Chereads / Wiro sableng 212 " Banjir Darah Di Tambun tulang " / Chapter 14 - Banjir Darah di Tambun Tulang 13

Chapter 14 - Banjir Darah di Tambun Tulang 13

Matahari berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah

hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan

melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga

menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212

Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak d i perdu I

ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya butir-

butir keringat yang turun mendekati alis matanya yang

tebal. Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang

keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik

daun-daun pepohonan. .

Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju

lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang se-

buah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tam-

pak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih,

dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi

ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan

lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia

yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa

ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan

itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak

manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian

menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun

Tulang?!

Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan se-

kitarnya. Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau.

Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga se-

dang di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga

yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar.

Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah ka-

rena matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di

dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa

suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan

paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin

itu bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!

Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk

tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu rupa. Di-

perbaikinya letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersi-

sip di pingang di balik baju putihnya. Kemudian diambil-

nya buntalan yaag terletak dekat kakinya dan sekali ber-

kelebat dia sudah melompat sejauh delapan tombak, te-

rus lari laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran

tinggi.

Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih

tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu me-

mandang ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih

itu terbuat dari susunan tulang belulang dan tengkorak

manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan kirinya ke pagar

tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar itu ko-

koh luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya!

Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol!

Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke

atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh

tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan teng-

korak kepala manusia. Wiro melompat ke cabang se-

buah pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang

itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang

lalu dengah satu gerakan yang lebih keras maka tubuh-

nya terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Se-

telah meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro me-

layang turun ke halaman dalam

Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti

keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati

pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar

yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata

dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang

belulang dan tengkorak manusia!

Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa

ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela ru-

mah besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum

dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sa-

bleng bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu

dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar

puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan

taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu

ke arah Wiro Sableng!

Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam perang-

kap kematian! Segera dia songsong serangan harimau

itu sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar

Buah!" Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi

sesaat kemudian dengan serempak mereka telah me

nyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang

berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman

itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana ber-

ada di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu

sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek

atau menerkam tubuhnya!

Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak

Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan

Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng

mulai bergerak menghadapi puluhan harimau!

Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar

dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak

tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ke-

tika saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung

dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni

212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau me-

ngaum dahsyat dan rebah bermandikan darah kena di-

sambar Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya

mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia

menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah ber-

tempur seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah

dttewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang

lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena

melihat genangan darah kawan-kawan mereka!

Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan

kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang.

Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup

yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut

mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya

melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu

pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat

ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerak-

kan alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!

Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan

agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuh-

nya terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tu-

lang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian.

Kejurusan mana saja dia memandang hanya bangkai-

bangkai harimau yang kelihatan. Dan suasana yang di-

liputi kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi ber-

gidik! Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah.

Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengem-

balikan tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku

awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal menghadangnya!

Bila dirasakannya kekuatannya sudah putih maka

Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat

sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda

adanya manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap

gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang ter-

sembunyi! Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh

genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi

lumpur akibat darah binatang-binatang itu!

Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia

mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia

berteriak:

"Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut

tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap

ke luar perlihatkan dirimu...!"

Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya

tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya

laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga

rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang

kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan

harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke

Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang

besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga

rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit

amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke

pusat cekungan.

"Gendeng betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat

ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk ker bau dan dari

sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia

sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah,

seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkai-

bangkai harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah

halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok

matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak

bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?!

Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba

dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah Timur. Tadi

sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu

sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang

tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu

terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya.

Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya

tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning

bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya

melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di

tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar

tempat Wiro berdirj dengan bantalan di tangan kiri lalu

salah seorang di antaranya berseru.

'Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!"

"Kalian siapa?!" tanya Wiro.

"Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"

"Kalau begitu katakah padanya bahwa aku hendak

bertemu dengan dia."

'Turunlah! Kami antarkan kau padanya!"

Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya

bukan main, menggetarkan pagar tulang belulang di mana

dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan kedua

dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang

perangkap baru baginya!

"Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro.

Jelas kelihatan pembahan pada wajah kedua dara

berpakaian kuning.

"Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun

untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak

mempunyai keberanian sama sekali?!"

"Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau

datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku

membawa oleh-oleh bagus untuknya!"

Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang

seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka

mulut keluarkan suara:

"Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup

ke luar hidup-hidup!"

Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada

pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!"

Si dara baju kuning mendengus.

"Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!"

Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada

hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya

mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur

tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar.

Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini

terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut

semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak

diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang

mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro.

Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju

kuning.

"Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap

Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup!

Lekas turuni"

Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk

menakut-nakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan

asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang se-

dang debaran jantungnya bertambah keras! Heran, pa-

dahal dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal

terhadap segala macam racun tapi mengapa asap seribu

tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?!

Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat

turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang

memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam

hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik

jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!" Agaknya ke-

dua gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan tam-

pang Pendekar 212. Namun yang seorang segera mem-

bentak:

"Lekas ikut kami!"

"Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mam-

pus percuma!" peringatkan Wiro.

Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah

menuju pintu di sebelah Umur, Wiro mengikuti di be-

lakang penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa

siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga se-

gala kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di

sebelah Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk be-

gitu pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat gan-

dakan kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggal-

kan pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke ba-

wah, disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh

tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua

dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti.

Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini.

Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping

dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan

beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa

hingga seperti bunga!

Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak

enak.

"Ini ke mana?!" tanyanya.

"Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara

baju kuning paling muka.

Tak lama kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya.

Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua

orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar

biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang

telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang

ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ

terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulang-

tulang iga manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA.

Pintu gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian

tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gaba-

gaba ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng.

Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke

dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan

pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput

yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang

belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian

depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya

berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari

tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu

dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.

"Ayo masuk!" seru dara baju kuning.

Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk

masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuat-

kan hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar

212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.