***
"Akhirnya, anak Mama mau menikah." Mona ikut merapikan style rambut Pelita bersama beberapa perias lain, mata wanita itu berkaca karena semakin lama ia sadar bahwa putrinya juga terus tumbuh dewasa serta siap memiliki kehidupan sendiri, kehidupan baru yang harus dijalani dengan seorang laki-laki, manusia beruntung itu bernama Karell Rafaldi Angkasa.
"Kok aku deg-degan ya, Ma," aku Pelita seraya meremas dress panjangnya yang berwarna putih, ia menatap pantulan dirinya di cermin.
"Siapa pun, Ta. Siapa aja yang mau menikah pasti punya perasaan gerogi, termasuk mama sama papa kamu dulu." Kini Mona beralih berdiri di depan Pelita seraya mengamati lekat wajah merona sang putri.
"Apa dong? Cerita, biar aku nggak terlalu gerogi gini, Ma."
Tok-tok-tok!
Semua yang berada di dalam ruang rias itu menoleh ke arah pintu—di mana sosok Sofi berdiri di sana, ia juga tak kalah cantik mengenakan gaun warna putih, dress code pernikahan Karang serta Pelita memang putih demi menggambarkan suasana suci nan sakral yang sebentar lagi akan dilangsungkan.
"Sudah siap, Sayang?" tanya Sofi seraya menghampiri mereka, seulas senyum hangat terlukis di wajahnya.
"Mama ...." Sudah lama Pelita memanggil wanita itu dengan sebutan 'Mama' karena memang Sofi yang meminta, ia yang selalu menganggap Pelita anak gadisnya sejak lama—hari ini semua itu benar-benar akan terwujud.
"Kamu cantik sekali," puji Sofi yang kini menangkup wajah Pelita, lantas mengecup puncak kepalanya.
"Mama juga."
"Karang, Ardo sama ayahnya udah on the way ke gedung lho, kamu juga harus siap-siap ya," ujar Sofi.
"Iya, ini juga udah selesai. Cuma kata Pelita dia gerogi, Sof," sela Mona.
"Gerogi?" Sofi terkekeh pelan. "Semua yang mau menikah pasti punya perasaan seperti itu, nanti kalau udah kelar juga nggak lagi kok. Semua akan baik-baik aja, Sayang. Sekarang siap-siap ke mobil ya, mama sengaja minta turun di sini buat jemput kamu."
Tetap saja Pelita gusar hari ini, sekali lagi ia meyakinkan dirinya bahwa semua akan berjalan lancar seperti yang telah dipersiapkan, Pelita terus merapal doa dalam hati. Ia beranjak perlahan, menatap lagi pantulan dirinya yang begitu elok di cermin.
Pelita menghela napas. "Sekarang aku siap! Ayo kita ke mobil."
***
Gedung yang disewa telah ditata sedemikian rupa, dekorasi warna putih di dalam ruangan begitu kentara, ratusan mawar putih juga tertata di sudut-sudut gedung serta sisi kursi yang tersedia untuk tamu undangan, bahkan langit-langit gedung pun menjuntai banyak mawar yang dibuat sedemikian rupa, semuanya sangat luar biasa.
Mobil yang dinaiki Karang, Ardo, Gibran dan Iqbal baru saja sampai dan menepi di tempat parkir. Mereka lantas turun, semuanya tampak gagah dengan masing-masing setelan jas yang mereka pakai, terutama calon pengantin dengan rona wajah begitu cerah, seperti rona matahari pagi ini.
Gibran dan Iqbal melangkah lebih dulu seraya berbincang begitu akrab, bagaimana saling menerimanya posisi sebagai suami dan mantan suami dari Sofi, tak perlu mereka sampai meributkan masa lalu, semua telah berdamai dengan masa lalu. Dengan mereka akrab maka semua bisa dipersatukan menjadi keluarga yang hangat, harmonis.
Sejak Sofi kembali dalam hidup Karang, ia terus tinggal serumah dengan wanita itu beserta Iqbal dan Ardo, sedangkan Gibran tetap berada di Bandung, sesekali Karang yang datang ke sana untuk menemuinya.
Ardo menghentikan langkahnya saat ia sadar melangkah sendirian, ia menoleh mendapati Karang yang masih diam di dekat mobil seraya melamunkan sesuatu.
"Dasar bocah!" desis Ardo menghampiri kakak tirinya, "mau nikah enggak? Apa mau ganti posisi aja biar nanti gue yang di sebelah Pelita."
Iris Karang beralih pada Ardo, mengancam.
"Ampun, Bang!" Ardo segera mengangkat tangannya, takut-takut jika Karang melakukan sesuatu.
"Udah buru, jalan." Karang melangkah melewatinya begitu saja, diikuti Ardo menyamainya.
"Nanti ucap sumpahnya yang bener, ya. Kalau lupa gue bisa gantiin kok," ledek Ardo lagi.
"Boleh, tapi habis itu nyawa lo melayang," sahut Karang begitu santai, tapi mengerikan.
"Nggak jadi malam pertama gue kalau langsung melayang sih, ya udah nggak jadi gantiin deh."
"Adik yang pinter." Karang menepuk bahu Ardo beberapa kali, mereka terus melangkah hingga tiba di dalam gedung, terlihat beberapa tamu undangan sudah datang.
Banyak yang mereka undang khususnya teman-teman kuliah Karang dan Pelita, Anggi dan lainnya juga baru saja menepikan mobil, mereka semua terlihat begitu wow dengan dress atau gaun panjang yang dikenakan, tampil sempurna untuk pesta pernikahan sahabat adalah suatu kewajiban bukan?
Mobil yang dinaiki Pelita juga sudah datang, gadis itu makin gusar tatkala menyadari semuanya makin dekat, antara senang dan cemas, dua hal itu mendominasi pikirannya saat ini.
Pintu mobil dibuka oleh sang supir, ia keluar dengan pelan seraya menarik sedikit bagian belakang gaun pernikahannya yang cukup panjang.
"Biar mama berdua yang pegangin gaunnya," ucap Mona menatap Sofi dan Pelita bergantian, gadis itu hanya mengangguk. Matanya melihat ke arah gedung yang sudah didekorasi begitu cantik, di luar gedung pun banyak bunga mawar putih tertata dengan cantik—menyambut para tamu undangan.
Waktu makin dekat, semua tamu undangan juga sudah duduk di dalam gedung yang kini benar-benar penuh, tapi tetap steril.
Karang sudah berdiri di bawah altar, menunggu calon pengantin perempuan menyatukan tangan mereka nantinya, dia terus menguasai diri agar bisa mengontrol semuanya dengan mudah, hari ini adalah akhir, akhir yang harus bahagia.
Pendeta juga sudah bersiap di permukaan altar dan berdiri di depan meja tinggi yang telah dipersiapkan kitab suci dan beberapa perlengkapan lain.
Waktu telah tiba, pengisi acara yang berdiri di dekat altar mulai berbicara mengawali pemberkatan pagi ini, Karang makin deg-degan di buatnya.
Hingga tiba, pintu gedung yang terbuka lebar itu menampilkan wajah gadis yang selalu Karang cintai setiap harinya, waktu demi waktu dan berjanji semuanya takkan pernah pudar seperti mimpi-mimpi mereka. Wajah kuarsanya dihiasi senyuman hangat, di sisi Pelita sudah ada Fito—sang ayah—yang menggandeng tangan kirinya, sedangkan tangan kanan Pelita memegang sebuket mawar putih. Keduanya melangkah bersama di permukaan karpet melewati para tamu undangan yang tiada henti menatap gadis cantik itu, ini hari bahagianya, semua orang juga harus bahagia.
Karang pun begitu, kedua sudut bibirnya terus ditarik saat gadisnya makin mendekat, menampilkan rona yang selama ini telah Karang tunggu, ia yang telah diperjuangkan karena Pelita benar-benar piala yang dianugerahkan Tuhan untuknya.
Hingga tiba Pelita dan Fito berhenti di dekat Karang, Fito memberikan tangan kiri Pelita pada Karang sebagai tanda bahwa ia sudah melepaskan anak gadisnya untuk pria yang akan menjadi masa depannya.
"Jaga Pelita dengan baik," pesan Fito sebelum ia bergabung dengan Mona dan lainnya yang duduk di barisan paling depan.
Mereka saling tatap, iris yang sama-sama menemukan, perasaan itu benar-benar mekar seolah banyak kupu-kupu berterbangan di perut mereka. Setelahnya sepasang manusia itu menapaki dua tangga naik ke altar, menemui pendeta yang akan menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan.
Momen menegangkan untuk keduanya pun dimulai, pendeta mulai meminta janji suci dari Karang dan Pelita, setelah mereka menjawab semuanya barulah pendeta mensahkan mereka menjadi sepasang suami istri.
"Apa yang dipersatukan oleh Tuhan, tidak bisa dipisahkan oleh manusia," ucap pendeta sebagai arti bahwa dilarangnya perpisahan pada sepasang suami istri di depannya itu.
Setelahnya Karang dan Pelita berciuman di depan semua orang sebagai tanda mereka benar-benar telah menjadi satu, para tamu undangan bertepuk tangan menanggapi semua itu, bahkan anggota keluarga terlihat berkaca termasuk Sofi dan Mona, mereka tak menyangka pada akhirnya akan melepas masing-masing buah hatinya untuk tinggal sendirian.
"I'm yours," bisik Karang setelah melepas ciuman itu.
"Me too."
Bahagia, itulah yang tergambar jelas di wajah serta hati keduanya saat ini, telah sah menjadi sepasang suami istri membuat mereka harus menempuh kehidupan berdua.
***