Seperti yang Lucia bilang, dia cuma ada di tempat Alora sampai siang dan setelah yakin kalo Alora tidak akan berbuat konyol--
"Aku ini cuma putus dari pacar. Kenapa juga aku sampai mau bunuh diri cuma gara-gara hal itu?" Dengan sebal Alora menyahut ke Lucia setelah manajernya itu tiba-tiba bilang kalau sampai Alora berani bunuh diri, dia dengan PASTI akan membawanya hidup kembali, disertai siksaan karena berani untuk melakukannya pertama kali.
"Adrian itu pacar pertamamu kan? Aku sudah banyak dengar dan juga tahu kalau pacar pertama itu sangat penting buat kita wanita. Apalagi di dunia hiburan seperti ini. Bunuh diri itu sudah biasa. Aku tahu kalau kau itu bisa nekat kalau memang mau."
"KAK LU!" teriak Alora kesal. "Aku ini masih waras, tahu! Dan pikiranku tidak sependek itu!"
"Aku cuma kasih peringatan."
"Kau lebih tepat dibilang mengancam daripada kasih peringatan."
"Itu jauh lebih efektif. Orang akan lebih nurut kalau ketakutan dibanding cuma digertak."
Alora memutar bola matanya.
"Well, bagus kalau kau tidak punya niat bunuh diri. Aku sudah bilang apa yang akan kulakukan kalau sampai kau berani melakukannya. Dan aku selalu berbuat apa yang kubilang."
"Aku tahu itu."
"Bagus."
--Lucia pergi meninggalkan apartemen Alora di siang harinya.
Badai pertama sudah berlalu, pikir Alora dalam hati.
Dia melihat ke sekeliling apartemennya dan menghela nafas. Meski Lucia memang memasak untuknya -dan siapa yang tahu ternyata dia JAGO masak- tapi hanya sampai di situ. Peralatan yang dia pakai tidak dibersihkan dan piring bekas mereka makan masih tertumpuk di bak cuci.
Setidaknya perutnya sudah terisi kenyang dan Alora sudah tidak selemas sebelumnya. Dan sekarang dia sedang tidak punya hal untuk dilakukan. Setelah menetapkan untuk membereskan apartemennya, tubuhnya langsung bergerak dan dia mulai menyibukkan diri.
Empat jam kemudian, apartemennya terlihat tidak pernah sebersih sekarang. Senyuman puas merekah di wajah Alora.
Letih dan kotor, Alora memutuskan untuk mandi sambil menunggu tamu keduanya yang akan datang malam nanti. Vanya sudah mengirim pesan kalau dia dan Carla akan datang sekitar pukul 6 nanti. Dan mereka juga akan bawa makanan. Keduanya berencana untuk menginap di tempat Alora.
Alora menyalakan shower dan air dingin segar segera mengguyurnya. Dengan teliti dia membersihkan badannya dan setelahnya dia mengeringkan badan dengan handuk bersih yang tergantung di gantungan handuk. Saat dia sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk lain, matanya melihat ke atas wastafel dan satu benda di situ membuat dia terdiam. Sebuah kalung berwarna perak tergeletak di dekat gelas yang berisi satu sikat gigi berwarna biru.
Alora diam beberapa saat sambil melihat ke kalung tersebut.
"Aku lupa kalau kalung Adrian masih aku yang simpan." Satu komen terlontar dari mulutnya setelah dia diam beberapa lama. Matanya kemudian bergerak ke arah sikat gigi biru di sebelahnya. "Dan sikat giginya juga masih ada di sini..."
Dua benda ini adalah jejak dari sisa kebersamaan mereka. Terutama kalung peraknya. Kalung itu tidak mahal, tapi itu adalah kalung pasangan. Alora menyimpan pasangannya di kotak perhiasannya. Sebelumnya, dia dan Adrian selalu menggunakannya ke mana saja mereka pergi, tersembunyi dalam baju mereka. Tapi setelah masalah dengan penggemar Adrian mulai tidak terkendali, keduanya sepakat untuk memakainya lagi sampai keadaan lebih aman. Kalung Adrian bisa ada bersamanya karena Adrian yang minta Alora supaya dia saja yang menyimpannya. Adrian sebetulnya tidak setuju kalau mereka tidak lagi memakai kalung mereka. Dia bilang lebih baik Alora yang menyimpannya karena dia pasti tidak tahan kalau cuma melihat kalung miliknya disimpan. Dia pasti akan gatal untuk memakainya, yang nanti pastinya malah bisa jadi masalah lagi.
Alora tidak ingat kenapa dan kapan dia meletakkan kalung milik Adrian di atas wastafel.
Dia menatapnya beberapa lama lagi sebelum akhirnya dia membiarkan kalung itu ada di atas wastafel dan melanjutkan untuk mengeringkan badan dan rambutnya.
Dia akan membereskannya nanti.
---
*Ding-dong*
*Ding-dong*
"Iya, iya. Aku datang."
Alora berjalan untuk membuka pintu tanpa mengecek lagi di interkom siapa yang datang. Waktu sudah menunjukkan pukup 6 dan saat di saat yang bersamaan, bel pintunya berbunyi.
"Tepat waktu sekali mereka datangnya," gumam Alora sambil membuka pintu. Dia sudah tahu siapa tamu yang akan datang, tapi dia tidak bisa menebak apa yang sudah terjadi pada dua tamunya ini sebelum sampai di depan apartemennya. Dia sedikit kaget melihat Vanya dan Carla balik menatapnya dengan mata ingin membunuh saat dia membuka pintu.
"...Kalian kenapa?" tanya Alora takut-takut.
"Boleh kita masuk dulu?" Vanya membalas dengan agak ketus. Sementara Carla hanya diam saja sambil memegang dua kotak pizza.
"Silahan masuk," kata Alora sambil memberikan jalan pada Vanya dan Carla. Keduanya langsung masuk tanpa disuruh lagi dan berjalan menuju ruang tamu. Tanpa bicara apa-apa, keduanya menjatuhkan diri di sofa. Carla menaruh, er, membuang kotak pizza di meja, tidak peduli apa isinya akan berantakan atau tidak.
"Alora, bir yang kemarin kubawa masih ada?"
"Masih. Ada di kulkas."
"Bawa keluar semuanya. Kalau aku tidak minum sampai puas hari ini, aku tidak akan bisa istirahat."
"O-ke. Tunggu sebentar." Alora mengeluarkan semua sisa bir yang Vanya bawa kemarin dan menaruhnya di atas meja ruang tamu. Vanya dan Carla langsung menyambar satu kaleng bir dan menenggaknya sampai habis. Dan mereka tidak berhenti di kaleng pertama. Sampai pada kaleng ketiga, baru mereka tidak minum lagi dan kelihatannya sudah lumayan tenang.
"Kalian kemari bukannya untuk menemaniku, kan? Kenapa malah sepertinya keadaan kita jadi terbalik?" Alora yang dari tadi diam melihat kelakuan Vanya dan Carla akhirnya bicara.
"Bukan maksudku untuk berbuat seperti ini, tapi seharian ini aku sudah menahan kesal dan aku baru tahu bisa ada orang yang tidak tahu malu seperti itu." Vanya bicara dalam satu nafas.
Alora tidak berkomentar, matanya melirik ke arah Carla. "Dan kau, Carla? Kenapa sepertinya kau terlihat seperti mau membunuh orang begitu?"
"Tidak sampai membunuh. Aku tidak mau membuat kotor tanganku dengan darah orang sepertinya. Mungkin cukup menonjok mukanya sampai lebam. Itu JAUH lebih membuatku puas." Carla bicara dengan nada biasa, seakan dia tidak baru saja berencana ingin menghajar seseorang.
"Dan semua ini karena...?"
"Laki-laki!" sahut Vanya dan Carla bersamaan.
"Oh..."
"Reaksi macam apa itu?!" tanya Vanya sebal dengan nada sedikit tinggi.
"Aku tidak tahu apa yang laki-laki ini sudah lakukan. Dan yang membuat kalian kesal bukan laki-laki yang sama kan?" Keduanya menggeleng. "Kalau begitu, silahkan cerita. Aku mendengarkan."
"Ak-" Saat Vanya mau membuka mulut untuk mulai cerita apa yang membuat dia kesal, Carla menaruh tangan di pundaknya dan itu membuat Vanya tidak jadi bicara.
"Kita memang sekarang sedang kesal. Tapi kita ke sini bukan untuk cerita soal itu. Ini bukan waktunya kami, Alora."
Umur Carla adalah yang kedua termuda di antara mereka bertiga, dengan Vanya lebih tua setahun dari Carla dan Alora lebih muda 2 tahun di bawahnya. Tapi Carla adalah yang paling senior di antara ketiganya di dalam dunia hiburan. Dia sudah menjadi artis sejak usia dini. Dan bisa dibilang paling punya emosi stabil. Bisa berkepala dingin dalam hampir berbagai macam situasi. Karena itu, dengan cepat dia sadar kalau terus dibiarkan, malam itu tidak akan berfokus pada Alora.
"Ayo kita bicara tentangmu. Dan juga Adrian." Carla melanjutkan.
"Bagaimana kau sekarang?" tanya Vanya setelah dia menyadari yang Carla katakan itu benar. Saat ini dia harus fokus dengan Alora dulu. "Sudah jauh lebih tenang dari semalam?"
"Jauh lebih tenang, iya. Sudah baikan? Mungkin sedikit. Bingung? Jangan ditanya."
"Felice tadi meneleponku. Aku tahu soal Adrian meng-unfollow swittermu." Manajer Carla mengalami kecelakaan beruntun beberapa bulan sebelumnya. Pak Leo minta kepada Felice, yang waktu itu sudah menjadi Manajer Adrian, untuk sementara ini jadi manajer pengganti Carla. "Kau putus dengan Adrian?"
"...Iya."
"Sejak?"
"Kemarin," sahut Vanya. "Malam sebelumnya dia meneleponku dan bilang kalau dia sudah mengambil keputusan untuk putus dengan Adrian."
"Apa penggemar Adrian berbuat sesuatu lagi padamu? Sesuatu yang ekstrim?"
"Kapan para penggemarnya tidak berbuat seperti itu," Alora menjawab dengan nada capek. "Tapi untuk yang kau tanya, tidak. Aku mengambil keputusan untuk putus akhirnya, meski penggemarnya juga jadi salah satu alasan, tapi aku tiba-tiba seperti tersadar dengan satu hal."
Vanya dan Carla hanya diam mendengar Alora bicara. Mereka takut kalau Alora diganggu, dia tidak akan mau menjelaskan lebih lanjut lagi.
Vanya dan Carla adalah dua teman baik terdekat Alora. Mereka berkenalan waktu ikut satu acara variety show di salah satu stasiun TV dua tahun lalu. Kebetulan mereka ada di satu kelompok dan merasa langsung klop. Sejak saat itu, mereka sudah bagaikan saudara, tanpa ada jalinan darah.
Alora tidak punya saudara kandung dan kedua orang tuanya hidup di bagian kota yang berbeda. Vanya dan Carla adalah orang terdekat setelah Lucia sebagai teman wanita.
Alora mulai perlahan meluapkan isi hatinya.
"Bisa berpacaran dengan Adrian adalah sebuah mimpi yang tidak pernah terpikir sama sekali..."