Chereads / Wiro sableng 212 " Banjir Darah Di Tambun tulang " / Chapter 13 - Banjir Darah di Tambun Tulang 14 maaf salah bab

Chapter 13 - Banjir Darah di Tambun Tulang 14 maaf salah bab

Sampai di hadapan tangga gedung besar dari tulang

belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya.

'Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah

menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari dara-

dara baju kuning.

"Kalian sendiri mau ke mana?"

"Apa urusanmu?!"

Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti

suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya

ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di

satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh

orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas

kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga

dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian

hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain.

Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk

di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol se-

kali, demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak

mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tu-

buhnya yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, de-

mikian juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai

bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut

kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot ta-

jam, keseluruhan air muka manusia ini membayangkan

kebengisan!

Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka

melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga ma-

nusia bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar,

tapi nyatanya cebol begitu rupa.

Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang

bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro

Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini.

Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan

panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang

hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan

keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan

panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal

kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah

kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam

tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat

dan mengandung racun jahat!

Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh

tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di

pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka

suara. Hanya pandangan-pandangan mata yang saling

bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika

hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga,

Wiro akhirnya berkata:

"Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka

dari Tambun Tulang?!"

Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat

pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelak-

gelak! Suara tertawanya demikian dahsyat hingga meng-

getarkan sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendat-

nyendat jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau

saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!

Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan

darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak

gempuran suara tawa yang dahsyat itu.

"Istana Sipatoka di bawah bukit Tambun Tulang!

Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si cebol kepala

besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang di-

ucapkannya itu laksana genta yang memukul jalan pen-

dengaran Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini me-

rasa tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro

lipat gandakan tenaga dalamnya kembali.

Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka

suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun.

"Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka

telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa

pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat

demikian rupa?!"

Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan

berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun

menjawab dengan ucapan berpantun pula!

"Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung

maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya.

Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"

Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang

Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya.

Dan saat itu Wiro berkata pula:

"Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya

bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat

begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"

Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab:

"Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun

baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja!

Mengapa datang sengaja mencari mati?!"

Wiro tertawa mengekeh.

"Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun

macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan

yang telah kau buat di Pulau Madura!"

"Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang

saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi.

"Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama

Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!"

Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa

gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu!

"Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya

bukti atas tuduhanmu itu?!"

"Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan

sama dengan keris-keris yang bergelantungan

dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.

"Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka.

Wiro menyeringai.

"Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang

berkicau macam burung kehilangan sarang!" Habis ber-

kata begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan ka-

nan dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki

Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau

yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di

Pulau Madura tempo hari.

"Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di

tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir?

Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk

mungkir!"

Air muka Datuk Sipatoka membesi.

"Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya

dengan Kiai Bangkalan?!"

"Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu

lewat seorang anak buahmu," sahut Wiro seraya

memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang laki-

laki yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Laki-

laki inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah

dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang."

Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang

telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak

menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir"

tiga buah huruf itu di kening anak buahnya!

"Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan,

bukan urusanmu untuk menanyakan!"

"Pemuda nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak

mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak

mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang

ke mari hanya untuk mencari mati!"

Wiro tertawa dingin.

Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia

memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah

anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:

"Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk.

Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!"

Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang

sejak tadi dipegangnya di tangan kiri.

"Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka.

"Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya.

Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka

berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya

ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk

membuka ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki

Datuk Sipatoka.

Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan!

Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah

kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupa-

kan rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan

urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang

mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak

dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan ter-

sebut yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala

Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka!

Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa.

Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya

dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu

utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara

anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian rupa! Dan

siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang

telah membunuh Gempar Bumi!

"Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu

terpaksa kupercepat!" Datuk Sipatoka memandang

berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek:

"Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur

lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"

Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam

berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di

antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu de-

ngan gambar kepala harimau kuning besar di dada pa-

kaiannya. Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi

yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!

Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan

pembantu-pembantu kelas dua langsung mencabut keris.

Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan

tangan kosong!

Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro

Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212

sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji

Pukulan Sinar Matahari!

Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak.

Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu

terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang

pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak

berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa

mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa

nafas!

Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya

demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut

terkejut!

Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah

gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum meng-

hantam! Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa

dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya

roboh!

Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan

menggoyang-goyang nya beberapa kali. Empat puluh dara-

dara jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di

tangan. Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang

sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka!

"Lepaskan asap seribu tulang! Tutup semua jalan keluar!"

perinlah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah

dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari

pemandangan Wiro Sableng.

Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di

belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang sembunyi di

atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"

Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas

loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa

pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa men-

duga dengan pasti siapa orangnya!

"Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!" kata orang

yang di atas loteng.

Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat

jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak

buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan

kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam.

Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas!

Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur

berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran

tulang-tulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas

ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan konyol!

Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme Makan.

Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pu-

cat! Dan di loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka

kembali terdengar suara tertawa bergelak!

"Kurang ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan ka-

nannya bergerak mencabut sepuluh keris emas kecH

yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap

kemudian senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke

loteng di atas kepalanya!