Gedung megah itu kini terlihat makin mewah setelah dihias dengan dekorasi khusus yang dirancang oleh wedding organizer terkenal bersama timnya, karangan berbagai macam bunga ditata serapi mungkin pada sudut-sudut tertentu, warna putih begitu mendominasi ruangan besar itu. Di setiap sisi terdapat foto kebersamaan Karang serta Valerie selama masa pacaran mereka berlangsung, jika hari ini janji itu benar-benar terikat artinya takdir memihak mereka yang menyatukan sebagai sepasang suami-istri.
Meja dan kursi juga dit.ata sedemikian rupa, senyaman mungkin dan memosisikan agar para tamu undangan dapat melihat prosesi penyematan cincin yang akan dilangsungkan di atas altar khusus. Di bawah altar ada tangga kecil yang membelah meja dan kursi tamu undangan pada bagian kiri, kanan. Pada tangga itu juga sudah dibentangkan white carpet yang menjurus hingga pintu masuk ruangan, pernikahan Karang dan Valerie benar-benar dibuat semegah itu.
Di atas altar, masing-masing sudutnya dihiasi dengan rangkaian mawar putih serta lily warna biru yang begitu cantik. Ada sebuah mikrofon kecil terletak di atas meja dengan tinggi seukuran dada, ada kitab suci serta sepasang cincin di sana.
Sudah pukul sembilan pagi, waktu yang tepat dituliskan di dalam undangan dan menjadi waktu prosesi tukar cincin. Semua tamu undangan sudah hadir termasuk ketiga teman Pelita yang memang terpaksa hadir karena Pelita-lah yang memaksa mereka untuk datang, sebagai penghormatan terhadap Karang saja. Gadis itu meyakinkan teman-temannya bahwa ia masih baik-baik saja, tak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.
Mereka memasang tampang masam, duduk di antara begitu banyak tamu undangan seperti teman di Universitas Merah Putih, orang-orang penting yang mungkin kolega dari kedua belah pihak juga menghadirkan banyak fotografer mahal.
Mereka tak bisa berpikir dengan jernih saat ini, tak sanggup percaya dengan ucapan Pelita itu, baik-baik saja dari segi mana jika sang kekasih akan menikah dengan gadis lain? Jangan-jangan Pelita memang sudah gila dan ngelantur jika bicara.
Saat itu, pembawa acara yang berdiri di bawah altar sebelah kiri mengumumkan bahwa pasangan calon pengantin akan masuk ke dalam gedung. Semua orang lantas menoleh ke bagian pintu masuk, ingin melihat Karang serta Valerie yang akan masuk dan melakukan prosesi penyematan cincin. Di sebelah kiri altar sudah tersedia tahta raja dan ratu untuk hari ini, semua orang dapat melihat Valerie dan Karang dengan jelas jika mereka sudah duduk pada tahta masing-masing.
Begitu Karang dan Valerie masuk, semua mata tertuju pada mereka. Fotografer yang sudah memepersiapkan diri dalam acara sakral itu pun berulang kali membidik gambar mereka dengan angle yang pas.
Valerie juga terlihat begitu cantik dengan balutan gaun pernikahan yang pas ditubuhnya, gaun pernikahan warna putih tulang ala-ala princes itu ia kenakan dengan mahkota kecil di kepalanya sebagai pelengkap karena ia juga akan menjadi ratu sehari.
Sedangkan Karang, ia menerima perannya dengan baik, mengenakan pakaian ala pangeran warna putih dengan mahkota yang juga melingkar di atas kepalanya. Ia memaksa senyum menatap orang-orang yang mereka lewati, merasa seperti badut bodoh yang dipaksa tunduk atas segala keinginan Valerie, Karang benar-benar menunggu saat kebebasannya tiba segera.
Keduanya sudah menapaki tangga menuju altar, tiba di depan pendeta yang telah siap menyatukan mereka. Prosesi sakral itu akhirnya dimulai, semua orang terlihat tenang menunggu hingga keduanya benar-benar menjadi sepasang suami-istri apalagi saat Valerie melempar buket bunga di tangannya nanti, banyak pasangan yang belum menikah menantikan hal itu. Katanya sih biar ketularan.
Sang pendeta mulai menyatukan tangan keduanya, meminta janji sehidup-semati dari bibir masing-masing, jika Valerie mengatakannya dengan mantap, tidak dengan Karang yang terlihat begitu ragu, ia bahkan salah menyebutkan nama Valerie menjadi nama Pelita hingga harus mengulang sampai tiga kali.
Tiga teman Pelita menutup mulut mereka sembari terkekeh dengan lirih, begitu menghina Valerie dengan nama yang tak pernah Karang ingat.
Valerie menatap tajam pada laki-laki di sebelahnya, masih saja Karang memikirkan Pelita padahal sebentar lagi ia akan menyatu dengannya. Hingga tiba prosesi penyematan cincin itu akan dimulai, Karang meraih tangan kanan Valerie, ia juga mengambil cincin di atas meja tempat mikrofon kecil serta kitab suci itu berada.
Ia mungkin gila, yang dilihatnya saat ini bukan Valerie melainkan Pelita, beberapa kali Karang menggeleng. Membuat orang-orang kebingungan dengan tingkah aneh laki-laki itu, membuat prosesi penyematan cincin jadi memakan waktu padahal Valerie ingin segera sah!
"Cepetan dong, orang-orang udah pada nungguin," desak Valerie kesal sendiri.
Karang mengangguk, ia menarik napasnya lebih dulu baru mengarahkan cincin pada jari manis milik Valerie. Cincin itu mulai melewati ujung jemari Valerie.
"APA KAMU AKAN MENIKAH TANPA RESTU DARI MAMA, KARELL?"
Suara itu membuyarkan fokus semua orang pada calon pengantin di atas altar, mereka semua menoleh ke arah sumber suara yang kini berdiri di ambang pintu masuk ruangan megah itu.
Cincin yang hampir saja masuk ke jemari manis Valerie jatuh tanpa sadar dan menggelinding entah ke mana, Karang dan Valerie juga menatap sosok wanita berambut cepak itu.
Sofi melangkah sendirian di atas white carpet menghampiri mereka dan tak peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya. Mata sayu wanita itu mewakili sesuatu, ia sedih setelah mengetahui segalanya dari Pelita.
"Apa benar kamu mau menikah tanpa restu dari mama, Karell?" ulang Sofi, wanita itu memang selalu memanggilnya Karell, ia tak tahu jika anak kandungnya punya nama lain yang diberi oleh Gibran.
Pria itu hanya bisa mematung di tempat duduknya yang berada persis di depan Altar sebelah kiri, Gibran duduk bersebelahan dengan Oktaf serta istrinya—Laura.
"Dia siapa?" tanya Valerie.
Karang enggan menjawab, justru turun dari altar dan menghampiri wanita yang dulu sering ia panggil dengan sebutan 'Mama', Sofi lantas memeluk sang putra setelah bertahun-tahun tak pernah menemuinya.
Akhirnya, malaikat penolong Karang telah datang.
Setelah melepas pelukan itu, kedua tangan Sofi menjamah wajah Karang, ia menangis karena terharu sekaligus sedih bisa melihat anaknya sudah dewasa, tapi enggan menemui dirinya dan hendak menikah tanpa meminta restu.
"Apa kamu lupa sama mama sampai nggak kasih kabar kalau kamu mau menikah?" Sofi memeluk Karang lagi, terakhir kali ia memeluk Karang saat ia hendak pergi ke Jakarta usai berpisah dengan Gibran.
Gibran beranjak dari duduknya, menghampiri Sofi dan menariknya paksa pelukannya pada Karang. "Untuk apa kamu ke sini! Anak kamu mau menikah, jangan kacaukan hari bahagianya!" hardik Gibran tak suka.
Prosesi sakral itu berubah jadi aneh, orang-orang saling berbisik tentang kejadian yang tengah mereka saksikan saat ini.
Karang hanya bisa diam, ia bingung harus bagaimana. Satu sisi, Karang sangat merindukan Sofi, tapi di sisi lain Karang juga masih benci saat wanita itu tak pernah sekalipun mencarinya hingga ia dewasa seperti sekarang.
"Kamu, saya ke sini menemui Karell anak saya. Apa ada yang salah? Apa seorang ibu tak berhak menemui anaknya setelah belasan tahun tak bertemu?" Sofi menarik Karang ke dekatnya.
"Urusan itu biar kita selesaikan nanti, sekarang biarkan Karang melanjutkan prosesi nikahnya dengan Valerie," ujar Gibran, ia tak enak hati dengan semua tamu undangan yang hadir terutama keluarga besar Oktaf—rekan kerja sekaligus ayahnya Valerie yang sudah banyak membantunya hingga sukses seperti sekarang.
"Menikah?" Sofi menatap Valerie yang masih berdiri di atas altar sembari memegang buket mawar putih, gadis itu terlihat kebingungan.
"Iya, Karang akan menikah dengan Valerie. Sebaiknya kamu biarkan mereka lanjutkan prosesi lebih dulu," pinta Gibran.
Sofi menggeleng, ia menatap Karang. "Kamu mau menikah dengan gadis lain setelah menyentuh Pelita? Mama nggak bisa membiarkan semua ini terjadi."
Semua orang tercengang mendengar ucapan Sofi terutama Valerie yang langsung turun dari altar dengan susah payah menarik gaun pernikahan dengan ujung yang begitu panjang.
"Apa-apaan ini! Anda siapa datang kemari lalu mengatakan hal yang bukan-bukan!" hardik Valerie menatap tak suka pada Sofi, keadaan makin runyam sekarang.
"Saya Sofi, ibu kandungnya Karell. Saya bisa katakan sekarang kalau saya tidak mengizinkan kamu atau gadis mana pun menikah dengan Karell, dia sudah menyentuh orang lain dan wajib bertanggungjawab atas hal buruk itu," jelas Sofi.
"Kamu sentuh siapa, hah? Kamu sentuh siapa!"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di wajah Karang, Valerie juga melempar buket bunga itu ke arah selasar. Suasana makin di luar kendali, Oktaf dan Laura beranjak menghampiri putri mereka.
Sofi pasang badan di depan Karang, "Jangan sentuh anak saya lagi, kamu nggak berhak pukul dia. Kamu yang salah di sini karena sudah memaksakan kehendak kamu pada anak saya padahal dia sangat mencintai gadis lain sampai nekat menyentuhnya."
"Kamu gila Karang!" bentak Valerie dengan nada tinggi. "Aku selalu minta hal itu sama kamu, nyatanya kamu nggak mau. Kenapa kamu berbuat kayak gitu sama perempuan lain, hah?" Emosi Valerie meletup-letup.
"KENAPA HARUS BILANG KAYAK GITU PADAHAL KAMU JUGA MELAKUKANNYA SAMA ORANG LAIN."
Kejutan kedua akhirnya datang, laki-laki berkacamata sebaya Karang dan Valerie melangkah menghampiri mereka dengan sebuah kertas di tangan kanannya.
Laki-laki itu adalah Axel—mantan kekasih Valerie sebelum ia menjalin hubungan dengan Karang.
Valerie tertegun kaku sekarang, bagaimana bisa laki-laki itu datang ke acara pernikahannya hari ini. Bukankah ia sudah mengancamnya untuk bungkam saat itu, ketakutan terbesar merayap dalam diri Valerie, akankah semua kebodohannya saat itu akan terbongkar di depan banyak orang sekarang?
Kehadiran Sofi pada acara itu memang rencana Karang serta Pelita sejak awal, malam itu setelah Pelita pulang dari apartemen Karang, ia lantas datang ke rumah Ardo dan mengatakan tentang hubungannya dengan Karang, mengakui bahwa Karang adalah anak kandung wanita itu. Pelita mengatakan segalanya bahkan kejadian dua malam itu, yang hanya bisa Sofi lakukan saat itu adalah menangis, Sofi menangisi banyak hal serta penyesalan dalam hidupnya. Sedangkan Ardo, ia tak sanggup berkata apa-apa usai mendengar semua pengakuan Pelita serta hubungan intens dengan Karang.
Namun, kehadiran Axel saat ini bukanlah rencana mereka. Entah apa tujuan Axel hingga harus datang secara mendadak di acara pernikahan mantan kekasihnya.
"Kamu ngapain di sini!" hardik Valerie, raut wajahnya terlihat ketakutan.
"Ada yang ketinggalan." Axel mengulurkan kertas putih yang terlipat itu, tangan yang meraihnya lebih dulu adalah milik Oktaf.
Valerie mencengkram gaun pengantinnya kuat-kuat, ia tak sanggup melihat akibat buruk lebih banyak lagi setelah kebodohan yang ia perbuat dengan Axel. Apalagi setelah Laura membaca isi kertas itu tiba-tiba saja pingsan, untungnya Oktaf dapat merengkuh tubuh sang istri tepat pada waktunya.
"Apa ini yang kamu perbuat, Valerie!" bentak Oktaf dengan nada tinggi, ia melempar kertas putih itu pada wajah anak gadisnya.
"Ak-aku min-minta maaf, Pa. Valerie nggak sengaja." Valerie tergugu sembari menunduk, menahan malu atas segala perbuatannya.
Karang menunduk mengambil kertas itu, ia membukanya dan menemukan isi kertas yang menunjukan jika Valerie positif hamil dua minggu.
Mata elang laki-laki itu meminta kejelasan dari Valerie, "Apa ini?"
"Aku nggak sengaja Karang, serius aku nggak sengaja." Valerie menangis sejadi-jadinya.
"Biar gue aja yang jelasin," sela Axel. "Malam itu Valerie datang ke club malam punya gue, dia bilang lagi stres karena minta banyak hal dari lo tapi lo nggak pernah mau turutin. Apalagi pas dia bilang minta nikah sama lo, katanya lo pergi gitu aja buat ikutan balap liar malam-malam. Valerie ngajak gue minum, kita berdua mabuk berat sampai akhirnya Valerie ngajak gue ngamar karena dia nggak bisa dapetin hal itu dari lo," jelas Axel.
Semua orang sudah mendengarnya dengan jelas, pernikahan itu dipenuhi dengan drama yang pelik. Beberapa orang bahkan beranjak meninggalkan gedung karena tak kuasa atas pertunjukan adu mulut, tangisan serta kebohongan yang terbongkar di depan mata dan telinga mereka. Tiga teman Pelita masih bertahan di sana, mereka duduk dengan manis sembari menikmati kebodohan yang Valerie lakukan.