Undangan pernikahan itu sudah disebar ke penjuru Universitas Merah Putih, ketiga teman Pelita juga sudah menerima undangan yang dikemas dengan cantik.
Dulu mereka mengidam-idamkan hal itu, sekarang tak lagi. Chintya meremas kuat-kuat undangan itu lalu membuangnya ke selasar kantin, tak ada Pelita hari ini. Apa gadis itu tengah mengutuki nasib buruknya, lagi?
Kamila juga merobeknya lalu menginjak-injak di depan semua orang, ia tak peduli jika pemilik undangan itu akan datang dan mencakar wajahnya. Kamila siap untuk bergelut ria dengan Valerie, lalu viralkan!
Sedangkan cara Anggi berbeda, ia mengambil spidol dari dalam ranselnya. Mengganti nama Valerie dengan nama Pelita lalu memberi kumis pada gambar Valerie yang sengaja dipajang di dalam undangan, setelahnya ia terkekeh geli.
Masing-masing punya cara meluapkan kekesalan mereka, mereka tak terima jika Pelita disakiti lagi. Bukankah begitu seharusnya seorang sahabat?
"Pelita nggak masuk, dia pasti tahu soal pernikahan mereka yang dipercepat. Jangan-jangan nanti dia bunuh diri lagi," terka Anggi cukup gelisah.
"Hush!" Chintya menarik bibir Anggi. "Jangan asal ngomong deh, jangan sampai Pelita bunuh diri. Kita harus kasih kekuatan sama dia."
"Sekarang dia di mana coba?" sela Kamila.
Anggi dan Chintya menggeleng.
"Nomornya nggak aktif, serius gue takut kalau dia kenapa-napa karena ini," sahut Chintya, menggigit bibirnya.
"Terus kita harus gimana dong?" timpal Anggi.
"Ngapain kalian ngurusin teman kalian yang udah dicap sebagai pelakor sama anak satu kampus, hm?" Hinaan itu membuat ketiga teman Pelita menoleh pada sosok Valerie yang sudah berdiri dengan teman-temannya, berdiri begitu angkuh sembari mengangkat dagu dengan bersidekap di depan dada.
Chintya mengerutkan dahi, dia beranjak menghampiri Valerie. "Siapa yang lo sebut pelakor, hm?" Emosi Chintya sudah terlihat.
"Pelita, siapa lagi coba," sahut Valerie diiringi kekehan hinaan dari teman-temannya.
Kini Anggi dan Kamila ikut beranjak menghampiri Chintya. "Jangan asal ngomong ya! Pelita nggak kayak gitu! Karang aja yang terjebak hubungan sama lo jadi dia nggak bisa bebas sama Pelita!" cicit Chintya.
"Benar tuh, lo aja yang kurang beruntung terus dikhianati sama Karang. Menyedihkan sekali ...," timpal Anggi diiringi seringaian.
"Kalian!" Valerie mengangkat tangannya, tapi tangan Kamila menahannya.
"Jangan sentuh siapa pun di sini, apa lo mau gue ajak karate sekarang? Lo mau dress lo yang mahal itu robek-robek karena berantem sama gue, hm?" Kamila juga menyeringai.
Valerie mendengkus, ia menurunkan tangannya.
"Udahlah, Val. Ngapain ngurusin cewek-cewek nggak jelas kayak gitu, mending lo spa buat wedding besok. Kan udah jelas Karang pasti nikah sama lo," celetuk salah satu teman Valerie yang berdiri di sebelahnya.
Valerie tersenyum miring, "Iya juga ya, ngapain gue capek-capek debat sama mereka yang nggak jelas ini. Mending perawatan buat persiapan besok, lagipula mau gimana pun juga Karang jodohnya sama gue. Bukan teman mereka yang pelakor itu, buktinya sekarang nggak kelihatan. Pasti lagi nangis-nangis di kamar atau mau gantung diri," cibir Valerie yang langsung dibalas kekehan geli oleh teman-temannya.
Chintya mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia ingin menampar Valerie, tapi gadis itu sudah pergi lebih dulu.
"Bangsat banget sih itu cewek!" umpat Chintya.
"Udahlah, mending sekarang kita cari Pelita. Pasti dia butuh bahu banget nih, serius gue takut dia kenapa-napa," ujar Kamila.
"Ya udah yuk pergi, mumpung kelas udah kelar," timpal Anggi.
Ketiganya meraih ransel dan keluar meninggalkan kantin, bersiap untuk mencari gadis yang mungkin bisa mengakhiri hidupnya karena patah hati.
***
Pelita tak menangis, apalagi mencoba bunuh diri, untuk apa melakukan hal bodoh seperti itu. Dia justru tengah tersenyum di balik meja riasnya sembari melukiskan liptint pada bibir merah mudanya, lalu mencepol rambut serapi mungkin, ia terlihat bahagia.
Setelah itu terdengar suara klakson mobil dari arah luar rumah, Pelita yang sudah bersiap sejak tadi kini beranjak dan tak lupa meraih sling bag di permukaan meja rias. Ia keluar dari kamarnya lalu menuruni anak tangga, tak biasanya gadis itu berdandan serta mengenakan sebuah dress, ia seperti bukan dirinya lagi.
Pelita menghampiri pintu utama lalu membukanya, menemukan Karang yang sudah menggenggam satu buket bunga untuk gadisnya yang paling cantik.
Karang mengulurkan buket bunga itu bersama seulas senyum menawan, "Ini buat gadisku yang paling cantik, paling sempurna."
Pelita tersenyum, dia meraih bunga itu, membiarkan indra penciumannya menghirup aroma mawar putih yang khas. "Makasih," balas Pelita.
Karang mengulurkan tangan kanannya, meminta tangan Pelita dan menarik gadis itu melangkah bersamanya.
"Kamu udah siap?" tanya Karang.
"Udah, aku siap untuk apa pun yang terjadi besok, apa pun."
"Aku juga siap untuk apa pun besok, apa pun yang terbaik buat kita."
Mereka berhenti di dekat mobil Karang, laki-laki itu mengecup lembut kening gadisnya. "Ayo, masuk." Karang membukakan pintu untuk Pelita, gadis itu masuk dan duduk sambil terus memeluk bunga dari Karang. Setelahnya Karang yang duduk di balik kemudi, meraih tangan gadisnya dan tak ingin melepasnya sampai kapan pun lagi.
Hari ini mereka ingin bahagia, entah untuk redup esok yang menyambut, Karang tak ingin Pelita memikirkan hari pernikahannya besok. Lagipula ia sudah memberikan rules paling tepat sebagai kunci sesuatu di hari pernikahannya besok, untuk apa takut.
Mobil milik Karang mulai melaju dengan kecepatan sedang, keluar dari area perumahan Pelita, berkali-kali ia menoleh menatap gadis yang kian hari makin membuatnya jatuh hati.
Sebesar apa pun badai, pasti suatu saat akan reda juga, akan ada pelita terang yang berpendar menyingkirkan awan gelap. Itulah yang keduanya percaya setelah semua kepahitan yang telah mereka lalui bersama, Tuhan boleh berikan luka, boleh memberikan patah hati, tapi waktu adalah obat terampuh sebagai penyembuh. Mereka akan selalu melalui hari-hari berikutnya, semoga selalu berlanjut.
Panggilan masuk pada ponsel Karang mengusik kebersamaan mereka, laki-laki itu merogoh ponselnya dari saku celana, nama Valerie tertera pada layar benda pipih itu—lantas Karang mematikan panggilan sekaligus aktifasi ponselnya.
"Siapa?" tanya gadis itu.
"Bukan siapa-siapa, jangan mikir hal selain kita berdua ya. Anggap aja di dunia cuma milik kita berdua. Aku punya kamu dan sebaliknya."
Pelita manggut-manggut, "Percaya kok percaya."
Perjalanan itu terus berlanjut, mereka menghabiskan banyak kegiatan untuk hari ini seperti nonton, makan siang atau main timezone ala bocah di dalam mall, mengelilingi kota Jakarta dengan segala kebisingannya, lalu berakhir di dalam apartemen Karang sembari memegang konsol Play Station pada tangan masing-masing.
Punggung Karang bersandar pada sisi ranjangnya, sedangkan tubuh Pelita sedikit turun, ia menyandarkan kepala pada dada Karang dengan kaki yang diluruskan. Fokus mereka mengarah pada layar televisi yang menampilkan game sepak bola kesukaan Karang, terakhir mereka main Play Station itu dulu, lebih tepatnya saat pertama kali Pelita datang ke apartemen Karang dan memakan burger king yang tak sanggup ia habiskan.
Di sisi kaki Pelita pun telah tersedia dua kaleng soft drink serta sekantung makanan ringan, ternyata permainan yang tak terlalu Pelita pahami itu sanggup membuatnya berteriak kegirangan karena berhasil memasukan bola ke gawang milik tim Karang.
"Yeay! Aku menang!" seru Pelita sembari mengangkat tangannya, menjulurkan lidah pada Karang sebagai ejekan.
Laki-laki itu tersenyum, senang melihat Pelita senang dan lupa tentang hari esok, memang itulah tujuannya. Karang mengusap lembut wajah Pelita meski gadis itu kembali fokus pada televisi plasma di depan mereka, sepertinya main Play Station lebih menyenangkan.
"Aku boleh minta hadiah nggak kalau menang?" tanya Karang.
"Hadiah apa?" Pelita menoleh sesaat, kembali pada konsol miliknya.
"Nanti deh kalau menang."
"Yakin bakal menang dari aku?"
"Yakin dong."
Pelita mencebik bibir, mereka melanjutkan permainan itu dengan skor imbang, Karang memasukan bola ke gawang Pelita dua kali, maka Pelita juga akan membalas hal yang sama. Skor mereka terus seri.
Hingga menit terakhir akhirnya Karang yang memenangkan pertandingan itu, kini Karang yang berseru kegirangan. Pelita mengerucutkan bibir, ia menegakkan duduknya dan bersandar di sisi ranjang.
"Curang," keluh gadis itu, ia meletakan konsolnya di atas permadani begitu saja.
Karang berdecih, "Siapa yang curang? Bukannya kamu udah lihat semuanya. Sekarang aku mau minta hadiahnya."
"Apa?"
"Aku mau kamu."
Pelita mengerutkan kening, mau dirinya? Bukankah ia juga sudah jadi milik Karang, ia sudah berikan apa pun untuk Karang, lalu apalagi sekarang?
"Mau aku? Bukannya aku juga udah punya kamu 'kan?"
Karang mengangguk.
"Terus apa lagi? Ada yang kurang?"
Karang mengangguk lagi.
"Apaan sih? Angguk-angguk aja kayak kucing China di toko-toko itu." Pelita tertawa sendiri, ketika menatap sepasang iris di depannya gadis itu langsung diam. Kenapa Karang juga diam saja dan menatapnya seperti itu, nyaris tanpa kedip, hanya sapuan napas hangat yang jelas terasa.
Keduanya berada dalam keheningan, Pelita merasa canggung karena tatapan Karang enggan beralih darinya, ada apa ini?
"Aku bukan penjahat, kenapa kamu lihatnya kayak gitu? Kayak polisi yang lagi introgasi tahu nggak," ujar Pelita.
Karang tetap diam, seperti patung hidup.
Pelita makin merasa aneh, "Kamu kenapa sih? Kok serem yah. Aku mau merem aja."
Dua detik setelah Pelita menutup matanya, Karang merenggut bibir gadis itu dan mengulumnya dengan lembut. Pelita membuka matanya, menatap sepasang netra pekat di depannya tanpa terpejam, tangan kanan Karang terangkat untuk menutupi mata gadis itu.
Karang terus mengulumnya tanpa henti, ia selalu menyukai bibir Pelita. Tangan kanan laki-laki itu turun, menghampiri paha Pelita yang tertutup dress, ia mengusapnya dengan lembut hingga pemiliknya merasa kegelian.
Pelita kembali membuka matanya, menahan tangan Karang agar berhenti mengusap pahanya, ia menggelinjang kegelian dan Karang enggan mengalah. Lumatan lembut itu berubah jadi menuntut, Karang terus menekannya meski napas Pelita sudah sangat memburu. Gadis itu menyelipkan tangannya pada rambut Karang, mencengkramnya dengan gemas dan memaksa Karang menghentikan ciumannya.
"Kenapa?" tanya Karang terlihat kecewa.
Pelita menggeleng, ia beranjak sembari merapikan ujung dress yang sempat tersingkap oleh tangan Karang.
Meskipun mereka pernah melakukan hal itu sekali, tapi Pelita merasa canggung untuk melakukannya lagi. Ia sangat tidak siap untuk hal itu lagi, Pelita meraih sling bag di atas permadani, menatap Karang yang enggan beranjak.
"Aku mau pulang," ucap gadis itu.
"Kenapa pulang?"
"Sebentar lagi malem."
Karang tak peduli dengan alasan gadis itu, ia tak ingin berhenti dan menarik tangan Pelita hingga gadis itu duduk di atas pangkuannya.
"Kamu mau apa?" tanya Pelita sembari menggigit bibirnya, rasa merinding mulai menjalar ke sekujur tubuh, padahal laki-laki itu hanyalah Karang, bukan hantu.
"Aku mau kamu."
Sudah jelas, ia juga sudah mengatakannya tadi, kenapa Pelita harus bertanya lagi.
"Tapi, aku mau pul—"
Karang merengkuh tubuh Pelita, memaksa ciuman itu dilanjutkan lagi seolah bibir Pelita adalah obat penenang dengan dosis paling pas yang harus ia konsumsi setiap pikirannya dilanda kegelisahan, apalagi besok pernikahannya dengan Valerie. Ia stres, tapi enggan menunjukannya di depan Pelita, ia hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan gadis itu dan menyembunyikannya dengan cara yang intim.
Rengkuhan itu kian erat, Pelita akhirnya mengalah dan melingkarkan kedua tangannya pada leher Karang. Satu tangannya kembali meremas rambut lembut kekasihnya karena lumatan bibir yang terlalu keras, Pelita merasakan sedikit perih di dalam sana.
Karang melepaskan rengkuhannya, membiarkan ciuman itu terus berlanjut tanpa batas waktu, tangannya kembali menyingkap ujung dress milik Pelita. Jemarinya menggelitik paha itu lagi, membuat tangan Pelita kembali menahannya, tapi dengan mudah Karang dapat menyingkirkan apa pun penghalang baginya meraih keginginan hingga puncak. Tangan itu naik ke bagian pinggang, mengusapnya dengan lembut.
Begitu Karang melepas ciuman mereka, gadis itu mendesah karena bibir Karang menghampiri lehernya, melumat serta menyesapnya dengan gemas, membuat Pelita makin mencengkram kuat rambut laki-laki itu.
Setelah selesai dengan usap-usap pinggang, jemarinya turun, menyelinap masuk melewati sesuatu warna putih polos yang menutupi bagian milik Pelita. Gadis itu kembali mendesah tatkala jemari Karang mempermaikan miliknya, Pelita bahkan menggigit ibu jarinya sebagai upaya menahan diri agar tak terus mendesah, Karang pasti suka dengan semua kegilaan itu.
Napasnya memburu, bukan hanya merinding yang menjalar ke sekujur tubuh, tapi juga napsu setan yang kian merangkak hingga ubun-ubun. Saat pertama kali melakukannya, Pelita setengah sadar tapi tak terlalu menikmatinya, yang ia tahu saat itu Karang hanya berusaha memberinya kehangatan tanpa Pelita tahu bagaimana harus menikmatnya meski Karang berhasil menerobos pertahannya hingga nyeri pada bagian miliknya baru hilang setelah beberapa hari.
Kali ini, Pelita benar-benar sadar jadi ia tahu seperti apa rasanya melakukan hal itu dengan seseorang yang benar-benar ia cinta. Pelita tak ingin menolak apalagi menghentikan hal itu, ia merasa batas kendali atas dirinya sedang dipegang oleh Karang. Jika Karang sudah memulainya maka biarkan ia juga yang mengakhirinya, Pelita hanya perlu melakukan perannya dengan baik.
Sesi menyesap leher itu selesai dan Karang kembali mengulum bibir Pelita, kali ini justru Pelita yang begitu liar tak seperti kemarin-kemarin. Gadis itu mulai berada di atas batas normal, ia bukan dirinya lagi tapi sesuatu yang lain dan sudah merasuk ke dalam dirinya karena sebuah sentuhan yang sudah tak sanggup menguji kesabarannya hingga Pelita jadi gila.
Jemari Karang keluar dari bagian intim Pelita, meminta gadis itu berdiri tanpa melepas ciuman mereka lalu berlanjut merebahkan diri di permukaan ranjang dengan posisi Karang berada di atas.
Karang melepas ciuman itu dan mengangkat tubuhnya, ia tahu napas Pelita sudah cukup tersenggal.
"Jangan berhenti, aku mau jangan berhenti," rengek gadis itu. Pelita menunjukan sisi liar dalam dirinya yang berhasil didobrak oleh Karang.
"Enggak, Sayang." Karang melepaskan kausnya, menyingkap lagi dress Pelita hingga bagian perut, lalu menarik g-string Pelita—tempat di mana bagian kegilaan itu bersemayam.
Karang menurunkan celananya, dia menatap wajah gadis itu sekilas lalu tak mau buang waktu lagi untuk mengakhirinya. Segera Karang menyatukan miliknya dengan milik Pelita, merasakan lagi hangat dan basah seperti malam itu, ia memulai gerakan dengan ritme yang lambat agar semuanya makin terasa.
Pelita menggigit bibirnya agar tak mendesah meski dengkusan napasnya mewakili hal itu, kedua tangan gadis itu mencengkram kuat sisi spray karena menahan gejolak berbeda di dalam sana, ia merasakan semua yang begitu nyata.
Nyeri itu kembali hinggap, meski tak seperih saat pertama kali mereka lakukan apalagi saat itu Pelita tak terlalu merasakannya. Kali ini benar-benar luar biasa, gigitannya pada bibir makin menguat, ia tak peduli jika berdarah nanti.
"Biar aku yang gigit, jangan ditahan, lepasin aja. Semua akan selesai," bisik Karang setelah menunduk lagi, Pelita menyudahi gigitan sendiri. Mereka kembali berciuman dengan napsu yang memburu, kedua tangan Pelita kini melingkar pada leher laki-laki di atasnya, kembali menyelipkan jemari pada rambut Karang.
Pelita mencintainya, teramat sangat hingga ia tak ingin semua itu berakhir.
Jika esok matahari masih berpendar, ia ingin ketika membuka mata nanti yang dilihatnya pertama kali adalah Karang, menyambutnya dengan seulas senyum hangat lalu mengecup lembut dahi gadis itu sembari mengucapkan salam pagi.
Mengharapkan keinginan lekas terkabul tidak salah bukan?
Lagipula beberapa guratan garis tangan mereka sudah dapat ditafsirkan, siapa milik siapa.
Karena tak ada bahagia tanpa merasakan luka.
***