Senja telah tiba, ketiganya berniat menunggu hingga sunset datang—sebab sayang sekali jika di pantai hingga sore, tapi melewatkan pemandangan menakjubkan yang digilai banyak orang—rasanya aneh. Keempat gadis itu tengah duduk di permukaan pasir sembari menatap ke arah langit yang mulai menunjukan gradasi warna oranye nan cantik, sangat memukau.
Pelita beranjak, dia meraih ranselnya. "Gue ke toilet sebentar ya," izin gadis itu.
"Jangan lupa balik, nanti lupa lagi," sahut Anggi.
"Iya, iya." Gadis itu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya, ia menghampiri toilet umum yang terlihat begitu sepi. Gadis itu berdiri di depan pintu sembari membuka ranselnya—hendak mengambil pakaian ganti karena ia sudah sangat basah akibat berlarian di tengah debur ombak.
Tanpa diduga sebuah tangan terulur dari belakang Pelita sebelum membekap mulut gadis itu menggunakan sapu tangan yang telah diberi obat bius, dalam hitungan detik Pelita tak sadarkan diri. Ranselnya jatuh ke pasir.
Segera sosok itu meraih ransel Pelita dan mengangkat tubuhnya ala karung beras menjauh dari sana—berharap tak ada yang melihat—ia lekas menghampiri mobilnya.
Karang mendudukan perlahan kekasihnya di jok mobil tanpa lupa pasangkan seat belt di tubuh gadis itu, ia menatap Pelita sejenak—sebelum telunjuk kanan terangkat menyentuh wajah Pelita dimulai dari kening dan turun menyusuri hidung mancungnya, lalu berakhir melewati bibir dan dagu, laki-laki itu tersenyum miring saat bisa menyentuh apa pun dari Pelita tanpa gadis itu sadari.
Gue sayang banget sama elo, Ta, batin Karang sebelum menutup pintu, ia mengitari kap mobil seraya berlari kecil sebelum berakhir duduk di balik kemudi, ia meraih ransel Pelita dan membukanya, menarik ponsel dari sana, menghidupkannya saat Karang berniat mengirimkan sebuah pesan untuk seseorang.
Maaf, Nggi. Gue ada urusan mendadak, gue pulang duluan.
Lalu send, Karang tersenyum penuh kemenangan. Urusan Pelita dengan teman-temannya sudah ia selesaikan, kini tinggal urusannya dengan gadis itu.
***
Gadis itu baru tersadar setelah pingsan cukup lama, ia menggucak mata dan hanya melihat gelap di sekitar ruangan itu. Entah mati lampu atau sengaja dimatikan oleh si pemilik, gadis itu bergerak menyibak selimut dan turun dari ranjang besar yang sempat ia tiduri. Ia melangkah mencari tombol lampu.
Pelita menghentikan langkahnya, dia paham aroma ruangan itu. Sepertinya ia berada di dalam apartemen Karang, sebelum benar-benar yakin atas terkaannya—tangan gadis itu meraba tembok sembari melangkah mencari tombol lampu.
Seseorang membuka pintu, memberikan sedikit sinar untuk Pelita. Nyatanya sosok itu menariknya ke dekat pintu yang terbuka lalu menciumnya dengan lembut, tangan laki-laki itu menekan tengkuk Pelita dan memperdalam ciumannya. Gadis itu makin yakin jika yang dihadapinya benar-benar Karang, akan ada apa lagi setelah ini?
Setelah melepaskan bibir gadisnya, Karang menuntun Pelita kembali ke dalam. Ia menekan tombol lampu karena sudah hapal di mana letaknya tanpa perlu meraba-raba ketika gelap datang.
Benar Karang, Pelita lantas menepis tangan Karang dengan kesal. Meski ciuman itu sudah terjadi, tapi rasa kesalnya malam itu belum reda hingga saat ini, Pelita bergerak menggampiri pintu, tapi Karang bergerak lebih cepat menutup pintu dan menguncinya rapat, ia memasukan kuncinya ke dalam saku celana lalu menyeringai pada gadis itu.
Pelita berdecak, membuang wajah ke arah lain. "Mau Kakak apa!" ketus Pelita.
"Mau lo." Tangan Karang terulur menyentuh dagu Pelita, tapi kembali ditepis oleh gadis itu.
"Jadi culik aku? Aku mau pulang sekarang, udah malam, mana kuncinya."
"Nggak bisa, kita harus selesaikan urusan kita dulu."
"Urusan yang mana lagi, bukannya kita emang udah selesai."
Kening Karang mengernyit, "Selesai? Selesai apa maksud lo?"
"Kita udah putus."
"Putus? Sejak kapan gue putusin lo, gue nggak pernah ngomong putus ya jadi jangan ambil kep—"
"Aku yang memutuskan, aku yang capek, aku nggak mau kayak gini terus. Sejak malam itu, aku anggap kita selesai, deal!" Pelita mengulurkan tangan kanannya, meminta salaman tanda sepakat.
Karang diam, menatap gadis itu dengan alis bertaut.
"Aku bukan mainan, Kak! Makin hari aku ngerasa kalau Kakak cuma manfaatin aku aja, Kakak cuma datang saat nggak butuh Valerie. Lalu aku dianggap apa? Kalau emang Kakak mau serius tolong pilih salah satu, kalau enggak ya aku aja yang ngalah. Mulai sekarang, masih banyak yang mau sayang sama aku tanpa harus ngeduain dulu." Gadis itu tersenyum miring, merasa puas dengan ucapannya yang menyudutkan.
"Nggak ada yang berhak putusin gue, apalagi lo. Jadi jangan sembarangan kalau ngomong!" bentak Karang bersamaan emosi yang mulai meletup.
"Kita udah putus! Putus dan putus! Itu udah mutlak dan aku nggak mau ada hubungan apa pun lagi setelah ini! Aku mau pulang!" Pelita melangkah melewati Karang, tapi tangan laki-laki itu menahannya. Menariknya kembali hingga mereka berhadapan.
"Lo bikin kesabaran gue habis ya, nggak akan ada yang miliki lo selain gue—Karang. Setelah ini lo nggak akan lagi minta putus dari gue, camkan itu!" Seketika Karang meraih pinggang Pelita dan mengangkatnya.
"Kakak ngapain! Turunin aku nggak!" Pelita memberontak memukul punggung Karang seraya menggerakan kakinya.
Karang tak peduli, ia membawa gadis itu masuk ke dalam kamar mandi dan menurunkannya di bawah shower. Ia mengungkung posisi Pelita, tangan kanannya terangkat dan memutar kran hingga air mengucur deras jatuh di atas kepala keduanya.
"Kakak siksa aku? Ini tuh dingin." Pelita memeluk kedua lengannya, ia menunduk menggigil. Bagaimana tidak, seharian ia sudah basah-basahan dengan ketiga temannya di pantai, belum sempat ganti baju lalu kembali dihujani air dingin di dalam kamar mandi laki-laki gila itu. Keterlaluan!
"Siksaan yang manis," sahut Karang terdengar konyol, dia memiringkan kepalanya, mengamati wajah Pelita yang mulai pucat beserta bibirnya, gadis itu tak bohong.
"Kakak mau aku mati kedinginan?" Sejenak mata sayu gadis itu menatap Karang, lalu kembali menunduk. Dia saja masih mengenakan tank top serta hot pants, jelas basahnya tubuh di depan Karang membuat apa yang berada di balik kain putih itu terlihat, bra hitam, lekuk tubuh Pelita pun cukup kentara.
"Nggak akan gue biarin lo mati, tenang aja. Kita main-main sebentar." Rambut basah laki-laki itu makin membuatnya mempesona, hanya saja gadis di depannya tak ingin peduli apa pun dan bagaimanapun Karang saat ini, ia merasa hampir mati.
"Main-main apa? Aku bukan perempuan murahan ya, bukan cewek malam itu yang bisa Kakak bawa ke sini terus berbuat sesuka Kakak. Aku emang piala, tapi nggak berhak diperlakukan begitu, aku bukan istrimu." Masih saja meskipun menggigil Pelita tetap berbicara.
"Gue nggak tidurin siapa pun, termasuk cewek malam itu. Gue berani sumpah, Ta. Gue nggak ngapa-ngapain sama dia, setelah lo milih pulang sama Rangga, gue juga pulang."
"Matiin airnya, ini dingin ...."
"Permainan belum selesai, Sayang."
Kedua tangan Karang meluruh dari tembok, menyentuh wajah Pelita agar mau menatapnya. Gadis itu sedingin es, bagaimana Karang bisa setega itu padanya hanya karena satu kosa kata; putus.
"Lo harus punya alasan biar nggak tinggalin gue, Pelita."
"Alasan apa, hah? Suatu hari juga Kakak yang bakalan tinggalin aku, bukannya gitu? Jangan munafik, Kak. Seumur hidup sepasang itu dua, bukan tiga."
"Gue yang berhak milih, dan malam ini adalah pilihan buat lo. Lo harus tetap tinggal apa pun yang terjadi, lo cuma punya gue!"
"Bunuh aku aja sekarang kalau gitu, bunuh aku aja. Biarin aku mati kedinginan sekarang, biarin aja aku mati daripada patah hati karena Kakak!"
"Enggak, malam ini lo butuh gue. Sebagai timbal balik gue butuh lo selamanya. Gimana?"
"Dingin ... dingin ...," rintih Pelita, ia merasakan tubuhnya kian lemas. Saat itu juga Karang meraih pinggangnya, memiringkan kepala dan menyatukan bibir keduanya meski derasnya air shower masih mengguyur, merasa seperti di bawah naungan hujan malam hari.
Karang memeluk Pelita, membuatnya merasa hangat sedikit saja hingga tangan kanannya bergerak mematikan kran air. Mereka tetap hanyut dalam ciuman itu, sepertinya Pelita memang butuh pertolongan malam ini, kekejaman Karang membuatnya bisa mati kedinginan.
"Dingin ...," desis Pelita di sela ciuman lembut itu.
"Pelita mau apa?" tanya Karang tanpa melepas ciuman itu.
"Aku kedinginan, aku dingin ...."
"Aku kasih kamu kehangatan, aku bantu kamu. Jangan takut sama aku." Karang kian mengeratkan pelukannya pada Pelita, merapatkan tubuh mereka yang sama-sama basah. Napas gadis itu terasa panas, ketika tangan kanan Karang mengusap lembut wajahnya pun begitu dingin, Pelita bisa benar-benar mati jika tak ia tangani segera. Bisa terkena hipotermia.
"Ikut aku ya." Tangan kanan Karang meraih belakang lutut gadis itu dan mengangkatnya, tangan lainnya menopang punggung Pelita, refleks kedua tangan gadis itu melingkar pada leher Karang. Mereka keluar dari kamar mandi tanpa melepas ciuman itu, Pelita merasa ciuman itu adalah oksigen agar ia tetap bertahan saat ini, jangan lepaskan.
Ia menurunkan tubuh Pelita di ranjang besar berseprai biru navy, dan ciuman itu terlepas untuk sesaat. Karang menarik ujung kausnya hingga terlepas melewati leher, kini tampak jelas tubuh basah penuh tato di bagian dada itu. Ia menatap mata sayu Pelita yang memohon.
"Cium aku, aku dingin ...," rengek gadis itu, ia benar-benar meminta dan butuh apa pun yang dapat menghangatkan tubuhnya.
Karang yang berdiri dengan lutut kembali membungkuk dan mencium gadis itu dengan lembut, tangan kanannya mengusap wajah Pelita yang dingin.
Karang sangat mencintai Pelita, lebih dari perasaannya kepada Valerie. Namun, kenapa sesulit itu untuk sekadar berdua dan mengungkap kisah romansa mereka di depan khalayak ramai.
"Aku sayang kamu." Tiba-tiba saja perkataan tulus itu keluar dari bibir Pelita, membuat hati Karang yang rapuh kian melambung. Ia menginginkan gadis itu lebih dari narkoba yang membuatnya candu, ketagihan atau napas sekalipun, Pelita penting untuknya.
Karang melepas ciuman itu, mengamati wajah Pelita untuk sesaat. Namun, kedua tangan Pelita tak ingin memberinya kesempatan dan menarik leher Karang untuk menyentuh bibirnya lagi. Gadis itu merasa di ambang batas normal malam ini, apa pun yang Karang lakukan padanya ia tak peduli. Pelita hanya ingin kehangatan agar ia bertahan hidup.
"Sabar ya," ucap Karang. Ia melepas ciuman itu lalu berdiri lagi dengan lutut, menghampiri kaki Pelita yang begitu dingin, ia menjilati jari-jari kaki gadis itu lalu naik ke lutut sembari menciuminya hingga mencapai paha yang terbuka sedikit karena hot pants Pelita.
"Kak, aku, ah ...." Pelita mendesah ketika bibir Karang memilin telinganya, memberikan kehangatan yang menjalar ke sekujur tubuh gadis itu, antara merinding dan hangat itulah yang Pelita rasakan.
Dari telinga kanan berganti ke telinga kiri, lalu kembali menghampiri bibir yang butuh konsumsi itu. Kedua tangan Pelita mengusap lembut wajah Karang, matanya terpejam merasakan napsu yang kian merangkak. Ia tak mampu membedakan waras atau tidaknya perbuatan mereka saat ini.
"Sebentar lagi," ucap Karang kembali melepas ciuman itu, ia turun ke leher Pelita yang seringkali menggoda adrenalinnya. Kali ini ia bisa leluasa karena mendapatkannya dalam waktu yang lama, Karang menciumi leher Pelita sambil sesekali menjilat serta menggigitnya.
"Kak, ah ... jangan ...."
Tangan kanan Karang meluruh, menarik ujung tank top Pelita hingga terbuka sampai ke atas pusar, ia mengusap lembut perut rata gadis itu sambil sesekali menggelitiknya.
"Jangan, Kak ... jangan ...."
Karang tak peduli, semua harus diakhiri malam ini juga. Jika ia berhenti, ia bisa gila. Mereka sudah sejauh itu dan Karang terus ingin Pelita menjadi miliknya, ia hanya memberi alasan agar gadis itu tak pergi sampai kapan pun.
Hingga Karang mulai melucuti apa pun yang melekat pada tubuhnya, membiarkan gadis itu yang pertama kali melihat semuanya. Pelita bergeming saat mata sayunya melihat apa yang tak seharusnya ia lihat, apa indra penglihatannya sedang bermasalah?
"Kakak mau apa?" tanya gadis itu terdengar lemas.
"Mau kamu, apa pun yang kamu miliki aku mau semuanya. Hati kamu, diri kamu, semua punya aku." Karang menekan tombol lampu yang menempel pada tembok di atas tempat tidurnya, barulah ia melucuti apa pun yang melekat pada tubuh gadisnya tanpa harus melihatnya.
Setelah itu, semua berlanjut seperti aliran darah yang terus berdesir hangat karena Karang berhasil meruntuhkan pertahanan Pelita malam ini, begitu juga dirinya untuk pertama kali menyentuh seseorang. Karena ia cinta, tak ingin kehilangan dan memaksa Tuhan agar menetapkan gadis itu bersamanya.
Apa pun yang terjadi, izinkanlah agar gadis itu terus bersamanya, Tuhan.