Chereads / Danke / Chapter 40 - Pahit.

Chapter 40 - Pahit.

Pelita sudah berpesan pada Raksa agar tak katakan apa pun tentang kejadian kemarin pada Chintya, terutama karena dirinya yang masih bersembunyi di balik punggung Karang. Ingin sekali ia ungkap semua, tapi terlalu takut menerima bagaimana respons teman-temannya nanti.

Hari ini hari penentuan, siapa yang akan dipilih oleh Karang nantinya dan Pelita sudah mempersiapkan hati untuk segala kemungkinan buruk. Jika bukan ia yang dipilih, tak apa. Mungkin bukan Karang yang Tuhan pilihkan untuknya, hanya saja sesuatu terkadang perlu benar-benar disesali, malam itu.

Aktivitas normal di dalam kampus kembali terjadi, di dalam kantin seperti biasa pagi-pagi keempat gadis itu sudah menyeruput masing-masing kopi mereka. Ada yang membaca majalah, ada pula yang berurusan dengan ponsel kesayangan. Sedangkan Pelita sibuk berpikir, akan bagaimana hari ini, akan bagaimana akhirnya nanti.

Gadis itu mengaduk kopi miliknya, lalu ia teguk sedikit sembari menatap pintu masuk kantin. Kenapa sosok yang ia tunggu tak kunjung datang.

Setelah Pelita meletakan gelas kopinya, ia merogoh ponsel dari saku jaket, membuka room chat dengan Karang lalu mengetik sesuatu.

Pelita :

Harus datang!

Lantas send, tapi hanya centang satu. Pelita berdecak menatap layar ponselnya, kenapa nomor itu harus tidak aktif.

Ketika matanya menatap ke arah pintu, ia menemukan Valerie dan teman-temannya yang justru masuk ke dalam kantin, tanpa Karang. Ke mana laki-laki itu?

"Eh, Ta. Lo udah dengar belum, gosipnya Karang sama Valerie yang lagi booming banget itu," celetuk Anggi.

Ucapan itu jelas menyita perhatian Pelita, "Gosip booming, apaan yah? Kemarin-kemarin kan gue nggak masuk."

"Soalnya lo sibuk kencan sama Raksa sih," sambar Chintya lalu terkekeh geli. Pelita mengerucutkan bibirnya.

"Iya, gosip yang lagi booming kalau bulan depan mereka mau menikah itu lho," balas Anggi.

Deg!

Kabar itu seperti sebuah sambaran petir yang menghunjam tubuhnya, ia merasa seseorang baru saja menusuk punggungnya bertubi-tubi hingga sesuatu miliknya yang terluka makin tersayat, begitu sembilu. Bibir Pelita bergetar, ia tengah berusaha menahan agar air mata itu tak jatuh di depan teman-temannya saat ini. Ia berusaha mengukir senyum sebagai manusia yang pura-pura bahagia, menyedihkan sekali.

"Masa sih, cepat banget ya," sahut Pelita pura-pura senang. Kedua tangannya di bawah meja sudah mengepal erat.

"Iya, kita semua aja berharap bakal diundang. Siapa tahu lo juga entar, suruh nyanyi," ujar Kamila enteng.

Andai mereka tahu apa yang Pelita rasakan sekarang, tersambar kereta yang melaju cepat rasanya lebih baik. Agar ia tak hanya mati rasa, tapi juga lenyap dari muka bumi ini, agar tak ada yang melukainya lagi hingga sedalam itu.

Pelita tak pernah menyangka, putus dari Ardo dan memulai kisah baru bersama Karang justru mengakibatkan kesakitan sedalam-dalamnya, hingga ke akar. Ia ingin tahu, apa salahnya?

"Gue ke toilet sebentar ya," izin Pelita.

"Jangan lupa balik," sahut Chintya tanpa melepas fokusnya dari layar ponsel.

Gadis itu beranjak, melangkah keluar dari kantin dengan tergesa hingga tak sengaja menabrak seseorang dan terjerembab.

"Maaf, maaf," ucap laki-laki itu, ia mengulurkan tangannya di depan wajah Pelita.

Gadis itu diam, terduduk sambil menunduk. Isakannya sudah keluar, tersedu-sedu tanpa temannya tahu.

Pelita meremas kerah kemeja yang ia pakai di balik jaketnya, kerongkongannya terasa sakit akibat menahan air matanya mati-matian. Pada akhirnya meluruh juga, kenapa rasa sedih tak mau mengalah padanya. Akhi-akhir ini dunia seolah membencinya, selalu memberikan kepedihan yang mendalam.

Ardo berjongkok, ia menyelipkan seluruh rambut Pelita yang menutupi wajahnya ke belakang. Setelah melihat dengan jelas siapa yang menabraknya, Ardo terkejut.

"Pelita, itu lo, Ta?"

Pelita mengangguk, kepalanya menengadah menatap Ardo di depannya. Ardo membantunya untuk bangkit dan Pelita langsung memeluknya, laki-laki itu sama sekali tak menolak. Ia tahu pasti Pelita tengah terluka karena ia juga sudah mendengar kabar pernikanan Karang serta Valerie bulan depan, ia menyandarkan dagunya di puncak kepala Pelita sembari mengusap punggung gadis itu dengan lembut, memberinya semangat.

Pelita merasakan pil pahit enggan meluruh dari kerongkongannya, terus tertahan di sana.

"Gue tahu apa yang lo rasa, Ta. Gue cuma nggak tahu harus gimana," ucap Ardo.

Pelita enggan menjawab, dia terus saja terisak di dada Ardo meski banyak orang melewati mereka. Terserah apa yang ada di pikiran mereka, Pelita hanya butuh sandaran. Ia ingin melepas hatinya agar jadi satu-satunya manusia yang tak punya hati, lalu terbahak sekencang-kencangnya bahwa ia takkan patah hati lagi, ia mati.

***

Ia meminta Ardo mengantarnya datang ke apartemen Karang, berharap laki-laki itu ada di sana dan menjawab semua pertanyaannya. Pelita meminta Ardo tetap menunggu di parkiran dan membiarkannya menyelesaikan urusan sendiri.

Gadis itu baru keluar dari lift, tepat di lantai tempat apartemen Karang berada. Ia melangkah cukup tergesa menghampiri pintu, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar di dalam sana suara orang tengah berbicara cukup jelas.

Pelita mendekatkan telinganya ke pintu, berharap semua yang dikatakan terekam lewat telinganya.

"Ngapain sih kabur-kaburan, kalau lo pergi masalah nggak akan lari. Malah tambah berat beban lo, mending ambil keputusan terbaik sekarang juga," ujar Rangga di dalam sana.

"Gue nggak bisa milih! Gue nggak punya pilihan."

"Kenapa gitu, lo jadi cowok malah lembek gini soal urusan cinta. Kalau berantem aja ganas kayak setan perempatan, udahlah ambil yang paling pas buat lo."

"Apa! Siapa!" Suara Karang terdengar meninggi.

"Milih satu di antara dua aja lo bingung, maunya sama Pelita apa Valerie. Masa nikah pertama istri langsung dua, nggak mungkin dong. Enak jadi elo."

"Gue nggak mau pilih!"

"Ya udah, artinya lo biarin Pelita ke Singapur, iya?"

"Enggak!"

"Terus apa, batu!"

Pelita dapat mendengarkan semuanya dengan jelas, ia menunggu akan bagaimana Karang memutuskan.

"Lo kalau nggak punya solusi mending diem, jangan banyak bacot!" hardik Karang.

"Ada sih ada, lo pilih Valerie aja. Lagian kalian pacaran udah lama, mau nikah juga, kedua keluarga saling meresetui. Mau apa lagi coba? Kurang apa? Sedangkan Pelita kan awalnya cuma buat lo main-main aja, cuma ajang balas dendam lo ke Ardo, lo nggak punya perasaan lebih kan ke dia? Kalau lo dapat yang lebih dari dia, anggap aja bonus."

Pelita tertegun, jika ia adalah kaca, bisa dipastikan sekarang sudah hancur berkeping-keping. Pengakuan Rangga membuatnya teringat lagi siapa dia, Pelita hanya piala, hanya piala.

Ia tak ingin menahannya lebih lama, Pelita meraih kenop pintu dan menariknya ke bawah hingga benda persegi panjang vertikal itu akhirnya terbuka. Kedua manusia di dalam sana tertegun saat melihat siapa yang membuka pintu tanpa izin, bodohnya lagi tak dikunci.

Gadis itu membeku di tempatnya, iris cokelat terangnya seolah meredup dalam sekejap. Kekejaman macam apa yang Karang perbuat padanya, apa salahnya? Kenapa ia yang harus dikorbankan.

Karang dan Rangga yang berdiri di dekat ranjang saling tatap, setelahnya Karang menghampiri Pelita yang masih berdiri dengan tatapan nanarnya.

"Sejak kapan di sini?" tanya Karang sembari mengacak rambutnya frustrasi, Rangga juga memilih masuk ke dalam kamar mandi ketimbang melihat bagaimana pasangan itu sekarang.

"Keputusan sudah dibuat, aku yang akan mundur dengan senang hati," ungkap Pelita, meski benar-benar sesak karena mencintai laki-laki yang salah. Rasa juga yang salah, kenapa harus hadir untuk Karang.

"Gue punya penjelasan atas semua ucapan Rangga tadi, nggak semuanya itu benar."

Pelita tersenyum tipis, lalu ia tertawa seperti orang gila. "Penjelasan apa, hm? Selamat ya, besok aku bakal datang ke acara pernikahan kamu dan jadi perempuan paling bahagia di sana. Terus nyanyi buat mantanku tersayang."

Karang menggeleng, ia kaku atas terbongkarnya kebusukan selama ini. Semudah itukah akhir dengan Pelita, padahal perasaannya memang sudah berubah, ia sangat mencintai Pelita.

"Selamat ya atas semua sandiwara kamu selama ini, Karell Rafaldi Angkasa." Pelita mengulurkan tangan kanannya, tapi Karang enggan menerima, manusia bodoh mana yang harus bangga menerima ucapan selamat karena sudah menyakiti gadis yang dicintainya. "Kadang aku mikir keras, kenapa ya kamu terus aja bikin hati ini sakit dan semuanya sudah jelas, aku sudah tahu jawabannya. Aku cuma piala yang pantas diombang-ambing, terima kasih atas usaha merobek hatinya. Kamu laki-laki terhebat dan layak dapat penghargaan, tunggu sampai aku kirim hadiahnya buat kamu ya."

"Pelita ...."

"Dan lagi, hubungan kita jelas berakhir. Seperti yang Rangga bilang, apa yang kamu dapatkan dari aku anggap aja bonus."

"Pelita."

"Jangan sedih gitu dong, harusnya kamu bahagia karena sudah mendapatkan apa pun yang kamu mau. Sekali lagi selamat ya."

"Pelita."

Gadis itu meraih tengkuk Karang, membuatnya mendekatkan wajah lalu mencium bibirnya dengan lembut untuk terakhir kalinya. Setelah itu Pelita melenggang pergi, membawa semua kehancurannya, jika belati itu benar-benar terlihat pasti jejak darah sudah berjatuhan di lantai saat ini.

Karang tertegun, ia telah jadi manusia paling jahat di muka bumi karena menyiakan gadis yang tulus menyayanginya bahkan sabar meski menjadi yang kedua.

Gadis itu, hatinya sudah mati.

Terima kasih, Karang.