Chereads / Game Ď Logic / Chapter 31 - Chapter 4: x / 2y = 『 Humanless Alliance 』 Part 5

Chapter 31 - Chapter 4: x / 2y = 『 Humanless Alliance 』 Part 5

– There is a little girl who is playing with Gamers –

Kerajaan Rinea -- «Betting Game» berskala besar yang mempertaruhkan takdir werebeast.

Sejak permainan dimulai, orang-orang menyaksikan kemampuan Ruri untuk memanipulasi kemungkinan, dan membuat mereka percaya pada pemikiran bahwa kelompoknya akan memenangkan Game ini dengan mudah.

Namun sejak giliran melempar dadu jatuh di Kerajaan Rinea, hampir semua orang justru berpikir sebaliknya.

Tangga yang akan membunuhmu saat digunakan, ular raksasa yang bukan cuma menjatuhkanmu tapi juga mengakhiri kehidupanmu.

Sedangkan lawanmu mendapat kualifikasi memakai tangga selayaknya permainan ular tangga pada umumnya—koreksi, bahkan bagi mereka lubang ular juga bisa digunakan sebagai tangga.

Hasilnya, dalam Game ini, leader yang «Humanless Alliance» harapkan mampu memutar balik keadaan hanya bisa memohon agar lawannya mengundurkan diri dari permainan.

---Melihat kenyataan menyedihkan ini, orang-orang mengubah pikiran mereka tentang kelompok mana yang akan memenangkan Game.

Dan sekarang, permainan dilanjutkan—bukan, dihentikan untuk sementara lebih tepatnya.

Saat semua orang menyaksikan wajah seorang gadis manusia 14 tahun—Altina, yang terus-menerus bicara meskipun berbagai perasaan pahit mulai menusuk hatinya saat setiap kata satu per satu keluar dari mulutnya.

"Anak werebeast itu, selalu tersenyum padaku! Tertawa dan aku pun merasakan hal yang sama karenanya... aku...! Itu adalah bagiku... hari-hari terbaik dalam hidupku!!"

Altina bicara keras dan menunjukan sisi yang tidak biasanya dia tunjukan.

"Tapi saat usia kami menginjak delapan tahun... tuan yang selalu melindunginya—orang yang sangat dia sayangi itu—meninggalkannya karena penyakit. Itu membuatnya sangat, sangat sangat sedih, dan...."

Altina memegang dadanya yang menjadi sakit, dan air mata mulai turun dari pipinya. Selanjutnya, dia melanjutkan, saat—

"Anak itu mulai berubah. Senyuman yang dia tunjukan tidak lagi sama seperti dulu—aku merasa kalau—"

- Itu palsu. Senyuman itu palsu.

Altina mengatakannya saat tangan yang mencengkram dadanya semakin erat.

"Waktu yang kami habiskan bersama, sedikit demi sedikit berkurang. Saat aku tahu, tokonya hancur dan anak itu bekerja di tempat lain. Aku tahu kalau dia tersiksa karena pekerjaannya, aku tahu kalau orang yang biasa menolong dan memanjakannya sudah tidak ada lagi di sisinya. Itulah kenapa...kena, pa....dia bilang kalau----------anak itu bilang padaku—'Selamat tinggal'...! dan juga....—"

---- Al-chan, selamat tinggal... maaf ya, dan—terima kasih.

"Meminta maaf, dan juga berterima kasih padaku!"

..... Lalu, di hari itu, hari di mana mereka berdua berpisah, Altina kecil pun akhirnya berpikir:

-- Menjadi budak akan menyelamatkan para werebeast.

-- Werebeast hanya perlu hidup di bawah orang lain, dengan begitu mereka akan—bahagia, kan?

Sama seperti saat ini, Altina kecil berpikir sambil menahan rasa pahit di dadanya dan menangis.

"Aku...!"

Altina mencari kata-kata yang ia inginkan untuk meneruskan, pandangannya beralih ke sana-sini.

Namun, pandangannya tidak melihat kata-kata itu. Satu-satunya hal yang terpantul di mata Altina adalah sebuah layar biru yang besar, dan ribuan orang yang melihatnya dari sisi lain.

Dan pandangan itu tiba-tiba saja kabur.

"Aku…"

Meski dia memulainya lagi, Altina masih tidak bisa menemukan kata-kata itu.

-- Apa yang harus aku katakan? Aku sudah mengatakan apa yang ingin aku katakan. Kata-kata yang telah kurasakan dan kupikirkan itu telah kukatakan.

Altina bertanya lagi dan menumpukkan semua itu dari awal.

-- Aku seharusnya sudah memikirkan kata-kata untuk saat-saat ini. Sejak aku tahu hari ini akan datang, sejak aku memulai penebusan dosaku. Tapi, benar-benar tak ada lagi yang tersisa. Ahh... Aku paham. Pada akhirnya, hal-hal yang coba aku katakan, tidak peduli di mana aku dan tidak peduli seberapa banyak pun aku memikirkannya, itu hanyalah pemikiran bodoh yang lahir dari keegoisanku sendiri.

Meski begitu, Altina masih mencari kata-kata yang perlu ia katakan, yang ingin sang putri kerajaan katakan meskipun dia tidak sepenuhnya memahaminya. Namun itu tidak seperti mereka akan mengerti meskipun gadis kecil itu mengatakannya. Dan itu juga tidak akan berguna hanya dengan mengatakannya saja.

-- Aku tidak ingin kata-kata. Tapi tentu ada hal lain yang aku inginkan.

Dan aku yakin itu bukanlah sesuatu seperti ingin semua orang memaafkanku, memahami perasaanku, dan menerima keinginanku yang egois.

Aku tidak ingin untuk dipahami. Aku tahu bahwa aku tidak sedang dipahami, dan aku tidak merasa aku ingin dipahami. Apa yang kuinginkan adalah sesuatu yang lebih keras dan kejam. Aku ingin memaksa, mengikat, dan aku ingin agar semua orang mengikuti keinginanku. Aku ingin mengikat semua orang dalam keinginanku yang egois, dan memaksa mereka mengikuti pemikiranku.

Itu karena aku takut jika hal yang terjadi pada 'dia' juga akan terjadi pada orang lain. Itu karena aku ingin menebus dosaku karena telah membiarkannya menderita.

Aku tahu bahwa untuk ingin semua orang mengikuti cara berpikirku merupakan suatu keinginan yang munafik, lalim, dan angkuh. Itu sepenuhnya menyedihkan dan memuakkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa jijik pada diriku sendiri untuk memiliki keinginan seperti ini.

Aku tahu bahwa untuk bisa melakukan itu sepenuhnya tidak mungkin. Aku tahu itu adalah sesuatu yang tidak bisa diraih tanganku.

Harapan fantasi yang tidak dapat digapai tanganku itu tanpa diragukan lagi asam.

Tapi aku tidak perlu sesuatu seperti kenyataan yang begitu palsunya manis.

Apa yang kuinginkan adalah harapan yang asam itu.

Meskipun itu asam, meskipun itu pahit, meskipun itu menjijikan, meskipun itu penuh dengan racun, meskipun itu tidak ada, meskipun aku tidak bisa meletakkan tanganku padanya, meskipun aku tidak diizinkan untuk menginginkannya.

"Meski begitu…"

Aku paham bahwa suara yang keluar entah kapan itu bergetar.

"Meski begitu, aku… .... ingin semuanya...."

Aku mati-matian menahan perasaan ingin menangis tersedu-sedu itu. Meskipun aku sudah menelan suara dan kata-kataku, perasaan itu terus keluar dalam pecahan-pecahan kecil. Gigiku akan menggertak dengan ribut dan kata-kataku dipaksa keluar dengan sendirinya.

"Aku ingin werebeast, semuanya.....------"

Kata-kataku berhenti pada kalimat itu. Aku sadar bahwa aku harus terus meneruskannya.

Aku menelan semua perasaan yang membuatku ragu di dalam diriku. Mulutku merasakan sensasi aneh yang membuat kata-kata itu menjadi sulit untuk dikatakan. Namun, aku tetap harus mengeluarkannya.

Meskipun aku tahu hal kejam apa yang tersembunyi di balik kata-kataku nantinya, dan meski itu mungkin hanyalah ilusi yang aku buat-buat.

"Meski begitu, aku ingin semua werebeast tidak merasa sedih lagi!"

.......

Sungguh memalukan untuk menuntut sesuatu dari orang lain dengan suara berkaca-kaca dan menyedihkan ini. Aku tidak ingin menerima diriku yang seperti ini. Aku tidak ingin menunjukannya. Aku tidak ingin siapa pun melihatnya. Bahkan hal-hal yang kuucapkan itu kacau balau. Tak ada logika apa pun atau pun sebab-akibat di mana pun. Ini hanyalah sekumpulan omong kosong------

"Dasar, orang bodoh memang tidak sadar tentang betapa bodohnya diri mereka, yah?"

Apa? Siapa yang bicara—tidak, aku tahu itu suara yang pernah aku dengar, suara dari orang yang familiar, yang membuatku terus-menerus mengatakan semua ini.

Dan orang itu sekali lagi mengejekku.

"Kau salah, kau membuat banyak kesalahan dalam cara berpikirmu, Altina-chan. Tapi..."

Dengan nada yang seperti senyuman, dia melanjutkan.

"Aku tidak bilang kalau itu sepenuhnya kesalahanmu, karena kamu tidak sepenuhnya memahaminya.... bukan—kamu bahkan tidak sama sekali memahaminya. Karena—kebenaran memang sulit untuk dipahami, itulah kenapa orang bodoh sepertimu sering salah paham."

Sudah cukup, aku sudah cukup mendengarnya. Aku tidak ingin mendengarnya lagi.

Aku khawatir, ketakutan, lalu menutup mata dan telingaku.

Aku takut seseorang akan mengatakan kalau yang aku lakukan selama ini salah. Aku takut aku akan mengkhianati perasaanku yang tidak ingin 'dia' menjadi sedih.

"Jadi biarkan aku mengatakan ini, Altina-chan..."

Tidak! aku tidak mau!!

Berhenti, kumohon berhenti.... hentikan, tolong....

".... Akan kuobati kebodohanmu."

....

Hh....?

Suara itu memang pelan, dan aku hampir tidak bisa mendengarnya karena aku menutup telingaku dengan tanganku.

Tapi... entah kenapa.

Ada yang—terasa hangat-------'di sini'.

Itu adalah kalimat yang paling ingin aku dengar sejak enam tahun yang lalu. Sejak, hari di mana semua ini dimulai.

Perlahan, aku membuka mata dan juga telingaku.

---Mataku berkedip beberapa kali dan melebar saat seluruh tubuhku membeku.

Kenapa kamu.... ada di sana?

Ini lantai sepuluh, tahu? Ruangan ke-98, kamu tahu? Bagaimana bisa...?

----Tunggu, aku melihatnya lagi dan memaksa otakku berpikir, dia memang ada di sana, tapi...

Dia, orang itu ada di sebuah ruangan berwarna putih—bukan, itu bukanlah ruangan sama sekali, melainkan dunia itu sendiri yang telah berubah.

Dalam dunia ini, hanya ada orang itu dan aku—kami berdua, tak ada lagi orang lain.

Lalu, aku menyadarinya, bahwa—yang aku lihat tak lebih dari ilusi.

"Dengar ya, aku akan menyelesaikan semuanya dengan Game ini—jadi, penderitaan, rasa bersalah dan juga dosa-dosamu, lupakan saja semuanya."

Aku menyadarinya bahwa dunia ini hanyalah ilusi, aku tahu kalau kata-kata yang ia ucapkan mungkin juga tak lebih dari ilusi yang ingin aku dengar, meski begitu—bukan, justru karena itulah, karena ini tak lebih dari dunia ilusi, aku ingin terus berada di sini. Karena...

- Dia mengusap kepalaku.

Hangat... rasa nyaman ini adalah--------yang sudah lama aku lupakan.

Aku ingin orang itu terus melakukannya.

Tapi di bawah rambut putihnya, dia hanya tersenyum—dan menghilang.

Kenapa...?

"Hmm, kalau kamu tanya kenapa.... yah, itu karena Altina-chan sangat menyukai werebeast, mungkin?"