Chereads / Danke / Chapter 43 - Dekap.

Chapter 43 - Dekap.

Kedua bola matanya mengamati sebuah video yang tampil pada layar laptop milik Karang, video Pelita saat masa OSPEK tengah bernyanyi sembari memangku gitar, ternyata Karang memang sudah menyukainya sejak lama. Gadis itu melukis senyum, tapi juga merasakan pedih.

Andai dia tahu fakta itu sejak lama pasti takkan banyak luka bermunculan, makin bernanah. Hanya saja Tuhan memang pengatur segalanya, pengatur bagaimana manusia harus bertemu dan saling mengenal, tentang punya rasa atau tidak semua urusan waktu.

Ia merasa bersalah, atas segala ucapannya pada Karang. Soal Sofi, Pelita tak pernah mengira dengan semua fakta pahit itu. Apalagi selama ia mengenal Sofi, wanita itu tak pernah mengatakan jika dirinya punya anak laki-laki lain yang ia tinggalkan. Apa memang Sofi enggan mengakui Karang sebagai anaknya? Apa memang Sofi benar-benar lupa pada status telah memiliki anak dengan orang lain.

"Minum." Karang meletakan segelas jus jeruk di permukaan laci kecil sisi ranjang sebelum ikut bersila di sisi Pelita. Gadis itu tersenyum seadanya, masih terpaku pada semua ucapan Karang tadi. "Kok tambah cantik ya." Karang menyelipkan jemarinya di antara rambut pendek Pelita, halus.

Gadis itu masih diam, masih bernapas jadi tak perlu khawatir jika ia diam karena mati.

"Pelita mikirin apa?" tanya Karang.

"Kamu." Gadis itu menutup laptop usai video yang ia lihat selesai, lalu memindahkan benda itu ke permukaan laci, di sisi jus jeruk.

"Nggak perlu, nanti sakit."

"Ya emang udah sakit, bukannya begitu? Kenapa kamu nggak coba blak-blakan bilang ke Tante Sofi kalau kamu anak kandung dia, kenapa?"

Karang bersandar pada bahu ranjang, ia memilin rambut Pelita. "Nggak perlu, apa berguna buat dia. Dia juga udah punya anak, laki-laki juga."

"Tapikan dia juga punya kam—"

"Psst ...." Telunjuk Karang lebih dulu mengunci bibir Pelita agar tak melanjutkan bicaranya. "Kamu sayang sama aku, kan? Jangan bahas itu lagi, cukup kamu tahu aja. Biar semua urusan aku yang selesaikan."

Karang menarik lengan Pelita agar ia ikut bersandar di sebelahnya, membuat jarak mereka kian dekat.

"Jangan pikirkan hal apa pun selain kita berdua, kamu masih punya aku, kan?" Tangan Karang membelai kepala Pelita, kembali memilin rambutnya.

Gadis itu mengangguk, menatap manik yang sempat menangis karena dirinya.

"Banyak hal yang aku lewati, Ta. Kalau manusia diciptakan tanpa masalah artinya dia nggak hidup."

"Kamu kuat."

"Karena kamu."

"Aku minta maaf."

"Nggak perlu, kamu emang nggak tahu dan kamu korbannya. Aku yang minta maaf."

Pelita mengulas senyum, ia merasa memiliki sesuatu yang harus dilindungi dan dijaga, itu Karang.

"Pelita."

"Kenapa?"

"Kamu masih punya aku, kan?"

"Kenapa nan—" Mulutnya terkunci oleh bibir Karang yang menghampiri. Jemari tangan kanannya mengusap lembut pipi gadis itu.

Tak berapa lama bibir mereka terlepas, Karang mengajak Pelita untuk duduk berhadapan dengannya.

"Karena aku nggak mau usik kebahagiaan mereka, belum tentu mama memang mikirin aku. Itu yang aku lihat," ujar Karang.

"Harusnya kamu tanya secara langsung, bukan sembunyi begini."

"Waktunya belum tepat."

"Kenap—" Bibir Pelita kembali direnggut oleh Karang, posisi duduk berhadapan itu cukup mengganggu hingga Pelita terpaksa berdiri dengan lutut, membuatnya lebih tinggi dari posisi Karang. Sengaja Karang menekan pelan tengkuk Pelita agar ciuman mereka lebih dalam, gadis itu membuatnya benar-benar kecanduan.

Kini kedua tangan Karang memeluk pinggang Pelita, ruas jemari kanan Pelita terselip pada rambut Karang lalu ia meremasnya pelan. Menciptakan sensasi tersendiri apalagi tangan Karang mulai menyelinap masuk ke dalam kaus Pelita dan mengusap lembut pinggang gadis itu, Pelita kegelian hingga lebih keras meremas rambut Karang.

Ciuman itu kembali terlepas, Pelita menempelkan tulang hidung mereka, bertatapan dengan lekat.

"Mau kamu apa sih?" tanya Pelita, kedua tangannya membingkai wajah Karang.

"Mau kamu selamanya, sekarang perjuangan kita harus dimulai berdua. Kalau cuma salah satu nggak akan berhasil."

"Aku harus gimana?"

"Tetap sama aku, jangan ke mana-mana."

Mendadak Karang mengubah posisi tubuh gadis itu jadi rebahan di bawah naungannya, Karang mengungkung Pelita yang kini menatapnya dengan bingung.

"Temenin aku tidur ya, habis itu kamu boleh pulang," pinta Karang. Ia kini merebahkan tubuhnya di sisi Pelita, meminta gadis itu agar memiringkan tubuhnya, mereka bertatapan tanpa pernah bosan.

"Makasih karena kamu masih mau bertahan buat aku, Ta. Jangan pernah berhenti buat sayang sama aku, jangan pernah."

"Aku janji."

"Kamu berarti lebih dari apa pun buat aku, jangan pergi lagi."

"Nggak akan."

Karang tersenyum, lalu memejamkan matanya, berusaha menggapai mimpi indah untuknya malam ini. Memaksa gadis itu terus berada di sisinya meski pekat malam kian merangkak, yang Pelita tahu ia hanya sedang menyenangkan seseorang setelah sekian lama hidup dalam terungku, Pelita yang sanggup melepasnya dari beban yang lama Karang pikul pada bahunya. Anggap saja beban itu sekarang hanyalah kapas yang mudah tertiup angin, terkadang kehadiran seseorang menambah semangat juang untuk mengusir masalah yang tiada henti menghampiri.

Begitu Karang benar-benar terlelap, Pelita mengecup kening laki-laki itu lalu beranjak turun dari ranjang. Ia memakai lagi sneakers miliknya dan meraih ransel dari nakas, gadis itu keluar dengan tenang dari apartemen dan berharap mimpi indah akan menghampiri malam laki-laki itu, semoga saja.

***

Ketiga gadis itu melingkar di sisi Pelita, membombardirnya dengan berbagai macam pertanyaan, begitu Pelita menjawab semuanya dengan jelas mereka semua jelas tercengang setelah tahu serumit apa hubungan Karang dan Pelita. Satu hal yang tak Pelita kisahkan pada mereka semua, tentang malam itu.

Pelita sudah siap dengan segala risiko yang akan ia terima setelah ketiga temannya mendengar apa pun yang ingin mereka tahu soal hubungan itu, jika mereka menjauhinya setelah semuanya pun tak apa, Pelita berusaha tahu diri meski bukan sepenuhnya kesalahannya karena posisi memang tak mendukung. Apalagi Karang yang terkungkung oleh terungku Valerie.

Ketiga gadis itu sama-sama diam, mereka meresapi setiap ucapan yang terlontar dari bibir Pelita. Antara gemas, kesal, terharu, marah atapun bingung semua hal itu mendominasi perasaan ketiganya.

"Pantes aja akhir-akhir ini lo suka ngelamun, suka menghilang tanpa jejak. Jadi lo sama Karang? Gue nggak nyangka," ujar Chintya sembari geleng kepala.

"Gue sih emang curiga dari awal pas lo tulis-tulis soal Karang di buku itu, Ta. Pas lo bilang nggak mau jadi pacar kedua Karang, gue kira itu cuma bohongan dan ternyata ...." Anggi tak melanjutkan ucapannya.

"Gue minta maaf karena baru ceritain kisah ini ke kalian, terserah setelah ini kalian mau gimana ke gue. Entah mau benci, ngejauh, ngeludahin pun gue terima. Gue emang perempuan gak tahu diri," ujar Pelita merendah.

Kamila memeluk lengan gadis itu, menyandarkan kepalanya pada bahu Pelita. Keempat gadis itu berada di ranjang besar kamar Chintya.

"Nggak gitu, Ta. Kita berteman, apa pun masalah yang lo hadapi mari kita hadapi sama-sama, gue bukan tipikal teman yang tinggalin lo saat kesusahan. Gue tahu rasanya jadi lo kayak gimana," terang Kamila bersimpati.

Anggi mengangguk, "Iya, Ta. Kamila benar, kita nggak akan jauhin lo kok. Buat apa? Malah beban lo makin berat nantinya, guna teman ada di saat senang dan susah."

"Betul," timpal Chintya, "di sini lo juga pihak yang dirugikan, Karang juga yang salah walaupun dia emang terkungkung sama Valerie. Gue sih salut sama elo, Ta. Karena sanggup bertahan di atas hubungan yang serumit itu, kalau gue pasti nggak akan kuat deh."

Anggi dan Chintya kini ikut memeluk Pelita, memberinya kekuatan dan dukungan sebagai para sahabat. Apa pun itu, sahabat adalah sebuah penopang kala tubuh lemah dan butuh sandaran. Apa jadinya Pelita tanpa mereka bertiga, bisa-bisa dia depresi karena menyembunyikan hal itu terlalu lama.

"Makasih banget kalian udah mau ngertiin keadaan gue, maaf selama ini gue sembunyiin semuanya dari kalian."

"Yang penting sekarang kita semua kan udah tahu kenyataannya, tinggal kasih dukungan apa pun yang mau lo lanjutkan, Ta. Kalau lo milih berjuang sama Karang, oke kita pasti dukung kok," ujar Chintya.

Ketiganya melepas pelukan itu.

"Terus selanjutnya Karang mau gimana, Ta? Apa dia bakal putusin Valerie dan akui hubungan kalian di depan umum?" tanya Anggi, pertanyaan itu benar-benar rumit untuk dipikirkan.

Pelita menggeleng, "Nggak tahu juga gue, Nggi. Karang cuma bilang gue sama dia harus selalu sama-sama."

"Sebentar lagi mereka juga bakal nikah, ini musti gimana dong. Gue jadi nggak rela deh kalau Karang sama Valerie nanti nikah, gue nggak jadi pesan gaun di butik. Semoga nggak diundang!" celetuk Chintya.

"Sama! Tos!" Kamila dan Chintya melakukan high five, padahal hari itu mereka sangat bersemangat seandainya Valerie menyempatkan nama mereka ditulis dalam daftar undangan, sekarang tidak lagi.

"Dasar lo berdua!" Anggi menoyor kepala keduanya. "Gue jadi nggak enak juga sama elo, Ta. Kita bertiga kan sering banget ngomongin Karang sama Valerie di depan lo, puji-puji hubungan mereka itu dan ternyata Karang justru tersiksa. Maafin kita yah, Ta. Lo pasti sakit hati pas dengar kita semua dukung mereka, pasti lo nahan sesak." Anggi memeluk lengan Pelita.

Pelita mengulas senyum tipisnya, "Nggak apa-apa, Nggi. Gue udah pikirkan semua risiko pacaran backstreet di belakang kalian, sakit atau enggaknya itu konsekuensi."

"Sayang banget sama Pelita!" seru Chintya, ketiganya kembali memeluk gadis itu seperti Teletubies.

Setidaknya sekarang teman-temannya sudah tahu hubungannya dengan Karang, ia tak perlu sembunyi lagi dari mereka, tak perlu patah hati lagi karena pujian-pujian untuk Valerie dan Karang jelas berakhir. Pelita merasa dunia mulai berpihak menghampirinya, semesta tempat kakinya berpijak mulai mendukung setiap langkahnya bersama laki-laki itu. Semoga saja Tuhan pun merelakannya untuk terus bersama Karang.

Pelukan hangat dari teman-temannya terasa begitu nyaman, Pelita bahagia memiliki teman-teman yang mengerti tentang dirinya luar dalam meskipun ia telah berbohong cukup lama dan menyiksa diri sendiri, sekarang semua dukungan mengarah padanya. Ia jadi tak ragu untuk terus melanjutkan langkahnya bersama Karang.

Iya, Karang.

Laki-laki yang sudah terjun ke dalam dunianya.

Laki-laki yang berhasil menguasai hatinya, yang pernah pecah kini menempel lagi secara bertahap.

Karena yang Pelita tahu, ia bahagia melihat orang yang ia sayangi bahagia.