Sekitar jam sebelas malam gadis itu masih belum terlelap, dia membaringkan tubuh di ranjang tidurnya sambil menatap langit-langit kamar. Pelita baru mengecek ponselnya sejak dia dijemput oleh Ardo tadi, wajahnya menatap datar satu nomor yang menghubunginya hingga 25 kali, siapa lagi kalau bukan Manusia Batu alias Karang. Sengaja dia tak menghubungi kembali, membiarkan Karang merasakan kesalahannya sendiri.
Baru saja tangannya melepas benda pipih itu di permukaan bantal ternyata ponsel kembali berbunyi, Pelita berdecak, dia beranjak dan meraih benda itu. Hendak membantingnya, tapi sayang, masih baru, matanya ingin terpejam saja ketika melihat nama itu lagi yang menghubunginya, Karang takkan menyerah.
Pelita menggeser layar hijau dan menempelkan benda itu ke telinga kiri, menunggu sang penelpon agar bicara lebih dulu, tapi kenyataannya tidak, keduanya sama-sama bungkam hingga satu menitan.
"Kalau nggak mau bicara mending matiin aja teleponnya, aku mau tidur," tegur Pelita terdengar tak suka.
"Gue di depan rumah lo."
"Terus?"
"Kita ngomong sebentar, tiga puluh menit."
"Aku ke sana."
Pelita membuka lemari dan mengambil cardigan sebelum memakainya untuk menutupi tank top putih yang ia kenakan, dia tak ingin memancing adrenalin Karang lagi. Namun, Pelita tetaplah Pelita, malam-malam saja meski mengenakan celana jeans ¾ dengan bagian lutut robek, dia sama sekali tak acuh terhadap urusan penampilannya, jika orang lain tak suka—tutup mata saja.
Segera dia keluar dari kamar sambil menggenggam ponselnya, menuruni anak tangga meski keadaan di dalam rumahnya sudah gelap, untunglah kamar Mona juga berada di atas—lebih tepatnya di sebelah kamarnya, jadi Pelita tak perlu mengendap-endap hingga mencapai pintu utama.
Kunci masih terpasang pada lubangnya dan gadis itu hanya tinggal memutar dua kali hingga terbuka, dia keluar dari rumah seraya menutup kembali pintu dengan pelan, siapa tahu pembantunya mendengar dan melapor jika Pelita keluar malam hari bisa sangat berbahaya untuknya.
Pelita melangkah di halaman rumah, ia melihat mobil hitam milik Karang memang terparkir di sebrang jalan, setelah dirinya kian dekat dengan gerbang ternyata laki-laki itu juga berdiri di sana, hanya mengenakan celana pendek dan kaus warna navy yang mencetak jelas dada bidangnya.
Pelita menarik gerbang perlahan agar tak menimbulkan berisik yang berlebih, yang penting ia masih punya celah untuk keluar. Sesaat mereka saling tatap, sama-sama diam. Ketika Pelita menyibak rambutnya ke belakang, Karang melihat dengan jelas dua plester penutup bekas liar bibirnya malam itu.
"Ngapain ke sini malem-malem?" tanya Pelita seraya melipat tangan di dada, dia menatap ke arah jalan. Komplek perumahan tempat tinggalnya sudah gelap, hanya lampu temaram pinggir jalan yang berpendar memperlihatkan siluet masing-masing.
"Lo marah sama gue." Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang memang benar.
Pelita menatap datar Karang. "Alasan apa yang membuat aku nggak marah?" Wajah Pelita terlihat pucat karena lelah dengan aktivitasnya seharian, dia juga tak ikut teman-temannya pergi meski sangat ingin.
"Maaf." Satu kata itu akhirnya terlontar dari bibir Karang, mereka berdiri bersebelahan di depan gerbang tinggi rumah Pelita.
"Maaf?" Pelita tak yakin mendengarnya dengan baik. "Maaf untuk apa?" imbuhnya, dia seperti menentang sesuatu.
Karang yang menunduk kini menengadah, "Maaf buat malam itu, gue ... nggak bisa nahan diri," akunya.
"Bagus kalau sadar, kalau udah kelar maafnya mending Kakak pulang deh. Aku capek mau tidur," usir Pelita sengaja, dia balik badan, tapi tangan Karang meraihnya agar mendekat.
Mereka sudah saling tatap dalam jarak dekat, iris cokelat itu memang memabukan, tiada tandingannya. Bersama Valerie tak membuatnya gila seperti ketika menatap Pelita, gadis itu seperti narkoba yang ingin Karang nikmati, lagi dan lagi. Namun, akal sehatnya menolak dengan kuat, tak sepantasnya dia berpikir macam-macam untuk melakukan kegilaan dengan Pelita yang sudah jelas akan menolaknya.
Bola mata Karang bergerak ke bawah, menatap leher Pelita yang kemarin menggodanya untuk dicumbu dan sudah terealisasikan, kini ia melihat plester itu, Pelita hanya diam sambil mengamati pergerakan laki-laki itu, karena jika Karang melakukannya lagi dia tak segan-segan bertindak kasar.
Nyatanya tidak, tangan kiri Karang terangkat hendak menyentuh bagian yang tertutup plester, tapi dengan cepat Pelita menepisnya hingga kembali turun, mata Karang langsung menatapnya bingung.
"Kakak mau ngapain, hm? Ragu? Apa mau tebelin lagi?" Pertanyaan yang terdengar mencibir.
Karang menelan saliva, ingin sekali dia menutup ucapan gadis itu dengan bibirnya, tapi ternyata rayuan setan sedang tidak berpihak padanya. Karang tersenyum miring, setelah dipikir-pikir rupanya gadis itu mulai paham dengan keinginannya.
Tak pelak Pelita mundur dua langkah, dia tak ingin Karang sampai meraihnya lagi seperti tadi. Kini mata Karang mengamati penampilan gadis itu, lagi-lagi matanya jatuh pada model celana yang dikenakan Pelita.
"Bisa nggak sih pakai celana itu yang bener dikit, kerjaan lo itu bikin gue sabar, tapi lo terus aja ngegoda," tegur Karang kurang setuju dengan celana jeans yang Pelita kenakan.
Pelita berdecih, "Lebih baik pakai celana daripada dress, ngegodanya jauh lebih besar," cibir gadis itu—sengaja mengarah pada penampilan Valerie yang khas.
"Tergantung orangnya," sahut Karang.
"Kalau pacar justru lebih gampang," balas Pelita lagi tak mau kalah, seolah dia sedang membandingkan dirinya dengan Valerie.
"Kalau selingkuhan?"
Mata Pelita membelalak, "Mending Kakak pulang deh, udah malam." Dia tak sanggup membalas perkataan tadi.
"Valerie lagi tidur di apartemen gue, jadi nggak apa-apa gue di sini. Kalau lo mau gue temenin di sini sampai pagi juga gue siap," ujar Karang menawarkan diri, harusnya dia sadar kalau Pelita akan menolaknya.
Gadis itu berdecak, memasang senyum simpul. "Tidur? Di apartemen? Harusnya senang dong ada yang temenin kenapa malah ke sini," cibir Pelita sarkas, sadarkah dia setiap ucapannya terdengar seperti orang yang sedang cemburu.
"Gue maunya di sini, dia udah sering temenin gue tidur," balas Karang terlalu jujur, sepertinya dia suka mendengarkan setiap perkataan sinis dari Pelita, Karang berusaha terus memancingnya. "Emangnya kenapa? Sah ajalah, pacar gue kan dua." Karang tersenyum miring.
"Kalau saat itu Ardo yang menang, kayaknya bakal ada yang kehilangan Valerie."
"Nyatanya gue yang menang, kan? Terus lo yang jadi milik gue."
"Aku yakin hari itu adalah hari paling sial seumur hidup, dan semoga aja cepet berhenti."
Karang mendekati Pelita, kedua tangannya menyentuh lengan gadis itu lalu mendekatkan kepalanya pada telinga Pelita, dia berbisik.
"Dunia gue akan berhenti kalau udah nggak bisa lihat lo lagi."
Ck!
Pelita hanya bisa tertegun mendengar semua itu, kepala Karang mundur dan mereka saling tatap. Pelita ingin segera diberi mukjizat agar bisa membaca pikiran orang, agar ia tahu apa sebenarnya yang Karang inginkan darinya. Bukankah Karang sudah punya kekasih yang bisa dianggap sempurna?
Namun, menjawab juga perlu waktu, Pelita Sunny.