Chereads / Entering a Dream / Chapter 3 - 2 - Dreaming of You

Chapter 3 - 2 - Dreaming of You

Setelah Alora memutuskan teleponnya dengan Adrian, dia hanya duduk lemas di ranjang kamarnya. Perlahan, dia merosot dari sikap duduknya dan membenanamkan kepala di bantalnya yang empuk.

Kepalanya terasa berat, hatinya tidak karuan, dan bisa dibilang, otaknya seperti serasa terbakar, panas karena memikirkan hal yang baru saja terjadi. Lelah... capek... sakit... Berbagai rasa negatif bermunculan satu per satu. Dia tidak sanggup untuk menghadapinya sekarang ini. Sudah tidak ada tenaga yang tersisa.

Kedua matanya perlahan menutup dan dia memilih untuk mengatasi rasa-rasa lelah itu dengan datang ke alam mimpi. Untuk sementara ini, dia tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana.

Dia butuh istirahat dan setelah menutup matanya, pada hembusan nafas yang ketiga, Alora sudah sampai ke alam mimpi.

---

'Sungguh beruntung kau ada di sisiku'

'Beruntung kita bisa bertemu'

'Angin diwarnai dengan romansa cinta'

'Terus tinggal diam dalam mimpiku'

'Berharap bisa di sisimu selama kuhidup'

'Bisa saling setia dan mengerti'

'Sampai selamanya'

'Tidak lagi membuang waktu yang berjalan'

'Berharap mimpi ini akan terus berlanjut'

---

Dengan mata setengah terbuka dan setengah sadar, Alora mencoba mencari dari mana asal suara yang sedang mengalunkan lagu 'itu'.

Perlahan bangun, dia mengerjapkan matanya supaya bisa melihat lebih jelas. Dan setelah matanya kembali jernih, dia menemukan ternyata ponselnya yang sedang mengalunkan lagu itu. Dia mengambil ponselnya dan melihat kalau aplikasi musik di ponselnya terpasang berulang untuk melantunkan lagu ini.

Dia ingat kalau kemarin malam, dia memang memasang lagu ini untuk dialunkan berulang kali, saat dia sedang berpikir tentang hubungannya dengan Adrian.

Lagu ini adalah sebuah puisi yang mereka berdua buat dalam salah satu film yang mereka perankan bersama, yang nantinya dijadikan lagu yang mereka nyanyikan dalam bentuk duet untuk film itu.

Sebuah lagu yang menggambarkan tentang cerita dari peran yang mereka mainkan, tapi juga sekaligus menggambarkan perasaan mereka secara tidak langsung.

Mungkin secara tidak sadar, saat dia tidur, tangannya menyenggol ponselnya yang punya fungsi jika dia membuat simbol tertentu, aplikasi musiknya akan berjalan. Tidak heran kalau dalam tidurnya dia bermimpi mendengar lagu itu.

"'Bermimpi Tentangmu'," ucap Alora lirih. Kata-kata dalam lagu itu sungguh manis dan memang pada saat itu, seperti itulah yang mereka rasakan. Seakan bermimpi, semuanya indah dan manis. Andai saja mimpi itu bisa terus berlanjut seperti dalam lagu, tidak peduli akan waktu yang berjalan...

Alora mendesah dan menghentikan aplikasi musiknya. Saat lagu itu berhenti, suasana menjadi tenang dan Alora baru menyadari kalau hari sudah gelap.

Dari jendela kamarnya, dia bisa melihat banyak lampu-lampu luar di sekitar apartemennya sudah menyala. Dia melihat ke display ponselnya dan di situ tertulis kalau waktu sudah menunjukkan pukul 7.

Dia sudah tertidur selama tiga jam.

"Ternyata baru tiga jam berlalu," Alora berbisik pelan. Baru tiga jam berlalu setelah sesuatu berharga yang dia punya, sudah berubah dan bukan miliknya lagi. Tapi Alora sadar kalau memang seperti itulah dunia ini. Dia akan tetap berputar, tidak peduli apa yang sedang terjadi di dalamnya.

Dia tahu. Sudah lama tahu. Dan karena itu dia mendesah lagi.

Ponsel di tangannya tiba-tiba berdering. Sebuah nama muncul di display dan sebenarnya, Alora sedang menunggu kapan nama ini akan meneleponnya. Dia menggeser tanda jawab dan bicara kepada si penelepon.

"Di mana kau?"

"Di depan pintu apartemenmu. Buka pintunya sekarang."

"Kau sendirian?"

"Aku bersama Adrian."

"Hah?"

"Tentu saja sendiri! Siapa lagi yang akan kuajak? Kalau mau membuatmu cerita soal perasaanmu, mana pernah aku datang bersama yang lain?"

"Oh..."

"Jangan diam di tempatmu saja! Aku juga bawa beberapa kaleng bir. Dan tanganku sudah mau patah rasanya. Cepat buka pintunya atau aku akan membuang bir-bir ini ke jalanan. Aku tidak peduli kalau akan kena orang lain."

"Tunggu, aku segera buka pintu. Dan jangan kau buang birnya. Aku akan menyuruhmu beli lagi kalau sampai benar kau buang."

"Cepat. Buka. Pintunya!"

"Sabar!"

---

"Jadi bagaimana?"

Alora mengambil satu kaleng bir dan membuka penutupnya. Dia hanya melirik sedikit ke temannya sebelum dia menenggak minumannya itu. Dengan cepat rasa khas bir menyapu lidah Alora dan setelah minum hampir setengah kaleng, dia berhenti.

"Sudah puas?"

"Lumayan," sahut Alora datar. Dia menaruh kaleng bir yang tinggal setengah isinya di meja ruang tamu, tempat dia dan salah satu teman baiknya, Vanya Lathika, sekarang duduk.

"Tidak kau habiskan? Aku khusus bawa semua bir ini untukmu. Besok pagi aku harus ke rumah sakit, jadi aku tidak akan minum malam ini."

"Kenapa ke rumah sakit? Apa... KA-"

"Jangan mikir sembarangan!" Vanya memukul Alora dengan bantal sofa. "Aku TIDAK sakit, apalagi terjangkit virus."

"Siapa tahu?"

"Kalau aku benar sakit, KAU yang akan tertular pertama kali!" kata Vanya sebal sambil melempar bantal ke Alora lagi.

"Jangan lempar bantal ke aku! Tahu tidak tenagamu itu bisa sekuat laki-laki?"

"Rasakan."

"Jadi, kenapa kau harus ke rumah sakit?"

"Teman mama ada yang sepertinya kena virus ronaco yang sedang heboh sekarang. Dan dia itu teman baiknya. Aku juga kenal dengan dia, makanya aku besok juga mau jenguk di rumah sakit."

"Harus dari pagi perginya?"

"Kalau tidak dari pagi, mana bisa aku keluar? Para reporter masih berkeliaran di depan rumah dan orang tuaku tidak memberiku ijin untuk balik ke apartemen."

"Salahmu sendiri punya pacar yang malah jadi masalah akhirnya."

"MANTAN pacar. Dan jangan membahas apapun tentang dia sekarang. Aku ke sini bukan untuk bicara soal orang brengsek itu."

Vanya mengambil satu kaleng bir dari atas meja dan membukanya. Dia menenggak beberapa kali sebelum berhenti.

"Katanya tidak mau minum?" ejek Alora dengan nada bercanda.

"Kenapa juga kau harus membahas soal laki-laki brengsek itu? Mengingatnya benar-benar cuma bikin kesal!" Vanya kembali menenggak minumannya sebelum meletakkan kaleng birnya di meja. "Cukup soal ini. Aku mau tanya tentang kau dan Adrian. Dan ini yang dari tadi belum kau jawab. Bagiamana jadinya?"

Alora menjatuhkan badannya ke sandaran sofa sebelum akhirnya menjawab, "Seperti yang aku bilang padamu kemarin. Aku dan dia sudah putus."

"Putus sebagai pacar?"

"Yup. Kita sudah tidak pacaran lagi."

"Apa kau bertemu dengan dia?"

"Tidak. Kita putus lewat telepon."

"Dan dia setuju?"

"Dia akan setuju dengan apa yang aku mau. Dia tidak bisa bilang tidak padaku." Vanya tahu kalau Alora tidak berbohong. Adrian benar-benar hampir selalu kalah kalau berargumen dengan Alora. Mereka beberapa kali bertengkar soal ini dan itu, tapi pada akhirnya Adrian selalu menurut pada Alora.

"Bagaimana perasaanmu?"

"Perasaanku rumit. Lega, sedih, sakit, kacau."

"Lebih banyak negatifnya dari positifnya."

"Aku sedang berusaha untuk tidak depresi."

"Kau boleh untuk bersikap depresi. Kau itu baru putus dengan pacarmu. Siapa yang tidak akan depresi?"

"Kau tidak depresi putus dengan mantan pacarmu."

"Rasa kesal dan marahku lebih besar dari rasa depresi. Jangan mengalihkan topik."

"Vanya..." Tiba-tiba Alora bicara dengan lirih. "Aku sedang tidak ingin membicarakan tentang Adrian dan putusnya kami. Aku minta waktu untuk menenangkan perasaanku dulu. Sendiri saja."

"Kau yakin?" tanya Vanya khawatir. Alora mengangguk pendek. "Masih mau kutemani?"

"Aku lebih ingin sendiri sekarang. Mungkin besok setelah kau pulang dari rumah sakit, malamnya kau bisa ke sini. Menginap juga boleh. Paman dan Bibi Lathika pasti memberi ijin kalau kau menginap di tempatku."

"Setelah dari rumah sakit, aku ada janji dengan Carla."

"Carla... Uh, aku rasanya bisa dengar suara dia yang akan sepertimu, terus bertanya soal aku dan Adrian."

"Kau juga cerita ke dia?"

"Dia itu satu agensi denganku. Tidak mungkin kalau dia tidak tahu tentang aku dan Adrian."

"Jadi?"

"Kalian boleh datang berdua besok. Lebih baik aku bicara soal ini satu kali saja. Belum lagi aku harus menjelaskan pada Pak Leo soal aku putus dengan Adrian. Lebih sedikit harus menjelaskan lebih baik."

"Oke, besok aku datang dengan Carla." Vanya berdiri dan melihat lagi ke arah Alora. "Kau benar tidak apa-apa?"

"Iya."

"Bisa kutinggal?"

"Iya."

"Tidak mau ditemani?"

"Ya, mama."

Vanya melihat Alora dengan seksama sebelum akhirnya berjalan ke pintu luar. "Jangan minum terlalu banyak."

"Aku tahu."

Alora mendengar suara pintu apartemennya yang membuka dan menutup. Dia kembali sendirian di apartemennya.

Dia bisa mendengar suara hening di dalam apartemennya itu.

Setelah diam beberapa lama, tangannya mengambil ponsel yang diletakkan di meja sebelah sofa dan matanya melihat ke aplikasi musik.

Perlahan dia bangun dan berjalan ke kamar tidurnya. Dan tidak lama kemudian lagu 'Bermimpi Tentangmu' kembali mengalun dari dalam kamarnya.

Alora masih ingin supaya mimpinya ini bisa berlanjut sebentar lagi, sebelum nantinya dia harus menghadapi kenyataan yang berkebalikan dengan mimpi. Dengan pelan dia melantunkan lirik lagunya sambil menutup mata.

"Berharap mimpi ini akan terus berlanjut~~"