Pelita sengaja menyibukan diri dengan datang ke Mona's Bakery milik ibunya, dia tak ingin terus memikirkan banyak hal buruk yang terjadi akhir-akhir ini. Gadis yang biasanya mengenakan celana berlutut robek itu kini terlihat berbeda, ia mengenakan rok lipit warna hitam selutut yang dipadukan dengan blouse warna kuning polkadot. Setidaknya hari ini ia sudah dapat mengukir senyumnya untuk orang-orang, bersedih ternyata membuang tenaganya saja, menyesal berlarut-larut juga percuma karena semua telah terjadi.
Ia terlihat mondar-mandir dari dapur ke depan sembari membawa nampan berisikan pesanan milik orang-orang tanpa melepas senyumnya ketika meletakan kue-kue khas buatan sang ibu.
Sebuah mobil warna hitam menepi di depan toko yang merangkap kafe itu, seorang laki-laki sebaya Pelita turun lantas melepas kacamata hitamnya. Dia Raksa—laki-laki yang tengah dicomblangkan oleh Chintya untuk Pelita.
Hanya saja Pelita memang tak tahu perihal itu.
Raksa masuk ke dalam kafe, ia mengedar pandang saat masih berdiri di balik pintu kaca yang terbuka. Matanya menangkap sosok gadis berpakaian kuning tersenyum begitu ramah pada setiap pelanggan.
Nggak salah lagi, itu pasti Pelita, batin Raksa. Ia memilih tempat duduk kosong dan berakhir di dekat jendela kaca tebal, di mana ia dapat melihat keadaan jalanan Jakarta pagi ini.
Bola mata Raksa enggan melepas fokusnya pada Pelita, ketika akhirnya gadis itu menghampiri karena hari ini sengaja menjadi salah satu karyawan toko ibunya, Raksa mencoba bersikap sewajar mungkin. Ia tengah melakukan pendekatan secara halus, natural.
"Selamat pagi, mau pesan apa?" tanya Pelita seramah mungkin, mood sedang sangat bagus pagi ini.
Raksa membalas senyum itu, ia meraih buku menu yang sudah tersedia di atas meja lalu membukanya. "Vanila late aja," sahut Raksa.
"Oke, tunggu sebentar ya." Pelita beringsut pergi menuju dapur, aroma gadis itu terlalu manis untuk dihilangkan dari indra penciuman Raksa saat ini, benar-benar mempesona.
Raksa menatap pemandangan di luar jendela sambil menunggu gadis itu kembali, kesan pertama yang ia dapat ketika melihat gadis itu adalah; menarik.
Pelita keluar dari dapur, kedua tangannya memegang sisi nampan—berisikan cangkir kopi pesanan Raksa. Ia meletakannya dengan hati-hati di permukaan meja.
"Selamat menikmati pagimu," ucap Pelita, ia balik badan hendak menghampiri pengujung lain yang baru datang.
"Sebentar," cegah Raksa.
Gadis itu kembali menatap Raksa, "Ada yang lain?"
"Ada." Raksa mengulurkan tangan kanannya. "Kenalin, nama gue Raksa. Temannya Chintya."
Pelita menatap bergantian tangan serta pemiliknya, ia membalasnya. "Pelita Sunny."
"Cocok."
"Makasih."
"Masih sibuk? Gue butuh teman ngopi pagi-pagi," ujar Raksa.
"Oh, sebentar ya. Gue taruh ini dulu." Pelita menunjukan nampan yang masih ada di pelukannya, ia beringsut menuju dapur dan kembali dengan tangan kosong.
Raksa menghela napas lega, akhirnya waktu pertama kali ia menemui gadis itu akan berkesan juga. Ternyata Pelita memang supel, seperti yang Chintya ceritakan padanya.
Gadis itu duduk di sofa, bersebrangan dengan Raksa, ia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga—perlihatkan sisi yang seringkali membuat para laki-laki terpesona.
"Nggak kuliah?" tanya Raksa mengawali percakapan.
"Lagi enggak, kayaknya lo juga bukan anak Merah Putih, kan?"
"Bukan, gue anak Kampus Tunis."
Pelita manggut-manggut, ia merasa canggung dengan keadaan itu. Bicara dengan orang asing membuatnya gugup.
"Lo nggak hangout sama cowok lo?" Sengaja Raksa menanyakan hal itu, karena Chintya berkata bahwa Pelita tak punya pacar, ia sekadar memastikan.
"Cowok?" Pelita terdiam, sejak malam itu ia masih bingung soal hubungannya dengan Karang. Entah berlanjut atau memang sudah berakhir, gadis itu sudah bertekad bulat bahwa ia ingin lepas dari Karang, bagaimanapun caranya.
Jika ia tak bisa melepaskan diri dari Karang, maka Pelita yang harus berusaha membuat Karang sendiri yang melepasnya, terdengar lebih baik.
"Gue nggak punya pacar," sahut Pelita mantap.
"Beneran? Atau gebetan mungkin, kan gue jadi nggak enak sekarang duduk berdua sama lo. Minta ditemenin ngopi pagi-pagi."
"Enggak, santai aja."
"Kalau gitu, ngajak jalan boleh dong?"
Mata Pelita mengerjap mendengar ajakan to the point dari Raksa, secepat itukah? Langsung tancap gas dalam sekejap.
Pelita diam, tak langsung menanggapi. Ia menatap lurus laki-laki yang duduk di sebrangnya, setelah ia pikir-pikir tawaran Raksa boleh juga. Ia harus melakukan usaha apa pun asal Karang mau melepas dirinya, jika Karang tahu ia dekat dengan laki-laki lain mungkin saja Karang mau mengakhiri hubungan mereka. Lagipula Karang memiliki Valerie, sedangkan ia tak memiliki siapa pun, seseorang yang baru saja ia miliki sudah menghancurkan kepercayaannya.
"Gimana? Gue juga lagi nggak ada kelas hari ini," tawar Raksa lagi.
Pelita mengangguk seraya beranjak, "Sebentar ya, gue ambil tas dulu di ruangan mama." Ia melenggang meninggalkan Raksa.
Kedua sudut bibir Raksa tertarik usai mendengar keputusan persetujuan dari Pelita, mudah sekali mendekati gadis itu. Iya, karena Pelita sedang berada dalam masa rapuh.
Ketika melihat Pelita melangkah menghampirinya, Raksa meneguk habis kopi itu dan beranjak. Dia meninggalkan uang di bawah cangkir kosong lantas keluar dari kafe bersama gadis itu.
***
Sejak masuk ke dalam mobil Raksa, meskipun mereka tak saling bicara, tapi gadis itu sejak tadi mengamati kamera yang tergeletak di permukaan dash board. Sepertinya Raksa juga suka foto, benda itu mengingatkannya pada seseorang—yang Pelita hindari, kenapa semesta memperkenalkannya lagi pada sosok penyuka kamera?
Pelita menukar oksigen dengan karbondioksida miliknya, kenapa beberapa laki-laki di sekitarnya sangat menyukai foto. Sedangkan ia lebih suka menyimpan kenangan pada sudut otaknya.
Pelita menatap laki-laki di sebelahnya sekilas, lalu kembali pada jalanan lenggang di depan mereka. "Kita mau ke mana?" tanya gadis itu mengawali percakapan.
"Galeri foto, pernah ke sana nggak?"
"Enggak."
"Baguslah, buat pertama kali ajak cewek ke galeri foto."
"Oh." Pelita mulai tak bersemangat sejak melihat kamera itu, ia jadi ingat Karang lagi. Kenapa susah sekali mengenyahkannya dari pikiran, andai memori adalah secarik kertas maka ia akan membakarnya hingga habis tak bersisa, mudah sekali.
"Kenapa, lo nggak suka?"
"Nggak apa-apa. Lanjut aja, cari pengalaman."
"Lo lagi banyak pikiran, masalah? Maaf, tapi kayak lemes gitu," ujar Raksa usai mengamati ekspresi Pelita serta bahasa tubuhnya sedari tadi.
Pelita juga tersenyum, "Iya, lagi nggak semangat akhir-akhir ini." Raksa seperti dapat membaca pikirannya.
"Kenapa lo nggak hangout sama Chintya terus dua temannya itu, kalian nggak musuhan, kan?"
Pelita tertawa kecil, "Ya enggaklah, mana ada gue musuhan sama mereka. Kita lagi ada urusan masing-masing aja kok."
"Oke."
Laju mobil terus berlanjut hingga tiba di tempat yang mereka tuju, sebuah gedung galeri yang belum pernah Pelita kunjungi. Selama ini dia hanya sering datang ke mall, pantai atau kafe milik sang ibu.
Mereka turun di area parkir, Raksa juga melingkarkan tali kamera miliknya di leher. Membuat Pelita menatapnya sekilas, dan mengerjap karena sempat berpikir kalau Raksa adalah Karang. Sepertinya ia mulai gila.
"Ayo, kok ngelamun?" tanya Raksa.
"Nggak kok, enggak. Ayo."
Keduanya masuk ke dalam ruangan besar itu, benar saja di dalam sana cukup luas dan berisikan begitu banyak foto dari berbagai macam sumber serta fotografer yang berbeda.
Dua bola mata mengedar pandang, dia cukup takjub sekarang, belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya dan mendapat kesan yang cukup menarik, sepertinya ia mulai suka dengan tempat yang pertama kali kakinya pijak.
Raksa mengamati gadis di sebelahnya, ia mengulas senyum saat mata Pelita menatap langit-langit gedung lalu beralih pada foto-foto yang terpajang di dinding.
Mereka ada di antara kerumunan pengunjung yang juga mengamati berbagai macam foto itu.
"Gimana, lo suka di sini?" tanya Raksa memastikan.
Pelita menoleh, melempar senyum tulusnya. "Iya kayaknya gue sih suka, unik gitu sih. Banyak tempat yang belum pernah gue lihat dan ada di foto."
"Itu salah satu manfaat kenapa harus simpan sebuah kenangan jadi bentuk gambar, buat bayangan aja," ujar Raksa.
Pelita mengangkat ibu jarinya, "Sip!"
Langkah Pelita terus berlanjut, mengamati setiap foto yang ia lewati dan semuanya benar-benar menarik. Raksa mengekor di belakang gadis itu, mengamatinya dalam diam, ternyata ia benar-benar terpesona.
Sedangkan keduanya tidak tahu bahwa Rangga juga ada di sana, berdiri di balik salah satu pilar gedung sambil mengarahkan ponselnya ke arah di mana Pelita dan Raksa berdiri, barulah ia membidik sasaran. Foto yang cukup jelas itu lekas ia kirim ke nomor Karang.
Tinggal menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.