Sampai di hadapan tangga gedung besar dari tulang
belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya.
'Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah
menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari dara-
dara baju kuning.
"Kalian sendiri mau ke mana?"
"Apa urusanmu?!"
Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti
suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya
ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di
satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh
orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas
kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga
dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian
hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain.
Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk
di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol se-
kali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak
mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tu-
buhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, de-
mikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai
bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut
kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot ta-
jam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan
kebengisan!
Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka
melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga ma-
nusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar,
tapi nyatanya cebol begitu rupa.
Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang
bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro
Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini.
Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan
panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang
hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan
keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan
panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal
kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah
kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam
tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat
dan mengandung racun jahat!
Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh
tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di
pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka
suara. Hanya pandangan-pandangan mata yang saling
bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika
hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga,
Wiro akhirnya berkata:
"Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka
dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat
pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelak-
gelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga meng-
getarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendat-
nyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau
saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan
darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak
gempuran suara tawa yang dahsyat itu.
"Istana Sipatoka di bawah bukit Tambun Tulang!
Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si cebol kepala
besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang di-
ucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pen-
dengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini me-
rasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro
lipat gandakan tenaga dalamnya kembali.
Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka
suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun.
"Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka
telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa
pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat
demikian rupa?!"
Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan
berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun
menjawab dengan ucapan berpantun pula!
"Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung
maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya.
Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"
Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang
Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya.
Dan saat itu Wiro berkata pula:
"Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya
bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat
begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"
Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab:
"Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun
baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja!
Mengapa datang sengaja mencari mati?!"
Wiro tertawa mengekeh.
"Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun
macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan
yang telah kau buat di Pulau Madura!"
"Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang
saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi.
"Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama
Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!"
Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa
gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu!
"Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya
bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan
sama dengan keris-keris yang bergelantungan
dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.
"Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka.
Wiro menyeringai.
"Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang
berkicau macam burung kehilangan sarang!" Habis ber-
kata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan ka-
nan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki
Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau
yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di
Pulau Madura tempo hari.
"Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di
tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir?
Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk
mungkir!"
Air muka Datuk Sipatoka membesi.
"Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya
dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu
lewat seorang anak buahmu," sahut Wiro seraya
memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang laki-
laki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki-
laki inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah
dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang."
Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang
telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak
menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir"
tiga buah huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan,
bukan urusanmu untuk menanyakan!"
"Pemuda nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak
mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak
mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang
ke mari hanya untuk mencari mati!"
Wiro tertawa dingin.
Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia
memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah
anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk.
Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!"
Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang
sejak tadi dipegangnya di tangan kiri.
"Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka.
"Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya.
Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka
berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya
ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk
membuka ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki
Datuk Sipatoka.
Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan!
Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah
kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupa-
kan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan
urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang
mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak
dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan ter-
sebut yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala
Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka!
Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa.
Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya
dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu
utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara
anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian rupa! Dan
siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang
telah membunuh Gempar Bumi!
"Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu
terpaksa kupercepat!" Datuk Sipatoka memandang
berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek:
"Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur
lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"
Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam
berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di
antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu de-
ngan gambar kepala harimau kuning besar di dada pa-
kaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi
yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!
Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan
pembantu-pembantu kelas dua langsung mencabut keris.
Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan
tangan kosong!
Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro
Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212
sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji
Pukulan Sinar Matahari!
Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak.
Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu
terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang
pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak
berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa
mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa
nafas!
Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya
demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut
terkejut!
Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah
gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum meng-
hantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa
dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya
roboh!
Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan
menggoyang-goyang nya beberapa kali. Empat puluh dara-
dara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di
tangan. Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang
sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka!
"Lepaskan asap seribu tulang! Tutup semua jalan keluar!"
perinlah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah
dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng.
Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di
belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang sembunyi di
atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas
loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa
pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa men-
duga dengan pasti siapa orangnya!
"Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!" kata orang
yang di atas loteng.
Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat
jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak
buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan
kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam.
Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas!
Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur
berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran
tulang-tulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas
ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan konyol!
Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme Makan.
Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pu-
cat! Dan di loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka
kembali terdengar suara tertawa bergelak!
"Kurang ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan ka-
nannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecH
yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap
kemudian senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke
loteng di atas kepalanya!