PUNCAK gunung tangkuban perahu. Hari tigabelas bulan duabelas…
Angin dari utara bertiup kencang, mengalahkan tiupan angin barat yang menghembus sepoi-sepoi basah. Puncak Gunung Tangkuban Perahu diselimuti kesunyian abadi. Tapi hari itu agaknya kesunyian abadi itu akan sirna oleh kedatangan manusia-manusia pembuat perhitungan.
Akan pupus di landa dendam kesumat orang sakti! Kawah gunung yang lebar mengepulkan tiada henti asap tipis berbau belerang.
Beberapa puluh kaki dari tepi kawah berderet pohpn-pohon cemara berdaun lebat subur, menjulang tinggi dan lurus! Saat itu matahari pagi sudah naik tepat antara titik tertinggi dan titik permulaan terbitnya.
Angin utara bertiup lagi dengan kencang, Daun-daun pohon cemara melambai-lambai.
Dan diantara kerisikan-kerisikan geseran daun pohon-pohon cemara itu maka terdengarlah suara siulan yang mengumandangi seluruh puncak Gunung Tangkubanperahu. Suara siulan itu juga seperti mau menggelegaki kawah belerang dan menampar-nampar kabut belerang yang meliuk-liuk kepermukaan kawah. Suara siulan itu tidak teratur, tidak membawakan sebuah lagu atau tembang, nadanya tak menentu. Namun ketidakteraturan dan ketidakmenentuan itu anehnya bila didengar dengan seksama akan merupakan suatu lagu aneh bernada ajaib! Suara siulan itu membuat pendengarnya akan terkatung-katung ke dalam satu dunia khayal. Tapi di pagi yang menjelang siang itu di puncak Gunung Tangkuban Perahu itu tak satu orang pun yang ada selain manusia yang mengeluarkan suara siulan tadi. Dan siapakah manusia ini adanya?
Suara siulan itu datang dari pohon cemara yang paling tinggi tanda bahwa manusianyapun berada di sana. Dan manusia ini tiada lain dari pada Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mengapa dia sampai berada di puncak gunung itu adalah sehubungan dengan tantangan musuh lamanya Kalingundil. Namun pendekar muda itu sampai saat itu tak pernah menyangka bahwa yang bakal ditemuinya di puncak gunung itu kelak bukan hanya Kalingundil seorang tapi juga beberapa tokoh dunia persilatan yang terkenal serta sakti!
Wiro terus juga bersiul-siul sambil sekali-sekali layangkan pandangannya ke seantero puncak gunung. Sepi dan suasana tenang-tenang saja. Dilayangkannya pandangan ke kaki dan lereng gunung.
Juga segala sesuatunya masih diselimuti kesunyian dan ketenangan. Dua kali sepeminuman teh lewat.
Telinga pendekar 212 yang tajam dan terlatih baik itu sayup-sayup mendengar suara sesuatu. Segera pemuda ini hentikan siulannya. Kepalanya diputar ke arah timur puncak gunung dari mana datangnya suara itu. Masih belum kelihatan apa-apa tapi suara yang didengarnya tambah nyaring. Beberapa ketika kemudian dari balik gundukan tanah keras tepi kawah sebelah timur kelihatan muncul kepala seseorang, menyusul dada dan badannya. Sosok tubuh manusia ini ternyata bukanlah Kalingundil karena tangannya tidak buntung!
"Lain yang ditunggu, lain yang datang !" desis Wiro Sableng dalam hati. Kedua matanya terus memandang tak berkesip pada manusia yang baru datang ini. Orang ini dilihatnya memandang berkeliling agaknya mencari-cari sesuatu, mungkin mencari seseorang. Umurnya sudah lanjut.
Menurut taksiran Wiro paling rendah lima puluh tahun. Meskipun tua tapi tubuhnya kekar. Pada pinggangnya kelihatan tersisip sebilah keris emas. Dari gerak geriknya yang enteng dan tenang Wiro tahu bahwa orang tua ini pastilah seorang yang menguasai ilmu silat dari tingkat tinggi.
"Mungkin sekali dia diam di sekitar puncak gunung Tangkuban Perahu atau mungkin pula kedatangannya ke situ hanya satu kebetulan saja dengan hari di mana aku akan membuat perhitungan dengan Kalingundil…," demikianlah Pendekar 212 berpikir-pikir di dalam hatinya. Sementara itu si orang tua tak dikenal dilihatnya berdiri di tepi kawah memandang ke bawah lalu memutar tubuh dan menjelajahi seluruh permukaan gunung dengan sepasang matanya yang kecil tetapi tajam. Kemudian orang tua ini pada akhirnya melangkah ke arah deretan pohon-pohon cemara dan di sini duduk melepaskan lelah. Wiro maklum kini bahwa orang tua ini datang ke situ adalah mencari seseorang dan ketika orang itu tak ditemuinya dia memutuskan untuk menunggu. Karena merasa tak punya urusan dengan si orang tua. Wiro tetap saja berada di tempatnya, di atas pohon cemara tinggi.
Matahari bergerak juga menuju ke puncak tertingginya. Wiro masih terus memperhatikan si orang tua. Mendadak diputarnya kepalanya ke arah selatan. Sesosok tubuh kelihatan berkelebat.
Kedatangan manusia ini boleh dikatakan tidak terdengar atau tak tertangkap oleh telinga Wiro Sableng. Nyatanya kehebatan ilmu lari dan ilmu mengentengkan tubuhnya. Apa yang menarik pendekar 212 ialah bahwa manusia ini bukanlah Kalingundil yang tengah ditunggunya!
Orang ini berbadan kate. Kepalanya sulah licin dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari.
Kedua telapak kakinya bukan saja lebar tapi juga tebal seperti kaki gajah. Tiba-tiba pendekar 212 ingat akan keterangan gurunya Eyang Sinto Gendeng. Menurut gurunya itu di puncak Gunung Lawu berdiam seorang tokoh silat utama bernama Tapak Gadjah. Kehebatan Tapak Gadjah ialah telapak pada sepasang kakinya yang berbentuk kaki gajah. Jangankan manusia, batupun kalau ditendang akan hancur lebur. Dan memang pada saat itu Wiro menyaksikan sendiri bagaimana tanah gunung yang diinjak kedua kaki laki-laki itu meninggalkan bekas amblas sampai setengah dim!
"Mungkin sekali manusia ini adalah Tapak Gadjah," membatin Wiro Sableng. "Tapi kenapa pula dia jauh-jauh bisa muncul di sini...?"
Selagi dia membatin begitu rupa Wiro Sableng terkejut pula melihat bagaimana si orang tua yang duduk di bawah pohon cemara tiba-tiba berdiri tegak menyambuti kedatangan si manusia kate! kedua orang itu saling pandang seketika. Sekali melompat maka si kate sudah berada dua tombak di hadapan si orang tua berkeris emas! Kembali keduanya saling pandang dan meneliti. Kemudian terdengar suara si kate membentak.
"Jadi kau sudah datang duluan pendekar gila Wiro sableng?! Rupanya memang kau betulbetul ingin mati lekas-lekas!" Kemarahan yang meluap membuat Tapak Gadjah lupa akan keterangan Kalingundil bahwa Wiro Sableng adalah seorang muda! Bukan saja siorang tua nampak terkejut dan heran, tapi Pendekar 212 di atas puncak pohon cemara jedi kernyitkan kulit kening waktu mendengar bentakan si manusia kate itu !
Sebelum si orang tua sempat bicara maka si kate sudah bertanya dengan membentak:
"Mampus cara mana yang kau kehendaki Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera melaksanakannya!"
"Kalau betul aku berhadapan dengan Tapak Gadjah, tokoh silat terkenal dari Gunung Lawu saat ini…," menyahuti si orang tua, "maka dugaanmu meleset sekali!"
Tapak Gadjah pelototkan mata. "Meleset bagaimana maksudmu?" Dan Tapak Gadjah ingat akan keterangan Kalingundil. Lalu diajukan pertanyaan: "Apakah kau bukannya Wiro Sableng si manusia geblek bergelar Pendekar 212 itu...?!"
Si orang tua gelengkan kepala. "Aku adadalah Wirasokananta, Ketua Perguruan Teratai Putih di bukit Siharuharu…"
"Ah... tak disangka datang dari jauh kiranya akan berjumpa dengan tokoh silat ternama,"
Tapak Gadjah pula ramah. Mengingat Wiasokananta adalah tokoh silat dari golongan putih dating dia sendiri dari golongan hitam maka bertanyalah Tapak Gadjah: "Gerangan apakah yang membuat Ketua Perguruan Teratai Putih sampai datang ke sini..."
"Panjang ceritanya Tapak Gadjah," menyahuti si orang tua berkeris emas. "Ringkasrrya adalah untuk mencari den memenuhi undangan seorang manusia bejat bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212!"
"'Ah... ah... ah...! Kalau begitu kita sama-sama datang untuk maksud yang serupa. Dan pastilah mempunyai tujuan terakhir yang serupa-pula yaitu menamatkan riwayat manusia terkutuk itu.
Bukankah demikin?"
Meskipun heran bagaimana Tapak Gadjah bias tahu hal itu namun Wirasokananta mengangguk juga.
"Maksud sama, tujuan terakhir sama tapi latar belakang tentu lain. Kalau aku boleh tanya, apakah sebabnya Ketua Perguruan Teratai Putih sampai turun tangan dan bukan menyuruh anak-anak murid Perguruan...?"
"Semua murid-muridku musnah di tangan manusia laknat itu! Dua diantaranya diperkosa!" jawab Wirasokananta. Suaranya bergetar. Kemudian dituturkannyalah apa yang telah menimpa Perguruan dan murid-muridnya.
Di atas pohon cemara Pendekar 212 Wiro Sableng pentang telinga buka mata tak berkesip. Penuturan Wirasokananta tentu saja sangat mengejutkannya.
Semenjak turun gunung bukan saja dia tidak pernah mendengar nama Perguruan Teratai Putih, bahkan bertemu muka dengan Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini pula Ketua Perguruan itu menuturkan bahwa dia -- Wiro Sableng -- telah melakukan pembunuhan besar-besaran atas diri murid-murid Perguruan Teratai Putih! Ini adalah satu hal yang sama sekali tidak benar! Kalau ini bukan satu kekeliruan tentu ini adalah fitnah. Dan bila ini juga bukan fitnah, apakah yang telah menyebabkan Wirasokananta merasa yakin bahwa Pendekar 212 lah yang telah memusnahkan Perguruannya ?
"Nasibmu dan nasibku rupanya tidak banyak beda Ketua Teratai Putih," terdengar suara Tapak Gadjah. "Muridku Suranyali juga kunyuk sedeng itu yang membunuh!"
Kini tahulah Wiro Sableng. Tapak Gadjah rupanya adalah guru Suranyali alias Mahesa Birawa ! "Tapi muridmu cuma seorang yang mati di tangannya sedang aku keseluruhannya," menjahuti Wirasokananta.
"Yang penting bukan soal jumlah. Ketua Teratai Putih. Yang penting ialah bahwa kunyuk sedeng itu seorang manusia bejat yang musti kita lenyapkan dari muka bumi ini!"
Wirasokananta mengangguk.
Tapak Gadjah hendak buka mulutnya kembali. Tapi batal karena saat itu sudut matanya melihat sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka.
"Siapa lagi yang datang ini…?" membatin Wiro Sableng.
Sedang sesat kemudian didengarnya suara Tapak Gadjah berkata sambil menjura:
"Sungguh pertemuan yang tak terduga. Tokoh silat dari Gunung Halimun kenapa bisa muncul di sini…?"
Orang yang baru datang tertawa lebar. Dia berpakaian kain putih. Rambutnya panjang diriap seperti perempuan, janggutnya menjela sampai ke perut. Rambut dan janggut itu berwarna putih dan melambai-lambai tertiup angin.
"Kau sendiri mengapa bisa nongkrong di sini…?" balik menanya si janggut putih, dia melirik pada Wirasokananta.
Tapak Gadjah mula-mula perkenalkan si janggut putih pada Wirasokananta. Ternyata si janggut putih itu adalah Begawan Sitaraga, seorang sakti dari Gunung Halimun.
Setelah mendengar penuturan Tapak Gadjah yang juga sekalian menuturkan tentang Wirasokananta maka Sitaraga tarik nafas dalam dan berkata "Betul-betul tak bisa diduga kalau kedatangan kita ke sini tiga-tiganya adalah membawa maksud yang sama! Aku kenal baik dengan Mahesa Birawa. Aku telah berjanji untuk membantu perjuangannya menghancurkan Pajajaran karena memang aku sejak lama punya permusuhan dengan itu Kerajaan! Tapi nyatanya Mahesa mendahului aku! Ini kuketahui dari seorarg anak buahnya yang datang ke tempatku! Rupanya sebelum pecah perang Mahesa ada mengirim kurir. Kurir itu tertangkap peronda Pajajaran!"
Kesunyian menyeling seketika. Di atas pohon camera Wiro Sableng masih tak bergerak di tempatnya. Dengan munculnya ketiga orang itu dan dengan penuturan masing-masing mereka Wiro kini bisa menjajaki bahwa ada sesuatu yang tak bares. Dan ketidak beresan ini ditimpakan kepadanya. Siapa yang menjadi dalang ketidakberesan ini tak susah untuk diterka yaitu Kalingundil ! Tapi Kalingundil sendiri ke mana mana? Yakin bahwa bukan hanya tiga orang itu saja yang bakal muncul maka Wiro memutuskan untuk menunggu. Dugaannya rnemang betul. Lewat sepeminum teh maka dari jurusan barat kelihatanlah dua soaok tubuh berlari cepat laksana angina! Yang satu bertangan buntung dan segera dikenali oleh Wiro Sableng sebagai Kalingundil adanya. Yang seorang lagi pendekar 212 lupa-lupa ingat. Tapi melihat angka 212 pada keningnya Wiro baru ingat bahwa manusia ini adalah Tapak Luwing, kepala komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel yang tempo hari bertempur melawannya tapi kemudian dilarikan oleh Kalingundil!
Begitu sampai dihadapan Tapak Gadjah, Wirasokananta dan Begawan Sitaraga keduanya segera menjura. Kalingundil memandang berkeliling. "Harap maafkan kalau kami datang agak terlambat". Dia memandang lagi berkeliling. Orang-orang yang diundangnya sudah lengkap. "Pendekar gila itu masih belum muncul!"
Tapak Luwing berdehem. "Aku mempunyai firasat bahwa itu manusia tak bernyali untuk datang antarkan nyawa kemari!"
"Kalau dia berani menantang, dia berani datang," menyahuti Kalingundil.
"Kita tunggu saja," buka suara Begawan Sitaraga.
"Dan kalaupun nanti ternyata silaknat itu tidak muncul, ke pintu nerakapun aku akan cari dia!" berkata Ketua Perguruan Teratai Putih.
Gembira sekali Kalingundil mendengar katakata Wirasokananta itu. Nyatalah bagaimana dendam kesumat si orang tua terhadap Wiro Sableng.
Sementara itu dari atas pohon cemara pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan ke bawah dengan seksama. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa segala sesuatunya sampai tiga tokoh silat utama itu berada di sana adalah Kalingundil yang punya rencana.
Lima orang yang akan dihadapinya. Kalingundil dan Tapak Luwing sudah bisa dijajakinya ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi bagaimana dengan tiga orang lainnya? Sanggupkah dia menghadapi mereka berlima sekaligus? Pendekar 212 diam-diam tarik nafas dalam.
Dia memandang ke langit. Matahari sudah sampai ke puncak tertingginya. Apakah dia segera unjukkan diri atau menunggu sampai saat yang dirasakannya tepat?
Di saat itu di bawah didengamya suara Tapak Gadjah berkata: "Aku masih belum yakin kalau kunyuk ingusan itu benar-benar murid Sinto Gendeng. Itu nenek-nenek keriput sudah sejak lama minggat dari dunia persilatan...!"
Panaslah hati Wiro Sableng mendenger gurunya, disebut demikian rupa. Tiada terasakan lagi, didorong oleh naluri yang telah membuat dia menjadi bisa maka keluarlah suara siulan dari sela bibirnya.
Lima manusia di bawah pohon terkejut dan menengadah ke atas.
"Kurang ajar, rupanya kunyuk sedeng itu sudah lama mendekam di atas!," maki Kalingundil.
"Pendekar gila turunlah untuk terima mampus!" teriak Wirasokananta.
Pendekar 212 tertawa bergelak. "Ketua Perguruan Teratai Putih, aku kasihan pada kau! Tidak tahu bahwa kau telah kena dikelabui oleh manusia tangan buntung itu!"
Kalingundil cepat membentak. "Agaknya kau memilih kematian di atas pohon itu. Wiro Sableng?! Memang pohon itu cukup tinggi untuk mempercepat roh busukmu terbang ke neraka!"
Wiro tertawa lagi seperti tadi.
"Biar aku paksakan dia turun !" buka mulut Tapak Luwing. Tangan kanannya bergerak. Maka tiga pisau terbang beracun melesat ke puncak pohon cemara di mana pendekar 212 herada !
* * *
TAPAK Luwing! Kalau merasa sudah berilmu tinggi, biar kukembalikan pisaumu!" teriak Wiro dari atas pohon.
Sesaat sesudah dia berkata begitu maka menderulah angin deras. Tiga pisau terbang kembali ke bawah menyerang pemiliknya sendiri!
Dua buah masih sanggup dielakkan oleh Tapak Luwing tapi yang ketiga sangat cepat sekali meleset ke arah batok kepalanya.
"Awas!" seru Begawan Sitaraga. Sekali dia lambaikan tangan maka mentallah pisau itu dan Tapak Luwing yang diam-diam keluarkan. keringat dingin terlepaslah dari bahaya kematian!
Wiro Sableng kini tertawa membahak. "Kau terlalu bodoh untuk ikut-ikutan datang ke mari Tapak Luwing ! Seharusnya saat ini kau cuci kaki dan pergi tidur!"
Saat itu Wirasokananta tak dapat lagi menahan kesabarannya. Dengan tangan kanan dipukulnya batang pohon cemara.
"Kraaak!"
Pohon itu tumbang.
Wiro melompat ke samping dan melayang ke bawah dengan gerakan enteng. Sambil melayang itu dia berkata: "Musuh penantang cuma satu, mengapa sekarang bisa jadi lima?
Apakah kau bisa beranak, Kalingundil?" Lalu pada tiga tokoh silat utama itu Wiro berseru:
"Kalian sudah tua bangka masih saja mau derigan urusan dunia dan nafsu membunuh! Apa tidak malu kena dihasut oleh kunyuk tangan buntung itu?"
"Jangan banyak bacot manusia gelo! Ajalmu hanya tinggal sekejapan mata saja!" bentak Tapak Gadjah. Dia maju ke muka dan kirimkan tendangan kaki kanan di saat Pendekar 212 masih juga belum menjejakkan kaki di tanah!
Angin tendangan kerasnya bukan main. Debu beterbangan. Untuk menjajaki sampai kemana kehebatan tenaga dalam lawan Wiro sengaja tidak mengelak tapi memapasi serangan tersebut dengan lancarkan pukulan "kunyuk melempar buah". Ketika dua angin pukulan itu beradu terkejutlah Tapak Gadjah! Kedua kakinya melesak sampai tiga senti ke tanah sedang angin tendangannya yang sanggup menghancurkan batu itu buyar! Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di bawahnya!
Dengan membuat dua kali jungkir balik di udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro sudah berdiri di atas kedua kakinya. Lima manusia dihadapannya segera mengurung.
"Kalian kunyuk-kunyuk tua bangka apa tidak malu main keroyok begini rupa?!"
Pendekar 212 masih sanggup bertanya sambil sunggingkan senyum mengejek.
"Seekor anjing kurap macam kau sudah terlalu pantas untuk dijagal bersama-sama!" menyahuti Wirasokananta.
"Ah, kau orang tua... Rupanya masih belum tahu kalau dikelabui orang lain! Demi kebenaran aku sama sekali tak pernah mendatangi Perguruanmu. Apa yang terjadi di Perguruanmu aku tidak tahu menahu. Itu semua adalah fitnah. Seseorang lain yang bertanggung jawab. Kurasa manusianya adalah si tangan buntung ini!," Wiro menuding ke arah Kalingundil.
"Ha... ha! Bukan saatnya untuk cuci tangan pendekar gila!" seru kalingundil seraya main-mainkan pedang buntung di tangan kirinya. "Tak perlu kambing hitamkan orang lain!
Tak perlu lempar batu sembunyi tangan....!"
"Aku memang tak mengambinghitamkan kau orang buntung. Tapi coba berkaca di cermin Begawan Sitaraga, kau akan melihat bagaimana tampangmu memang persis seperti kambing!".
Merah padam muka Kalingundil. Wiro tertawa mengekeh.
Begawan Sitaraga yang merasa dihina segera maju ke muka. "Sobat-sobat, tak perlu bicara panjang lebar dengan orang sedeng ini! Mari kita kermus dia!". Habis berkata begitu Sitaraga gerakkan tangannya. Sinar putih yang panas dan menyilaukan menyambar ke arah muka Wiro Sableng. Begitu matanya tersambar sinar tersebut gelaplah pemandangan pendekar 212.
"Celaka!" kata Wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dialirkan ke kepala dan dia melompat cepat ke salah satu pohon cemara untuk berlindung dari serangan lawan.
Tapak Gajah juga tidak berdiam diri. Tendangannya menggebubu. Pohon cemara patah dah disaat itu Wiro sudah berpindah ke tempat lain. Dengan mata masih terpejam dia putar kedua tangannya di udara. Maka menderulah angin pukulan "benteng topan melanda samudera". Meski pukulan ini hanya mempergunakan sebagian tenaga dalam karena yang sebagian masih tetap dialirkan ke muka tapi kehebatannya cukup membuat lima penyerang hindarkan diri ke samping. Ketika matanya dibuka kembali maka pemandangannya sudah terang seperti semula.
Begawan Sitaraga terkejut ketika melihat kedua mata lawannya tidak menjadi buta oleh kilapan sinar cerminnya. Di lain pihak Wiro menganggap bahwa senjata yang paling berbahaya di antara penyerang-penyerangnya ialah cermin di tangan Sitaraga itu. Maka dia memutuskan untuk menghancurkan senjata itu terlebih dahulu.
Namun dikurung lima begitu rupa tidak mudah bagi Wiro Sableng untuk melaksanakan niatnya. Serangan lima tawan bertubi-tubi. Setiap dia coba untuk menghancurkan senjata di tangan Sitaraga maka pedang Kalingundil atau golok Tapak Luwing atau keris emas ataupun tendangan Tapak Gajah datang pula menyerangnya, kadangkala berbarengan sekaligus! Dengan bergerak gesit, dengan lancarkan serangan serangan balasan, dengan hanya bertangan kosong itu, pendekar 212 cuma sanggup bertahan sampai duabelas jurus. Jurus-jurus selanjutnya dia didesak hebat Golok besar empat peregi berkali-kali membabat ke arah dada dan perutnya. Sinar biru Pedang Siluman di tangan Kalingundil tiada henti berkiblat ke sekujur tubuhnya sedang keris emas Wirosokananta laksana hujan mengirimkan tusukan-tusukan mematikan. Dan di antara itu tendangan tendangan Tapak Gajah tiada terkirakan ditambah yang paling berbahaya cermin di tangan Sitaraga berkata-kali menyambar kemukanya, masih untung sanggup dialakkannya!
Jurus kelima belas murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak ke tepi kawah. Sinar cermin menyambar kemukanya. Di saat itu pula tendangan Tapak Gajah menyeruak ke arah selangkangan. Dari atas menderu Pedang Siluman Biru, keris emas menikam ke dada dan golok besar Tapak Luwing menggebubu ke perut!
"Tamatlah riwayatmu pemuda gila!" teriak Kalingundil.
"Jangan lupa sampaikan salamku pada setan-setan neraka!" menimpali Wirasokananta.
"Bret"!
Ujung Pedang Siluman Biru menyambar lewat dada, merobek pakaian pendekar 212! "Sialan!" maki Wiro Sableng.
"Memakilah sekenyangmu setan alas! Setan-setan neraka memang paling suka pada manusia-manusia tukang maki macammu!" teriak Kalingundil.
Wiro Sableng kertakkan geraham. Kedua pipinya menggembung. Sedetik kemudian meledaklah bentakan yang keras, demikian kerasnya sehingga menggema sampai ke dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu! Tubuh pendekar 212 lenyap! Serentak dengan itu terdengarlah suara siulan yang melengking-lengking. Dan di antara lengkingan siulan itu menderu suara laksana ratusan tawon, mendengung menyamaki liang telinga! Sinar putih bergulung-gulung! Lima penyerang tersurut mundur.
"Kapak Naga Geni!" seru Begawan Sitaraga ketiga melihat senjata di tangan Wiro Sableng. Belum lagi habis gaung seruannya itu sudah menyusul suara jeritan setinggi langit.
Satu tubuh angsrok terpelanting di tanah mandi darah, kepala terbelah dua! Korban Maut Naga Geni 212 yang pertama itu ialah Tapak Luwing!
"Kurung biar rapat!" teriak Tapak Gajah. Dia melompat tinggi. Kedua kakinya menendang susul menyusul. Dua senjata lainnya menderu pula ke arah Wiro Sableng.
"Ketua Perguruan Teratai Putih!" berseru pendekar 212. "Antara kau dan aku tak ada permusuhan. Sebaiknya undurkan diri saja!"
"Jangan bicara melangit pemuda sedeng! Delapan arwah muridku minta roh busukmu!". Wirasokananta percepat tusukan kerisnya. Maka keris emas, Pedang Siluman Biru dan Kapak Naga Geni 212 beradu dengan mengeluarkan suara nyaring.
Wirasokananta berseru kaget. Tangannya tergetar hebat dan pedas panas. Keris saktinya terlepas mental. Cepat-cepat Ketua Perguruan Teratai Putih ini melompat mundur.
Kalingundil sendiri tak kalah kagetnya. Bagian yang tajam dari pedang buntungnya gompal sedang tangannya menjadi seperti kaku. Kalau tidak sinar cermin Sitaraga menyambar ke arah lawan pastilah Kapak Maut Naga Geni 212 membabat perutnya. Kalingundil keluarkan keringat dingin!
Suara siulan Pendekar 212 kini sekali-sekali diselingi oleh suara tawa mengekeh!
Tubuhnya hampir tak kelihatan lagi. Kapak Naga Geni mengaung mencari maut. Keempat lawan menjadi sibuk. Merasa mulai terdesak, Tapak Gadjah segera keruk saku pakaiannya.
Tanpa memberi peringatan lagi tokoh silat ini segera lepaskan seratus senjata rahasia yang berupa jarum-jarum hitam ke arah Wiro Sableng. Tapi angin putaran Kapak Naga Geni yang ampuh sekaligus meluruhkan jarum-jarum beracun itu. Malahan Tapak Gajah dan kawan-kawan menjadi sibuk karena harus mengelakkan jarum-jarum hitam yang terdorong berbalik menyerang mereka sendiri!
"He.. he.. he..," Pendekar 212 tertawa mengekeh. "Wirasokananta, untuk penghabisan kali aku kasih peringatan padamu. Mundur atau mampus dengan percuma!".
Ketua Perguruan Teratai Putih menjadi bimbang. Dia membatin "Adakah seorang musuh yang sehebat ini sampai memberi dua kali peringatan kepadaku?".
"Wirasokananta jangan bodoh!" teriak Kalingundil. "Manusia yang telah membunuh delapan muridmu, ape hendak kau lepaskan begitu sa… akh....."
Kata-kata Kalingundil tak sampai pada ujungnya. Salah satu dari mata kapak di tangan Wiro Sableng membabat putus lengan kirinya. Tangan dan pedang buntung mental masuk kawah. Darah muncrat. Laki-laki ini terhuyung ke belakang kesakitan. Akhirnya ketika dia kehabisan darah nafasnya megap-megap dan dia jatuh menelentang di tanah tapi belum mati!
Tapak Gajah dan Begawan Sitaraga tertegun seketika. Namun sesaat kemudian serentak pula keduanya menyerang sebat. Serangan ini disambut dengan siutan dan tawa mengejek oleh Wiro Sableng. "Kalian berdua adalah tokoh-tokoh silat dari golongan hitam! Manusia-manusia macam kalian pantas menjadi umpan cacing di liang neraka!". Pendekar 212 putar kapaknya.
"Buyar!"
Cermin di tangan Sitaraga pecah berhamburan. Begawan itu keluarkan seruan tertahan dan memandang senjatanya yang hancur dengan rasa tak percaya.
"Begawan awas!" teriak Tapak Gajah. Tapi terlambat!
Kapak Maut Naga Geni 212 datangnya tiada sanggup lagi untuk dielakkan.
"Crras"!
Putuslah leher Begawan Sitaraga. Darah seperti air mancur muncrat ke udara. Kepala yang buntung mengelinding seperti bola terus masuk ke dalam kawah Gunung Tangkuban Perahu!
Melihat kematian sobatnya ini, si kate kepala sulah Tapak Gajah menciut nyalinya!
Tanpa buang waktu dia segera putar tubuh.
"Eit orang kate, mau minggat ke mana?!" Wiro Sableng berseru. "Ayo berhenti!".
Tapi mana Tapak Gajah mau berhenti. Malahan ini manusia tancap gas dan lari lintang pukang. Wiro menyeringai. Tangan kanannya bergerak menekan bagian dekat hulu kapak yang berbentuk kepala naga-nagaan. Maka mengaunglah 212 batang jarum putih beracun ke arah Tapak Gajah. Tapak Gajah coba melompat ke samping namun dia kurang cepat. Hampir keseluruhan jarum-jarum putih itu menembus daging tubuhnya. Tapak Gajah meraung setinggi langit! Begitu racun jarum merembas jantungnya maka tubuhnya kelojotan seketika lalu menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi!
Wirasokananta leletkan lidah melihat kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu tengkuknya merinding karena ngeri! Sedang ketika dia berpaling pada pendekar itu, dilihatnya Wiro Sableng berdiri sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong! Wiro tarik nafas dalam lalu putar tubuh dan memandang pada Wirasokananta. "Ketua Perguruan Teratai Putih," katanya. "Kenyataan yang kita tidak saksikan dengan mata kepala sendiri adalah terlalu sukar untuk dipercaya. Demikian juga dengan peristiwa di perguruanmu. Sama sekali tak ada sangkut pautnya denganku! Aku yakin manusia inilah yang jadi biang racun!".
Wiro mendekati Kalingundil yang tengah megap-megap. Dari dalam sakunya dikeluarkannya sebuah pil. Dia senyum-senyum dan menimang-nimang obat itu. "Kau masih inginkan hidup Kalingundil?" tanyanya.
Kalingundil diam saja.
"Obat ini bisa menyembuhkan lukamu dan memunahkan racun Kapak Naga Geni yang mengalir di darahmu. Aku akan berikan kepadamu jika kau menerangkan dan mengaku bahwa kaulah yang telah membunuh delapan anak murid Perguruan Teratai Putih...".
Kalingundil masih diam.
"Kau tak mau hidup..... ?".
Kalingundil memandang dengan matanya yang berbinar-binar pada pil di tangan Wiro. Dalam diri setiap manusia yang tengah meregang nyawa akan selalu datang harapan untuk dapat terus hidup. Demikian juga dengan Kalingundil.
"Masukkan dulu pil itu ke dalam mulutku," katanya.
Wiro memasukkan obat itu ke dalam mulut Kalingundil dan Kalingundil cepat-cepat menelannya. "Sekarang terangkan cepat!".
Kalingundil buka mulut mengakui apa-apa yang telah diperbuatnya terhadap Perguruan Teratai Putih. Akan Wirasokananta begitu mendengar penuturan tersebut, tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Tanpa banyak cerita dengan kaki kanan ditendangnya Kalingundil. Demikian kerasnya sehingga tak ampun lagi tubuh Kalingundil mencelat beberapa tombak ke udara dan malang baginya tubuhnya terlempar tepat ke kawah.
Masih terdengar jeritan laki-laki itu menggaung ketika tubuhnya melayang ke bawah sebelum amblas di dalam kawah belerang!
Sekali lagi pendekar 212 hela nafas dalam dan berpaling pada Wirasokananta. Satu senyum terlukis di bibir pendekar muda itu. Ketua Teratai Putih belas tersenyum.
"Orang muda, apakah kau betul-betul muridnya Sinto Gendeng?".
"Ah.... murid siapapun aku bukan menjadi soal, Ketua Perguruan Teratai Purih" menyahuti Pendekar 212. "Orang-orang mencap aku pemuda edan, sinting, gila, geblek...
Kurasa memang suatu ketika kegilaan itu ada perlunya. Hanya manusia-rnanusia gila semacam kita inilah yang sanggup membunuh manusia-manusia bejat dan menghancurkan kebejatan. Coba saja kau pikir mana ada manusia waras mau membunuh sesama manusia...?".
Wirasokananta tertawa. "Ucapanmu benar juga, pendekar," katanya.
Wiro mendongak ke langit. "Ah, matahari sudah tinggi. Banyak urusan baru yang menunggu kita. Ketua Perguruan Teratai Putih, pertemuan kita hanya sampai di sini. Aku senang bisa berkenalan dengan kau. Semoga kita bisa jumpa lagi....".
"Pendekar 212, tunggu dulu...!" seru Wirasokananta. Tapi percuma saja. Sang pendekar saat itu sudah berkelebat dan lenyap! Wirasokananta goleng-goleng kepala.
"Pemuda hebat sikapnya seperti betul-betul gila tapi hatinya polos, ilmunya.... ah, aku yang sudah tua ini mungkin tak pernah bisa mencapai ilmu setinggi yang dimilikinya. Belum lagi sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah lenyap..."
Wirasokananta memandang ke dasar kawah lalu mengikuti jejak Wiro Sableng meninggalkan tempat itu.