Anak kecil berusia antara lima hingga delapan tahun mengitari sosok Pelita yang sedang kewalahan merebut bola dari tangan mereka, para bocah itu melempar bola dari satu tangan ke tangan anak lain dan harus Pelita rebut agar posisinya bisa tergantikan. Entah kenapa Karang mengajaknya ke rumah singgah anak-anak penderita cancer itu. Ia senang ketika melihat beberapa dari mereka yang tak punya rambut meskipun seorang gadis tetap tertawa riang menyambut kehadiran Karang dan dirinya.
Sedangkan Karang duduk di sebuah ayunan besi sambil membidik sasarannya menggunakan kamera yang selalu tersimpan di dalam mobil. Ketika hendak membidik gambar Pelita bersama anak-anak itu ia terdiam, menurunkan kameranya agar bisa menatap sosok mereka lebih nyata.
Kedua sudut bibirnya tertarik melihat Pelita yang berhasil mendapatkan bola dan memaksa anak lain menggantikan posisinya, gadis itu seperti obat bius yang mampu menenangkannya ketika ia tak terkendali. Paling tidak Karang makin punya keberanian untuk memperjuangkan pilihannya suatu hari nanti, ucapan gadis itu sudah membuatnya percaya lebih dari cukup.
Dia kembali mengangkat kamera dan mengambil gambar mereka, ia tak ingin melewatkan tawa Pelita untuk diabadikan.
Tiba-tiba gadis itu menoleh, ia terlihat berbicara pada mereka sebelum menghampiri Karang. Mengarahkan lensa kamera pada wajahnya, lalu tersenyum dan membuat Karang tertegun tak berdaya. Untungnya kamera tak sampai jatuh dari tangannya, tingkah Pelita sudah membuatnya lemas dalam sekejap.
"Bisa nggak, jangan bikin orang patah tulang," sungut Karang seraya mengarahkan lensa kamera pada objek lain.
"Siapa? Emangnya aku ngajak berantem yah?" tanya Pelita polos.
Karang menurunkan kamera, dia mengacak rambut Pelita dengan gemas. "Nggak ngajak berantem aja udah bikin gue lemes, apalagi itu."
Pelita diam, dia menarik ikat rambut dari pergelangan tangannya dan mencepol mahkotanya itu.
"Lo suka sama anak kecil?" Karang kembali membidik gambar mereka yang terlihat begitu ceria, paling tidak mereka lupa dengan segala rasa sakit yang menggerogot tubuh.
"Aku suka sama anak kecil, kenapa?"
"Baguslah, artinya lo nggak mungkin tinggalin anaknya kayak mama. Valerie nggak suka sama anak kecil, gue nggak mau anak gue ditelantarin kalau nggak sanggup biayain hidup dia nantinya."
Pelita tersenyum canggung, mungkin itu salah satu alasan Karang lebih memilihnya ketimbang Valerie, karena trauma masa kecil.
"Aku baru inget, kenapa Kakak nggak sama Valerie hari ini."
"Kan lagi sama lo."
"Bukan, maksud aku tuh—"
"Gue bilang lagi pergi ke Bandung, gue lebih betah sama lo ternyata," akunya, Karang kembali mengacak rambut Pelita, lalu turun dari ayunan dan menghampiri anak-anak itu.
Karang nggak cuma pinter galakin orang, tapi dia pinter ambil hatinya, batin Pelita seraya menatap mereka tengah melihat hasil foto yang Karang tunjukan dalam kameranya. Ternyata laki-laki itu punya sisi lain yang menyentuh.
Hingga sore tiba keduanya masih betah di sana, berbagi kisah bersama anak-anak penderita cancer. Pelita makin sadar jika Karang memang punya kepedulian luar biasa pada mereka, usut punya usut ia juga salah satu donatur di sana.
"Mereka harus hidup, mereka harus bahagia. Kadang gue pengin jadi kayak mereka aja biar banyak yang perhatian," celetuk Karang yang kini bersila di samping Pelita, mereka tengah duduk di bawah pohon mangga yang cukup rimbun.
"Hush! Kok ngomong gitu," tegur Pelita.
"Kenapa emangnya? Biar diperhatiin sama lo juga, buktinya lo baru ketemu langsung sayang sama mereka."
"Siapa yang nggak sayang sama orang sakit, apalagi sakitnya mematikan gitu. Mereka nggak tahu besok masih bisa bahagia atau enggak, jadi kita yang masih waras ini harus bisa bahagiain mereka setiap hari," ujar Pelita.
"Kalau gue yang sakit gimana?"
Pelita diam sesaat. "Kakak mau sakit? Emangnya Kakak nggak mau punya hidup lebih lama, sia-sia sakit karena sekadar minta perhatian. Lebih baik sehat, tapi bisa bikin bahagia orang itu jauh lebih menyenangkan, ada banyak hal yang nggak kita sadari dan kebalik."
"Gue maunya yang kebalik, biar disayang sama lo. Omongan lo di jalan tadi bener, kan?"
Mereka beradu pandang dengan lekat, Pelita mulai menemukan titik terang pemilik iris pekat itu. Ia mengangguk. "Aku coba."
"Artinya lo nggak akan tinggalin gue, kan?"
"Kakak takut?"
"Gue nggak takut, tapi benci kehilangan."
"Bukannya setiap orang juga akan kehilangan yah, suatu hari nanti."
"Iya, paling nggak gue milikin lo seutuhnya dulu baru boleh hilang kalau Tuhan yang ambil. Kalau orang lain mending adu nyawa aja."
Pelita manggut-manggut, melihat hati laki-laki itu tenang sudah cukup membuatnya yakin bahwa Karang takkan pernah mengakhiri hidupnya dengan konyol. Untuk saat ini, tiba-tiba Pelita lupa tentang teman-temannya, hanya karena seseorang yang sudah memaksa masuk dalam hidupnya.
"Nanti temenin gue ya," pinta Karang, tangannya menarik keluar tali kamera yang melingkar pada lehernya.
"Temenin ke mana?"
"Tidur."
"Hah!" Bibir Pelita terbuka lebar, hal gila macam apa yang baru saja ia dengar. Tidur berdua? Jadi, maksudnya Pelita harus menggantikan posisi Valerie menemaninya tidur? Jika tahu sejak awal Pelita takkan membalas chat laki-laki gila itu.
"Biasa aja," ucap Karang seraya menaikan dagu Pelita dengan telunjuknya.
"Kakak gila?"
Karang mendekatkan wajahnya pada telinga gadis itu. "Gue nggak gila, cuma nakal."
Mendengar hal itu kedua tangan Pelita meremas rumput liar yang berada di dekatnya, ia mengerucut menatap Karang yang terlihat begitu senang tanpa peduli ekspresi lucu gadisnya itu.
"Kalau urusan ini aku mau nolak, Kak! Mentah-mentah!"
"Kembali ke aturan awal, gue nggak suka ditolak."
"Udah, Kakak mending telepon Valerie aja suruh temenin tidur, mana itu hape!"
Mendadak Pelita jadi seperti tukang rampas ponsel, dia merogoh saku celana Karang dengan paksa. Membuat laki-laki itu bergerak sesuka hati sambil terus menghindari kedua tangan Pelita.
"Lo ngapain sih!"
"Nyari hape! Aku mau chat Valerie, biar dia aja yang temenin Kakak tidur!"
"Nggak ada."
"Bohong!"
"Kalau lo mau chat Valerie artinya lo emang nggak sungguh-sungguh sama omongan lo tadi, lo nggak niat sama gue?" Tiba-tiba raut Karang berubah sendu, tentu saja Pelita langsung berhenti melakukan aksi perampasan ponsel secara paksa.
"Maaf. Nggak gitu kok, cuma aku nggak mau aja nantinya ada hal buruk, Kak," ujar Pelita.
"Lo tenang aja, gue tidur di bawah. Lo di atas, paham?" Salah satu alis Karang terangkat.
Enyahlah!
Ingin sekali Pelita menjambak rambut Karang saat ini juga, permintaannya makin dituruti makin macam-macam. Tak sekalian ia disuruh melompat dari balkon apartemennya—maka akan ia lakukan dengan senang hati.
Karang melebihi batu tepian pantai.