua orang. Ada yang terlihat berbeda dari Pelita, sebuah kamera menggantung di lehernya dan itu milik Karang.
Gadis itu mengangkatnya dengan kedua tangan, memosisikannya menghadap sosok Karang, lantas dengan fokus penuh Pelita mulai membidiknya hingga gambar sempurna Karang berpidato dapat ia abadikan. Padahal, selama ini Pelita tak pernah menyentuh benda kesukaan Karang itu, ia hanya sering menemani Karang mengabadikan segala momen saat mereka jalan-jalan atau sekadar berkunjung ke rumah singgah cancer.
Berkali-kali Pelita membidik gambar Karang, wajah menggemaskannya membuat senyum Pelita terukir setiap saat.
"Sekian dari saya, terima kasih semuanya." Ucapan terakhir Karang baru saja terlontar, ia mencium tabung hitam miliknya lantas mengangkat benda itu tinggi hingga semua orang memberi tepuk tangan untuknya termasuk Pelita.
Hingga sesi wisuda itu selesai, semua mahasiswa seangkatan dengan Karang berlari menuju halaman kampus lantas melempar mortarboard hitam mereka ke atas sembari melompat dengan bahagia, mereka sudah lulus dari Universitas Merah Putih yang selama ini telah mendidik sebaik mungkin hingga mencipta manusia berprestasi seperti Karang.
Setelah melempar mortarboard miliknya, Karang menghampiri Pelita serta tiga keluarganya yang berdiri di sisi koridor, mereka menatap laki-laki itu dengan perasaan bangga dan bahagia.
Karang memeluk Sofi, "Karell udah lulus, Ma."
Sofi tersenyum, ia mengusap punggung Karang. "Selamat, Sayang, selamat. Akhirnya kamu selesai sama pendidikan kamu, jadi mahasiswa terbaik, kamu selalu buat mama bangga. Kejar terus cita-cita kamu, Nak." Sofi menangkup wajah Karang, membuat laki-laki itu menunduk dan membiarkan sang ibu mengecup keningnya.
"Makasih, Ma." Karang beralih memeluk Gibran, pria yang sudah menjaganya sejak kecil tanpa kehadiran Sofi, pria yang sudah mengajarkannya menjadi dewasa dan bertanggung jawab, pria yang selalu ingin putranya menjadi laki-laki berguna.
"Selamat, Karang. Kamu udah lulus, dan bikin papa bangga atas prestasi yang kamu raih. Papa selalu dukung apa pun keputusan kamu setelah ini, papa nggak akan mengekang jalan kamu."
"Makasih, Pa. Makasih selama ini selalu jaga Karang tanpa ngeluh, makasih udah jadi panutan yang baik buat Karang." Karang melepas pelukan itu, ia berganti menatap Ardo lantas memeluk saudara tirinya, mereka begitu akrab setelah mengenal satu sama lain apalagi setahun belakangan Karang tinggal serumah dengan Sofi bersama Ardo serta Iqbal—ayah kandung Ardo, pria itu sudah menganggap Karang seperti anak kandungnya sendiri, lagipula setiap bulan sesering mungkin Karang pulang ke Bandung untuk menjenguk keadaan Gibran, tak ada yang perlu iri di antara mereka.
"Selamat, lo akhirnya lulus, Man!" ucap Ardo ikut bahagia. "Lo tunggu aja, tahun depan pasti gue yang bakal pakai baju beginian."
"Lo yakin?" ledek Karang.
"Lo nggak percaya sama gue?"
"Percaya, percaya." Karang menepuk puncak kepala Ardo seperti menganggapnya anak kecil, membuat mereka tertawa dalam suasana bahagia.
Kini giliran gadis itu, gadis yang sudah menemaninya dalam derap langkah yang tak mudah, di mana bebatuan terjal sering sekali menghalangi, tapi sanggup mereka lewati. Karang memeluk Pelita dengan erat, membagi rasa bahagianya apalagi setiap detik bersama gadis itu tak ada hal lain yang sanggup membuatnya berpaling, Karang mencintai Pelita lebih dari apa pun.
"Selamat ya, kamu lulus, aku bangga sama kamu. Kejar cita-cita kamu, Karang," ungkap Pelita ikut senang.
Karang melepas pelukan itu, ia mengecup puncak kepala gadis itu di depan keluarganya.
"Makasih, karena ada kamu aku bisa kayak gini. Karena kamu penyemangat, Ta. Karena kamu adalah sesuatu yang selalu buat aku bahagia, nggak ada yang sehebat kamu. Tunggu dua bulan lagi, aku pasti lamar kamu."
"Helah, udah gaspol aja si Abang," cibir Ardo bersama senyuman jahilnya.
Karang dan Pelita menoleh bersamaan, mereka tertawa tanpa beban, momen pelepasan itu akhirnya tiba.
Kini giliran Karang yang akan berjuang lagi untuk gadisnya, agar mereka benar-benar menyatu dalam hubungan sehidup semati, agar dunia tahu bahwa Pelita tercipta untuknya. Selama delapan bulan terakhir, Karang selalu mengikuti berbagai event fotografi, beberapa kali juga ia menang dan mendapat piala serta uang yang ditabungnya. Karang juga bekerja di salah satu agency pemotretan model, selama ini ia bekerja sungguh-sungguh, ia ingin membahagiakan orang-orang di sekitarnya dengan hasil keringatnya sendiri.
Karang tak ingin berpacu dengan jabatan tinggi yang dipegang ayahnya, Karang ingin punya bisnis sendiri dan berdiri di atas kakinya tanpa harus mengemis pada orang tuanya, Karang ingin buktikan bahwa ia bisa menjadi laki-laki berguna di mata semua orang. Termasuk gadis itu, seseorang yang selalu jadi morfin untuknya.
Selamat, Karang!