Pagi yang cerah, burung berkicau riang, embun sejuk membasahi dedaunan. Pagi yang klise bagi sebuah pembuka cerita, apalagi melihat sang tokoh utama menggeliat nyaman di atas ranjangnya demi mencari posisi baru untuk tetap terus tidur. Hanya saja…,
"PAMAN HANDRA!!!"
"Ugh!"
Handra mendadak bangun dengan mulut memuntahkan liur dan mata terbelalak ketika dirasa ada yang melompat menindih perut ratanya. Saat disadari, rupanya yang menindih perutnya itu adalah seorang gadis remaja yang cantik dan imut dengan rambut hitam panjang nan tebal serta mata cokelat kayu yang bulat sayu.
"Paman! Ayo kita main!" ajak gadis itu antusias dengan senyum lebar.
Agak setengah sadar, Handra menaikan sebelah alis. Ucapan gadis itu dan posisi mereka saat ini terkesan ambigu, posisi dimana Handra berbaring dengan tubuh sang gadis menindihnya di atas.
Hmm…. Ini tidak baik bagi kesehatan 'daging tumbuh'nya, apalagi gadis ini anak orang.
Handra segera bangun, mengangkat tubuh kecil sang gadis di pinggang dengan satu tangan seakan-akan mengangkat guling, beranjak dari ranjang, membuka jendela, dan bersiap melemparkan tubuh kecil itu keluar jendela.
"Paman!!! Jangan lemparkan aku! Paman tega!!!" teriak sang gadis menggelegar saat tahu tubuhnya siap melayang dari ketinggian kamar di lantai tiga tersebut.
Handra menatap datar sang gadis, "Ngaku, kau datang sama siapa kemari?"
"A-Aku datang sama Abah…," rengeknya.
"Abah?"
Suara pintu kamar dibuka keras terdengar membuat Handra sedikit terkejut. Ia menoleh jengkel pada sosok pria dewasa yang seenaknya memasuki kamarnya dengan senyum sumringah tanpa dosa.
"Hai, Handra! Kudengar kau baru saja balik dari Amerika, jadi aku dan putriku sengaja berkunjung—."
Ucapan ceria pria itu terpotong saat melihat putrinya digendong di pinggang Handra, siap untuk dilemparkan.
Persiapan Flashback ledakan Gunung Krakatau di pagi hari pun dimulai….
"KAU APAKAN PUTRIKU?! DASAR OM-OM BAJINGAN!!!"
"KAU DAN PUTRIMU YANG SEENAK DENGKUL BABON MASUK KE RUMAH ORANG SEMBARANGAN!!!"
"SALAH SENDIRI KENAPA PINTU RUMAH KAGAK DIKONCE!!!"
Masih dalam gendongan, sang gadis merengek-rengek mendengar teriakan membahana dari kedua pria ini. Sungguh, rasanya gendang telinga sampai rumah siputnya mau copot.
"Abah…. Paman…. Tulung…!"
….
"Aduh…. Putri Abah yang cantik dan imut ini enggak kenapa-napa, kan…?"
"Enggak kok, Abah. Paman Handra pasti cuma bercanda aja."
Kedua ayah dan putrinya itu duduk di sofa ruang tamu, sedangkan Handra baru saja balik dari dapur setelah berepot-repot ria membuatkan teh hangat dan camilan untuk mereka.
"Ini." Handra menaruh nampan berisi dua gelas teh dan beberapa camilan di atas meja. "Camilannya dimakan, jangan ditelen bulat-bulat sama toples-toplesnya juga." Lalu ia duduk di sofa tunggal.
"Yeee…. Judes amat jadi laki. Pantas aja belum nikah juga," ledek pria itu jengkel sambil mengambil segelas tehnya.
"Langsung ke intinya aja, deh. Kalian ada perlu apa kemari, Suda?"
Setelah menyesap tehnya, Suda menjawab, "Selama seminggu, aku dan istriku akan pergi ke luar kota karena ada urusan kerja. Jadi, aku ingin menitipkan Arni padamu."
Selama beberapa saat, tidak ada yang bicara. Arni sibuk memakan camilan, Suda diam dengan canggung menunggu jawaban Handra, sedangkan Handra tengah berpikir.
"Tidak."
"Kenapa tidak?"
"Kenapa kau meminta orang asing sepertiku untuk menjaga putrimu? Keluargamu yang lain pada kemana?"
Suda menghela nafas. Dia sudah menduga kalau bakal sulit meminta bantuan pada Handra. Tapi bukan Suda namanya jika tidak bisa memecah kekeraskepalaan Handra. Dia sudah melakukan berbagai macam cara hingga akhirnya Handra mau menjaga Arni. Lagipula, Arni juga sudah akrab dengan Handra, walau ia akui pertemuan pertama keduanya begitu canggung.
"Kau tahu sendiri, kan? Kedua orang tuaku sakit dan sedang diurus adikku, kedua mertuaku juga sibuk kerja," jalas Suda, "Kau bukan orang asing bagiku dan juga Arni, Handra. Walau kau adik dari sepupumu yang merupakan temanku, tapi aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Oleh karena itu, aku mempercayakan Arni padamu."
"Kau hanya menganggapku sebagai adik kalau ada maumu saja."
Kalimat itu berhasil menohok hati sanubari Suda.
Suda berdehem, "Ekhem! Ayolah, bukannya sebelum-sebelumnya kau mau saja menjaga Arni?"
"Kali ini, aku juga sibuk," jawab Handra sambil bersedekap, "Masih banyak yang harus aku urus di Samarinda. Kau tahu sendiri 'kan, pekerjaanku keras?"
"Masa sibuk? Asistenmu bilang kalau kau nganggur satu bulan penuh."
Persimpangan imajiner muncul di kepala Handra, jengkel dengan asisten terkutuk yang sialnya bermulut baskom.
Mata Handra beralih ke gadis remaja berusia 16 tahun itu yang masih senang memakan beberapa camilan. Melihat wajah imut nan polos itu membuat Handra jadi tak tega. Pria itu juga sudah menganggap Arni sebagai adiknya sendiri, selama dijaga Arni sama sekali tidak membuat masalah.
Yaaa, yang mengganggu cuma sifat kekanak-kanakannya saja.
"Oke, aku akan menjaga Arni. Satu minggu."
Suda tersenyum riang, tapi ia malah menawar juga, "Dua minggu, lah. Kan aku dan istriku pergi selama dua minggu."
"Cuma bisa satu minggu."
"Ayolah…. Dua, yaaa…."
"Satu minggu, atau pinggangmu ku-Suplex, nih!"
"Oke, oke! Satu minggu! Abis itu, kau bisa titipkan ke adikku. Masih ingat alamatnya, kan?" ucap Suda jengkel, harus mengalah takut kena banting.
Beberapa lama mereka sempat berbincang-bincang ringan walau omongan Suda selalu ditanggapi dingin oleh Handra, sampai pada waktunya Suda harus segera berangkat.
"Kurasa sudah waktunya aku pergi," kata Suda setelah melihat jam tangannya, lalu beranjak dari sofa.
"Istrimu dimana?" tanya Handra, ikut beranjak dari sofa.
"Dia sudah diantar sama temannya ke bandara."
Sebelum Suda benar-benar pergi meninggalkan mereka, pria itu sempat memeluk, mencium, dan mengelus sayang kepala Arni.
"Arni, Abah pergi dulu sama Umma, ya? Arni musti jadi anak baik-baik selama seminggu ini sama Paman Handra."
Arni mengangguk patuh. "Nanti bawain oleh-oleh, ya! Seperti pesanan Arni!"
"Siap!"
Setelah berpamitan, akhirnya Suda pergi meninggalkan rumah itu dengan mobilnya. Kini hanya tinggal Handra dan Arni di rumah itu. Keduanya hanya saling adu pandang sesaat sampai Handra menutup pintu rumah, lalu pergi ke kamarnya. Tanpa Handra sadari, Arni berjalan mengikuti dari belakang.
"Paman, ayo kita main."
"Eh?!"
Handra terkejut mendengar Arni ketika baru saja ia membuka pintu kamar.
"Main apaan?" Handra melongos masuk ke dalam kamar. "Kau itu sudah anak SMA. Masa bawaanya pengen main?"
"Bukan permainan biasa, Paman. Aku ingin main Game Online denganmu."
"Main… Game Online?"
Arni mengangguk. Gadis itu pergi menuruni tangga selama beberapa saat, dan kembali masuk ke kamar Handra sambil membawa tasnya. Tas itu ia letakan di atas ranjang, mengeluarkan sebuah laptop serta satu alat berbentuk persegi panjang kecil.
Handra mengenali benda itu, benda itu merupakan VR-Scanner yang saat ini hanya mendukung satu Game Online yang bisa dimainkan, yaitu AutoTerra. Apakah mungkin Arni ingin mengajaknya main AutoTerra?
"Kau ingin mengajakku main Game AutoTerra?" tebak Handra.
"Lho, kok tahu?" tanya Arni antusias.
"Itu VR-Scanner, kan?" tanya Handra sambil menunjuk benda tersebut. "Setahuku, VR-Scanner baru bisa digunakan untuk satu game saja, yaitu AutoTerra. Bagaimana kau bisa mendapatkan perangkat itu? Orang tuamu tahu?"
"Abah yang membelikanku setelah aku berhasil mendapatkan nilai A untuk ujian Sains. Dia tentu saja tidak akan mau memberikanku barang seperti ini kalau aku tidak usaha dulu."
Kalau Handra pikir-pikir, memang benar juga. Suda dikenal sebagai orang tua yang sayang anak, tapi tidak mau sembarangan memberikan barang yang kemungkinan dapat merugikan anaknya, kecuali sang anak mampu berusaha.
"Dulu kau juga main AutoTerra, kan? Kenapa sekarang berhenti?"
Handra menghela nafas, lalu menjawab, "Dengar, Nak. Dulu aku memang main AutoTerra tiga tahun yang lalu. Tapi, aku sadar bahwa game bukanlah segala-galanya. Aku harus fokus kepada kehidupan nyataku, kerja, mengumpulkan banyak uang, lalu berencana untuk menikah. Tahun depan umurku bakal genap 30. Tidak mungkin 'kan waktu hidupku dihabiskan hanya untuk bermain game?"
Arni terdiam mendengar ceramahan Handra. Dia mengerti bahwa bermain game hanya boleh dilakukan demi mengisi waktu luang, bukan dijadikan prioritas. Tapi, situasinya sekarang Arni memang ingin menghabiskan waktu luang setelah otaknya lelah berkutat dengan ujian Sains minggu lalu. Makanya, dia mengajak Handra yang dikenal ahli bermain Game AutoTerra untuk menemaninya.
"Aku mengajakmu hanya sekedar untuk mengisi waktu luang selama masa libur," kata Arni dengan tenang, "Aku pengen saja mengajak teman-temanku, tapi mereka lebih tertarik main VRMMORPG. Padahal, game-game seperti itukan membosankan…. Bagaimana, Paman?"
"Tidak."
"Paman…!"
"Tidak."
"Ayolah, Paman…."
Arni memohon menggunakan teknik andalannya, memelas bagaikan anak kucing dengan mata indah yang selalu terlihat berkilau. Ditambah lagi wajahnya yang imut membuat siapa saja sulit untuk menolak permintaannya.
Mulut Handra begetar ingin mengatakan tidak, tapi tak tahan dengan keimutan itu. Lama-lama, gula darah Handra bisa meningkat saking berlebihan mendapatkan kadar kemanisan ini.
Akhirnya, Handra menghela nafas pasrah, "…. Baiklah. Aku akan menemanimu main Game AutoTerra."
"YEY!!!"
Arni melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil. Dia sangat senang karena pada akhirnya ia bisa bermain bersama seseorang lewat game yang selama ini sangat ingin ia mainkan.
"Baiklah! Tunggu apalagi?" Arni mengeluarkan Chip Game AutoTerra, memperlihatkannya pada Handra. "Ayo kita bersiap untuk main!"
Keduanya mulai mempersiapkan segala keperluan agar bisa memainkan AutoTerra, seperti memasang perangkat VR-Scanner pada komputer Handra dan laptop Arni, dan memasukan chip-nya ke dalam slot yang tersedia. Arni terpaksa menunggu lama setelah pemasangan perangkat ketika tahu Handra harus memperbaharui versi terbaru dari AutoTerra. Sesekali Handra menjelaskan beberapa prosedur pendaftarannya sebelum mereka bermain.
"Baiklah. Aku jelaskan sedikit cara kerja VR-Scanner ini. VR-Scanner memiliki kemampuan yang jauh melebihi perangkat VR lainnya. Pada saat pembelian, kau sudah mencocokan sidik jarimu pada VR-Scanner, bukan?"
Arni hanya mengangguk dan memperhatikan penjelasan Handra.
"Ketika diaktifkan, pengguna akan disuruh login pada game yang akan dimainkan, kemudian VR-Scanner akan melakukan scanning pada tubuh pengguna, mencocokan data pada sidik jari yang sudah dicocokan sebelumnya," jelas Handra panjang lebar, "Setelah cocok, VR-Scanner akan melakukan scanning kembali. Kali ini, scanning kedua dilakukan untuk mengirimkan tubuh kita ke dalam game."
"Maksudmu, tubuh asli kita benar-benar masuk dalam Game AutoTerra?" tanya Arni tidak begitu terkejut.
"Kau sudah tahu? Alat teleportasi zaman sekarang sudah dikembangkan, salah satu teknologi teleportasi legal yang digunakan untuk industri hiburan adalah VR-Scanner. VR-Scanner bekerja dengan scanning seluruh tubuh, menerjemahkannya dalam bentuk rangkaian data, lalu menguraikan partikel-partikel tubuh kita dalam waktu singkat, memindahkannya dari dunia nyata ke dunia virtual. Sangat berbeda dengan game-game VR lain yang menggunakan perangkat pendeteksi saraf seperti helm atau kapsul sebesar kasur. Teknologi VR-Scanner baru bisa diterapkan pada AutoTerra. Aku sendiri kurang mengerti cara kerja VR-Scanner sendiri, tapi kurang lebih seperti yang kujelaskan tadi."
Arni terlihat berpikir, "Hmm…. Mungkin seperti penggunaan teknologi untuk menyimpan perangkat nyata ke dalam sistem virtual? Dan itu sudah diterapkan pada makhluk hidup seperti kita?"
"Mungkin begitu. Yaaa…, kurasa kita tidak perlu memikirkannya, kita hanya perlu memainkannya saja, bukan?"
"Tepat sekali!"
Setelah menunggu satu jam pembaharuan, keduanya mulai membuat akun mereka. Handra sudah memiliki akunnya sendiri sebelumnya, tapi karena kemunculan server baru dan harus menemani Arni juga, maka Handra membuat akun baru pula.
"Sebelum masuk ke dalam Game AutoTerra, pakai ini."
Handra menyerahkan sebuah earpiece pada Arni yang langsung dipasang di telinganya.
"Benda itu berguna untuk kita tetap bisa berkomunikasi lewat voice call pribadi, komunikasi pada pemain yang offline/online, dan komunikasi saat salah satu atau kita berdua mengalami respawn setelah dikalahkan musuh."
"Aku mengerti. Ini pasti akan sangat menyenangkan!" ucap Arni antusias.
Handra tersenyum sekilas melihat kebahagian Arni. Dia sendiri tak menyangka bakal kembali memainkan AutoTerra setelah lama berhenti. Demi membuat Arni bisa merasa betah dijaga olehnya, Handra terpaksa harus ikut bermain dengannya pula.
Lagipula, ini hanya sementara bukan?
Cahaya hijau membentuk jaring siap melakukan scanning tubuh lewat VR-Scanner. Handra dan Arni sama-sama menatap monitor masing-masing dengan serius. Keduanya siap untuk masuk ke dalam dunia game yang sebenarnya.
"MULAI!"
~*~*~*~