Chereads / Bounty Hunter : Black / Chapter 4 - Flashdisk

Chapter 4 - Flashdisk

Selasa, 14 Feb. 2023

11.45 PM

Pelabuhan Vierra Sanchez.

Diwaktu yang sama, saat Black dan Fox menyerang Red Snakes.

Sebuah kapal perang berjenis Corvette telah berlabuh di Vierra Sanchez, menunggu seseorang menjemput "paket" yang dititipkan di dalam kapal tersebut.

"Adakah tanda-tanda dari ASF?"

"Tidak pak. Kami belum mendapatkan visual darinya."

Pria tua berkumis itu sedang berkomunikasi dengan awak kapalnya. Dia adalah Laksamana yang sedang bertanggung jawab atas pengiriman paket yang diminta oleh pihak militer dari Assault City.

"Baiklah, tetap siaga."

"Baik pak."

Ia kemudian menutup walkie talkienya. Disampingnya, terdapat sebuah flashdisk yang berisi berbagai misteri. Benda kecil itu dianggap sebagai rahasia negara. Bahkan Jenderal itu tidak tahu apapun mengenai isi flashdisk tersebut.

Disisi lain, terpajang foto seorang anak lelaki berumur 8 tahun dengan seragam tentaranya. Ia berdiri sambil tersenyum. Tangannya menggenggam senapan M1 yang biasa digunakan untuk berburu. Foto itu diambil 11 tahun yang lalu, tepatnya saat sang Jenderal sedang mengajak anaknya piknik ke hutan untuk berburu seekor rusa. Sekarang, anak itu sudah bisa mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi seorang marinir.

Suara ponsel berdering. Aneh, tak biasanya ia mendapat panggilan di tengah malam seperti ini. Tanpa pikir panjang dia langsung mengangkat teleponnya.

"Halo, apakah aku sedang berbicara dengan Laksamana Sam?"

"Huh? Ya, ini aku Sam. Siapa ini?"

Suaranya tidak dikenal. Namun gaya bicaranya, sepertinya dia bukan dari sekelompok teroris yang sedang di bicarakan akhir-akhir ini.

"Aku Mike, pendiri organisasi Bounty Hunter. Kau mungkin akan bertanya bagaimana aku bisa melacak nomor teleponmu. Tetapi itu tidak penting sekarang."

"Dengar, seseorang akan mencoba mencuri paket yang kau bawa hari-,"

"Tunggu dulu! Bagaimana kau tahu jika aku sedang membawa sebuah paket," potong Sam dengan cepat.

Ia terkejut paket kirimannya akan bocor di Organisasi lain. Bounty Hunter? apakah mereka kelompok teroris yang sedang dirumorkan itu? Pikirnya.

"Salah satu operator dari timku mencuri informasinya dari ponsel milik Valanche saat otopsi berlangsung."

"Maaf, bukankah membuka ponsel dari seorang menteri tanpa ijin dan mencuri informasi rahasia negara merupakan pelanggaran hukum?"

"Dengar, tak ada waktu lagi. Sebaiknya kau sembunyikan paketnya atau bawa keluar dari sana. Sebuah organisasi yang bernama "The Sellers" sedang mencoba mengambilnya dari pemerintah dan militer sepertimu."

Sam melihat keluar melalui jendela. Di pelabuhan terlihat sepi. Masih ada beberapa marinir berkeliling dalam keadaan siaga, namun tak ada visual dari ASF. Selain itu, belum muncul kabar lebih lanjut dari markas ataupun pemerintah mengenai paket yang ia bawa. Ada yang tak beres. Sepertinya Mike benar.

"Tetapi, jika kau benar-benar persisten dan ingin barang itu aman, pergi temui temanku yang ada di Assault City. Dia juga sedang bertugas sebagai seorang Bounty Hunter disana. Dia akan ada di Cafe Moffins, Donetown jam 11 siang mengenakan pakaian kemeja biru tua dan masker hitam. Kau bisa mengandalkannya."

"Dan bagaimana aku bisa mempercayainya?" tanya Sam dengan perasaan ragu.

"Jangan khawatir, kau pasti akan percaya."

Teleponnya diputus. Sam kembali melihat keluar. Akhirnya, mobil van yang ia tunggu sudah datang. Salah satu marinir menghampiri mobil itu untuk mengeceknya. Namun saat pintu belakangnya dibuka, hal buruk baru saja terjadi.

Marinir itu tewas tertembak. Segerombol orang berpakaian serba hitam dengan topeng diwajahnya mulai keluar satu per satu. Masing-masing menggenggam senapan MP5, lalu membangun formasi. Tanpa rasa takut, mereka terus mendorong dan melumpuhkan para marinir dalam waktu yang singkat.

Tak tinggal diam, Sam memanggil seluruh awak kapalnya dan mengatur siasat. Ia tak ingin memandang rendah musuhnya. Dari caranya menyerang, sepertinya mereka bukanlah amatiran.

"Semuanya, atur posisi masing-masing. Ingat, ini bukan latihan dan mereka juga tak bisa di remehkan. Tahan mereka sebisa mungkin!"

"Letnan Zen, temui aku di kokpit sekarang! Ada yang harus ku diskusikan denganmu."

Suasana mulai tegang. Masing-masing marinir mulai melengkapi dirinya dengan senjata. Mereka mulai berpencar dan bertahan di setiap sudut kapal. Sebagian mencoba mendorong musuh keluar dari kapal. Namun sepertinya usaha mereka sia-sia.

Sementara itu, Sam masih berlari ke kokpit sambil membawa paketnya. Disana, sudah ada Zen dengan nahkoda lainnya.

"Maaf, bisakah kalian tinggalkan aku dengan Letnan sebentar?"

Mereka mengangguk dan keluar dari kokpit. Hanya tersisa Sam dan Zen di ruangan itu

"Zen, ada misi mendadak untukmu."

Sam menyerahkan flashdisk dan pistol SIG miliknya pada Zen, lalu memberikan briefing singkat mengenai misinya.

"Antarkan paket Starfall ini ke Donetown besok di Cafe Moffins. Temui seseorang dengan pakaian biru dan masker hitam. Setelah itu serahkan padanya. Kita tak punya pilihan lain selain memintanya untuk menjaga paket ini tetap aman."

Suara baku tembak semakin dekat. Sam memecahkan kaca sebagai jalan untuk melarikan diri.

"Sekarang pergilah!"

"Tapi Ayah- maksudku, pak. Bagaimana denganmu?"

"Aku harus tetap disini untuk menjaga marinir yang lainnnya. Tak ada waktu lagi nak, kau harus pergi. Aku percayakan paket ini padamu"

Sam melangkah memasuki pertempuran. Zen menunduk, kemudian berlari melompat melalui kaca kokpit.

Zen sempat terjatuh, lalu bangkit. Ia terus berlari menuju ujung kapal tanpa melihat kebelakang. Ayahnya, Sam sedang berjuang melawan orang-orang jahat itu. Dan kini, ia tidak boleh mengecewakannya.

"Dia disana!"

Salah satu dari mereka menyadari keberadaannya. Dengan sekejap, butiran peluru mulai berterbangan ke arah Zen. Tak punya pilihan, dia terjun ke laut dan mulai berenang. Ia masih saja dihujani dengan peluru, namun semuanya meleset. Pada akhirnya, Zen berhasil lolos.

"Ricardo! Dia berhasil kabur!"

"Hmm, kabur ya?"

Ricardo berjalan mendekat, dan memegang kepala orang yang bicara tadi. Kemudian, ia menghantamnya ke tembok tiga kali hingga wajahnya hancur dan pingsan.

"Lalu kenapa kau tidak menghentikannya? Dialah yang membawa paketnya dasar bodoh!"

Beberapa Anggota Red Snakes yang Ricardo sewa ketakutan. Namun ada juga beberapa dari mereka yang merupakan pembunuh bayaran dengan sikapnya yang professional.

"Ugh, menyewa anak buah Red Snakes ternyata bukanlah ide yang bagus."

"Jadi, apa yang kau inginkan sekarang?"

"Cari anak itu. Aku melihatnya membawa paket Starfall yang Valanche katakan. Benda itu merupakan salah satu sumber pendapatan ku, jadi jangan sampai dia menyerahkannya ke pemerintah maupun organisasi lain! Kalian mengerti?"

Mereka mengangguk mengerti, kemudian meninggalkan kapal itu dengan kumpulan jasad marinir yang ada didalamnya.

***

Rabu, 15 Feb. 2023

6:38 AM

Kediaman Black.

Kriiiingg!!!

"Unghh."

Suara alarm memecahkan keheningan pagi. Aku berusaha meraih ponselku dan mematikannya. Sudah 6 kali aku snooze, sekarang waktunya untuk bangun. Aku bangkit dan mengusap mataku. Masih berat rasanya untuk mulai beraktivitas. Mungkin sarapan pagi bisa membantuku.

Ku siapkan sepotong roti dengan selai kacang dan segelas susu diatas meja. Tanganku membuka kulkas dan lemari satu per satu, berharap masih ada cemilan yang bisa aku makan.

Ponselku berdering. Ternyata Mike. Tidak biasanya dia menelpon di awal-awal hari kerja. Mungkin dia mempunyai informasi untukku. Lebih baik kuangkat dulu.

"Yo Mike, ada apa?"

"Aku ada dua kabar untukmu. Kabar baik dan buruk. Yang mana dulu yang mau kau dengar?"

Guh, baru saja aku menikmati pagi, sudah diperburuk saja olehnya. Sialan Mike, jika saja aku bisa membatalkan perburuan ini.

"Hmm, aku lebih suka kabar buruknya lebih dahulu."

"Baiklah. Sebuah kapal perang Corvette diserang oleh The Sellers semalam. Kapal itu yang membawa paket yang di inginkan oleh Ricardo."

Tunggu, apa? Padahal aku baru tahu semalam. Dan bukankah The Sellers seharusnya melakukan transaksi di Junkyard kemarin? Ah ya, aku baru ingat jika mereka tidak sebodoh itu dalam menjalankan bisnis. Ada kemungkinan mereka berbagi tugas, dengan begitu bisnis senjata mereka dengan Red Snakes akan tetap berjalan dengan baik.

"Kenapa kau tidak bicara soal ini sebelumnya?"

"Kau tidak bertanya."

Seperti biasanya, dia membuatku kesal dan geram. Memang dia bos sekaligus temanku tetapi kadang kelakuannya sangat menjengkelkan.

"Grr, baik kau menang. Lalu apa berita bagusnya?"

"Laksamana kapal tersebut selamat dalam keadaan kritis. Dia juga mengatakan jika salah satu marinirnya berhasil membawa lari paket yang Ricardo inginkan."

"Aku sudah mengatur pertemuan dengannya. Mampirlah di Cafe Moffins jam setengah 11 siang. Bicara dengannya, setelah itu kau sendiri yang akan mengambil keputusan. Oh ya, jangan lupa untuk mengenakan 'setelan' favoritmu," sambungnya.

Mike langsung menutup teleponnya. Hmm, marinir ya? Kuharap tingkah lakunya tidak melebihi Mike. Dan juga, sebaiknya aku membeli Cola nanti. Hanya berjaga-jaga jika dia terlambat. Sialan, aku belum makan sarapanku lagi.

***

Siangnya.

Aku berjalan mengelilingi kota, mencari cafe yang ayahku maksud. Flashdisknya masih aman di saku jaket yang ku curi tadi pagi. Sialan, kejadian semalam sempat membuatku tertekan. Huff, kuharap pria tua itu baik-baik saja.

Setelah lelah mencari, akhirnya kutemukan lokasi pertemuannya. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri, mencari keberadaan orang yang ayahku maksud.

Seorang pria berkemeja biru sedang duduk santai di pojok cafe. Ada masker hitam yang menggantung dilehernya. Tangannya agak kurus, dahinya terdapat beberapa bekas jerawat dan perawakannya biasa-biasa saja. Jangan bilang kalau pria ini yang ia maksud.

Aku mulai berjalan mendekat dan duduk berhadapan dengannya. Wajahnya tak bereaksi, mungkin itu bukan dia. Sebaiknya aku mencari di tempat lain saja.

"Kau membawa paketnya?"

Huh? Ah, sial. Ternyata memang benar dia. Untung saja aku belum sempat berdiri.

"Ya, tentu."

Ku rogoh saku jaketku dan memberikan flashdisknya kepada pria itu. Namun saat ku serahkan, sekilas terlihat semacam sarung holster lengkap dengan pisau hitam di pinggangnya. Sebaiknya aku harus berhati-hati, bisa saja dia membunuhku setelah ini.

"Hmm, jadi ini yang Ricardo mau. Bisakah aku menyimpannya untuk sementara?"

"Tidak. Aku harus segera menyerahkannya pada ASF."

"ASF?"

Astaga, bahkan dia tidak tahu pasukan khusus di kotanya sendiri. Aku jadi tidak yakin jika dialah orang yang ayahku maksud.

"Itu singkatan dari Assault Special Forces, bodoh. Mereka adala-"

"Baiklah, sudah cukup. Tetapi aku harus meminjam paketmu sebentar untuk memancing Ricardo, orang yang menyerang kapalmu keluar dari sarangnya. Aku juga harus tahu apa yang dia incar dari flashdisk ini," potong pria itu panjang lebar.

"Maaf, tapi jawabannya akan tetap sama, tidak."

"Jeez, kau memang orang yang keras kepala."

Hey, bukankah kau yang keras kepala? Dasar orang aneh.

"Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau kau bermain denganku sebentar."

"Huh? Bermain?"

***

Gun Club. Sudah lama aku tidak pergi ke tempat yang seperti ini. Suara desingan peluru memenuhi seluruh ruangan. Dan juga, ternyata ada beragam senjata api yang digunakan disini.

"Jadi, kita akan bermain apa?"

Si kemeja biru itu menunjuk ke arah kill house. Kemudian memberikanku pilihan senjata.

"Mari kita berkompetisi. Yang tercepat dan akurat, dia pemenangnya. Kau bisa memilih senjata apapun yang kau mau."

AK47, MP7, TMP, SCAR, semua senapan tersedia di depan mata. Hanya perlu memilih salah satu. Favoritku? HK G36 tentunya. Senjata buatan Jerman itu bisa menembakan 750 butir peluru per menit dengan kecepatan 920m/s. Kebetulan Gun Club disini memiliki salah satu dari senapan itu, jadi aku bisa selangkah lebih maju.

"Aku mengerti. Jika aku menang, kau akan berhenti meminta flashdisk ini dan membantuku mengantarnya ke ASF."

"Heh, sepertinya kau sudah tahu tujuanku. Baiklah, tetapi jika aku yang menang, kau akan membiarkan aku membuka isi flashdisknya dan setelah ini kau juga akan mentraktirku sebotol Cola."

"Ku ijinkan kau duluan. Aku tak akan mengintip," sambungnya sambil mengecek pistol M9 miliknya.

Kurasa dia hanya meremehkan ku. Baiklah, waktunya beraksi. Senapanku sudah terisi dengan penuh dengan peluru Nato 5,56 mm. 2 magasin cadangan sudah tersedia di pouch nya masing-masing. Aku yakin dengan kemampuanku di pelatihan militer bisa mengalahkannya dengan telak.

Aku menarik nafas, lalu melewati batas start untuk mengawali pertandingan. Satu persatu target muncul. Ku angkat senapanku dan membidiknya, menembaknya dengan cepat meskipun tidak secara akurat mengenai kepala dan tubuh tengahnya.

Setiap sudut di periksa, baru berpindah dari ruangan ke ruangan. hampir saja kalah karena lengah. Peluruku habis. Salah satu target muncul dari samping. Beruntung tanganku masih sempat meraih pistol SIG ayahku lalu menembaknya. Sial, hampir saja kalah karena lengah. Sebaiknya aku mengisi ulang senapanku terlebih dahulu.

Aku memecahkan waktu 1 menit 32 detik. Itu waktu tercepat melampaui rekor di Gun Club ini.

"Bagaimana, masih bisa mengalahkan rekorku?"

"Tentu."

Kurasa orang ini terlalu percaya diri. Dia pikir hanya berbekal M9 saja dia bisa mengalahkan ku.

Tunggu, dia hanya menggunakan M9? Kenapa tidak mengambil salah satu senapan yang dia bawa tadi? Hmm, mungkin ia tidak terlalu suka senapan karena berat dan bisa memperlambat kecekatannya. Lagi pula, tetap saja dia hanya akan membuang waktunya hanya untuk reload pistolnya berkali-kali.

Dia mulai mengenakan maskernya. Tatapannya mulai serius. Rasanya seperti dia tidak akan memberikan ampunan pada seluruh targetnya. Dia menarik nafasnya, lalu melangkah melewati garis start.

Satu per satu targetnya mulai tumbang. Dia terus bergerak dan memburu mereka seperti predator yang ganas. Setiap butir peluru yang keluar dihitung diluar kepala, membuatnya ingat kapan ia harus mengganti magasin. Sialan, harus kuakui dia sangat berbahaya.

Hasil akhir sudah keluar. Dia mengenai semua kepala target dengan waktu 6 detik lebih cepat dariku. Yah, kalau begitu ini kekalahan ku. Mau tak mau aku harus menuruti permintaannya. Aku juga bukan tipe orang yang suka ingkar janji.

***

*gulp* *gulp*

"Ahh, tak ada yang lebih baik dari pada sebotol Cola di sore hari."

Nampaknya dia sedang menikmati kemenangannya. Cih, aku masih belum percaya bisa kalah dari seseorang yang bukan berasal dari kalangan militer. Tetapi, kemampuan menembaknya juga tak bisa diremehkan.

"Harus kuakui, kau memang mempunyai bakat dalam baku tembak."

"Hmm, begitukah?"

Ia menarik sebilah pisau dari sarungnya. Entah kenapa, aku tidak merasakan ancaman darinya sedikitpun. Kurasa dia memang bukan salah satu dari kelompok penyerangan semalam.

"Tapi kau tahu? Dibalik keahlian menembak ku, aku masih memiliki sebuah kelemahan. Yah, sebenarnya aku tidak bisa adu pukul ataupun bela diri."

Tunggu, apa? Dia tidak bisa bela diri? Heh, rasanya tidak mungkin. Kurasa dia hanya sedang bercanda sekarang.

"Itu benar. Dan juga, pisau ini lebih sering ku gunakan sebagai katapel ketimbang senjata jarak dekat. Kau bisa lihat ada karet yang terikat di lubang bagian gagang pisau? Itu adalah karet pelontarnya. Dan anak panah di belakangku adalah amunisinya."

"Hmm, aku mengerti."

Aku rasa dia berkata apa adanya. Tidak ku sangka keahlian menembak dan merakit senjatanya bisa menutupi kekurangannya. Mungkin aku bisa belajar sesuatu darinya.

"Ngomong-ngomong, namaku Zen Torrison. Senang bertemu denganmu."

"Black, Black's Hunt. Senang bertemu denganmu juga."

Kami bicara tentang jati diri masing-masing hingga matahari terbenam. Aku menceritakan keadaanku sedikit dan Black membiarkanku tinggal dirumahnya untuk sementara karena kebetulan dia juga sendirian disana. Selain itu, meskipun dia seorang Bounty Hunter dia masih saja mencoba menjadi orang baik. Yah, kurasa aku bisa saja menjadi teman sekamarnya. Kurasa.

***