HALAMAN rumah lurah bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana malam terang benderang oleh puluhan obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah tak dapat menahan kesabarannya
lagi untuk mencincang dengan segala senjata yang mereka bawa, kedua manusia yang saat itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada lain daripada anak-anak buah Tapak Luwing yang telah dirobohkan oleh Pendekar 212. Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya juga berada dalam pengaruh totokan Wiro Sableng.
Kratomlinggo berdiri di samping Ki Lurah Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka berdiri tenang-tenang Wiro Sableng. Kratomlinggo barusan saja menerangkan apa yang diketahuinya tentang kedua orang itu kepada Ki Lurah dan juga apa yang telah terjadi di tepi sungai dekat jembatan.
Bola mata Ki Lurah Kundrawaana pulang balik memandangi Wiro Sableng dan kedua anak buah Tapak Luwing. Saat itu Lurah Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan hati dan mengendalikan amarahnya. Untuk sesaat lupa dia bahwa anaknya masih berada di dalam tawanan Tapak Luwing dan Tapak Luwing sendiri saat itu tidak berhasil ditangkap!
"Saudara-saudaraku se-Bojongnipah…," kata Kundrawana seraya maju beberapa langkah ke hadapan penduduk yang berdesak-desakan. "Sekarang kurasa sudah waktunya untuk menerangkan kepada kalian apa sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak gila itu! Aku dengan hati hancur dan seribu satu kepahitan telah terpaksa menerima segala kata-kata dan cap yang kalian lemparkan padaku! Kalian mencap aku sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian cap aku sebagai lintah darat, sebagai tukang tindas... sebagai ini, sebagai itu, semuanya aku terima! Namun hari ini, malam ini kalian terimalah juga satu penuturan dariku, satu kenyataan yang menyebabkan terjadinya pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah berkata bahwa pajak itu dipungut atas perintah Raja!
Untuk pembangunan dan pemeliharaan balatentara Kerajaan. Kini kuakui itu semua hanya alasan belaka, hanya dusta besar yang aku karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku dan juga menyelamatkan kalian semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak ketahui ..."
Penduduk Bojongnipah saling pandang memandang satu sama lain penuh ketidakmengertian.
Ki Lurah Kundrawana menyapu wajah mereka seketika lalu meneruskan bicaranya.
"Tadi kalian sudah dengar semua keterangan Kratomlinggo. Ini satu kenyataan bagus yang dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi biar aku beri penjelasan lebih lengkap. Dua manusia yang terikat itu adalah anak buah Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel, komplotan rampok-rampok bejat yang dikepalai oleh Tapak Luwing yang berhasil melarikan diri ditolong oleh seorang tak dikenal. Jadi ketiganya sama sekali bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten seperti yang mereka sengaja menyamar pagi tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu malam mereka telah datang ke rumahku dan memaksaku untuk menarik pajak sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku harus menarik pajak sebanyak sebelas kali terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus kuserahkan pada mereka sedang yang satu bagian sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati di mana Adipati Linggajati kemudian meneruskan ke Kotaraja…
Aku coba untuk melawan. Tapi di samping mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa berbuat apa-apa karena anakku satu-satunya mereka bawa! Anakku akan mereka bunuh kalau pajak itu tidak aku pungut dari penduduk di sini! Kalian bisa merasakan dan mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan lain bagiku untuk membantah, kecuali kalau ingin putera tunggalku rnenemui kematiannya…!".
Suasana malam sesepi dipekuburan kini! Penduduk sama menganga dan terlongong-longong.
Tentu saja hal ini tiada diduga sama sekali oleh mereka. Dan serentak pula dengan itu maka menggelegaklah kemarahan penduduk. Ketika seseorang di antara mereka berseru: "Cincang dua bangsat ini!," maka menyerbulah penduduk Bojongnipah dengan senjata masing-masing. Namun disaat itu pendekar 212 maju ke muka dan berseru nyaring. Sengaja seruannya itu disertai tenaga dalam untuk mempengaruhi. penduduk yang tengah marah itu.
"Saudara-saudara, jangan ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi kalian harus ingat pada nasib anak Lurah kalian! Karena itu biarkan aku bicara sebentar dengan salah satu dari mereka… !"
Kalau saja penduduk tidak mendapat keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya pemuda berambut gondrong itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil peduli akan ucapan Wiro Sableng, lagi pula tenaga dalam si pemuda diam-diam sudah meresap mempengaruhi mereka!
Wiro mendekati anak buah Tapak Luwing yang terikat di tiang langkan sebelah kanan.
"Namamu siapa, sobat?," tanyanya.
Laki-laki itu diam saja. Hanya kedua bola matanya berputar menyorot melontarkan pandangan sangat membenci dan mendendarn.
"Eeeh rupanya bekas tanganku membuat kau jadi tuli, huh!".
"Keparat! Tak usah banyak bicara… Kelak hari pembalasan dari pemimpinku Tapak Luwing akan tiba! Kalian semua di sini akan dikirim ke neraka!".
Wiro Sableng menyeringai.
"Mungkin kau dan kawanmu yang akan lebih dahulu di cincang penduduk sampai lumat!" kata
Wiro Sableng pula. "Tak usah banggakan pemimpinmu! Dia sudah kabur bersama seorang kawannya!".
Keterangan ini mengejutkan kedua anak buah Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman tadi mereka tidak melihat pemimpin mereka dan tak tahu berada di mana.
Dan Wiro berkata lagi: "Aku mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan Adipati di Linggajati. Katakan saja terus terang .... Anak buah Tapak Luwing diam.
"Katakan!," bentak Wiro.
Sebaliknya laki-laki itu meludah ke lantai. "Beset saja mulutnya!," teriak Kratomlinggo yang sudah tak sabaran.
"Kau tak mau kasih keterangan?" tanya pendekar 212.
Anak buah Tapak Luwing itu meludah sekali lagi ke lantai langkan!
Wiro tertawa.
Dijangkaunya sebuah obor yang dipegang oleh seorang penduduk.
"Pernah rasa panasnya api?," tanya pendekar ini dengan tertawa-tawa. "Tampang tampang macammu ini akan lebih keren bila disundut begini rupa!".
Wiro Sableng lantas menyorongkan api obor ke muka laki-laki itu. Anak buah Tapak Luwing tak sanggup gerakkan kepalanya karena tertotok. Keluhan kesakitan terdengar tiada henti. Udara malam kini berbau hangusnya bulu mata, alis dan sebagian rambut laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan merah terbakar.
"Mau sekali lagi?!," tanya Wiro dengan tertawa-tawa.
"Aku bersumpah kalau lepas akan membunuhmu dan tujuh keturunanmu!," kata anak buah Tapak Luwing penuh penasaran.
"Jangan ngaco! Kau tak akan lepas dari sini. Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu saja! Dan aku belum punya keturunan…!". Pendekar muda itu tertawa mengekeh. Mau tak mau orang banyak yang menyaksikan itu jadi ikut-ikutan geli.
"Ayo, katakan apa hubunganmu dengan Adipati Linggajatit," bentak Wiro seraya mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu.
"Tak ada hubungan apa-apa…!," jawab anak buah Tapak Luwing.
"Ah… ini satu kebohongan atau kedustaan?!".
"Aku tidak dusta. Tidak bohong!".
"Lantas apa perlumu pagi tadi menyamar bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit Kadipaten…?".
"Itu bukan urusanmu!".
"Oh begitu? Memang bukan urusanku. Tapi urusan api obor ini!". Dan sekali lagi api obor menjilati muka laki-laki itu. Dia menjerit-jerit. Wiro menunggu sampai beberapa detik di muka. "Mau kasih keterangan apa tidak?" tanyanya.
"Aku akan terangkan… !" berkata juga laki-laki itu pada akhirnya.
Wiro tersenyum. Dilariknya obor kembali. "Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua orang dengar!".
Maka anak buah Tapak Luwing itupun memberikan penuturan: "Adipati Seta Boga dari Linggajati mengirimkan seorang utusan pada kami. Dia telah membuat rencana untuk melakukan pemerasan di sini. Kami ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak itu dengan perjanjian hasilnya dibagi dua. Pemimpin kami menerimanya dan… dan…".
"Sudah. Itu sudah cukup terang!" kata Wiro Sableng pula.
Ki Lurah Kundrawana maju ke muka. "Jadi ini semua dibiangi oleh Adipati Seta Boga ...?".
"Ya...".
"Kita harus tangkap Adipati itu!" teriak penduduk.
"Gantung saja bersama kunyuk-kunyuk yang dua ini!" teriak yang lain.
Pendekar 212 angkat tangan kirinya. "Soal Adipati itu serahkan padaku," katanya.
"Yang penting kini ialah menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…".
Tersiraplah darah Ki Lurah Kundrawana bila dia ingat kembali akan anaknya.
Dijambaknya rambut anak buah Tapak Luwing. "Anakku di mana kalian sekap?!" tanyanya.
Laki-laki itu tertawa buruk. Sangat buruk, apalagi melihat mukanya yang hangus dan merah mengelupas. "Jangan harap anakmu akan selamat Kundrawana!"
Kundrawana menyentakkan kepala laki-laki itu. "Dimana?!".
"Mungkin sudah mampus di tangan pemimpinku!"
Kundrawana mengambil obor dari tangan Wiro Sableng. Anak buah Tapak Luwing menjerit keras ketika obor itu disodokkan ke mata kanannya, Mata itu pecah dan darah meleleh di kulit mukanya yang mengelupas hangus!
"Kedua matanya akan kubikin buta keparat! Kecuali, kalau kau segera menerangkan di mana anakku kalian sekap!".
Laki-laki itu sebenarnya menyadari bahwa kalau sudah tertangkap demikian rupa dirinya tak akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah percuma saja baginya untuk memberikan keterangan. Namun dalam diri manusia yang berkeadaan seperti anak buah Tapak Luwing saat itu, walau bagaimanapun senantiasa selalu terdapat sekelumit harapan untuk bisa menyelamatkan diri sehingga ancaman matanya akan dibutakan kedua-duanya itu mau tak mau mengerikannya juga!
Maka diapun memberikan keterangan : "Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit Kulon…".
Lega sedikit hati Kundrawana. "Tapi," katanya, "bila aku datang ke sana anakku tidak ada atau kutemui dia dalam keadaan sudah mati jangan harap kau bisa melihat dunia ini sampai esok lusa!". Kini pendekar 212 yang buka suara : "Saudara-saudara apapun yang kalian lakukan terhadap dua kunyuk ini, itu bukan urusanku lagi. Tapi sedapat dapatnya jangan diapa-apakan dulu dia sebelum anak Ki Lurah ketemu dalam keadaan selamat. Soal Adipati Seta Boga di Linggajati, serahkan padaku. Besok kalian bisa mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan apakah dalam keadaan masih bernafas atau tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri!
Sekiranya dia masih hidup, ada baiknya kalian giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat tinggal!".
"Saudara tunggu dulu!" seru Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat kepala-kepala penduduk Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
* * *
HANYA sebentar suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok tubuh pendekar 212 sudah lenyap ditelan kegelapan malam maka lupalah penduduk Bojongnipah akan pesan pendekar itu. Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak buah Tapak Luwing yang berada dalam keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan dan tertotok. Puluhan senjata laksana hujan bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh kedua orang itu. Tiada terdengar suara jeritan kedua orang ini, rintihanpun tidak! Mereka telah menemui nasib pembalasan atas kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan nafas dengan tubuh mandi darah dan muka hancur tak bisa dikenali lagi.
Ki Lurah Kundrawana tidak menyaksikan lagi apa yang diperbuat penduduk Bojongnipah itu. Bersama Kratomlinggo dan tiga orang lainnya, dengan menunggangi kuda, dia meninggalkan Bojongnipah menuju Parit Kulon, sebuah pesawangan yang jarang didatangi manusia, terletak kira-kira empat kilometer dari desa. Satu-satunya bangunan di Parit Kulon adalah kuil tua yang diterangkan anak buah Tapak Luwing. Karenanya meskipun malam tak sukar untuk mencarinya.
Ki Lurah Kundrawana menyalakan obor yang dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya dia masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia menemui anaknya dalam keadaan menyedihkan namun Kundrawana merasa lega dan gembira karena anak satu-satunya itu ternyata masih bernafas. Anaknya tidur di ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor. Tubuhnya kurus dari parasnya pucat karena tak terurus. Tangan dan kakinya diikat. Kundrawana bertutut lalu memeluk anaknya itu. Kratomlinggo membuka tali yang mengikat tangan serta kaki si anak yang saat itu sudah bangun. Tetesan air mata mengalir di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata kali ini adalah air mata gembira.
Sementara itu di tempat lain ....
Tapak Luwing merasa tubuhnya yang kaku karena ditotok itu dibawa lari dalam kegelapan malam oleh seseorang. Bila sinar bulan yang tidak begitu terang menyeruaki pohon-pohon sepanjang jalan yang mereka lalui dan menyinari paras laki-laki itu samar-samar. Tapak Luwing terheran dan berpikir-pikir. Laki-laki yang membawanya berlari itu tidak dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan ke mana manusia ini mau membawanya! Kemudian apakah dia seorang yang akan menolongnya atau bukan? Tapi melihat gelagat dan ucapannya terhadap pemuda berambut gondrong tadi Tapak Luwing bisa sedikit memastikan bahwa laki-laki ini tidak bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam hatinya merasa lega. Maka bertarryalah dia: "Sobat, kau siapakah?".
"Jangan banyak tanya dulu!" menjawab orang yang memanggulnya. Suaranya besar dan parau, larinya laksana angin.
"Kita ini kemanakah?," tanya Tapak Luwing lagi.
"Aku bilang jangan bertanya apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!"
Tapak Luwing penasaran sekali. Namun dia menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui oleh Tapak Luwing tentang orang yang memanggul dan membawa larinya yaitu laki-laki itu puntung tangan kanannya sampai sebatas bahu!
Ketika sampai di sebuah telaga kecil akhirnya laki-laki bertangan buntung itu menghentikan larinya. Tapak Luwing diturunkan dan disandarkan ke sebatang pohon di tepi telaga. Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Tapak Luwing.
"Atur nafas dan jalan darahmu. Kerahkan tenaga dalam!" berkata si tangan buntung. Tapak Luwing segera melakukan hal itu. Tidak disuruhpun memang semustinya dia sudah bermaksud demikian, sesuai dangan setiap ajaran ilmu silat dari aliran dan golongan manapun.
Kemudian dengan tangannya yang cuma satu laki-laki itu dengan cekatan mengobati lengan Tapak Luwing yang patah dan membalutnya dangan secarik kain.
"Aku berhutang budi dan nyawa padamu sobat," kata Tapak Luwing.
Laki-laki yang menolongnya tertawa. "Ada hutang ada piutang…," katanya di antara tertawanya, "ada budi ada balas".
"Maksudmu sobat?" tanya Tapak Luwing. "Di satu hari kelak pertolongan yang kuberikan padamu ini akan kutagih…".
Tapak Luwing kerenyitkan kening. "Tidak kau tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti akan membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau bersedia ikut ke Kali Comel, aku akan hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan dan uang seberapa saja kau suka"
Si tangan buntung menyeringai. Gigi-giginya hitam kecoklatan. "Aku tidak butuh semua itu," desisnya. Dipegangnya balutan di lengan Tapak Luwing. Sesaat kemudian Tapak Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh merembas ke dalam tubuhnya. Tubuhnya menjadi segar kini dan rasa sakit pada lengannya yang patah itu berkurang.
"Terima kasih," kata Tapak Luwing. "Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak Luwing..."
"Aku tahu siapa kau. Aku sudah lama dengar tentang komplotanmu yang malang melintang di sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu bahwa kau berada di sekitar sini, timbul satu maksud untuk menemuimu".
"Apakah maksud itu?" bertanya Tapak Luwing. "Tadi aku sudah bilang, ada hutang ada piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak aku membutuhkan tenagamu…!".
"Jangan khawatir, aku pasti bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?".
"Kau tak usah tahu untuk keperluan apa. Kau nanti akan tahu juga. Dengar, nanti pada hari tiga belas bulan dua belas kau harus datang ke Gunung Tangkuban Perahu…"
"Gunung Tangkuban Perahu…?".
"Ya. Masih kira-kira delapan bulan dari sekarang. Dan satu hal harus kau ingat. Jangan sekali-kali coba kembali ke desa Bojongnipah untuk buat perhitungan dengan Ki Lurah Kundrawana, salah-salah kau bisa ketemu dengan bangsat yang telah mencelakaimu tadi!
Walau bagaimanapun untuk saat ini kau tak akan mampu menghadapinya! Ada saat untuk menyelesaikan urusan dengan dia. Karena itu kau musti datang ke Tangkuban Perahu pada hari tiga belas bulan dua belas nanti. Dengar?"
Tapak Luwing mengangguk. "Kau tahu siapa bangsat itu agaknya?," dia bertanya.
"Angka pengenalnya telah dituliskannya dikeningmu".
Terkejutlah Tapak Luwing. Dirabanya keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang kulit kening itu agak kesat dari sebelumnya.
"Berkacalah ke telaga itu".
Tapak Luwing merangkak ke tepi telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga yang jernih itu dan di bawah penerangan sinar bintang-bintang serta bulan sabit samar-samar dilihatnya tertera tiga buah angka. Angka 212 ! Tapak Luwing memandang keheran-heranan pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi mukanya di air telaga. Diusapnya keningnya.
Diusapnya lagi sampai beberapa kali tapi angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya keningnya dangan air telaga lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap saja angka 212 itu tidak mau hilang!
"Dengan apapun dan cara bagaimanapun angka itu tak akan bisa pupus dari keningmu Tapak Luwing! Angka itu ditera dengan telapak tangan yang mengandung tenaga dalam dan kesaktian yang luar biasa. Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke batok kepalamu maka pada tulang batok kepalamupun angka itu sudah meresap!"
"Siapa sesungguhnya manusia muda berambut gondrong dengan angka pengenal 212 itu…" tanya Tapak Luwing pula.
"Namanya Wiro Sableng. Dia sakti sekali…" jawab si tangan buntung. "Tapi," katanya kemudian menambahkan, "dihari tiga belas bulan dua belas nanti, kelak ajalnya akan sampai!".
Diam-diam, meskipun si tangan buntung tidak menerangkan tapi Tapak Luwing tahu, kini bahwa antara si tangan buntung dan pemuda rambut gondrong yang telah mencelakainya itu terdapat sangkut paut dendam kesumat.
"Selama waktu delapan bulan mendatang," berkata lagi si tangan buntung, "kuanjurkan kepadamu untuk berlatih ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih hebat."
Tapak Luwing mengangguk.
Si tangan buntung berkata: "Sekarang kita berpisah. Jangan lupa hari tiga belas bulan dua belas itu. Dan jangan coba-coba untuk tidak memenuhi perintahku ini…"
"Kau mau kemana sobat?"
"Urusanku masih banyak…"
"Tapi kau masih belum menerangkan namamu".
"Namaku Kalingundil!"