Matahari berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah
hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan
melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga
menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212
Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak d i perdu I
ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya butir-
butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang
tebal. Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang
keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik
daun-daun pepohonan. .
Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju
lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang se-
buah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tam-
pak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih,
dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi
ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan
lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia
yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa
ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan
itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak
manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian
menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun
Tulang?!
Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan se-
kitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau.
Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga se-
dang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga
yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar.
Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah ka-
rena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di
dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa
suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan
paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin
itu bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!
Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk
tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu rupa. Di-
perbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersi-
sip di pingang di balik baju putihnya. Kemudian diambil-
nya buntalan yaag terletak dekat kakinya dan sekali ber-
kelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, te-
rus lari laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran
tinggi.
Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih
tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu me-
mandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih
itu terbuat dari susunan tulang belulang dan tengkorak
manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan kirinya ke pagar
tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar itu ko-
koh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya!
Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol!
Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke
atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh
tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan teng-
korak kepala manusia. Wiro melompat ke cabang se-
buah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang
itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang
lalu dengah satu gerakan yang lebih keras maka tubuh-
nya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Se-
telah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro me-
layang turun ke halaman dalam
Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti
keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati
pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar
yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata
dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang
belulang dan tengkorak manusia!
Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa
ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela ru-
mah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum
dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sa-
bleng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu
dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar
puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan
taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu
ke arah Wiro Sableng!
Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam perang-
kap kematian! Segera dia songsong serangan harimau
itu sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar
Buah!" Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi
sesaat kemudian dengan serempak mereka telah me
nyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang
berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman
itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana ber-
ada di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu
sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek
atau menerkam tubuhnya!
Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak
Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan
Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng
mulai bergerak menghadapi puluhan harimau!
Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar
dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak
tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ke-
tika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung
dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni
212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau me-
ngaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena di-
sambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya
mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia
menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah ber-
tempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah
dttewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang
lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena
melihat genangan darah kawan-kawan mereka!
Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan
kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang.
Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup
yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut
mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya
melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu
pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat
ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerak-
kan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!
Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan
agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuh-
nya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tu-
lang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian.
Kejurusan mana saja dia memandang hanya bangkai-
bangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang di-
liputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi ber-
gidik! Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah.
Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengem-
balikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku
awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya!
Bila dirasakannya kekuatannya sudah putih maka
Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat
sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda
adanya manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap
gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang ter-
sembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh
genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi
lumpur akibat darah binatang-binatang itu!
Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia
mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia
berteriak:
"Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut
tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap
ke luar perlihatkan dirimu...!"
Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya
tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya
laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga
rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang
kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan
harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke
Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang
besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga
rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit
amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke
pusat cekungan.
"Gendeng betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat
ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk ker bau dan dari
sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia
sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah,
seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkai-
bangkai harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah
halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok
matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak
bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?!
Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba
dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah Timur. Tadi
sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu
sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang
tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu
terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya.
Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya
tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning
bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya
melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di
tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar
tempat Wiro berdirj dengan bantalan di tangan kiri lalu
salah seorang di antaranya berseru.
'Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!"
"Kalian siapa?!" tanya Wiro.
"Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"
"Kalau begitu katakah padanya bahwa aku hendak
bertemu dengan dia."
'Turunlah! Kami antarkan kau padanya!"
Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya
bukan main, menggetarkan pagar tulang belulang di mana
dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan kedua
dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang
perangkap baru baginya!
"Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro.
Jelas kelihatan pembahan pada wajah kedua dara
berpakaian kuning.
"Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun
untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak
mempunyai keberanian sama sekali?!"
"Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau
datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku
membawa oleh-oleh bagus untuknya!"
Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang
seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka
mulut keluarkan suara:
"Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup
ke luar hidup-hidup!"
Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada
pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!"
Si dara baju kuning mendengus.
"Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!"
Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada
hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya
mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur
tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar.
Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini
terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut
semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak
diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang
mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro.
Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju
kuning.
"Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap
Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup!
Lekas turuni"
Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk
menakut-nakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan
asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang se-
dang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, pa-
dahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal
terhadap segala macam racun tapi mengapa asap seribu
tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?!
Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat
turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang
memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam
hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik
jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!" Agaknya ke-
dua gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan tam-
pang Pendekar 212. Namun yang seorang segera mem-
bentak:
"Lekas ikut kami!"
"Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mam-
pus percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah
menuju pintu di sebelah Umur, Wiro mengikuti di be-
lakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa
siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-
gala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di
sebelah Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk be-
gitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat gan-
dakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggal-
kan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke ba-
wah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh
tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua
dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti.
Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini.
Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping
dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan
beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa
hingga seperti bunga!
Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak
enak.
"Ini ke mana?!" tanyanya.
"Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara
baju kuning paling muka.
Tak lama kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya.
Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua
orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar
biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang
telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang
ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ
terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-
tulang iga manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian
tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gaba-
gaba ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng.
Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke
dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan
pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput
yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang
belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian
depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya
berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari
tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu
dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.
"Ayo masuk!" seru dara baju kuning.
Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk
masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuat-
kan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar
212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.