Pagi dengan nuansa yang sama, pukul sembilan kelas ekonomi baru akan dimulai dan sekarang masih pukul delapan lebih tiga puluh menit. Jadi, kebanyakan anak yang datang masih asyik berkeliaran di area kampus atau sekadar makan di kantin seraya berbincang ria, ada juga yang sengaja belum datang.
Ketika Kamila, Anggi dan Chintya asyik bergosip ria tentang film yang akan mereka tonton sambil melangkah berjejeran di koridor—ternyata Pelita asyik sendiri dengan ponselnya. Ia bahkan melangkah sendirian di belakang mereka dengan jarak satu meteran, lagipula ia bukan anak ayam yang harus selalu mengikuti ke mana pun induknya pergi.
"Pelita!" seru Ardo, ia berlari dari arah belakang gadis itu, sontak Pelita mengehentikan langkahnya seraya menoleh.
"Ardo? Kenapa?" tanya gadis itu datar, ia melihat Ardo yang tersenyum simpul padanya, tapi maaf karena Pelita tak ada minat untuk membalas, ia saja tak sadar jika ketiga temannya makin jauh melangkah.
"Ini, buat lo dari mama." Ardo mengangkat sebuah tote bag di depan gadis itu.
"Dari Tante Sofi apa elo nih?" sahut Pelita tak yakin.
"Dari mama serius, dia udah nggak marah lagi sama gue. Cuma ya masih berharap lo balik, kayak gue," akunya jujur.
Pelita memutar bola mata jengah, ia meraih tote bag itu dan mengintip sedikit isinya.
"Bilang sama Tante Sofi makasih ya, gue mau jalan sama teman-teman gue dulu."
Sedangkan ketiga temannya terus melangkah hingga mereka berhenti karena dikejutkan oleh seruan nyaring seorang Valerie yang melangkah bersama Karang, gadis itu juga membawa tote bag di tangan kanannya.
"Hello semua, maaf ganggu gosip-gosipnya sebentar. Aku cuma mau bagi-bagi undangan," ucap Valerie seraya merogoh sesuatu dari dalam tote bag.
"Undangan apa nih, kalian mau nikah?" terka Kamila asal.
Sebenarnya mereka tak akrab sama sekali dengan Valerie yang notabene senior mereka, hanya saja mungkin Valerie punya alasan hingga harus repot-repot menghampiri orang asing.
Karang, dia hanya diam. Seperti biasa tak peduli dengan keadaan sekitar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku jaket sambil menunggu Valerie menyelesaikan urusannya. Ia saja yang belum sadar jika Pelita tak ada dalam gerombolan gadis itu.
"Bukan nikah, tapi doain aja cepat ya." Gadis itu mengulurkan tiga undangan pada mereka, masing-masing menerimanya dengan senang hati. "Jadi, aku mau ulang tahun, dan pilih beberapa junior sih. Sebenarnya undang kalian karena ada alesan, teman kalian yang satu itu mana?" tanya Valerie seraya menatap ketiganya satu per satu.
"Maksud lo Pelita?" terka Anggi.
"Nah, iya itu. Dia yang waktu itu nyanyi pas Pensi OSPEK, kan? Aku undang dia khusus ke acara ulang tahun, aku mau dia nyanyi," jelas Valerie.
Karang cukup tercengang mendengar penuturan Valerie, pasalnya ia sama sekali tak tahu jika Pelita juga akan diundang apalagi harus bernyanyi nantinya. Ia memilih diam, daripada ikut campur jelas membuat Valerie jadi curiga.
"Tadi si Pelita itu ...." Anggi menoleh ke belakang dan mendapati Pelita yang agak jauh dari mereka tengah bicara dengan Ardo. "Itu Pelita!" serunya lantang.
Semua orang fokus pada gadis itu termasuk Karang yang terbakar api cemburu karena Pelita masih saja berhubungan dengan mantan kekasihnya, ia menatap lekat gadis itu dengan tatapan tajam.
Pelita dan Ardo yang mendengar seruan itu lantas menoleh, betapa terkejutnya gadis itu ketika melihat Karang ada di antara teman-temannya, apalagi ia tertangkap basah tengah berbicara dengan Ardo.
Pelita menelan saliva menatap Karang yang tak berkedip padanya, ia sadar pasti laki-laki itu sangat marah saat ini.
"Ar, meding elo pergi deh. Udah kan urusan lo cuma kasih gue ini, pergi deh," usir Pelita yang tak ingin masalah menjadi besar.
Gila! Ardo justru tersenyum senang mengetahui ada Karang yang menatap mereka, tapi tak bisa berbuat apa-apa, tentu saja karena ada Valerie di dekatnya.
"Pergi? Lo takut sama Karang? Dia nggak mungkin macem-macem, lo lihat ada pacar resminya di sebelah dia." Suara Ardo yang seolah menekan kalimat terakhirnya membuat Pelita kesal.
"Mending lo pergi! Lo aman sekarang, tapi belum tentu nanti! Pergi, Ar!" desak Pelita gusar.
Rasa cemas Pelita kian membesar ketika melihat Valerie menarik laki-laki itu menghampirinya, ketiga temannya mengekor di belakang mereka.
Pelita menatap Ardo dengan alis bertaut, "Udah lo pergi sana! Ngapain sih masih di sini, jangan nyari gara-gara deh, Ar!" kesal Pelita, nyatanya sebelum Ardo menyahut ucapan gadis itu—Karang, Valerie serta ketiga temannya sudah berdiri di depannya.
"Ardo lo ngapain deketin Pelita lagi, kalian udah planning mau balikan?" ledek Kamila seraya menyenggol lengan Chintya.
"Iya kayaknya deh, udah mulai PDKT lagi gitu," timpal Chintya, menambah suasana kian panas.
Pelita sadar ia tak katakan yang sebenarnya dengan ketiga temannya, dan yang terjadi kini adalah risiko karena menyembunyikan sesuatu yang penting dari mereka. Ia tengah berpikir apa yang Karang rasakan setelah mendengar celotehan teman-temannya, ia terjebak dalam posisi yang salah dan Ardo mengambil keuntungan atas hal itu.
Pelita menatap Karang yang juga menatapnya tanpa berkedip, sorot mata tajam itu menyiratkan sesuatu bahwa ia sangat marah atas apa yang ia lihat sekarang. Pelita merasa ingin lenyap dari tempat itu, tempat yang membuatnya begitu tersudutkan. Membuat posisinya dan Karang sama-sama sulit, jika tak ada Valerie jelas Karang sudah memukul wajah Ardo tanpa ampun karena sudah mengusik miliknya.
"Ada apa nih?" tanya Pelita mencoba menyembunyikan rasa gusarnya meski dua laki-laki itu jelas bisa membacanya.
"Ini, buat kamu." Valerie mengulurkan undangan di depan Pelita. "Besok aku ulang tahun, dan kamu jadi salah satu guest star karena aku mau kamu nyanyi nanti. Mau ya, Pelita?"
Pelita meraih kertas yang terbungkus plastik tipis itu, ia menatap bagian depan undangan dan terlihat namanya memang menjadi salah satu guest star acara itu.
"Oke, gue datang kok. Mereka juga diundang, kan?" Pelita menatap teman-temannya, ia berusaha menghindari kontak mata dengan Karang yang kini lebih mirip seperti kilatan petir itu.
"Iya mereka semua diundang, jangan lupa datang ya. Jangan lupa, party ini kalian harus bawa pacar masing-masing, soalnya ada acara dansa," ujar Valerie.
"Pacar?" Pelita merasa lemas usai mendengar ucapan Valerie, untung saja tubuhnya tak terkulai ke lantai. Bagaimana bisa ia dihadapkan dalam posisi sesulit ini, Pelita jelas menatap Karang yang notabene adalah kekasihnya meski mereka terpaksa back street dari semua orang. Lagipula ia tak mungkin datang bersama Karang jika laki-laki itu saja harus ada bersama Valerie saat ulang tahunnya nanti, tiba-tiba ia merasa keningnya berdenyut.
"Iya pacar, kamu punya pacar, kan?" tanya Valerie terdengar begitu polos, andai dia tahu jika pacarnya sudah dibagi dua dengan Pelita, apa akan berkata semudah itu.
"Pelita udah putus dari Ardo," sela Anggi.
Valerie menoleh. "Oh ya? Jadi nggak punya pacar? Terserah siapa aja deh yang mau diajak, intinya ada acara dansa jadi harus berpasang-pasang," jelas Valerie.
Gadis itu merasa seperti dipukul dari berbagai arah, merasa jatuh tertimpa tangga. Sudah ketahuan berbicara dengan Ardo ditambah ia harus membawa laki-laki ke acara Valerie dan Karang mendengar semuanya, jadi siapa yang harus ia bawa jika semuanya saja jelas akan menuai amarah dalam diri Karang. Ia ingin berteriak, tapi takut disangka orang gila, jika begini Pelita ingin ditelan bumi saja.
"Gimana, Ta? Lo mau ke acara itu sama siapa?" tanya Chintya.
"Ng ... siapa yah?" Matanya melirik Karang. Jika ia memilih datang bersama Ardo jelas tak mungkin, makin mendatangkan malaikat kematian nantinya.
"Sama Ardo aja!" seru Kamila tanpa merasa berdosa. Andai boleh sekarang Pelita ingin melepas sepatunya lalu memukulnya ke wajah Kamila, ia benar-benar tak tahu kondisi mengenaskan yang dialami temannya saat ini.
Ardo tersenyum senang mendengar usul cemerlang dari Kamila, dengan senang hati ia menerimanya. Ardo melirik Karang sambil tersenyum bangga, skor satu kosong. Ardo masih kesal ketika Karang mencium kening Pelita di depannya malam itu. Jadi, jika sekarang Karang tak bisa berbuat apa pun artinya skor mereka seri.
"Nanti deh gue pikirin lagi, makasih ya undangannya. Gue pamit ke toilet, kebelet!" Pelita berlari meninggalkan mereka semua menuju toilet, pada dasarnya ia hanya ingin melarikan diri dari situasi mematikan itu.