Selama seminggu, Pelita tak masuk kuliah. Ia dan Mona pergi ke Singapur untuk menemui ayahnya yang bekerja di sana, sengaja menghibur diri karena luka yang teramat dalam. Jika bukan ia yang harus mengubah nasibnya sendiri, lalu siapa lagi? Menunggu Tuhan yang melakukannya juga perlu waktu. Manusia hanya harus berusaha, Pelita juga butuh bahagia sebanyak-banyaknya.
Di sana gadis itu menjelajah banyak tempat, seperti Garden Bay the by, berbelanja di Marina Bay serta naik salah satu capsule bianglala terbesar yakni Singapore Flyer. Iya, Pelita sangat suka berada di ketinggian yang fantastis, ia juga bisa melihat Indonesia ketika posisi capsule berada di puncak perputaran bianglala itu. Sayangnya, ia sendiri. Tak ada seseorang di dekatnya, lagi-lagi miris.
Ia berubah, benar-benar ingin jadi Pelita yang baru setelah akhir-akhir ini menjadi gadis yang begitu menyedihkan dan penuh luka. Ia ingin jadi Pelita yang penuh tawa dan bahagia, sengaja gadis itu membuat tampilan baru dalam dirinya. Ia potong rambut setelah pulang dari Singapur sebagai ajang buang sial karena hubungannya berakhir dengan sad ending.
Gadis itu tampil ceria seperti dulu, tak takut bergaul dengan laki-laki mana pun karena ia kembali jomlo, meyakinkan dirinya bahwa ia adalah seorang single happy. Bukankah bebas itu menyenangkan?
Seperti biasa, celana berlutut robek tak luput dari tampilan casual hari ini. Sepertinya isi lemari Pelita hanya celana robek semua sampai-sampai ia jarang mengenakan celana yang benar, itu ciri khasnya. Ia juga mengenakan kaus hitam serta cardigan dan rambut barunya yang dicepol, dilihat dari sisi mana pun gadis itu akan tetap mempesona.
"Pelita, kamu bisa keluar sekarang," perintah si dosen pria berkacamata.
Dengan senang hati Pelita menggendong ranselnya, ia baru saja menjawab sebuah kuis dengan benar, alhasil diperbolehkan keluar kelas lebih dulu. Gadis itu menatap ketiga teman-temannya yang terlihat keheranan.
"Bye, muwaah!" Pelita melempar ciuman menggunakan tangannya pada mereka, lalu mengedipkan mata sembari keluar dari kelas.
Anggi yang notabene duduk di belakang gadis itu menganga, "Sejak kapan dia segila itu, jangan-jangan kesurupan setan pas di Singapur lagi," gumam Anggi.
Pelita keluar dari kelas seorang diri, lalu duduk di sebuah kursi besi yang terdapat di depan kelasnya. Ia merogoh ponsel dari saku celana, sejak hari perpisahan dengan Karang hari itu—sengaja Pelita mengganti nomor ponselnya, jadi hanya teman dekatnya saja yang tahu. Ia benar-benar ingin move on dari sosok Karang.
"Kok sendirian?"
Pertanyaan itu membuat Pelita yang sebelumnya menunduk fokus pada ponsel jadi menengadah, menemukan Ardo berdiri di depannya dengan kedua tangan masuk ke saktu hoodie hitam yang ia kenakan sembari melempar senyum.
Pelita membalas senyuman itu, "Sini duduk, temenin gue."
Dengan senang hati Ardo duduk di sebelahnya, mengamati gadis itu lekat-lekat. "Kayak ada yang beda gitu yah habis pulang liburan," sindir Ardo.
"Ng ... apa emangnya? Bukannya gue masih Pelita, kan? Nggak berubah jadi Patung Pancoran?"
Ardo tertawa kecil, "Bukan itu, Ta. Lo kelihatan lebih fresh aja, lebih bahagia. Apalagi rambutnya udah baru."
"Cantik nggak?"
"Cantik kok, Pelita nggak pernah jelek."
Pelita menoyor kepala mantan kekasihnya itu, ia sudah anggap Ardo sebagai sahabatnya sendiri, untuk apa hanya karena mereka pernah menjalin hubungan lebih lalu berakhir dan harus berubah jadi musuh, tak perlu. Apalagi Sofi teramat menyayangi Pelita seperti anak perempuannya sendiri.
"Mama nyariin elo, Ta."
"Mama apa anaknya mama?" goda Pelita tersenyum jahil.
"Sama anaknya mama sih, boleh ya?"
Pelita menoyor kepala Ardo lagi, mereka tertawa bersama seperti dulu, ketika keduanya masih bersama. Tak ada beban lagi dalam benak Pelita untuk menahan tawa lepasnya. Sayangnya, ketika arah pandangannya berakhir di ujung lorong kampus, tawanya redup dalam sekejap.
Ia mendapati sosok itu tengah diam mengamati dirinya, tanpa berkedip, datar dan dingin. Sama seperti ketika keduanya belum mengenal apalagi menjalin hubungan, Karang diam tanpa ekspresi.
Pelita mengalihkan pandang, tak ingin lagi terpaku pada sosok itu, ia harus move on dan bahagia. Daripada terus ditatap seperti itu, ia memilih beranjak dan izin kepada Ardo ke toilet sebentar, padahal hanya ingin menghindari sosok Karang.
Ketika Pelita benar-benar pergi, Karang menatap punggung tangan kanannya yang masih dipenuhi luka memar, ada juga tiga plester luka yang melingkar di bagian tulang-tulang jemarinya. Beberapa hari yang lalu ia melukai dirinya sendiri, memukul tembok berulang kali dan kaca kamar apartemen hingga pecah. Ia ingin mati, tapi mati dalam keadaan yang bahagia. Sedangkan keputusan lain justru tak membuatnya bahagia, ia benar-benar kehilangan untuk kedua kalinya.
***
"Kita nongkrong di kafe yuk, kan udah lama nggak pernah nongkrong di kafe," ujar Chintya.
"Boleh aja, kafe mana?" tanya Anggi yang melangkah di sebelahnya, keempat gadis itu baru saja nonton bioskop film luar negeri.
"Kafe Arizona gimana?"
"Boleh juga, lama nggak ke sana," sergah Kamila. "Gimana, Ta?" Ia menatap gadis di sebelah kirinya yang sibuk dengan ponsel.
"Di mana ajalah, asal sama kalian gue betah."
"Lagi chat sama siapa sih? Sibuk banget," cibir Chintya.
"Teman lo."
"Siapa? Raksa?"
"Iya."
"Wah! Perubahan besar!" Chintya memeluk lengan Pelita dengan senang hati, bagaimana ia bisa mendekatkan Raksa dan Pelita adalah hal luar biasa.
"Lo ngapain sih?" Pelita kebingungan, Chintya melepas pelukan itu lalu mencubit pipi Pelita dengan gemas.
"Semoga cepet jadian, biar nggak ngelamun terus kerjaannya. Lama-lama kesurupan setan jomlo baru tahu rasa!" ujar Chintya.
"Jomlo? I'am single and happy, Babe."
"Mantap!" seru ketiga teman Pelita kompak.
Mereka pergi ke Kafe Arizona, tempat yang sering mereka kunjungi saat pertama kali berteman ketika masuk kampus yang sama, nostalgia saja.
Keempat gadis itu sengaja meninggalkan mobil milik Chintya yang mereka tumpangi di depan sebuah minimarket, mereka melangkah di trotoar sembari menikmati angin sejuk yang menerpa wajah masing-masing, membelai rambut dengan aroma wangi yang lembut apalagi sering creambath, maklum saja sebagian teman-teman Pelita anak konglomerat. Begitu juga dirinya, hanya saja ia yang lebih sederhana dan tak peduli dengan penampilan, ia saja tak pernah menggunakan mobil yang dibelikan ayahnya. Lebih suka nebeng milik Chintya atau Kamila, jika tidak ya bonceng pacarnya, jika saja masih punya.
Keempatnya sudah tiba di pelataran Kafe Arizona, mereka masuk ke dalam dan memilih kursi kosong yang yang dilengkapi dua kursi. Jadi, Pelita duduk semeja dengan Chintya, sedangkan Anggi dengan Kamila. Mereka bersebelahan, terlihat altar kecil tempat siapa pun yang ingin bernyanyi, entah itu dari pengunjung kafe atau memang penyanyi lokal yang disediakan.
"Ngomong-ngomong cuma duduk nih? Nggak ada yang pesan?" tanya Anggi karena ketiga temannya sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Gue apaan aja deh, sama kayak lo, Nggi," sahut Pelita.
"Iya, kompakan aja. Makanan yang biasa dulu kita pesan aja, Nggi," timpal Kamila.
"Oke, gue pesan dulu ya." Anggi beranjak meninggalkan ketiga temannya.
"Gue ke toilet sebentar ya, nitip tas sama hape," izin Pelita. Ia beranjak juga menyisakan dua temannya yang masih duduk.
Setelah Pelita pergi, seseorang naik ke atas altar, ia keluar dari ruang kerja pemilik kafe. Laki-laki itu duduk di kursi yang telah disediakan, memangku gitar dan mendekatkan tiang mikrofon di depan wajahnya.
"Selamat sore semua, perkenalkan nama saya Karang. Bisa saya hibur kalian semua sore ini?" ucap Karang mengawali acara.
Kafe yang terlihat ramai oleh para pengunjung itu sontak senyap, mereka semua menatap ke arah suara si penyanyi. Termasuk Chintya dan Kamila yang membuka bibirnya karena terkejut mendapati senior mereka ada di dalam kafe, akan bernyanyi pula. Padahal seumur-umur menimba ilmu di Universitas Merah Putih hanya beberapa kali mendengarkan suara Karang, itu pun saat ia menjadi senior OSPEK yang dikenal killer.
Kamila menepuk bahu Chintya, membuatnya tersadar dari lamunan.
"Eh, itu serius si Karang? Gue nggak salah mata, kan?"
Chintya menggeleng, "Kayaknya sih enggak, sejak kapan dia bisa nyanyi ya Tuhan. Berita spektakuler nih, rekam yuk rekam."
Kebetulan yang menguntungkan, banyak orang yang tidak tahu jika Karang bisa bernyanyi. Alhasil Kamila dan Chintya memasang ponsel mereka untuk merekam kejadian langka bin luar biasa itu, kapan lagi momen seperti itu bisa mereka dapatkan—apalagi Karang adalah sosok senior yang dianggap most wanted oleh mahasiswi Universitas Merah Putih.
"Bisa saya bernyanyi sekarang?" tanya Karang pada pengunjung kafe.
"Bisa, bisa!" seru mereka serempak, beberapa orang juga memasang kamera seperti Kamila dan Chintya apalagi kebanyakan pengunjung kafe itu didominasi oleh pasangan muda-mudi.
Karang terlihat begitu berbeda, saat di kampus ia terlihat bisu dan hanya melekat di sisi Valerie, minus senyum pula. Saat ini mereka tengah menyaksikan Karang yang ramah, penuh senyuman yang memukau dan mempesona.
Laki-laki itu mulai memetik senar gitarnya sembari mendekatkan bibir pada mikrofon agar suaranya bisa didengar semua orang.
Wise man say, only fools rush in.
But i can't stop falling in love with you.
Shall i stay, would it be a sin.
If i can't stop falling in love with you.
Lagu milik Elvis Presley yang dipilihnya mengalun merdu pada tiap pasang telinga pengunjung kafe sore ini, begitu pula dengan Kamila dan Chintya terus fokus merekam sosok laki-laki batu nan dingin itu.
Pelita baru selesai dengan urusannya di toilet, ia keluar sembari mengenakan cardigan miliknya yang sempat ia lepas saat masuk toilet, sayup-sayup terdengar suara nyanyian yang cukup memikat. Gadis itu memutuskan melangkah dengan cepat menghampiri teman-temannya, tapi ketika tiba di sisi panggung langkahnya refleks berhenti.
Mendapati sosok Karang tengah bernyanyi sembari memangku gitar, jadi itu suara Karang?
Pelita menghela napasnya, ia ingin menemukan tempat di mana tak ada Karang yang bisa dilihatnya. Bawa saja Pelita ke Mars, takkan ada Karang di sana.
Gadis itu melangkah mundur perlahan, ia tak bisa menghampiri teman-temannya saat ini karena jelas melewati depan altar tempat laki-laki itu bernyanyi.
"Pelita! Sini!" seru Kamila setelah tak sengaja melihat gadis itu di dekat altar.
Sialan!
Jahit saja mulut Kamila!
Pelita mengumpat dalam hati, padahal ia sedang berusaha menghindar dari sosok itu, tapi Kamila membuatnya jadi terlihat. Karang yang mendengar seruan itu sontak menoleh sambil terus bernyanyi, menemukan iris cokelat kesayangannya. Sayangnya, setelah pandangan mereka bertemu dalam beberapa detik, gadis itu memutar tubuh menghampiri lagi toilet.