Matahari belum berhasil menembus jendela apartemen yang masih tertutup rapat oleh tirai saat sepasang manusia sama sekali belum beranjak dari ranjang, tak ada adegan vulgar terjadi, hanya skinship saat seseorang begitu senang memeluk dada bidang kekasihnya, memeluk sesuka hati dan pamer pada seluruh dunia kalau ia masih memilikinya—meski hati entah ke mana, dan raga untuk siapa.
Terkadang mereka memang lebih mirip sepasang suami istri yang sering tidur berdua, hanya tidur, bukan saling menyentuh karena Karang tak pernah berniat sama sekali, dia hanya merasa nyaman jika tidur di dekat seorang perempuan, ia ingin seperti anak kecil lagi yang selalu tidur ditemani oleh ibunya, seperti dulu.
Sudah pukul sembilan pagi, tapi Karang masih tertidur nyenyak dan hanya mengenakan celana pendek saja, alasan apa yang membuat Valerie tak betah meski Karang memintanya tidur di sana setiap hari? Karang adalah laki-laki yang sudah membuat Valerie gila dari ujung rambut hingga kaki, Valerie akan selalu menuruti apa pun keinginan Karang asalkan laki-laki itu tetap bersamanya, mencium aroma tubuh Karang saja sudah membuatnya begitu senang, jadi kapan dia akan sadar bahwa Karang juga memiliki sesuatu yang ia simpan?
Valerie yang masih mengenakan gaun tidur kini beranjak tinggalkan ranjang, ia masuk kamar mandi sekadar buang air serta berbenah urusan wajah, setelahnya mulai sibuk menyiapkan sarapan untuk laki-laki itu, semalam Karang pulang pukul satu dan memberi alasan bahwa dia bermain futsal bersama teman-temannya, andai Valerie tahu bahwa berbohong begitu mudah daripada mengungkap kejujuran, apalagi kejujuran itu berhubungan dengan gadis lain.
Ia terlihat memindahkan telur mata sapi setengah matang pada permukaan roti tawar sebelum menutupnya dengan satu roti lagi, gadis itu bergerak menghampiri Karang yang masih terlelap dengan posisi telungkup di sisi tempat tidur, wajah tampannya terlihat dari sisi kiri.
"Bangun, Sayang," ucap gadis itu seraya menepuk punggung atletis Karang berulang kali, ada beberapa tato tergambar pada tubuh kekasihnya, tapi Valerie tetap suka, dia akan selalu suka Karang luar dalam.
Laki-laki itu tak bergerak sama sekali, tapi masih ada napas terurai di sana, jika hari Minggu tiba laki-laki itu bisa tidur sampai jam dua belas siang, lantas sekarang baru pukul sembilan? Valerie harus menepuk punggungnya lebih lama lagi untuk itu.
Tiba-tiba seruan ponsel yang berada di atas nakas membuatnya bergerak menghampiri, dia meraih benda pipih itu dan menempelkannya ke telinga kiri usai menggeser bulatan warna hijau.
"Hallo, Ma?"
"Kok belum pulang? Kamu lupa hari ini ulangtahun oma kamu?"
"Astaga!" pekik Valerie seraya menepuk dahinya sendiri. Dia sampai lupa akan hal itu karena terlalu sibuk mengurus Karang.
"Tuh kan kamu lupa, cepat pulang. Kita siap-siap buat kejutan buat oma."
"Iya, iya. Valerie pulang sekarang," tandas gadis itu, dia mematikan telepon dan bergerak masuk ke dalam kamar mandi dengan tergesa.
Usai mandi dan berdandan gadis itu benar-benar meninggalkan Karang tanpa berpamitan lebih dulu, Karang sedang menjadi batu yang sulit diusik.
***
Sekitar pukul sebelas dia baru bergerak meski matahari di luar sana sudah mendekati area paling nyaman, tapi paling mengusik bagi orang-orang jika tengah hari telah tiba. Karang beranjak duduk di tepian ranjang seraya menyugar rambut yang terlihat makin berantakan, mata yang masih terlihat sipit itu mengedar pandang—meski tak menemukan manusia selain dirinya. Ia raih ponsel yang sengaja disembunyikan di bawah bantal, tampak satu notifikasi chat masuk dari nomor Valerie.
Sayang, maaf.
Oma ulangtahun, aku lagi buat kejutan.
Sarapan ada di meja, ya.
Sungguh, Karang tak ingin memusingkan apa pun kali ini, ia beranjak hampiri kamar mandi seraya mengusap tengkuk, ia nyalakan kran air sebelum mengusap wajahnya dengan hand towel warna putih, Karang menatap pantulan dirinya di depan kaca. Dia kembali merasa kesepian, selalu saja begini.
"Pelita!"
Iya, nama gadis itu memang menguntungkan. Jika Valerie tak ada jelas Pelita yang akan menggantikannya, Karang tersenyum senang dan keluar dari toilet. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur sembari meraih ponselnya lagi—lalu mengetik sesuatu yang ia tujukan pada nomor bernama Sunny.
Lo di mana? Ke apartemen gw sekarang, penting.
Lalu send, dia tersenyum puas. Karang beranjak membuka lemari besarnya dan memilah pakaian yang akan ia kenakan setelah mandi, menanti kehadiran gadisnya meski semalam sudah bertemu dan menghabiskan malam minggu di depan rumah gadis itu.
***
Dua puluh menit berlalu saat gadis itu baru datang, Pelita lantas masuk saat Karang memberitahu nomor sandi lewat chat sebelum ia langsungkan perjalanan menuju tempat itu, kini ia berdiri di dekat nakas ruang tamu seraya perhatikan sekitar, keadaan di sana jauh lebih baik dari terakhir kali Pelita datang, kali ini lebih rapi. Tak ada bungkus snack, kaleng kosong atau puntung rokok berserakan di mana-mana, Pelita bisa menyebutnya sebagai rumah layak huni.
Gadis itu kembali melangkah tanpa melepas tatapannya pada sekitar, setiap bagian—semua benar-benar rapi, tapi saat gadis itu memasuki kamar—ia dapati hanya ranjang besar Karang yang berantakan.
Ia menerka dalam hati, apa mungkin Karang dan Valerie sudah melakukan sesuatu malam tadi? Mengingat mereka tidur berdua, sebelum Pelita memikirikannya lebih jauh lagi, sosok Karang sudah muncul setelah keluar dari kamar mandi, dia melangkah ke arah Pelita seraya mengusap rambutnya yang basah dengan sebuah handuk.
Aroma mint yang khas menguar ke seluruh ruangan itu, Karang makin bersemangat menyambut kehadiran gadisnya meski tanpa senyum, lagipula Pelita takkan mengharapkan, mungkin ia akan lebih senang jika Karang tak menghubunginya sama sekali. Karang tampak santai saat kenakan kaus polos serta celana boxer hitam, ia duduk di tepian ranjang seraya perhatikan Pelita yang kini bersidekap menatapnya.
"Selamat pagi," sapa Karang.
"Pagi? Ini udah jam setengah dua belas dibilang pagi? Kakak mimpi apa semalem gitu," cibir Pelita seraya pasang wajah berlipat-lipat, agak konyol juga pernyataannya, tapi bukankah benar?
Karang tersenyum miring, ia sudah berada di depan gadis itu—menatapnya lekat, aroma parfum milik Pelita yang manis selalu membuatnya lebih betah berada di dekat kekasihnya meski parfum milik Valerie tak kalah wangi dan jauh lebih mahal, tapi apa yang melekat dalam diri Pelita selalu membuat Karang menginginkannya setiap waktu.
"Gue mimpiin lo sampai lupa mau bangun." Rambut Karang yang masih basah makin membuatnya terlihat cool, tapi kenapa tak pernah bisa membuat Pelita terpesona sedikit saja.
Pelita berdecih. "Masa? Bukannya semalem habis tidur sama calon istri, betul?"
"Dia bukan calon istri gue, jelas."
"Kalau gitu tugas aku di sini ngapain? Lagian apartemen Kakak juga udah bersih kok, udah diberesin pasti sama calon istri, ya kan?" Masih saja Pelita menyebut Valerie seperti itu, tapi membuat Karang tak bisa enyahkan senyum miringnya saat ia merasa kalau Pelita miliki tanda-tanda kecemburuan.
"Gue belum sarapan."
Pelita tertawa kecil, tawa yang menggoda. Jadi ia dipanggil ke sana hanya karena Karang kelaparan? Shit!
"Kenapa nggak delivery aja, nggak perlu harus panggil aku ke sini. Aku pesenin aja ya, Kak?" Pelita merogoh ponselnya dari saku celana, hendak memesan sesuatu, tapi tangan Karang dengan cepat merebutnya.
"Gue maunya lo yang masakin."
Shit!
Permintaan macam apa lagi itu? Pelita berdecak kesal, dia merasa seperti koki online sekarang.
"Lagian emang istri Kakak nggak masakin?"
"Berhenti sebut Valerie istri, kalau dia istri gue itu artinya lo benar-benar selingkuhan?"
Ya emang gitu, balas Pelita dalam hati. Dia tak mau menyahut ucapan Karang dan melangkah melewati laki-laki itu, meninggalkan aroma kapas yang masih tertahan di hidung Karang.
Pelita memang manis.
Semanis permen kapas.