Chereads / Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 / Chapter 38 - Tapak Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta

Chapter 38 - Tapak Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta

PUNCAK Gunung Halimun….

Puncak gunung ini kelihatan diselimuti awan putih. Bila angin barat bertiup maka beraraklah awan itu kejurusan timur dan Puncak Gunang Halimun kembali kelihatan dengan jelas dan megah.

Selewatnya tengahari, sesosok tubuh berlari laksana angin, menuju ke puncak gunung.

Semakin ke puncak udara semakin sejuk serta segar. Laki-laki itu mempercepat larinya seakan-akan tak sabar untuk lekas-lekas sampai ke tempat yang ditujunya. Maka lewat sepeminuman teh sarnpailah dia ke puncak tertinggi dari gunung itu.

Dia memandang berkeliling. Kernana mata memandang hanya bebatuan saja yang kelihatan. Mulai dari kerikil-kerikil kecil sampai kepada unggukan-unggukan batu besar sebesar-besar rumah! Di kaki-kaki batu-batu besar yang rata-rata licin berlumut itu tumbuh rumput-rumput liar. Laki-laki itu bertangan bunting. Dia tak lain adalah Kalingundil. Mengapa dia berada di puncak gunung ini ialah dalam meneruskan rencana besarnya yaitu membalaskan dendam kesumat terhadap pendekar 212 Wiro Sableng.

Kalingundil dengan gerakan yang enteng melompat ke salah satu batu besar. Seseorang yang tidak memiliki ilmu meringani tubuh yang ampuh pasti tak akan sanggup mernbuat lompatan lihay itu, kalaupun dapat mungkin begitu menginjak batu, kakinya akan terpeleset karena lincinnya lumut!

Kalingundil memandang keseantero puncak gunung yang telah mati itu. Di antara unggukan-unggukan batu-batu rnaka di tengah-tengah kelihatanlah kawah yang besar yang sudah padam.

Kawah ini berbentuk kerucut dan dalarn sekali. Kalingundil melompat lagi ke batu besar yang lebih tinggi. Sekali lagi dilayangkannya pandangannya ke seantero puncak gunung. Bila dia sudah yakin betul bahwa tempat kediaman orang yang hendak ditemuinya itu bukalah di permukaan puncak gunung maka segeralah dia melompat ke tepi kawah. Dari sini dia terus turun ke dalam kawah.

Selain dalam, kawah Gunung Halimun sukar sekali untuk dituruni. Tapi Kalingundil dengan cekatannya lompat sana lompat sini sehingga dalam waktu yang singkat dia sudah berada di dasar kawah.

Udara di dalam dasar kawah gunung ini pengap dan menyesakkan pernafasan. Karenanya Kalingundil segera atur jalan nafasnya. Begitu dirinya dapat menguasai kepengapan, itu maka dia segera meneliti keadaan dasar kawah di mana dia berada. Luas dasar kawah yang merupakan pusat kerucut itu hanya beberapa kali lebih besar dari sebuah sumur. Seluruh dasar kawah merupakan pasir campur tanah yang sudah membeku den mengeras selama berabad-abad sesudah gunung itu meletus.

Putaran bola mata Kalingundil terhenti pada sebuah lobang yang besarnya selebar bahu manusia.

Laki-laki ini segera mendekati lobang itu. Menelitinya sesaat lalu tanpa ragu-ragu segera memasukinya. Mula-mula dia hanya bisa merangkak. Tapi semakin ke dalam lobang itu semakin besar sehingga dari merangkak kini dia dapat membungkuk-bungkuk dan akhirnya berjalan seperti biasa.

Kalingundil sampai ke sebuah ruang empat persegi berdindingkan batu-batu hitam yang kasar.

Dari keempat sudut ruangan ini keluar empat liukan asap tipis yang berwarna hitam. Begitu, hidungnya mencium bau yang disebar oleh asap ini mendadak sontak kepala Kalingundil menjadi pusing. Cepat-cepat Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan tutup jalan nafasnya.

Kalingundil tahu bahwa ruangan batu itu bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada melihat adanya pintu atau sebuah celahpun. Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka kelihatanlah di langit-langit ruangan sebuah liang tangga batu. Dia memandang berkeliling lalu enjot kedua kaki dan melompat ke tepi liang, terus menaiki tangga batu. Anehnya, bagaimanapun tingginya ilmu mengentengi tubuh yang dimilikinya namun setiap langkah yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi dan bergema keras!

Begitu sampai di anak tangga yang teratas maka sampailah Kalingundil ke satu ruangan putih yang sangat bersih. Demikian bersih dan berkilatan putihnya dinding-dinding serta lantai dan langit-langit ruangan itu, sehingga tak ubahnya seperti berada di satu ruangan kaca.

Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah batu besar dan di atas batu besar ini sesosok tubuh laksana patung tengah bersemedi jungkir balik, kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. Sosok tubuh ini mengenakan sehelai kain putih yang dibalutkan sekujur badan mulai dari betis sampai ke dada. Kepala dan paras orang yang bersemedi tiada kelihatan karena tertutup oleh janggut putih yang panjang, hampir menyamai panjangnya rambut yang menjulai di lantai dan juga berwarna putih!

Sungguh hebat cara manusia ini bersemedi!

Namun pandangan Kalingundil segera terbagi pada seekor harimau besar belang tiga yang berbaring di samping laki-laki yang tengah bersemedi. Begitu melihat kemunculan Kalingundil, makhluk ini berdiri dan menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi dan taringnya kelihatan besar-besar serta runcing mengerikan. Didahului dengan auman yang dahsyat dan menggetarkan ruangan putih itu maka melompatlah binatang itu. Kedua kaki terpentang ke muka, kuku-kuku yang tajam dan panjang siap merobek tubuh Kalingundil!

Kalingundil yang maklum bahwa harimau itu bukan binatang biasa tapi peliharaan seorang sakti dengan cepat segera melompat ke samping hindarkan diri. Namun meskipun demikian cepatnya, sang harimau lebih cepat lagi! Laksana seorang jago silat kawakan, masih melayang di udara binatang itu putar tubuh, ekornya berkelebat!

Ekor yang panjang laksana cambuk itu menghantam bahu Kalingundil yang buntung.

Pakaiannya robek. Bahunya sakit tiada terkirakan. Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan disaat itu terpaksa segera melompat pula ke samping karena si belang sudah menyerangnya kembali!

Hanya dengan berkelabat-kelabat cepat dan sigaplah maka Kalingundil berhasil mengelakkan setiap serangan. Dia menghitung-hitung, sampai saat itu telah dua puluh jurus dia bertempur menghadapi sang harimau. Dan selama itu Kalingundil terus-terusan bersikap mengelak, sama sekali tak mau menyerang! Kalau dia mengelak terus, di satu ketika mungkin sekali harirmau itu berhasil juga mengoyak daging tubuhnya! Kalau dia melawan, sedangkan binatang itu adalah peliharaan orang sakti dengan siapa dia ingin bertemu dan bicara! Inilah yang menyulitkan Kalingundil! Dan sementara dia bertempur demikian rupa, orang yang bersemedi masih juga terus bersemedi, seperti tiada terganggu, seperti tak mengetahui adanya pertempuran yang dahsyat itu!

Satu-satunya jalan bagi Kalingundil untuk tidak mendapat celaka dan tidak mencelakai ialah meninggalkan ruangan putih itu, menghindar keluar untuk sementara, menunggu sampai orang yang bersemedi menyelesaikan semedinya.

Maka ketika harimau itu mengaum dan menyerang, Kalingundil jatuhkan diri ke lantai lalu bergulingan ke arah tangga. Pada saat harimau itu hendak menubruknya sekali lagi. Kalingundil sudah lenyap ke bawah tangga…

Telah tiga hari Kalingundil menunggu di dasar kawah itu. Telah tiga kali pula dia masuk ke dalam ruang putih dan mengintai dari balik anak tangga teratas, namun sampai saat itu orang yang bersemedi masih juga belum meninggalkan batu persemediannya.

Menunggu sampai satu minggupun bagi Kalingundil bukan suatu apa, tapi yang menyusahkannya ialah untuk mendapatkan bahan makanan selama hari-hari penungguan itu.

Empat hari kemudian, pada kali yang ke tujuh Kalingundil mengintai dari balik anak tangga, orang itu dilihatnya masih juga bersemedi. Dengan hati kesal Kalingundil menuruni tangga kembali.

Tapi begitu dia keluar dari liang tangga dan sampai di ruang bawah maka mendadak terdengar suara menggema dari ruang putih.

"Manusia yang berani-beranian menginjakkan kaki kotor di tempatku cepat datang menghadap untuk terima hukuman!".

Terkesiap Kalingundil mendengar ini.

"Ayo cepat! Tunggu apa lagi?!," kata suara dari ruang putih.

Kalingundil memutar langkahnya kembali. Dalam melangkah kembali ke liang tangga, terdengar lagi suara tadi.

"Hemm… seorang bertangan buntung macammu sungguh tak pantas masuk ke tempatku!

Hukumanmu lipat ganda hai manusia!".

Tentu saja Kalingundil terkejut mendengar ini. Bagaimana orang di dalam ruangan putih itu bisa mengetahui bahwa tubuhnya cacat? Meski dia sakti luar biasa tapi mereka belum pernah bertemu muka dan tak mungkin menurut pikiran Kalingundil orang itu mengetahui hal keadaan dirinya! Kalingundil lupa bahwa dinding dan langit-langit ruangan putih di atas sana tak ubahnya seperti kaca sehingga orang yang ada di ruangan putih akan mudah melihat siapa saja yang ada di ruang bawah!

Kalingundil melompat ke atas dengan gerakan enteng lalu menaiki tangga. Ketika dia muncul di ruangan putih anehnya harimau yang berbaring tidak lagi menyerangnya. Sedang manusia berselempang kain putih masih tetap berdiri dengan kepala di atas batu kaki ke atas! Seperti hari-hari sebelumnya parasnya masih tertutup oleh julaian janggut putihnya yang panjang menjela-jela.

Meski. harimau belang tiga itu tidak rnenyerangnya, namun Kalingundil berdiri dengan waspada. "Kau siapa?!" membentak si kepala ke bawah kaki ke atas.

"Namaku Kalingundil. Apakah saat ini aku berhadapan dengan Begawan Sitaraga?," tanyaKalingundil setelah terangkan dia punya nama.

Yang ditanya tak menjawab melainkan ajukan pertanyaan: "Perlu apa kau datang mengotori tempatku ini, manusia tangan buntung?!".

"Harap dimaafkan kalau kedatanganku rnengotori tempatmu. Tapi sesungguhnya aku tiada maksud demikian," kata Kalingundil pula. "Aku..."

"Sudah! Jangan berbacot juga! Melangkahlah lebih dekat untuk terima hukumanmu!".

Sebaliknya justru Kalingundil hentikan langkah. Diperhatikannya manusia yang berdiri jungkir balik di atas batu itu.

"Melangkah lebih dekat!" bentak orang itu. Suaranya menggaung di ruangan putih sedang harimau di sampingnya menggeram tak kalah hebat. "Begawan…".

Kalingundil putuskan kalimatnya. Kaki kiri manusia dihadapannya dilihatnya bergerak. Serangkum angin yang sangat deras melanda ke arah Kalingundil. Ruangan itu bergetar. Dengan jungkir balik secepat yang bisa dilakukannya Kalingundil berhasil elakkan serangan dahsyat itu!

Terdengar suara gelak mengekeh. "Pantas... pantas kau berani petatang peteteng datang ke sini untuk bikin kotor tempatku. Rupanya kau memiliki ilmu yang diandalkan juga! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup mempertahankan diri dengan jurus kaki selaksa baja ini?!".

Kepala yang di atas batu itu berputar. Kedua kaki bergerak. Tahu kalau dirinya hendak diserang lagi dengan tendangan jarak jauh yang lebih dahsyat dari tadi,

Kalingundil cepat mendahului berseru.

"Begawan! Tahan! Aku datang membawa kabar untukmu!".

Oleh ucapan yang lantang ini maka orang. itu hentikan maksudnya untuk kirimkan serangan: "Aku tidak kenal padamu! Kabar apa yang kau bawa?! Cepat katakan!" hardiknya. Dia masih juga berdiri, dengan kepala ke bawah kaki ke atas seperti tadi.

"Kabar ini kabar buruk Begawan…"

"Sialan! Buruk atau baik cepat katakan! Jangan habiskan, kesabaranku monyet alas!"

Kalingundil pada dasarnya sangat tidak senang mendengar kata-kata makian seperti itu. Namun dia menjawab juga. "Sobat kentalmu Mahesa Birawa menemui kematiannya di tangan seorang manusia keparat…"

Tubuh di atas batu kelihatan bergerak dan tahu-tahu manusia itu kini sudah tegak dengan kedua kakinya di atas batu. Maka kini kelihatannya parasnya yang sejak tadi tertutup oleh geraian janggut putih panjang. Kulit mukanya sangat pucat seperti tiada berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya lebih cekung lagi membuat wajahnya angker sekali untuk dipandang. Rambutnya putih panjang sampai ke bahu sedang janggutnya menjulai sampai ke perut.

Kalingundil menjura memberi hormat. "Jadi betul saat ini aku berhadapan dengan Begawan Sitaraga..?" tanyanya.

Si muka pucat tidak ambil perduli pertanyaan itu.

"Siapa yang bunuh dia dan dari mana kau bisa tahu?!"

Kalingundil segera buka mulut berikan keterangan. "Mahesa Birawa dan beberapa orang Adipati memimpin sejumlah batatentara untuk memerangi Pajajaran. Tapi mereka kalah.

Semua Adipati menemui ajalnya. Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan seorang pemuda sakti "

Maka kelihatanlah kerutan-kerutan muncul di paras Begawan Sitaraga yang membuat parasnya menjadi tambah angker. Kedua matanya menyipit, pandangannya setajam mata pedang!

Rencana untuk memerangi Pajajaran memang dia sudah tahu lama bahkan sebagaimana perundingannya dengan Mahesa Birawa, dia sendiri telah menjanjikan akan turun tangan membantu pemberontakan Mahesa Birawa karena memang sejak lama dia mempunyai dendam kesumat dengan keluarga istana Pajajaran! Di puncak Gunung Halimun dia hanya menunggu kabar dari Mahesa Birawa kapan penyerangan dilakukan. Tapi hari ini datang seseorang yang membawa kabar bahwa pemberontakan gagal dan Mahesa Birawa sendiri menemui kematian! Tehtu saja ini tak bisa dipercayainya.

"Aku tidak percaya pada kau punya bicara, manusia tangan buntung!" bentak Begawan Sitaraga.

"Demi apapun aku berani sumpah bahwa aku tidak dusta, Begawan" jawab Kalingundil dengan suara merendah meskipun hatinya gusar karena dipanggil dengan nama "manusia tangan buntung" itu.

"Namamu siapa…"

"Kalingundil".

"Punya hubungan apa kau dengan Mahesa Birawa?".

"Dia adalah pemimpin dan sobat kentalku sejak tahunan, Begawan…"

"Baik! Tapi aku tidak tahu apa itu betul atau tidak. Jawab pertanyaanku untuk membuktikan kebenaran keteranganmu! Siapa nama Mahesa Birawa sebenarnya…?".

Kalingundil tertawa. "Kau keliwat tidak percaya pada pihak sendiri, Begawan…".

"Siapa akui kau pihakku...? Tampangmu yang jelek inipun baru kali ini aku lihat!".

Kalingundil menggerutu dalam hati.

"Ayo jawab pertanyaanku! Siapa nama asli Mahesa Birawa?!".

"Suranyali!" jawab Kalingundil.

"Hem…" Sitaraga merenung, "Mahesa Birawa seorang berkepandaian tinggi. Tidak semudah itu untuk merenggut nyawanya…"

"Di luar langit ada langit lagi Begawan! Kesaktian pemuda tandingannya melebihi kesaktiannya…".

Begawan Sitaraga kerutkan kening.

Dan Kalingundil teruskan ucapannya. "Aku sendiri pernah menghadapinya. Masih untung cuma tanganku yang dimintanya, bukan nyawaku!"

"Hoo… jadi maksudmu datang ke sini untuk mengadu dan merengek macam anak kecil agar aku turun tangan…?".

Merah muka Kalingundil. "Itu adalah terserah padamu Begawan. Sebagai sobat dan bekas pemimpinku, aku telah cari pemuda yang membunuh Mahesa Birawa. Namun dia lebih tinggi ilmu silatnya dan lebih tinggi…".

"Siapa nama bangsat itu?!" tanya Sitaraga pula.

"Wiro Sableng. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212..."

Mendengar ini maka terkejutlah Begawan Sitaraga. "Kau bilang dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…?".

"Ya…"

"Kalau begitu dia adalah nenek-nenek keriput si Sinto Gendeng!".

"Tidak... dia adalah seorang pemuda. Masih sangat muda, bahkan tampangnya macam anak-anak, berambut gondrong dan berotak miring sinting!"

Sitaraga merenung lagi. Kemudian desisnya: "Kalau begitu mungkin sekali dia adalah murid nenek-nenek itu yang diam di puncak Gunung Gede. Tapi setahuku Sinto Gendeng tidak punya murid sejak puluhan tahun berselang…" Sitaraga tarik nafas dalam. "Kalau betul dia murid Sinto Gendeng, tidak salah Mahesa Birawa dipecundangi…" Sitaraga memandang jauh ke muka seperti pandangannya itu mau menembus dinding putih di belakang Kalingundil.

Melihat ini maka Kalingundil mulai masukkan jarum hasutannya. "Sewaktu aku bertempur dengan dia di Rawasumpang aku beri peringatan bahwa kelak sobat-sobat Mahesa Birawa yang terdiri dari tokoh-tokoh silat utama akan turun tangan untuk menuntut balas. Dan Wiro Sableng mengumbar bahwa terhadap siapapun dia tidak takut! Bahkan dia menantang untuk bikin perhitungan di puncak Gunung Tangkuban Perahu pada hari tigabelas bulan duabelas nanti!".

Mata Begawan Sitaraga menyipit lagi. "Pongah betul," desisnya. "Rupanya sudah kepingin cepat-cepat merasakan gelapnya liang kubur! Sudah cepat-cepat ingin minggat ke neraka!".

"Betul Begawan. Bukan saja kepongahannya itu yang menyakitkan hati, tapi tantangannya itu adalah juga sangat menghina dan tiada memandang sebelah matapun terhadap tokoh-tokoh silat utama macam Begawan....".

Sitaraga manggut-manggut. "Manusia-manusia macam begitu musti dilenyapkan dengan lekas. Kalau tidak akan menjadi biang runyam golongan dan aliran kita...."

Hati Kalingundil menjadi gembira karena tahu hasutannya sudah menyamaki dan mengobari dendam serta amarah Begawan itu.

"Tantangan itu...," kata Kalingundil pula meneruskan hasutannya, "sekaligus menghina terhadap guru Mahesa Birawa yang diam di Gunung Lawu... Aku bermaksud untuk menemuinya dan meminta langkah-langkah yang segera akan kita laksanakan".

"Kalau cuma untuk memecahkan batok kepala pemuda sedeng itu, aku sendiripun menyanggupinya!"

"Betul Begawan. Tapi untuk tidak mengecewa kan guru Mahesa Birawa di kemudian hari, ada baiknya kematian muridnya itu diberi tahu..."

"ltu urusanmu," jawab Sitaraga. Matanya. memandang tepat-tepat ke pinggang Kalingundil.

Sesungguhnya sejak tadi matanya itu memperhatikan secara diam-diam ke pinggang Kalingundil.

"Coba aku mau lihat apa yang kau simpan di balik pinggangmu," katanya tiba-tiba.

Kalingundil kaget sekali. Dia melirik ke pinggangnya. Dia telah menyimpan senjatanya baik-baik namun mata Sitaraga yang tajam masih sanggup mengetahuinya.

"Ah, tidak apa-apa Begawan. Cuma…"

"Cuma apa?!" Sitaraga pelototkan mata.

"Cuma sebilah pedang buruk…" sahut Kalingundil.

"Keluarkan!"

"Begawan...."

"Jangan banyak bicara. Keluarkan!"

Kalau bukan berhadapan dengan Begawan Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada rencana besarnya, maka pastilah saat itu Kalingundil akan beset mulut manusia yang dihadapannya itu. Dia memang mengharapkan bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya dianggap remeh terus menerus dan dihina dimaki serta dibentak, siapa yang bisa sabarkan diri?! .

"Kau membangkang Kalingundil?!"

Penasaran sekali Kalingundil cabut Pedang Siluman buntungnya. Maka sinar birupun memancarlah di ruangan putih itu. Begawan Sitaraga terkejut.

"Pedang Siluman Biru..," desisnya. Dia di samping terkejut juga heran melihat pedang sakti itu kini hanya merupakan sebuah puntungan belaka. "Dari mana kau dapat senjata itu? Bagaimana bisa buntung? Apakah kau muridnya Siluman Biru?!"

Kalingundil menyeringai mendengar pertanyaan-pertanyaan menyerocos itu. "Itu semua adalah urusanku Begawan. Yang penting hari ini kita telah berjumpa dan kau telah mengetahui nasib Mahesa Birawa. Sampai bertemu di puncak Gunung Tangkuban Perahu!".

Kalingundil berkelebat ke arah tangga.

"Tunggu!" teriak Sitaraga.

Tapi Kalingundil tak mau ambil perduli.

Maka marahlah Begawan Sitaraga. "Kalau tidak memikir kau bekas anak buah Mahesa Birawa, sudah terlalu pantas aku minta nyawamu, Kalingundil! Tapi saat ini cukup kau tinggalkan saja salah satu dari daun telingamu!"

Sebuah senjata rahasia melesat ke arah telinga kanan Kalingundil. Laki-laki ini segera lambaikan tangan kirinya. Tapi celaka senjata rahasia itu tak sanggup dibuat mental dengan pukulan tenaga dalam! Terpaksa Kalingundil cabut pedang saktinya kembali. Namun gerakan ini tentu saja sudah terlambat!

Kalingundil mengeluh kesakitan. Darah membasahi pipi dan bahu pakaiannya. Daun telinganya sebelah kanan terbabat buntung oleh senjata rahasia Sitaraga! Kalau tidak mengingat-ingat akan rencana pembalasan dendamnya, maulah Kalingundil menyerang Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih ketika didengarnya kekehandak Sitaraga yang menusuk liang telinganya!

Dalam waktu yang singkat Kalingundil sudah berada di luar Kawah Gunung Halimun.

Dibersihkannya darah yang membasahi pipi kemudian dengan sehelai kain dibalutnya kepalanya tepat pada batasan telinga yang buntung. Kemudian diambilnya sebuah pil lalu ditelan untuk menolak racun senjata rahasia Sitaraga itu.

Di dasar kawah Gunung Halimun, tak lama sesudah Kalingundil lenyap, kembali Sitaraga merenung.

Siapa Kalingundil sebenarnya masih agak samar baginya. Tapi itu tidak begitu penting.

Yang menjadi tanda tanya besar ialah siapa itu pemuda yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Apa betul murid Sinto Gendeng? Kalau Kalingundil telah menghadapinya dengan Pedang Siluman dan berhasil dikalahkan oleh si pemuda, maka sudah dapat dijajaki oleh Sitaraga sampai di mana ketinggian ilmu pendekar 212 itu! Ini membuat dia ingin lekas-lekas berhadapan dengan sang pendekar muda. Namun dia musti menunggu beberapa bulan di muka sampai saat yang ditentukan yaitu hari tigabelas bulan duabelas!

* * *

SIAPA penduduk desa bukit tunggul yang tidak tahu dengan Asih Permani. Tanyakan pada yang tua-tua, mereka akan tahu, tanyakan pada yang muda-muda mereka akan lebih dari tahu.

Tanyakan pada anak-anak kecil yang mengangon bebek atau menggembala kerbau, mereka juga akan tahu. Jika ditanyakan bagaimana paras Asih Permani maka semua mulut akan memuji. Semua mulut akan mengatakan: Asih Permani gadis yang tercantik se-Bukit Tunggul. Mukanya bujur telur.

Hidungnya kecil mancung bak daun tunggal. Bibirnya seperti delima merekah, merah dan segar.

Matanya bening bercahaya laksana bintang di angkasa raya. Dagunya seperti lebah bergantung, leher jenjang dan suaranya halus merdu, serasa digelitik liang telinga jika kita mendengar suara Asih Permani. Dan keseluruhan tubuhnya yang montok padat itu dibungkus oleh kulit yang halus mulus.

Asih Permani memang cantik seperti perbandingan di atas. Kawannya sesama gadis di desa Bukit Tunggul banyak yang merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki gadis itu. Pemuda-pemuda banyak yang tergila. Tapi semua mereka bertepuk sebelah tangan. Karena pada bulan di muka, tepat di waktu bulan rembulan empat belas hari. Asih Permani akan dinikahkan dengan Ranggasastra, anak lurah Bukit Tunggul. Memang di samping kaya raya, banyak harta dan sawah berlimpah kerbau berkandang, maka Ranggasastra cocok dan pantas menjadi suami Asih Permani. Pemuda ini gagah.

Badannya tegap, hatinya polos dan ramah kepada setiap orang. Sehingga kalau bersanding dengan Asih Permani di pelaminan nanti tentulah tak ubahnya seperti pinang dibelah dua!

Semakin lama, semakin dekat juga hari pernikahan itu. Tentu sama dapat dibayangkan bagaimana perasaan kedua calon pengantin itu menjelang hari perkawinan mereka. Hari yang bersejarah dan tak dilupakan seumur hidup mereka. Hari di mana mereka akan sama-sama membuka suatu "rahasia kebahagiaan hidup".

Saat itu Ranggasastra tengah duduk-duduk di depan rumahnya memandangi bintang-bintang yang bertaburan. Entah mengapa malam itu hatinya gelisah saja. Dan dia tak tahu apa sebenarnya yang digelisahkannya itu. Larut matam baru dia dapat tertidur. Tapi menjelang fajar dia tersentak.

Ranggasastra adalah seorang yang pernah menuntut ilmu silat dan kesaktian pada seorang guru di pantai utara. Nalurinya menyatakan bahwa ada seseorang lain di dalam kamarnya saat itu. Dibukanya kedua kelopak matanya. Dia terkejut melihat sesosok tubuh manusia sangat kate berdiri dekat tempat tidur. Manusia ini berkepala botak sudah licin berkilat ditimpa kelap-kelip sinar lampu pelita dalam kamar.

Manusia kate ini memiliki hidung yang sangat besar. Hidungnya yang besar itu seperti mau menutupi mukanya yang kecil. Ketika dia menyeringai dan mengeluarkan suara mendesau, maka kelihatanlah giginya yang cuma satu di sebelah atas.

Ranggasastra segera melompat dari tempat tidur.

"Manusia kate! Siapa kau?!" bentak si pemuda. Matanya meneliti manusia dihadapannya dengan tajam. Dan meskipun cahaya lampu minyak di dalam kamar tidak begitu terang, namun Ranggasastra dapat melihat bahwa manusia kate itu mempunyai telapak kaki yang lebar dan besar sekali. Tapak kaki itu sampai sebatas mata kaki sama sekali tidak merupakan tapak kaki manusia, tapi seperti kaki seekor gajah!

"He... he... he…". Manusia kate berkaki besar tertawa berkemik. "Kau manusianya yang bernama Ranggasastra, yang bakal jadi penganten minggu depan...?!".

Tentu saja apa yang ditanyakan manusia itu, mengejutkan Ranggasastra. "Itu bukan urusanmu! Jawab dulu siapa kau!"

"He... he... he…". Tamu tak diundang itu mengekeh lagi. "Maksudmu untuk menjadi penganten, untuk menjadi suami Asih Permani tidak akan kesampaian Ranggasastra...!".

"Manusia kate, jangan ngaco pagi-pagi buta!," bentak Ranggasastra dengan marah.

"Keluar dari kamarku!". Pemuda itu kepalkan tinjunya.

"Kau tak akan pernah menjamah tubuh Asih Permani, anak muda. Karena mulai detik ini ke atas, dia adalah milikku dan akan kubawa ke mana aku suka, akan kuperbuat apa aku senang!". Manusia kate ini mengekeh lagi.

"Kalau kau mau mengigau, pergilah mengigau di liang kubur!". Habis berkata demikian Ranggasastra menerjang ke muka. Tinju kanannya menderu! Tapi dia hanya memukul tempat kosong. Hampir tak terlihat oleh matanya, manusia kate itu telah berkelebat dan lenyap dari pemandangannya!

Tinggal seorang diri di dalam kamar Ranggasastra merasa seperti orang yang tertidur dan tersentak oleh mimpi. Digosok-gosoknya kedua matanya dengan telapak tangan berulang kali. Tidak, dia tidak mimpi! Dia yakin betul bahwa dia tidak mimpi! Dan ketika dia memandang ke lantai kamar yang terbuat dari papan, maka pada lantai itu jelas dilihatnya bekas-bekas telapak kaki manusia kate tadi.

Ketika ingat akan ucapan-ucapan orang kate berkepala sulah tadi maka khawatirlah Ranggasastra. Segera dijangkaunya tongkat besi berujung runcing yang tersisip di dinding.

Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda ini segera tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah timur di mana terletak rumah orang tua Asih Permani.

Sepuluh tombak akan sampai ke halaman muka rumah gadis calon isterinya, mendadak Ranggasastra melihat sesosok tubuh melompat keluar dari jendela samping rumah! Sosok tubuh ini tak lain dari manusia kate yang telah mendatanginya tadi. Dan pada bahu manusia itu kelihatan sosok tubuh seorang perempuan. Meskipun halaman samping gelap tapi Ranggasastra tahu betul, perempuan yang dipanggul itu adalah calon isterinya. Asih Permani!

"Bangsat rendah! Pencuri busak! Lepaskan perempuan itu!," bentak Ranggasastra.

Si kate kepala sulah tertawa dingin. "Sekali aku bilang bahwa gadis ini jadi milikku, tak satu manusia lainpun yang bisa menghalanginya!".

"Kalau begitu terpaksa kukermus kepalamu!". Maka tongkat besi di tangan Ranggasastra menderu ke kepala si kate. Gesit sekali yang diserang melompat ke samping.

Ranggasastra susul dengan satu tusukan ke dada kiri. Namun dengan kecepatan yang luar biasa orang kate itu gerakkan kaki kanannya!

Tendangan yang keras menghajar tangan kanan si pemuda. Besi panjangnya lepas.

Tangannya hancur dan jeritan kesakitan keluar dari mulut Ranggasastra. Pemuda ini terhuyung sebentar lalu mental sampai beberapa tombak ketika tendangan lawan terus menyerempet perutnya! Perut si pemuda robek besar. Tubuhnya menggeletak tanpa nyawa.

Si kate tertawa buruk.

"Maling hina dina!! Nyawamu di ujung golokku!" teriak seseorang yang melompat dari dalam rumah lewat jendela.

Si kate berkepala botak cepat putar badan pada saat sebuah golok berkiblat memapasi batok kepalanya!

"He... he... Kau juga inginkan mampus Ki Lurah!" ujar si kate. Manusia yang menyerangnya itu adalah Tanuwira, ayah Asih Permani.

"Kau yang akan mampus lebih dahulu manusia laknat!". Golok Tanuwira berkelebat lagi. Tapi si kate sungguh luar biasa. Serangan itu dihadapinya dengan tertawa tawar. Sekali dia gerakkan kaki kanannya maka hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira.

Si kate tertawa mengekeh.

"Calon mantu dan calon mertua sama-sama bernasib sial! Kasihan…". Dihirupnya udara segar menjelang pagi itu sejurus lenyaplah dia dari tempat itu.

* * *

KETIKA dia sampai kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka terkejutlah manusia kate berkepala botak itu sewaktu melihat ada seorang bertangan buntung yang tak dikenalnya berdiri dekat pintu. Orang yang bertangan buntung agaknya juga terkejut melihat kedatangan si kepala botak yang membawa seorang gadis cantik di pundak kirinya. Tapi dia cepat-cepat menjura.

"Pastilah saat ini aku berhadapan dengan tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak Gajah…"

Laki-laki kate yang memang bernama Tapak Gajah turunkan tubuh Asih Permani dari pundaknya. Matanya meneliti tajam orang di hadapannya lalu bertanya: "Kau sendiri siapa? Apakah datang kesini membawa maksud baik atau buruk?". Sambil bertanya demikian Tapak Gajah memperhatikan telinga kanan tamunya yang juga buntung tiada berdaun.

"Namaku Kalingundil. Aku datang dengan maksud baik, tapi membawa berita buruk".

"Aku tidak kenal padamu sebelumnya. Berita buruk apakah yang kau bawa...?" tanya Tapak Gajah.

Maka Kalingundil segera mulai pasang jarum penghasutnya. "Pembunuhan atas diri seorang murid adalah satu hal yang pahit bagi gurunya! Begitu pahit sehingga menanamkan dendam kesumat…".

"Jangan bicara berbelit!," potong Tapak Gajah. "Katakan langsung berita buruk itu!"

"Muridmu dibunuh orang, Tapak Gajah…"

Berubahlah paras si tubuh kate kepala sulah. Sedang Kalingundil saat itu melirik memperhatikan Asih Permani yang berdiri tak bergerak, "Pastilah tubuhnya ditotok'', pikir Kalingundil dan dalam hatinya dia bertanya-tanya: "Siapa gerangan gadis cantik ini…".

Sesak nafas Kalingundil melihat kejelitaan Asih Permani.

"Aku mempunyai beberapa orang murid yang telah turun ke dalam rimba persilatan.

Murid yang mana yang kau maksudkan?!" tanya Tapak Gajah.

Kalingundil memalingkan mukanya kepada laki-laki itu kembali. "Mahesa Birawa..."

"Aku tak punya murid bernama Mahesa Birawa!" berkata Tapak Gajah.

Kalingundil kaget. Dia berpikir-pikir seketika. Kemudian dia ingat. "Maksudku muridmu Suranyali…"

Sekali lagi berubah paras Tapak Gajah. Di hatinya timbul kesyakwasangkaan.

"Apakah kau bicara, ngelantur atau bagaimana...?".

"Demi setan dan iblis aku tidak bicara dusta, Tapak Gajah!".

"Suranyali bukan manusia sembarangan. Ilmu kesaktiannya tinggi!"

"Tapi manusia yang membunuhnya lebih sakti lagi!".

"Siapa ?!"

"Pendekar 212....".

Tapak Gajah merenung. Kedua tangannya terkepal. "Kau dusta Pendekar 212 Sinto Gendeng sudah sejak puluhan tahun lenyapkan diri dari dunia persilatan!".

"Tapi...."

"Tutup mulut! Terima hukuman dariku bangsat bermulut bohong!".

Tapak Gadjah hantamkan kaki tangannya ke muka.

"Wutt !"

Angin sedahsyat badai yang ke luar dari tendangan itu lebih dahulu menyerang ke arah Kalingudil sebelum tendangannya sendiri sampai !

Kalingundil tak mau ambil risiko. Dia berteriak nyaring dan lompat delapan tombak ke udara.

"Byur!"

Kaligundil palingkan kepala ke belakang. Tersekat rasanya tenggorokannya sewaktu melihat bagaimana angin tendangan Tapak Gadjah menghancurkan batu besar di belakangnya!

Sewaktu manusia kate itu hendak lancarkan serangan kedua Kalingundi cepat berseru: "Tahan! Kita berada di pihak yang sama!"

Tapak Gadjah tarik serangannya.

"Apa maksudmu kita di pihak yang sama huh?"

"Aku adalah bekas anak buah Suranyali sewaktu kami masih sama-sama di Jatiwalu!"

"Jangan coba kelabui aku!," membentak Tapak Gadjah.

"Perlu dan untung apa aku mengelabuimu!" baias membentak Kalingundil dengan beringas.

"Berikan bukti bahwa muridku yang satu itu benar-benar dibunuh orang!"

Kalingundil tertawa dingin. "Tidak mau percaya pada orang sepihak akan merugikan diri sendiri Tapak Luwing…" Lalu Kalingundil memberikan keterangan selengkapnya.

Kini mulai kelihatan bayangan rasa percaya di paras Tapak Gadjah. Namun apa yang meragukannya ialah keterangan Kalingundil mengenai Pendekar 212 Wiro Sableng. Satu-satunya kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah bahwa pemuda bernama Wiro Sableng itu adalah murid Sinto Gendeng.

"Golongan hitam memang sejak dulu menaruh dendam pada itu nenek-nenek sialan…," ujar Tapak Gadjah pula. "Tapi sebelum kami bersepakat untuk menghabiskan jiwanya, dia sudah lenyapkan diri! Kini muridnya muncul dan membunuh muridku! Benar-benar laknat!"

"Aku sendiri telah tantang dia di Rawasumpang demi untuk menuntut balas kematian Suranyali atau Mahesa Birawa. Tapi… itu pemuda keparat memang luar biasa tinggi ilmunya. Kalau aku kalah dalam pertempuran di Rawasumpang itu bukan suatu apa tapi ada satu hal yang benar-benar menyakiti hatiku Tapak Gadjah…"

Kalingundil menunjukkan paras yang mengandung dendam. Sepasang matanya memandang lurus-lurus jauh ke muka.

"Katakan apa yang menyakiti hatimu itu!," kepingin tahu Tapak Gadjah.

"Sebelum mengundurkan diri dari Rawasumpang aku bilang pada itu pemuda keparat bahwa kelak pembalasan dari guru Sunranyali akan tiba! Pemuda itu ketawa bekakakan dan berkata bahwa sekalipun ada seribu guru Suranyali, akan diterabasnya sama rata dengan tanah!"

Rahang-rahang Tapak Gadjah mengembung. "Begitu keparat itu bilang…?"

Kalingundil manggut.

"Meski dia murid si Sinto Gendeng, tapi jangan merasa sudah setinggi langit kepandaiannya! Katakan di mana bangsat itu berada! Aku Tapak Gadjah akan pecahkan kepalanya!"

"Kau tak perlu susah-susah mencarinya Tapak Gadjah," menjawab Kaligundil.

"Bukankah tadi aku sudah katakan bahwa dia sudah umbar mulut menentangmu? Katanya dia tunggu kau pada hari tigabelas bulan duabelas di puncak Gunung Tangkuban Perahu!"

"Anjing kurap betul itu manusia!". Tapak Gadjah meludah ke tanah.

Dan Kalingundil berkata lagi: "Beberapa tokoh silat utama yang ditantang pendekar 212 itu juga telah kuberi tahu! Mereka sudah memastikan untuk datang ke Tangkuban Perahu guna mengkeremus si pemuda !"

"Seribu tokoh utama boleh datang ke sana. Namun kematian anjing kurap itu aku yang tentukan!" Kaligundil manggut-manggut. Hatinya gembira. Memang itulah yang diharapkannya. Sudah terbayang bagaimana akan berhasilnya dia punya rencana nanti.

Seorang diri dia memang tak sanggup untuk menghadapi Wiro Sableng. Tapi kalau Tapak Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta. dan Tapak Luwing yang berkumpul jadi satu untuk membuat perhitungan, tiga Pendekar 212-pun tak bakal sanggup!

"Aku gembira mendengar keputusanmu itu. Tapak Gadjah. Akupun pasti pula akan datang ke puncak Tangkuban Perahu…"

Tapak Gadjah tertawa dingin. "Kalau kau punya nyali tapi punya sedikit ilmu untuk diandalkan sebaiknya tak usah datang ke sana!"

Merah padam paras Kalingundil.

"Sekarang aku tak ada urusan lagi dengan kau! Silakan angkat kaki dari sini!" bentak Tapak Gadjah.

Kelingundil melirik pada Asih Permani. Kemudian katanya pada Tapak Gadjah:

"Jangan terlalu memandang rendah terhadap sesama kawan Tapak Gadjah. Aku memang tidak dikenal dalam dunia persilatan tapi untuk menghancurkan batu besar sepertimu tadi, aku masih sanggup!". Kalingundil gerakkan tangan kanannya ke pingaang. Kemudian selarik sinar biru melesat ke arah batu besar yang terletak sekira sembilan tombak dari hadapannya.

"Byur!"

Batu itu hancur berkeping-keping dan bayangan Kalingundil sendiri sesudah itu lenyap dari pemandangan!

Terkejutlah Tapak Gadjah! Tiada disangkanya kalau manusia bertangan buntung bertelinga sumpung itu memiliki kehebatan demikian rupa! Tapi manusia kate ini tidak berpikir lebih lama. Begitu matanya membentur paras dan tubuh Asih Permani maka lupalah dia pada Kalingundil. Segera diboyongnya gadis itu ke dalam pertapaan. Apa yang kemudian dilakukannya terhadap gadis suci itu tak seorang manusiapun yang tahu. Namun pada hari itu satu kesucian telah lenyap dirampas oleh kebejatan!