Chereads / Bounty Hunter : Black / Chapter 3 - Sniper

Chapter 3 - Sniper

Selasa, 14 Feb. 2023

11:39 AM

Kediaman Tommy

"Ponsel yang kau bawa kemarin membuahkan hasil. Aku menemukan sesuatu yang menarik."

Dia membawa secangkir kopi Espresso dan juga Coca Cola ke ruang tamu. Rumahnya kini menjadi lebih rapi dari yang kemarin. Mungkin karena aku sudah pernah melihat rumahnya dalam keadaan kacau-balau. Tom meraih lembaran kertas dan memberikannya padaku.

"Kurasa Rooke sudah bergabung sejak sebulan yang lalu, dan sepertinya anggota finansial mereka selalu memberi laporan mengenai hasil transaksi dengan The Sellers setiap seminggu sekali. Aku juga berhasil melacak lokasi pertemuannya."

Kemudian dia memberiku beberapa gambar gedung tua dengan lapangan parkir yang berukuran setengah dari luas bangunan tersebut. Lokasinya gelap dan jauh dari jalan raya. Jika kupikir-pikir, tempat ini memang sesuai untuk melakukan beberapa transaksi secara sembunyi-sembunyi.

"Mereka akan melakukan transaksi di sebuah Warehouse sekitar Junkyard, jam 11 malam ini. Dan juga, ada kemungkinan mereka akan meningkatkan keamanan seperti menambahkan penjaga dan sniper. Mengingat hilangnya Rooke bisa menjadi tanda bahaya bagi Red Snakes. Jadi ku sarankan kau untuk membawa senapan jarak jauh. Akan lebih beresiko jika kau bertarung dengan katapel pisau mu."

Sialan, aku tak punya waktu untuk membeli senapan. Tapi dilihat dari lokasi yang cukup taktikal dan penerangan nya yang cukup buruk di malam hari, memang terdapat kemungkinan jika ada yang akan bersembunyi dibalik balkon sambil menggenggam Dragunov. Memang aku bisa melihat musuh dalam gelap, namun jika dia seorang sniper akan lebih sulit jika tidak menggunakan thermal vision.

"Kau tak perlu beli, pinjam saja milik temanku."

"Huh, dimana dia tinggal sekarang?" tanyaku selagi membuka Coca Cola dengan jariku

"Carilah van abu-abu di area 'The Hunted', lebih tepatnya di sekitar Coyote Street. Temanku tinggal disana."

"Trims, akan kutemui pria itu sekarang."

Ku teguk setengah kaleng minuman soda dan meninggalkannya di meja. Tas yang berisi beberapa pelengkapan dan aksesoris senjataku gendong di pundak ku. Dengan cepat aku langsung berlari dan masuk mobil,menyalakan mesin dan meluncur ke lokasi.

"Hmm. Tunggu dulu, apa dia baru saja berkata 'pria' ?"

...

"Meh, siapa peduli. Nanti dia juga tahu sendiri."

***

The Hunted, salah satu daerah yang memiliki beberapa lahan kosong dan juga memiliki suasana hitam putih. Hampir semua bangunan disini memiliki warna gelap dan monokrom. Pengangguran juga bertebaran di sepanjang jalan di wilayah ini.

Ku jelajahi seluruh area The Hunted. Cukup sulit untuk mencarinya karena The Hunted merupakan wilayah terluas kedua setelah Donetown di Assault City. Akhirnya di lapangan yang berisi beberapa container, kutemukan mobil van Volkswagen Type 2 berwarna abu-abu seperti yang dijelaskan oleh Tom.

Saat diperiksa, keadaan pintu tidak terkunci. Terdapat goresan pada pintu dan juga pecahan kaca botol bir di dalam van itu. Ada yang salah. Ku keluarkan pistol M9 dari holster dan membuka pengamannya. Dengan perlahan, aku masuk dan mengecek setiap sudut ruangan. Namun, tak ditemukan satupun darah maupun mayat disini. Semuanya bersih.

Disaat yang sama, aku melihat suatu benda yang sangat menawan. Sepucuk senapan Arctic Warfare Magnum dengan berat 6.5 kg bersandar di belakang kursi supir. Harus kuakui pemilik senapan ini cukup cerdas. Dia memasang attachment tambahan berupa dua scope jenis thermal dan normal yang ter modifikasi sehingga ia bisa melihat musuh dengan mendeteksi suhu panasnya di malam hari dan menggunakan scope normal ketika berburu di siang hari. Hmm, mungkin aku bisa mengajaknya untuk bergabung menjadi seorang Bounty Hunter.

Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki berjalan mengendap ke arah van. Reflek, aku langsung berbalik dan hendak mengangkat pistol ku. Namun, sudah terlambat.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Seorang gadis berambut pendek berdiri di hadapanku, menodong ku dengan pistol Glock miliknya. Penampilannya biasa saja, hanya mengenakan T Shirt putih dan celana boxer. Dan ya, dia sedikit imut. Hanya sedikit

"Uhh, Tommy mengirim ku. Dia bilang aku bisa meminjam senapan dari pria pemilik van ini. Namun sepertinya memiliki dia memiliki beberapa masalah."

Aku menunjuk beberapa pecahan kaca dan goresan kecil di pintu. Dia hanya menarik nafas dan menaruh Glock nya kembali di holster. Kemudian langsung masuk van dan mengecek senapan yang aku lihat tadi. Eh, Tunggu dulu. Jangan bilang kalau dia....

"Jadi, kau ingin meminjam senapan ini?"

Sekilas, terukir nama "Sarah" di bagian bawah senjatanya. Ugh, ternyata dugaan ku benar. Tommy sialan, kenapa dia tidak bilang kalau temannya adalah seorang gadis? Gah, sebaiknya aku meminjamnya dengan cepat lalu pergi meninggalkan tempat ini.

"Uhh, ya. Trims, aku akan kembalikan besok."

Aku langsung berbalik tanpa mengucapkan selamat tinggal. Namun, tiba-tiba saja dia memegang pundakku dan bertanya,

"Hey, mau menembak apa dengan senapanku?"

Agh, kena lagi. Aku tidak bisa bilang kalau akan membunuh dengan senjata ini. Tapi dengan tipe orang sepertinya, jika ditipu pasti dia akan bertanya lagi dan lagi hingga aku merasa terpojok.

"Kau tak perlu tahu, bukan urusanmu."

"Hmm, aku mengerti. Jika kau ingin membunuh seseorang, aku bisa membantu."

Eh, membantu? Aku belum yakin kalau dia bisa membantuku. Perburuan ini terlalu berbahaya untuknya. Lagipula, bekerja secara tim bukanlah hal yang ku butuhkan saat ini.

"Maaf, tetapi aku terbiasa melakukan ini sendiri."

"Hey, jangan kau mencoba meremehkan ku. Aku ini pembunuh bayaran kau tahu?"

Dengan wajah cemberut dia langsung menarik kembali senapannya dari tanganku lalu menukarnya dengan teropong dan anemometer. Kemudian gadis itu menunjuk sesuatu di atas drum minyak, sebuah botol mungkin?

"Orang sekitar sini selalu menaruh sampah disembarang tempat yang bisa ku jadikan sasaran tembak ku. Kali ini targetnya adalah boneka teddy yang berada di atas drum itu. Jaraknya 650m, kecepatan anginnya 12 meter per detik. Hal terakhir yang dibutuhkan ialah penyesuaian diri dengan lingkungan TKP."

Selagi mendengar cuitannya, aku mengecek dengan teropong yang dia berikan. Hmm, sepertinya dia memang seorang pembunuh bayaran. Semua yang dia katakan sangat akurat dengan peralatan yang aku pegang.

BTOOOM!

Kumpulan kapas berterbangan, keluar dari isi kepala si teddy. Pelurunya tak meleset sedikitpun, tepat mengenai bagian hidung mungilnya. Harus kuakui, gadis ini memiliki bakat. Hanya saja, berapa lama dia berlatih agar bisa tahu semua kondisi di lapangan tanpa menggunakan peralatan sedikitpun?

"Jadi bagaimana? Cukup $120 per kontrak," Tawarnya sambil memberikan senyuman kecil.

Ugh, ternyata orang ini cukup pintar dalam mempromosikan pekerjaannya. Ya, kurasa tak ada salahnya bekerja dengan pembunuh bayaran. Lagi pula, pekerjaan ini akan lebih cepat jika dilakukan secara duo dan harganya lumayan murah dibandingkan pembunuh bayaran lain yang aku kenal.

"Baiklah, temui aku jam 10 malam di Junkyard. Kita akan melakukan briefing disana. Akan ku bayar setelah operasinya selesai."

Sekarang aku harus kembali ke rumahku dan membuat rencana untuk perburuan malam ini. Tapi sebelum itu,

"Hey, bolehkah aku tahu siapa namamu?"

"Sarah Carter, panggil saja aku Fox."

Fox, huh. Terdengar seperti sebuah codename bagiku. Kurasa itu cukup untuk berkomunikasi nanti. Baiklah, waktunya untuk pulang dan menyiapkan pesta malam ini. Aku langsung masuk mobil dan pergi ke rumahku di Jaguar Street.

***

Kegelapan sudah menyelimuti malam. Kadang lampu jalan masih bisa berkedip. Hembusan anginnya juga sedang mendukung. Aku dan Fox sudah berada di posisi masing-masing. Beberapa penjaga kelihatannya juga siap untuk menyambut kedatangan kami.

"Fox situasinya?"

"Ada 2 orang mengelilingi lahan parkir, 4 orang di ruang utama, 3 penjaga berpakaian tuksedo di atap beserta satu sniper di balik balkon."

Dugaan Tom benar. Tempat ini menjadi lebih ramai dan juga ketat. Beruntung ada Fox yang bisa menggunakan scope thermalnya sehingga kami tahu keberadaan musuh. Yah, mau tak mau aku harus memasang suppressor di M9 milikku agar tak memancing lebih banyak keributan. 5 menit kemudian, terdengar suara kendaraan menuju kearah gerbang Junkyard.

"Ada yang datang."

Mobil hitam berjenis SUV itu mendekati para penjaga, kemudian masuk kedalam ruang utama. Warehouse itu memang lumayan luas dan juga gelap, sangat cocok digunakan untuk transaksi senjata secara ilegal.

Di sisi lain, Fox sedang bersembunyi di sebuah bangunan yang berjarak 850 meter dari lokasi pertemuan. Dia mengenakan jaket hijau dan celana hitam panjang agar bisa menyatu dengan bayang-bayang malam. Kecepatan angin yang tak begitu kuat membuatnya lebih cepat beradaptasi. Fox mulai membidik beberapa mangsanya, menunggu aba-aba dariku.

"Target terlihat."

Seorang pria keluar dari mobil hitam tadi. Umurnya 20 tahun dan sudah berkumis, mengenakan jas merah gelap dan berlagak sok kuat. Kurasa dia adalah Rodriguez Merciano, anak penerus gang Red Snakes. Mengingat pemimpinnya yang sudah berumur 56 tahun, cepat atau lambat dia harus mewariskan organisasinya kepada anaknya. Setelah mengeluarkan koper yang berisi tumpukkan uang dari bagasi, dia langsung masuk ke lantai dua dan menunggu The Sellers datang membawa bongkahan senjata.

"Baiklah. Fox, kau urus yang di atap dan juga balkon. Aku akan tangani yang dibawah. Kau mengerti?"

"Roger."

"Bagus, ayo bergerak!"

Ku kenakan masker hitamku dan melihat sekitar. Hanya ada dua orang di lahan parkir, cocok sebagai pembukaan. Aku mulai menikam salah satu penjaga. Disaat yang sama, Fox sudah berhasil menembak sniper dan dua orang lainnya di atap. Namun darah sniper yang mengalir ditembok membuat penjaga lainnya terpancing. Tak mau ambil resiko, langsung saja ku siapkan katapel pisauku dan memasangnya dengan panah. Tepat saat dia akan membunyikan alarm, ku bidik dan lepaskan anak panahnya hingga melesat ke arah musuh.

CRACK!

Bidikan ku mengenai bagian leher penjaga hingga dia jatuh dan mati. Beruntung dia belum sempat memanggil bala bantuan. Jika tidak pasti perburuan ini akan menjadi lebih sulit.

"Terima kasih kembali."

"Humph," sahut Fox dengan rasa kesal mendengar bisikan ku lewat earphone nya.

Aku mulai memasuki ruang utama. 2 orang masih mengobrol, sisanya masih masih berpatroli. Ku ambil pistol M9-ku dari holster dan memeriksa pelurunya. Satu hal yang harus diingat jika ingin melakukan baku tembak ialah akurasi dan kecepatan. Itu sebabnya aku tidak pernah mengenakan rompi ketika beraksi, meskipun resiko kematiannya lebih tinggi.

Salah satu anggota gang berjalan menuju posisi ku. Ini dia kesempatan yang tepat. Setelah mengisi ulang pistol ku, kutarik tubuh gangster di dekatku dan menggunakannya sebagai pelindung. Tiga orang lainnya mulai mengangkat senjata mereka dan membidik. Aku mulai menggerakkan pistolku dengan cepat. Dua orang berhasil dilumpuhkan. Tersisa satu orang yang menembak kearah ku, namun ia hanya akan membunuh temannya sendiri. Ku balas dengan sekali tembak mengenai kepalanya. Ruang utama sudah kosong. Ku lepaskan peluru terakhir di tubuh gangster yang aku tahan untuk memastikannya mati dan mengisi kembali M9 milikku dengan magasin lain.

Aku mulai berjalan melalui tangga dan mencari Rodriguez. Tak ada penjaga di lorong lantai 2 jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah. Ada suara samar seorang penjaga di balik pintu. Kurasa Rodriguez ada didalam. Aku mulai menarik nafas sambil memikirkan langkah selanjutnya.

Sempat terpikir olehku untuk menunggu The Sellers datang dan menghabisi mereka semua. Namun resikonya tinggi jika mereka akan melakukan balas dendam. Bisa-bisa keluargaku disekap seperti peristiwa 5 tahun yang lalu. Lagipula Fox belum tahu jika aku sedang memburu kriminal kelas kakap. Dan juga, aku tak ingin orang yang terlibat dalam perburuan ini semakin bertambah. Akan lebih aman jika ku buru klien milik Ricardo terlebih dahulu, kemudian menggali informasi target dari mereka.

"Fox, bagaimana situasinya didalam sana?"

"Ada 6 penjaga disana dan hati-hati, salah satunya berada di balik pintu dekatmu. Aku tak bisa menembak targetnya namun aku bisa membunuh pria yang ada di dekat jendela," sahutnya selagi mengawasi musuh dari kejauhan.

"Baiklah, Tunggu aba-aba ku lalu tembak dia."

Ku keluarkan flashbang dari ikat pinggang dan menarik nafas, bersiap untuk mendobrak pintunya.

"Go!"

Seketika terdengar suara peluru yang menembus kaca. Bisa kurasakan kepanikan mereka. Melihat ada celah, ku lemparkan flashbang melalui pintu. Sinarnya dan kejutnya yang khas menandakan aku siap memasuki area pertarungan.

Mereka buta hanya untuk beberapa detik saja. Ku gunakan kesempatan ini untuk menghadapkan pistolku ke arah musuh, membuatnya tumbang satu per satu. Namun tak disangka, aku menerima kejutan kecil dari musuh. Yah, tiba-tiba saja muncul pengguna shotgun dari sudut lain. Sontak aku kembali tempat persembunyian ku.

"Hahaha, makan ini dasar brengsek!"

Pria itu terus saja menembakkan shotgun miliknya. Di tambah aku benci senjata itu karena pelurunya yang menyebar, menyebabkan kerusakan fatal jika terlalu dekat. Sial, jika terus seperti ini, aku tidak memiliki kesempatan untuk menyerang balik.

CRASH!

Tiba-tiba kepala pembawa senjata itu pecah, tertembak dari kejauhan. Darahnya langsung terciprat ke tembok dan meninggalkan bekas.

"Terima kasih kembali."

"Cih," Gumam ku mengingat kita sudah seri.

Aku mencari keberadaan Rodriguez, namun dia berhasil keluar selama baku tembak berlangsung. Bisa dibilang dia cukup pintar dalam memanfaatkan situasi.

"Fox, hentikan Rodriguez tapi jangan bunuh dia. Aku masih butuh informasi darinya."

"Dimengerti."

Ku lepaskan 2 peluru yang ada di pistolku kearah musuh terakhir yang hendak menembak ku lalu melanjutkan pergerakan. Saat aku berlari kebawah, target sudah menaiki mobil sedan bersama supirnya. Aku berusaha membidiknya, tetapi tidak bisa mendapatkan sudut yang pas.

Tiba-tiba mobil target langsung berbelok ke kiri dengan kecepatan tinggi dan menghantam pagar dengan sangat keras. Yah, sniper itu cukup pintar. Dia menembak supirnya agar sedannya lepas kendali. Harus kuakui juga gadis itu bukan amatiran, melainkan profesional. Bahkan jika targetnya mengendarai mobil dalam kecepatan tinggi pun, Fox masih bisa mengenainya dengan akurat. Sekarang aku tahu kalau dia benar-benar bisa diandalkan.

Aku berjalan mendekati target dan membuka pintu mobilnya, menarik Rodriguez keluar dan melemparnya ke tanah. Pistol yang masih ku genggam ditodongkan ke matanya.

"Hei, katakan apa saja yang kau ketahui tentang Ricardo dan seberapa dekat dia berbisnis dengan ayahmu?"

"Gah, masa bodoh dengan pertanyaan mu. Kau tak tahu sedang berurusan dengan siapa. Sekarang lepaskan aku, bajingan!"

Heh, keras kepala ya. Ku ayunkan pistolku dan menembaknya di pergelangan kaki Rodriguez. Dia langsung berteriak, tak bisa menahan rasa sakitnya. Kali ini, aku menaruh ujung pistolku di pergelangan tangan tepat di urat nadinya.

"Arrrgghh!!! Baik, baik kumohon hentikan. Aku benar-benar tidak tahu soal Ricardo, tapi dengarkan aku. Ayahku akan mengirimkan beberapa anggota Red Snakes sebagai bala bantuan The Sellers, organisasi yang di pimpin oleh Ricardo. Kudengar mereka akan melakukan penyerangan di pelabuhan Vierra Sanchez dan mencari suatu paket. Hanya itu yang ku tahu, aku bersumpah."

Hmm, kurasa itu sudah cukup. Ku arahkan kembali pistolku di kepala target dan menarik pelatuknya. Matanya hancur, darahnya pun menyatu dengan warna jas yang dia pakai. Dia sudah mati sekarang. Ku rogoh setiap kantong sakunya, memastikan jika dia membawa ponsel yang bisa ku gunakan untuk mencari informasi tambahan.

"Sudah selesai. Bersiaplah Fox, akan ku jemput dibelakang gedung mu."

Perburuan selesai. Aku mendapatkan informasi yang ku butuhkan. Waktunya untuk kembali ke rumah.

***

"Ini uangmu. Terima kasih atas bantuannya."

Ku ambil seikat uang dari tas sejumlah $200. Sengaja di lebihkan, sebagai ganti karena aku sudah pernah meremehkannya. Yah, lain kali aku harus lebih berhati-hati dalam menjaga ucapan ku.

"Sama-sama. Panggil saja jika kau butuh bantuan lagi."

Setelah menerima uangnya, ia langsung pergi meninggalkan mobil. Saat aku ingin kembali, aku melihat sebuah benda tergeletak di kursi sebelahku. Ku coba meraihnya dan mengecek barang tersebut.

Tak salah lagi, ini adalah liontin locket yang biasanya digunakan oleh pasangan kekasih. Kurasa Fox menjatuhkannya saat kembali. Hmm, sebenarnya aku sedikit penasaran tapi, sebaiknya aku kembalikan ke pemiliknya.

Dari kejauhan, terlihat Fox sedang mencari sesuatu. Dia membuka semua lemari dan lacinya. Mungkin liontin inilah yang dia cari. Dan sepertinya benda ini sangat berharga baginya. Aku mulai berjalan menuju Van dan mengetuknya, berharap ia tidak terganggu akan kedatangan ku.

"Ah, kau lagi. Maaf tapi aku-"

Ku potong perkataannya dengan menyodorkan liontin tadi. Tanpa ragu-ragu ia langsung mengambilnya. Diputarnya liontin itu ke kanan dan kiri, memastikan jika tak ada yang rusak. Tiba-tiba wajahnya datar saat membuka isinya. Oh tidak, sepertinya dia akan menangis.

"H-hey, apakah itu rusak? Akan ku perbaiki nanti jadi janganlah menangis,okay?"

"Nah,*sniff* tak perlu. Aku baik-baik saja."

Syukurlah jika tak ada masalah, aku sudah mulai panik tadi. Fox kembali menatap foto di liontin nya. Entahlah, mungkin dia kehilangan seseorang yang berharga.

"Trims, ini adalah liontin yang berharga dari orang tuaku. Tetapi aku tak bisa mengingat mereka. Aku kehilangan ingatan saat umur 10 tahun dan tinggal bersama nenekku. Dia bilang jika ayahku adalah seorang professor dan ibuku merupakan pegawai di kota. Namun nenekku juga mereka menghilang tanpa jejak dan disaat yang sama, aku dititipkan dirumah nenekku dalam keadaan hilang ingatan."

"Semakin hari, kemampuan kecepatan, penglihatan dan instingku semakin meningkat melebihi orang biasa. Aku semakin penasaran tentang apa yang terjadi denganku maupun orang tuaku, jadi ku putuskan untuk meninggalkan nenekku dan mencari tahu segalanya. Namun sekarang, aku berakhir menjadi pembunuh bayaran yang mencoba untuk bertahan hidup," Tambah Fox dengan nada putus asa.

"Hmm, bisakah kulihat liontin nya?"

Fox menyerahkan liontin nya padaku. Saat dibuka, terlihat sepasang orang tua dengan seorang anak di foto itu. Bisa ku pastikan jika anak itu adalah Fox, dan aku yakin mereka dulunya adalah keluarga normal. Disampingnya, terdapat gambar bintang jatuh yang menjadi misteri bagiku.

"Kalau begitu, aku akan membantumu. Lagi pula, aku juga seorang Bounty Hunter."

Fox terkejut mendengar perkataan ku. Dan jujur, aku tak tahu mengapa aku mengucapkan hal itu secara tiba-tiba. Semuanya keluar begitu saja. Tetapi membantu seorang gadis yang kehilangan keluarganya, kurasa itu bukan hal yang buruk.

Aku kembali menatapnya dan menunggu jawaban darinya. Air mata mulai mengalir di pipinya. Kemudian dia mengangguk dan berkata,

"Baiklah, aku akan mengandalkan mu."

Dia tersenyum bahagia. Dan juga, aku belum pernah melihatnya tersenyum selebar ini. Fox mulai mengusap pipinya yang basah sedangkan aku masih menggelengkan kepalaku, berusaha untuk bersikap seperti biasanya.

"Kalau begitu, aku pulang dulu."

Aku kembali melangkah ke mobil Mustang biru yang terparkir dipinggir jalan. Tiba-tiba, gadis itu berteriak memanggilku.

"Hey, kau belum memberi tahuku. Siapa namamu?"

"Aku Black, Black's Hunt," jawabku sambil berjalan dan membuka pintu mobil.

Saatnya menyalakan mesin dan kembali ke rumah. Sekarang aku memiliki 2 tugas yang berat. Memburu Ricardo dan membantu Fox mengembalikan ingatannya. Humph, sepertinya waktu istirahatku akan menjadi lebih sempit dari yang aku jadwalkan. Meskipun begitu aku akan berusaha menyelesaikan tugasku, sekuat yang aku bisa.

***