Chereads / Danke / Chapter 25 - Seatap.

Chapter 25 - Seatap.

Alasan yang logis ketika Pelita mengatakan pada ibunya bahwa ia harus menginap di rumah Kamila karena sedang ditinggal orang tuanya ke luar negeri lagi, Pelita hanya berharap bahwa ibunya benar-benar tak menghubungi Kamila, ia hanya berbohong. Semua karena ulah batu yang tak bisa ditolerir sedikit saja itu, Pelita merasa terpenjara sejak bersamanya.

Setelah masuk ke dalam apartemen gadis itu tertegun diam di dekat nakas, ia merasa aneh pada ruangan itu padahal beberapa hari ini juga sudah menginjakan kakinya di sana, mungkin karena suasana yang berbeda. Biasanya dia datang ke tempat itu siang hari dan sekarang malam-malam? Hanya berdua bersama Karang, tiba-tiba ia merinding.

Karang yang berdiri di belakang Pelita tersenyum miring melihat kebingungan gadisnya, dia mendorong gadis itu agar melanjutkan langkah.

Rasa takutnya kian mencuat ketika melihat tempat tidur Karang yang besar beralaskan seprai warna putih tulang, dia menelan saliva sambil membayangkan hal yang tidak-tidak ketika terus menatap ranjang itu.

Namun, Pelita segera mengusir jauh pikiran kotornya. Ia hanya akan tidur dengan definisi memejamkan mata lalu bangun esok hari, hanya itu saja, bukan hal lain. Jadi, kenapa harus takut?

Kedua tangan Karang menyentuh lengan Pelita dari belakang, membuat nyali gadis itu kian ciut malam ini. Ternyata Karang lebih menyeramkan dari setan penghuni pohon pisang sekalipun.

Sengaja Karang memutar tubuh Pelita agar menghadapnya, menatap langsung eboni yang tengah merasakan kecanggungan luar biasa. Pelita merasakan tubuhnya seperti mengecil diperlakukan begitu oleh Karang, ya Tuhan selamatkan gadis itu malam ini.

"Lo kenapa?" tanya Karang santai.

Andai Karang tahu apa yang Pelita rasakan, apa akan melontarkan pertanyaan itu juga? Pelita menggeleng kuat, ia merasa tak apa.

"Kok diem?"

"Aku nggak apa-apa kok, kan cuma tidur." Tiba-tiba dia membuka kegusarannya sendiri, tentu saja Karang menyeringai bak setan.

Mendadak Karang menghempas tubuh gadis itu ke ranjang bersamaan dirinya yang merangkak di atas tubuh Pelita, tapi tak menyentuhnya karena kedua tangan Karang masing-masing menumpu di dekat telinga Pelita, ia masih saja memasang seringaian setan itu padahal Pelita sudah ketakutan luar biasa.

Dia menggigit bibirnya sendiri bersamaan kedua tangan yang menahan dada Karang agar tak sampai bersentuhan dengan tubuhnya, Pelita juga tak mampu membalas tatapan setan itu.

"Kakak ngapain, minggir deh," pinta gadis itu sambil menatap ke arah lain, jantungnya berpacu lebih cepat mendobrak keluar dari sarangnya. Perlakuan Karang terlalu sulit dibaca olehnya, akan ada apalagi setelah ini?

"Kenapa, takut?"

Bodoh!

Dia memang ketakutan bodoh!

"Kan janjinya cuma mau tidur, ngapain kayak gini sih, Kak. Minggir deh!" desak gadisnya seraya menekan dada Karang agar menjauh, tapi laki-laki itu terlalu kuat apalagi mangsanya sudah tak berdaya, tinggal dieksekusi saja.

"Iya terus kenapa? Gue nggak ngerti kenapa Valerie selalu mau gue sama dia kayak gini, tapi gue nggak mau, sedangkan pas lihat lo malah gue mau banget, lo tahu jawabannya?"

Pelita menatap Karang seraya menelan saliva, pertanyaan macam apa itu.

"Aku nggak tahu, dan nggak perlu tahu."

"Tapi gue mau lo tahu."

"Tapi aku nggak mau dengar, mending Kakak minggir deh!" Masih saja Pelita mendesaknya meski tetap berakhir sia-sia.

"Satu, mungkin perasaan gue antara ke Valerie sama lo itu beda. Dua, gue selalu mau lo setiap waktu karena baru akhir-akhir ini gue bisa milikin lo secara nggak waras. Tiga, gue mau milikin lo selamanya, Ta." Karang terlalu jujur tentang perasaannya, dia begitu terbuka pada Pelita.

Gadis itu hanya diam, ia merasa seluruh perkataan Karang terlalu berlebihan. Toh, mereka hanya sebatas menjalin pacaran, tidak lebih dari itu. Jadi, apa yang ia dengar akan masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri, anggap saja angin lalu.

"Kalau gue nyentuh lo, apa lo mau?"

Kening Pelita mengernyit, ia ingin berkata, tapi lidahnya terasa kelu. Hanya bisa merasakan suhu tubuhnya mulai panas, darahnya juga berdesir tak karuan. Kedua tangan Pelita meremas kaus Karang ketika laki-laki itu dengan mudahnya mendekatkan wajah menghampiri lawan jenisnya, Pelita merasa ingin kencing sekali, Karang kembali gila!

"Gue mau mandi." Setelah itu Karang beranjak dan meninggalkan Pelita yang tertegun tak percaya, jadi Karang hanya ingin berkata seperti itu tapi harus membuat tubuhnya kaku lebih dulu?

Sialan!

Gadis itu beranjak duduk dan melihat Karang yang masuk ke dalam toilet sambil terbahak meledek dirinya, ia tertipu. Namun, gadis itu bersyukur karena Karang benar-benar tak menyentuhnya, artinya Karang masih mau menghargai gadis itu untuk saat ini, entah esok hari jika napsu setan benar-benar merasuk dalam diri laki-laki itu.

Pelita sudah mendengar suara kran menyala, artinya Karang memang mandi. Untunglah kegilaan Karang sudah berakhir, ia melepas kedua sepatunya lantas merebahkan tubuh dan menarik selimut hingga menutupi kepalanya.

"Dasar laki-laki gila! Untung tadi gue nggak beneran mati, gue hantuin ini apartemen sekalian!" gumam Pelita di balik selimutnya, segera sebelum Karang selesai mandi ia lebih dulu memejamkan mata dan berharap Karang takkan mengganggunya—apalagi berbuat hal yang aneh-aneh.

***

Setelah keluar dari kamar mandi seraya memakai kaus warna hitamnya ia menghampiri Pelita yang benar-benar terlelap di sisi ranjang, hanya bagian tubuh dari telapak kaki hingga dada yang tertutup selimut, jadi Karang masih bisa menatap wajah cantik kekasihnya sesuka hati.

Karang membungkuk menatap gadisnya, mungkin kali ini tengah menikmati bunga tidur, entah mimpi dirinya atau tidak ya? Jika bisa pasti ia akan menerobos masuk dalam mimpi gadis itu, terlihat raut wajah yang begitu tenang. Karang tersenyum simpul seraya mengecup lembut kening Pelita, ternyata gadis itu tak terusik sama sekali.

"Gue nggak akan rusak elo, Ta. Gue mau lo bukan untuk hari ini, tapi selamanya, maaf kalau tingkah gue buat lo nggak nyaman," ucap Karang tulus. Ia mengambil satu bantal dan meninggalkan gadis itu tidur sendirian di ranjangnya, Karang memilih meletakan bantal di  permukaan permadani yang berada di dekat ranjang—menghadap televisi. Karang benar-benar meletakan tubuhnya di sana, ia sudah lebih dari senang melihat gadis itu ada bersamanya, mau menemaninya dan tidur satu flat.

Karang hanya ingin Pelita selalu berada di dekatnya, hanya itu.