Kota M, 5 September 2018
Wijaya tengah mengelus dagunya yang tak gatal, manik coklatnya melihat lekat layar 24" di depannya. Wajah itu tampak serius, mengamati kata demi kata dengan seksama, mengabaikan tumpukan berkas yang menggunung di sisi kanan dan kiri, pokoknya yang utama adalah apa yang ditampilkan layar di sana.
Laporan.
Bukan laporan tugas atau pun kegiatan Eksekutif Mahasiswa sayangnya.
Laporan dengan tajuk: Cakrawala Pangestu dan berbentuk curriculum vitae (CV) .
"Hm ... salah gua dimana sih?" Wijaya menggaruk dagu, tangannya yang bebas menggulir berkas di komputer. Dia mengamati ulang apa yang disuka dan tidak disukai Cakra lalu juga list apa yang dilakukan Cakra setiap hari. Namun semakin diamati semakin dia tak paham.
Dimana salahnya? Apa yang dia lakukan sampai manusia asli Kediri itu tidak mau bertekuk lutut padanya? Hah! Boro-boro bertekuk lutut, lihat wajahnya aja langsung melengos kesal.
"Hm ..." memikirkan tentang Cakra, membuat Haris Wijaya mengerang terus-terusan. Dia juga jadi goyang-goyang di kursinya seperti orang tak nyaman. Dia gelisah, kalau boleh jujur. Sebelumnya tak pernah begini lho! Sebelumnya kalau dia ingin punya gandengan, ingin cicip lubang entah depan atau belakang yang masih perawan, pepet aja dan hap! dapet! Tidak akan ada yang protes, tanpa effort yang plus-plus! Nah si Cakra? "Hnggg! Piye jal? (Harus gimana coba?)" erang Wijaya dengan lengosan panjang terbuang sebelum lagi, jemarinya gulir-gulir lembar dokumen di depannya.
Erangan yang tanpa dia sadari mengganggu penghuni lain ruangan itu. Membuat si pemilik wajah kecil dengan rambut lurus coklat dan manik menyala di balik meja di sisi kanan Wijaya memutar mata jengah. "Jay. Lu mo galon oke, tapi bisa nggak tuh mulut dikendalikan, biar nggak berisik?" ketus dia mencibir Wijaya. Tak didengarkan tentu saja, ketua Eksekutif Mahasiswanya sudah berada di langit antah berantah dan mendadak tuli. Cih.
Alhasil, untuk membuat ketuanya itu sadar kalau dia mengganggu, lelaki ini menoleh ke kanan kemari, mengambil barang terdekat yang paling antep (berat), lalu ciiiiaaaaaat!!! Dia lempar benda itu kuaaat.
Daaan BUAAAAK!!!
"JANCIIIIKKK!!!" membuat kepala yang tertampar melenting dari posisi semula sebelum umpatan aduhai meluncur dari bibir di sana. Wijaya menoleh ke arah Fairuz kemudian, matanya menyipit, kekesalan merajah. "Sakit, ogeb (bego)! Apaan sih lu?! Gua gegar otak lu mo bayarin?" geram Wijaya dengan nada tinggi pada lelaki yang hanya terkekeh dan balik pada konsol gamenya.
"Lah ngapain gua bayarin, lu kan udah tajir. Kalau lu mati baru gua ikut yasinin deh," adalah respon doi, sambil menggerakkan tangannya di benda lonjong. Kalimatnya asal ceplos dan Wijaya hanya melengos. Sudah terbiasa mungkin, si manusia yang baru saja melemparkan kamus kedokteran ke kepala Wijaya itu memang teman bermain kelereng pak ketua. Jadi ada indikasi jika Jay ... sudah kebal?
"Untung temen, kalau bukan udah gua laporin lu ke polisi atas percobaan pembunuhan!" Jay keluar dari sarangnya, mengambil buku di bawah kakinya dan melemparkannya ke meja si Wakil, Fairuz Burhanudin. Intonasi kalimatnya kesal, tapi wajahnya maklum. Entah yang mana emosi Jay saat ini, Iruz juga tak paham, bodo amat.
Oh tapi dia jelas nggak mau kalah. Nyolot, bibir berisi itu menjawab, "Untung juga lu temen gua, Jay. Kalau bukan udah gua laporin dari dulu," sambil terus menjalankan karakter di dalam konsolnya. Ceritanya tadi doi sedang penuh kekhidmatan main game dan suara Wijaya mengganggu aktivitasnya. Ya, setidaknya itu alasan terselenggaranya cekcok tak jelas ini.
"Hah? Nggak salah nih?"
"Kagak pernah salah wei. Lu kan muka-muka criminal," jawab Fairuz asal, masih tanpa menoleh dan terus menerus menggerakkan jempol di konsolnya.
Wijaya yang mendengar ini tergelak. Menyendekapkan tangan, dia bertanya, "oh? Tuduhan atas apa yang mau lu laporin?" nada meremehkan tersurat di caranya bicara. Matanya yang gelap berkilat bengis, muka congkak terpampang. Hal yang akhirnya membuat si wakil mempause gamenya, memandang si manik jelaga lekat.
"Lu kan penjahat kelamin," jawab Iruz santuy. Jay langsung kicep. Dia sejenak hanya bisa mengedipkan mata keheranan sebelum, menyerukan, "hah?!"
"Ya elu, masuk sana sini sesuka hati. Kalau sampe kena Raja Macan mampus lu! Gua pecat lu jadi Ketua EM!" cerocos Fairuz kemudian sambil terkekeh-kekeh geli.
"Raja Singa Ruz, bukan Raja Macan."
"Raja Hutan wes (dah). Eh tapi nggak apa sih lu kena penyakit itu. Tytyd lu bakal jadi terdakwa dan lu minggat dari sini, gua kuasain nih kantor seorang diri. Gua bisa ngenolep dengan kode kemahasiswaan setiap hari!!" lanjut Fairuz dengan muka bersinar. Dia membayangkan dengan jelas bagaimana Menara sakti Wijaya dijadikan barang bukti di kepolisian karena telah menyebarkan penyakit langka dan berujung kawannya ini teronggok di lab, untuk dikebiri. Wahahah!
Hal yang membuat Wijaya tepok jidat seketika. Dia tidak paham, mereka bicara apa, jadinya apa. Okelah. Dia tak seharusnya berharap temannya ini akan berikan jawaban yang enggak gila. Fairuz kan emang sedikit—
"Lu kalau galau ke Cakra, mending ke sana dah. Kabedon tuh manusia, pepet, pelorotin celananya—kek yang lu biasa lakuin ke seluruh umat manusia selama ini! Gitu aja kok repot sih, Jo, Paijo! "
—Wijaya menarik pemikirannya. Kadang temannya ini jenius!
Tanpa bilang terimakasih, kemudian Wijaya beranjak. Dia segera menyambar kunci mobilnya dan melenggang pergi. Fairuz yang melihat hal ini hanya terkekeh, "yes. Yang gangguin gua konsen main game ilang~" dan bersenandung riang.
***
"Cak, sekarang aku mau pergi ketemu pihak rektorat buat nanya dana, ya?" Seorang lelaki si wakil Cakra, menatap datar. Membereskan dokumen yang telah selesai ia pilah, dan membawa sebuah note kecil dan ranselnya.
Cakra, yang sedang duduk di kursi kantor, mengangguk. Tersenyum. "Aku menunggu kabar baik, Mam," menjawabnya pada sang wakil, yang wajahnya memang cenderung datar.
Yang disebut namanya mengangguk. Pamit undur diri, kemudian pergi. Sedangkan Cakra, masih terus mengerjakan proposal-proposal yang bertumpuk di depan matanya. Tak lama kemudian, seekor kupu-kupu masuk ke kantornya. Melalui celah-celah jendela yang terbuka lebar.
Bibir itu menyunggingkan senyum manis saat si hewan insekta menjejakkan kakinya di pucuk laptop Cakra. Kemudian tertawa kecil, "Pasti habis ini ada tamu, hm?"
Memang, Cakra itu besar di desa. Tentu saja masih mempercayai 'mitos kupu-kupu masuk rumah itu membawa tamu'. Dan, Cakra beranjak. Mengambil beberapa cemilan yang ada di lemari kantor. Ia tak tahu siapa yang akan datang, tapi apa salahnya bersiap bukan?
Setelah itu, sang helaian hitam agak bergelombang itu kembali duduk tempatnya semula. Mengerjakan tugas. Waktu berlalu, belum lama. Lima belas menit saja belum ada. Bahkan, kupu-kupu bersayap hitam-oranye indah itu masih di laptopnya. Berjalan, lalu terbang rendah ke sebuah bunga di dekat mejanya.
Hingga suara berderit pintu dibuka terdengar, membuat angin masuk dari sana. Dan membuat Cakra mendongak. Disanalah ia, sang 'tamu' yang telah ditunggu-tunggunya. Tersenyum miring ke arah Cakra, dengan wajahnya yang menyebalkan.
"Wijaya ..." tanpa sadar Cakra berdesis.
.
[tbc]