DUK! DUK! DUK!
"Pelan-pelan!"
Pak Didi yang sedang melipat selimut tuan mudanya langsung menegakan tubuh saat ia mendengar suara gaduh yang sepertinya berasal dari beberapa orang yang semakin mendekat ke kamar William. Suaranya terdengar seperti suara anak-anak muda, dan ia kenal betul satu suara yang terdengar paling nyaring. Pria paruh baya itu kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda beberapa saat itu agar ia bisa menyambut tamu yang sedang menuju kemari.
Sedangkan William, pria es itu terlihat acuh seakan tak peduli dengan keadaan diluar sana. Ia masih sibuk menyantap sup krim jagung sebagai cemilan sorenya, masih diatas tempat tidur karena suhu tubuhnya yang sempat turun siang tadi kembali naik.
BRAK!
"William! Kami dataaaaang!" Devian dengan suara nyarinya datang sambil membanting pintu kamar William cukup kencang. Tangannya menenteng sebuah bungkusan yang tak tahu apa isinya.
Ia datang bersama Adrea, Divinia, Daniel, dan Alvin. Sasa sudah ia antar pulang dulu sebelum menjenguk William karena Devian tidak ingin kekasihnya itu kelelahan. Perjalanan hampir satu setengah jam dari tempat parkir menuju tempat yang mereka inginkan sungguh sangat menguras energi mereka. Jalanan kali ini lebih parah daripada jalanan saat di villa Devian dulu. Untuk sampai di penangkaran rusa yang menjadi tujuan utama, mereka harus benar-benar melewati hutan yang lebat dengan petunjuk arah yang sangat minim.
Yang paling membekas di perjalanan kali ini untuk Devian adalah ketika mereka melewati jembatan yang tidak terlalu panjang dan terlihat tidak meyakinkan untuk dilewati. Dibawah jembatan itu mengalir sungai yang saat itu airnya sedang tidak deras. Di sisi jembatan sudah tertulis peringatan yang cukup besar bahwa jembatan itu tidak boleh dilalui oleh lebih dari lima orang, maka dari itu mereka membagi kelompok yang terdiri dari lima orang untuk menyebrangi jembatan itu.
Devian ketakuran setengah mati ketika giliran kelompoknya yang menyebrang, ada dua orang kakek-kakek memakai topi dan baju olahraga lengkap dengan sepatunya ikut menyebrang ketika Devian dan kelompoknya sedang berada di atas jembatan. Pria pirang itu bahkan berteriak saat jembatan yang mereka lalui bergoyang karena sang kakek tidak hanya berjalan melewati mereka, namun setengah berlari. Ya, mereka sedang berjogging ria sambil menikmati keindahan alam di sekitarnya.
Hm, jika aku menjadi Devian mungkin aku juga akan berteriak ketakutan seperti itu.
Adrea yang tadinya sedang mengagumi keindahan arsitektur di kediaman Jaya terusik dengan suara nyaring Devian, "Berisik, Dev!" Gadis itu menjitak kepala Devian cukup keras. Mereka kemudian membungkukan badannya pada Pak Didi yang masih berdiri di sebelah tuan mudanya.
Si pria pirang hanya mengaduh sambil memegang kepalanya yang terasa sakit karena jitakan Adrea memang sungguh luar biasa.
Pak Didi tersenyum dan menyambut mereka dengan hangat seperti biasa. Pria paruh baya itu meminta teman-teman dari tuan mudanya untuk duduk di sofa ujung ruangan kamar William. Setelahnya, ia pamit undur diri agar bisa menyiapkan cemilan untuk teman-teman William.
"Gimana keadaan kamu, Wil?" Tanya Devian, "Nih, aku bawain buah-buahan." Devian mengangkat bungkusan plastik yang ia bawa.
William melirik sahabat pirangnya melalui ekor mata, "Baik." Raut wajah si pangeran es tampak malas untuk meladeni salah satu alien bumi paling berisik itu.
"Bagus kalau gitu." Devian membuka bungkusan yang ia bawa dan mengambil satu buah jeruk yang ada di dalamnya. Tanpa basa-basi si pirang mengupas dan memasukan buah itu kedalam mulutnya.
Dev, bukankah tadi kau sudah memberikan buah itu untuk William? Kenapa kau juga yang makan? Dasar tak tahu malu.
"Teesha udah pulang?" Tanya Devian karena ia tak menemukan sosok gadis karamel itu disudut manapun kamar William.
"Dia—"
CEKLEK
Sebelum William menyelesaikan ucapannya, sesosok gadis cantik berambut karamel datang membawa nampan berisi segelas air mineral dan juga segelas jus tomat. Gadis itu mematung ketika ia melihat teman-temannya berada di dalam kamar William, menatapnya sambil mengulum senyuman yang sangat Teesha benci. Tanpa mempedulikan mereka, Teesha kembali berjalan dan menaruh kedua gelas yang ia bawa itu di atas laci sebelah ranjang tidur William.
Devian berdeham cukup keras, "Kamu punya maid baru, Wil?" Canda Devian yang langsung mendapat tatapan tajam dari Teesha.
"Kalau gini caranya sih kayaknya William gak mau cepet sembuh nih." Tawa Devian meledak ketika ia melihat William yang sedari tadi acuh kini menatapnya dengan pandangan tak suka. Pria yang sedang sakit itu bahkan sampai melempar sebuah bantal yang hampir mengenai kepala Devian jika tidak segera ia tepis.
Adrea kembali menegur Devian karena pria itu terus saja membuat gaduh suasana. Begitupun dengan Teesha, ia sangat ingin menendang Devian keluar dari ruangan ini karena sungguh, dirinya saja yang sedang sehat merasakan sakit kepala yang luar biasa karena tingkah Devian yang menyebalkan, apalagi William yang istirahatnya terganggu karena kedatangan mereka?
Devian kembali membuka pembicaraan. Ia menceritakan perjalanan piknik mereka hari ini dengan sangat antusias. Mulai dari awal perjalanan, bagaimana mereka bisa sampai disana, perjuangan melewati rute yang sangat minim petunjuk arah, dan sampai mereka sampai di penangkaran rusa yang letaknya benar-benar di tengah hutan. Cerita dari Devian membuat Teesha merasa iri karena ia tidak bisa ikut. Apalagi ketika Devian dan yang lainnya menunjukan foto-foto yang berhasil mereka abadikan saat berada disana.
William yang sedari tadi memperhatikan teman-temannya itu berhasil menangkap raut kekecewaan dari Teesha. Ia jadi merasa tidak enak hati karena gadis itu tidak ikut acara piknik yang sudah ia tunggu karena harus menjaganya.
Sedari tadi ada sesuatu yang mengganjal pikiran William. Sebenarnya, Teesha bisa saja kan pergi meninggalkan William dan ikut bersama para anggota OSIS pergi. Tetapi ia malah memilih menjaga William yang sebenarnya bukan tanggung jawabnya. Maksudnya, mereka sudah tidak terikat perjanjian apapun dan Teesha bebas melakukan sesuatu yang ia mau tanpa persetujuan dari William. Karena toh mereka bukan siapa-siapa, hanya sebatas teman sekolah. Kenapa gadis itu masih mau ketika ia minta untuk terus berada disisinya? Apa Teesha masih menyimpan perasaan padanya? Apa Teesha masih mempunyai rasa itu?
Tidak usah terlalu banyak menduga, William! Apa susahnya sih kau tanya langsung pada orangnya?! Kau membuatku gemas setengah mati.
"Kamu harus lihat ekspresi ketakutan dari Devian! Aku sampai hampir buang air kecil di celana tahu gak?" Daniel dan yang lainnya kembali tertawa ketika mengingat kejadian di jembatan. Begitu pula dengan Teesha, gadis itu ikut tertawa karena terbawa suasana teman-temannya meskipun ia tidak tahu kejadiannya bagaimana. Tetapi membayangkan wajah konyol Devian yang sedang panik ketakutan juga sudah terbayang di pikirannya.
TOK! TOK! TOK!
Ketukan pintu dari luar mengalihkan perhatian mereka.
"Masuk."
CEKLEK
"Wil, aku denger kamu—" Perkataan seseorang yang baru saja masuk terhenti ketika ia menemukan sosok lain di dalam kamar William, "Loh? Ada kalian juga?"
Gadis manis itu tersenyum sumringah ketika ia mendapati teman-temannya yang berada disana. Ia menyapa satu persatu dari mereka sebelum kemudian menghampiri William untuk melihat kondisi pria itu.
Nayara.
Mata Teesha masih memperhatikan gerak-gerik gadis cantik yang diketahui sangat dekat dengan William itu. Ia bahkan mempertajam alat pendengarannya untuk memastikan apa saja yang mereka bicarakan meskipun sebenarnya itu bukan urusannya. Tetapi, entah kenapa melihat Nayara yang berada di sisi William membuat dirinya kembali mengingat saat-saat ia dan William bertengkar. Teesha merasa... merasa... Ah, tidak-tidak. Teesha berusaha tidak mempedulikan mereka meskipun rasa penasaran terus menghantuinya. Ia mencoba fokus pada Devian yang kini kembali melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti tadi.
.
.
To be continued