SUARA beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematian serta suara mereka yang merintih dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana maut yang menggidikkan!
Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma!
Pertempuran itu berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa.
Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak.
Kutungan-kutungan tangan serta kaki!
Di dalam istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang mempertahankan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak meski jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan senjata lawan!
Istana yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda seperti suasana dalam neraka! Mayat dan darah kelihatan di mana-mana. Pekik jerit kematian tiada kurung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak poranda. Pihak yang bertahan semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai yang dulu licin berkilat tapi kini dibanjiri oleh darah!
"Wira Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!," teriak seorang laki-laki berbadan kekar dan berkumis melintang. Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun mengenakan pakaian perwira kerajaan.
Bradja Paksi -- kepala balatentara Banten -- menggerang dan balas membentak.
"Bangsat pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan menyerah!" Wiro Sableng
Parit Wulung -- laki-laki yang berkumis melintang itu -- tertawa bergelak.
Sebelumnya dia adalah perwira pembantu atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu telah tersesat dan memberontak terhadap kerajaan !
"Mengingat hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!"
Parit Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan pedangnya pula.
"Trang!"
Bunga api berkilauan.
Tangan Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian Bradja Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama.
Seorang berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti singa.
"Parit Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!"
Melihat siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama segera ke luar dari kalangan pertempuran. "Resi Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk jadi korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!"
Manusia muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk.
Tangan kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala balatentara Banten.
Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal pemberontak!". makinya.
"Nyawamu di ujung pedangku!," Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat cepat sekali.
"Bret !"
Robeklah pakaian putih Singo Ireng !
Maka marahlah Resi ini. "Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!".
Tangan kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam.
"Bradja Paksi awas! Itu pukulan wesi item!," terdangar teriakan seseorang yang tengah bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang tengah istana.
Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh dan enteng gesit mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten !
Terkejutlah Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam segera dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka sinar hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan.
Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam, terlempar ke dinding istana lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur pakaian dan tubuhnya hangus hitam!
Resi singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang!
Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia menerjang, tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patah-patah!
Sebagai patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna dan hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di hadapan Resi itu.
"Ha… ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…"
"Tak perlu banyak mulut. Terima ini…!" hardik sang patih. Pedangnya bergulung dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo Ireng. Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan pukulan "wesi ireng"-nya.
Melihat lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah menjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan "mutiara penabur nyawa!" Parit Wulung yang tahu kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi peringatan pada Singo Ireng.
"Awas, itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !"
Mendengar ini maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen.
Sinar hitam dan sinar putih berkiblat saling papas.
"Akh...."
Tubuh patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya berkelojotan seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh.
Sambil gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya.
Di situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang.
Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng memiliki tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki tampang persis seperti macan!
"Kau tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng, sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam Singo Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan kakaknya itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah menolongnya dengan pukulan "sinar surya tenggelam" tadi!