Chereads / Danke / Chapter 3 - Pacar Pengganti?

Chapter 3 - Pacar Pengganti?

Ada hal yang cukup lucu setelah seminggu sejak berlalunya kekalahan Ardo balap motor melawan Karang. Pelita hanya merasa kalau dunianya pasti akan baik-baik saja setelah seminggu belakangan sama sekali tak ada gangguan dari Karang, tak ada ajakan untuk menjadi bagian yang ketiga dari kisah romansanya bersama Valerie. Tak ada jua tegur sapa di antara mereka, Pelita bisa mengartikan segala situasinya bagai omong kosong belaka, ia takkan pernah menjadi kekasih Karang, dan jelas kalau kutukan yang Ardo beri adalah hoax!

Pelita tak perlu repot-repot lagi memikirkan seburuk apa hari-harinya esok di kampus, tak lagi dihampiri mimpi buruk jika ia terlelap, tak lagi kegelisahan yang merajai acapkali melihat Karang di area kampus. Sekarang, pelangi seolah mengitari dunianya, awan kelabu yang selalu mendentumkan petir hanya bagi Pelita pun menyingkir tanpa sisa.

Gadis itu masih anteng duduk di kursi kelas tanpa memedulikan teman-temannya telah keluar kelas menghampiri masing-masing pacar mereka, sedangkan Pelita yang telah menyandang status jomlo hanya bisa menganggap dirinya tengah bersolo karir, belum menemukan seseorang yang bisa diajak berduet.

"Nonton yuk, Ta. Lo free habis ini, kan?" tanya Rio yang sudah berdiri di sisi Pelita, sepasang airpods menyumpal telinga dengan volume musik yang lirih.

Gadis itu menoleh. "Free kok, apalagi sekarang jomlo. Bentar dulu." Ia mulai rapikan beberapa buku yang tergeletak di meja beralih ke ranselnya. "Emang mau nonton di mana?"

"Yang dekat aja."

"Nonton apa nih?" Pelita beranjak, ia keluarkan ponsel dari saku celana sekadar membuka kamera sebagai cermin, beberapa helai surai jatuh menutupi kening.

"Film horor yang lagi booming itu lho, yang bawa-bawa lonceng kalo mampir, kayak nyokap lo." Rio terkekeh geli setelahnya.

"Sialan lo, ayo deh. Gue sambil chat Anggi yah, soalnya dia nggak ikut kelas." Mereka berdua keluar dari kelas, Pelita kembali sibuk dengan urusan ponsel saat kedua ibu jarinya sibuk menari pada layar keypad.

Lo di mana?

Pesan terkirim, baru saja Pelita memasukan ponselnya ke saku celana—ponsel sudah berbunyi. Ia merogohnya lagi, tapi cukup tercengang saat membaca balasan chat yang ia pikir dari Anggi, nyatanya dari sebuah nomor tak dikenal.

+6287******999 :

Pacar lo tuh siapa?

Jalan sama siapa?

Gadis itu mengerutkan kening, jemarinya bergerak cepat membalas.

Siapa?

KARANG.

Enam huruf yang merangkai menjadi sebuah nama membuat Pelita mendelik, ia menelan saliva kuat-kuat, tangannya gemetar menggenggam ponsel hingga lolos begitu saja menyentuh selasar.

"Siapa yang chat, Ta? Si Anggi?" Kening Rio mengernyit tanggapi ekspresi Pelita yang terlihat ketakutan. "Lo kenapa, sih? Anggi kenapa?" Rio menunduk raih ponsel gadis itu.

Buru-buru Pelita merebutnya sebelum Rio sempat membaca. "Ng ... iya si Anggi, buruan deh. Dia langsung otw sama cowoknya. Yuk!" Pelita meraih tangan Rio, menariknya cepat hampiri area parkir. Ia tak habis pikir dengan situasi yang dihadapinya, ia pikir sudah terbebas dari segala hal yang terpaut dengan Karang, nyatanya laki-laki itu benar menganggapnya sebagai kekasih.

Permainan macam apa ini!

Mereka berjalan cukup tergesa agar sampai di tempat parkir, Pelita sangat takut menghadapi Karang, bola matanya mengedar ke segala arah, cukup cemas saat menyadari Karang ternyata mengetahui aktivitasnya sekarang, artinya laki-laki itu tengah bersembunyi tanpa Pelita tahu tempatnya.

"Ta, gue ke toilet sebentar. Lo duluan aja," tutur Rio begitu mereka sampai di sebelah motor teman Pelita itu.

"Ya udah cepet!" hardik Pelita tanpa mampu sembunyikan rasa cemasnya, ia merasa seorang pembunuh tengah menguntit sebelum mencabik-cabik dengan sadis.

"Iya sabar kali, gue kalau pipis enggak lama kok." Rio melangkah pergi bersamaan tawa yang perlahan mengecil saat bocah itu makin jauh menerobos kampus dan menghilang di ujung koridor.

Pelita mondar-mandir di area parkir seraya menggigit ujung telunjuknya, ia terlalu sibuk berpikir macam-macam sampai tak memedulikan dua kakinya telah melewati pohon beringin besar—yang tertanam di sudut tempat itu cukup lama dengan guguran daun memenuhi paving block. Ia hanya tak menyadari kalau seseorang beriris gelap pekat berdiri di belakangnya, tatapan dingin menghunus bersama desah napas yang tenang, tangan kanannya terangkat melewati sisi wajah Pelita hingga bungkaman di bibir gadis itu berlangsung—bersamaan tarikan ke sisi pohon berdiameter cukup besar itu, agar siapa pun tak melihat aktivitas dua manusia di baliknya.

Karang menghempas tubuh Pelita pada batang pohon tanpa melepas bekapannya, tatapan dingin kini menghunus lekat manik gadis itu. Rasa takut Pelita benar-benar memuncak kali ini, sebulir keringat mulai menghiasi kening bersamaan kembang-kempis dada yang masih menyiratkan kehidupannya meski berhadapan dengan Karang sama saja menghadapi malaikat pencabut nyawa.

"Diem," ucap Karang menginterupsi, dia meluruhkan tangan dari bibir gadisnya, beralih menempel di dekat telinga Pelita.

"Kak Karang? Kenap-kenapa kagetin?" Gadis itu tergugu, detak jantungnya semakin meledak-ledak saja, hawa dingin seolah menyelimuti tubuhnya.

Jarak wajah mereka hanya beberapa centi, bola mata laki-laki itu bergerak turun sebelum menelusuri tiap jengkal milik gadisnya hingga menemukan eboni Pelita lagi. Ia tersenyum miring seraya berkata, "Kenapa lo mau jalan sama cowok lain, hm? Pacar lo sebenarnya siapa?"

"Pac-pacar, em-emang aku pacarnya siapa? Aku nggak punya." Gadis itu memejam saat wajah Karang semakin mendekat, ia sampai menggigit bibirnya sendiri.

"Gue," bisik Karang, "lo udah jadi piala yang gue menangin setelah menang balap dari mantan pacar elo, Ardo."

Bagus! Rupanya Pelita hanya sebuah piala kemenangan!

Kelopak mata Pelita terbuka, ada sorot kebencian menggantikan rasa takutnya. "Aku nggak mau jadi pacar, Kakak. Kita putus aja!" Spontan kalimat penolakan meluncur tanpa kekangan.

"Apa? Lo ngomong apa?" Karang mendekatkan telinga kanan pada wajah gadis itu, membuat tubuh Pelita mulai memanas. Bisakah Karang bersikap normal sedikit saja!

"Ngomong yang jelas," bisik Karang.

"Aku, aku, aku mau kita putus aja, Kak," balas Pelita mantap, meski sedikit skeptis—sebab cara Karang memperlakukannya cukup membuat Pelita mati gaya. Ia sangat tak nyaman melakoni situasi gila itu sekarang, dan kenapa makhluk bernama Rio tak kunjung datang agar Pelita bisa meminta pertolongan.

Karang kembali berbisik, untung saja jantung Pelita masih betah di tempatnya. "Putus, hm? Hak lo apa? Selama bukan gue yang mengakhirinya maka nggak akan ada kata putus antara kita, karena lo piala yang gue menangin, jelas?"

Pelita menelan saliva. "Tapi, tapi, Kak. Kakak itu udah punya pacar, si Valerie dan aku nggak mau jadi orang ketiga di antara kalian." Ia memohon, berharap Karang sudi mengasihinya.

"Biarin aja Valerie tetep di sana, selama lima hari ke depan dia ada di Bali, urusan sama keluarganya. Lo harus gantiin posisi Valerie ngurus gue."

"Maksudnya?"

"Lo jadi pacar pengganti."

"Selingkuhan?"

"Enggak juga, lo cuma ada sama gue kalau Valerie nggak ada, paham?" Kata demi kata yang Karang lontarkan benar-benar meluncur mulus tanpa penghalang, tanpa beban pun berpikir panjang.

"Tapi, tapi kalau ketahuan gimana, Kak?" Sikap polos Pelita juga mulai ia tonjolkan, seperti tak mengerti apa-apa perihal situasi yang semakin mencekiknya tanpa diduga-duga.

"Nggak akan, asal lo diem dan jangan banyak tingkah."

Pelita pasrah, dia menunduk sambil menarik napasnya. Semua jadi makin runyam, ia merasa sudah jadi gadis simpanan dan suatu saat jelas merusak hubungan mereka. Namun, dia bisa apa? Semua keputusan berada di tangan Karang, ketika Pelita meliriknya laki-laki itu tengah menyesap rokok dengan nikmat, seolah semua keputusannya paling bijak, semudah membalikan telapak tangan.

"Sekarang ikut gue," ajak Karang seraya meraih tangan gadis itu, tapi Pelita buru-buru menepisnya, dia merasa risi. "Kenapa dilepas?"

Gadisnya menggeleng. "Ini aneh, aku nggak biasa."

"Biasain, lo itu cewek gue." Karang merangkum tangan itu lagi—bahkan lebih erat, Pelita merasa seperti anak anjing yang ditarik pemiliknya ke mana-mana.

Mereka menghampiri mobil hitam milik Karang di area parkir khusus mobil, untung saja keadaan begitu sepi, Rio bahkan belum datang, entah terlelap di toilet atau apa. Batang rokok yang masih tersisa pun Karang buang dan injak hingga tak utuh lagi.

Karang membukakan pintu untuk Pelita, tapi gadis itu tak lantas masuk—membuat tatapan dingin Karang mendesaknya hingga mengalah dan duduk dengan tenang, Pelita sangat serius kalau kadar semangatnya melakoni hari ini telah turun 80%.

"Sebenarnya kalau pacaran tuh enakan naik motor, bisa dipeluk dari belakang. Tapi karena elo tersimpan jadi pakai mobil aja biar nggak ada yang lihat," ujar Karang yang telah duduk di balik kemudi, ia kenakan sabuk pengaman.

Kalimat yang Karang ucapkan terlalu menusuk seolah posisi Pelita benar-benar buruk, tapi ia putuskan bergeming seraya tatap keadaan di depannya—berharap kalau ia memiliki sihir agar bisa hilangkan Karang dari bumi saat itu juga.

***