Matahari. Begitulah masyarakat Taesun mengandalkan salah satu ciptaan alam semesta tersebut. Khususnya masyarakat yang bekerja sebagai petani. Memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan, membuat tanah Taesun selalu bisa beradaptasi dengan baik terhadap perubahan iklim. Suplai makanan terjaga dengan utuh setiap tahun. Meskipun begitu ada suatu hal yang membuat masyarakat risau. Ramalan akan datangnya hujan selama bertahun-tahun karena sesuatu hal.
Raja Miroh—penguasa Taesun mengumpulkan semua anaknya pada sebuah aula yang berada di luar dari bangunan kerajaan utama. Kerajaan Taesun berada di atas perbukitan, dikelilingi oleh lima bangunan lain yang disebut sebagai aula. Terdapat aula militer di mana prajurit dan ksatria selalu mengadakan rapat pertemuan dengan raja. Aula spritual di mana para cenayang akan berkumpul mengamati langit dan petunjuknya. Aula wanita di mana ratu serta putri-putri dan bangsawan wanita lainnya akan membahas persoalan rumah tangga dan wanita dalam kerajaan. Aula menteri di mana pembantu tingkat tertinggi raja akan bertemu dengan raja membahas masalah kebutuhan bangsa dan pembangunan wilayah dan aula raja, tempat raja bebas menggunakannya sesuai kepentingannya.
''Apakah benar Ayah memanggil kita ke sini untuk sarapan?'' tanya Soka, anak ketiga sekaligus pangeran kedua. Wajahnya tegas dengan warna kulit cokelat, berambut keriting merah dan memiliki warna mata emas seperti Raja Miroh.
Sazta mengulum senyum tipis. ''Kau pikir Ayah punya waktu memperhatikan makanmu?'' Putri pertama yang memiliki warna kulit putih pucat, berambut lurus merah dan memiliki warna mata emas.
''Kurasa tidak aneh bukan sarapan bersama keluarga?'' ujar Irene menatap Sazta. Seorang putri, anak keempat dan memiliki kulit putih pucat, berambut lurus hitam dan memiliki warna mata emas.
''Tetapi mereka hanyalah keluarga biasa, bukan seperti kita,'' tambah Gara datang, lalu duduk di kursi paling dekat dengan kursi raja. Pangeran mahkota yang kulitnya putih pucat, rambut berwarna merah dan mata berwarna emas.
''Yang Mulia memasuki aula,'' teriak pelayan membuat para pangeran dan putri berdiri.
''Apa semua sudah datang?'' tanya Raja Miroh mulai duduk dan diikuti oleh anak-anaknya.
''Seperti biasa Azura masih berkeliaran,'' ujar Sazta bisa menebak ke mana adiknya itu berada.
Raja Miroh mengangkat tangannya untuk memberi isyarat. Seorang prajurit bergelar ksatria maju mendekatinya. ''Cari dia.''
Ksatria itu mengangguk tegas, kemudian meninggalkan Aula Raja diikuti dua prajurit bawahan yang datang bersamanya tadi. Pintu kemudian ditutup membuat para pangeran dan putri saling melempar pandangan bingung, sekaligus penasaran. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Ini bukan pertama kali raja meminta anak-anaknya untuk bertemu di aula, tetapi bukan seperti sekarang. Jam makan pagi dan pintu ditutup rapat dengan dua ksatria berdiri menjaganya.
Makanan telah tersaji di atas meja. Namun Raja Miroh tidak melihat ke arah itu, sebaliknya ia malah menatap anak-anaknya.
''Ada apa sebenarnya Ayah mengumpulkan kami?'' tanya Gara memulai pembicaraan. Sebagai seorang pangeran mahkota, ia memiliki tanggungjawab lebih untuk berkomunikasi lebih dalam terhadap raja.
''Ini terkait dengan Kastil Lexo,'' jawab Raja Miroh mulai mengutarakan maksud dari pertemuan.
''Apakah Tuan Muko mulai mengancam menghentikan pasokan obat-obatan?'' tebak Sazta bersuara.
Gara melempar tatapan tajam kepada Sazta. Ia bukan tidak menyukai kakak perempuannya itu ikut campur, tetapi menurutnya permasalahan seperti ini tidak seharusnya dicampuri oleh wanita.
''Apa?'' tanya Sazta menyadari tatapan Gara.
Sebagai anak pertama Sazta mendapat pendidikan yang baik, bukan hanya persoalan wanita dalam bidang memasak, menjahit dan bernyanyi. Tetapi dirinya juga sempat mendapat pendidikan bela diri dan menggunakan pedang, hingga Gara lahir dan Ratu Kailu dari Yumo yang merupakan Ibu Soka mulai menggantikan ibunya—Ratu Puri, bangsawan asli Taesun.
Selain lebih matang secara usia, Sazta juga cerdas dan tertarik akan permasalahan kerajaan baik politik atau militer, membuat Raja Miroh mengistimewakannya. Termasuk menunda pernikahannya yang menurut usianya yang sudah dua puluh sembilan, termasuk terlambat.
''Aku ingin kau bicara kepada Tuan Muko dan mencapai kesepakatan dengan pasokan gandum kita,'' ujar Raja Miroh menatap Gara.
''Bukankah mengirim menteri akan lebih baik?'' usul Sazta merasa Gara belum cukup baik dalam bernegosiasi.
''Aku bisa melakukannya,'' ujar Gara tidak mau diremehkan oleh Sazta.
Raja menganggukkan kepalanya. ''Kalau begitu buktikanlah. Ajak Azura bersamamu, dia sudah lama ingin ke wilayah Lexo,'' ujarnya lalu bangkit dari tempat duduk. "Bawa makananku ke kamar," perintahnya kepada pelayan, lalu pintu aula kembali terbuka.
Sazta menatap tajam Gara. Ia kemudian bangkit berdiri setelah memastikan ayah mereka pergi, lalu datang mendekati adiknya itu. ''Sebaiknya kau melakukannya dengan baik. Ratu Kailu akan selalu siap menyerangmu,'' bisiknya di dekat telinga Gara.
Gara menahan napas dan emosinya. Sedangkan Soka dan Irene mulai berjalan keluar dari aula. Mereka berdua merasa bahwa pertemuan ini hanya perlu dihadiri oleh Sazta dan Gara. Lebih tepatnya hanya menarik bagi kedua orang tersebut.
Soka menuju tempat panahan di mana dirinya harus berlatih setiap hari demi ikut turnamen panahan yang akan diadakan ketika raja berulang tahun. Ini adalah satu-satunya hal yang membuatnya tertarik dibanding Gara yang lebih suka membahas strategi militer dan politik.
Soka mengambil anak panah, lalu mulai menembakkannya ke sebuah target berupa apel yang berada sepuluh meter darinya. Namun setelah melepas tembakan, ternyata anak panah itu meleset. Tertancap pada papan yang ada di belakang.
Suara tawa membuat Soka kesal sekaligus penasaran. Ia berbalik, lalu menemukan Azura menertawainya. Adik tiri perempuannya itu kemudian mendekatinya sambil menggigit apel.
''Kau berani juga kabur dari pertemuan,'' ujar Soka membahas soal ketidakhadiran Azura di Aula Raja tadi.
''Ayolah, kau dan Irene pasti hanya duduk, diam dan mendengarkan perdebatan Sazta dan Gara,'' balas Azura memakai gaun putih panjang dengan rambut hitam terurai. Tidak seperti saudaranya, ia memiiki warna mata cokelat. Membuatnya ganjil bahkan di mata para bangsawan lainnya.
''Selamat! Kau akan ikut dengan Gara ke Lexo. Tunggu ... bukannya salah satu ksatria datang mencarimu,'' ujar Soka mengernyit.
''Aku berlindung dibalik jubah ratu,'' ujar Azura tersenyum tipis.
''Ya ya ya, Ibuku selalu melindungimu bukan?'' Soka sangat mengenal ibunya yang seorang ratu.
Ratu Kailu cenderung dekat dengan Azura. Ia sering dibantu Azura mengurus tanaman bunga pada rumah kaca yang terdapat di dekat Aula Spiritual. Tidak seperti ratu sebelumnya, yaitu Ratu Puri yang lebih suka dengan kesenian terutama bernyanyi, Ratu Kailu lebih suka berkebun. Kecintaan Ratu kailu akan tanaman membuat Sazta mendapat keuntungan dengan bisa berperan lebih aktif dalam urusan wanita kerajaan seperti mengurus acara-acara khusus.
''Kau bilang aku akan ikut ke Lexo?'' tanya Azura mengulangi ucapan Soka sebelumnya.
''Ya, kau keberatan?''
''Ayolah Soka, ini akan menjadi perjalanan menyenangkan,'' balas Azura kemudian beranjak pergi. Perempuan berusia delapan belas tahun ini meninggalkan Soka yang melanjutkan latihan memanahnya.
Terkadang Soka merasa bahwa di antara Sazta, Irene dan Azura, maka Azura lah putri raja yang memiliki kebebasan tersendiri dan sepertinya Raja Miroh tidak mempermasalahkannya.
♤♤♤
Sazta memasuki area dapur. Ia memasang raut wajah yang membuat para koki dan pelayan bergidik ngeri. Mereka paham betul jika Sazta sudah datang ke sini berarti ada yang salah dengan masakan.
''Aku mencicipi roti pai tadi. Rasanya seperti adonan mentega yang sudah basi,'' ujar Sazta dengan raut wajah datar dan nada dingin.
Kepala koki maju mendekat ke depan. Ia membungkuk pelan tanpa menatap Sazta. ''Maafkan kami putri. Kami akan pastikan itu tidak akan terulang lagi.''
Sazta melipat tangan di depan dada. ''Untung saja Raja belum sempat mencicipinya. Kulihat pelayan datang ke ruangannya membawa salad. Kurasa itu lebih baik dibanding pai tadi.'' Ia berjalan mengelilingi dapur, semua pelayan berkumpul di depan. Tidak berani melirik ke belakang.
Dapur kerajaan terdiri atas dua bagian. Yang pertama adalah khusus untuk menyajikan makanan untuk keluarga kerajaan dan yang kedua adalah khusus para pejabat, ksatria dan orang-orang penting lainnya di kerajaan.
Sebuah suara sepatu melangkah, memasuki area dapur. Seorang prajurit yang memakai seragam legkapnya memberi hormat kepada Sazta yang sudah menyadari kedatangan seseorang.
''Wakil Sekertaris Kerajaan, Tuan Bizum ingin menemui Putri,'' ujar prajurit tersebut.
Sazta melempar pandangannya sejenak. Ia tidak sengaja menatap teko teh beserta cangkir-cangkir yang terbuat dari tanah liat. Ia kemudian menuju pintu keluar melewati para pelayan dan koki yang diam membisu daritadi. ''Antarkan teh melati ke taman belakang kastilku,'' katanya melirik sekilas kepala koki.
Sazta berjalan melewati lorong Aula Spritual. Ia menyungging senyum miring begitu melihat sejumlah cenayang sedang melakukan ritual. Sejak tumbuh menjadi seorang gadis yang melihat berbagai situasi politik dan kehidupan pemerintahan kerajaan, dirinya mulai meragukan setiap pertanda yang selalu diagung-agungkan oleh cenayang. Seperti leluhur Taesun yang beranggapan bahwa dewa-dewi tinggal di atas langit dan mengatur alam semesta.
Sazta selalu rasional. Ia percaya bahwa setiap hal yang terjadi memang, karena pilihan dan kehendak dari manusia. Alih-alih berhubungan dengan cenayang, dirinya lebih senang berbincang dengan penjelajah.
Pintu kastil milik Sazta terbuka. Dua orang pelayan menyambutnya, untuk selanjutnya mengantarnya ke area taman belakang. Di sana telah ada Tuan Bizum, menatap burung merpati berwarna putih. Peliharaan kecil Sazta.
''Aku tidak menyangka kau akan sampai secepat ini,'' ujar Sazta kemudian duduk pada kursi besi yang di depannya terdapat meja bundar yang terbuat dari besi dengan alas dari kaca.
Tuan Bizum berbalik, lalu melempar senyum. ''Perjalanan yang menegangkan Putri Sazta.''
Sazta memutar bola matanya. Ia mengetahui wakil sekertaris Kerajaan Taesun tersebut suka berkelana, mengelilingi negeri pada waktu luangnya. Menjadikan Tuan Mohir yang merupakan sekertaris kerajaan harus bekerja keras.
''Lalu apa saja yang ini kau temukan?'' tanya Sazta sedang tertarik mendengar petualangan Tuan Bizum, sekaligus pamannya itu. Saudara tiri dari ibunya.
''Banyak, terutama aku melihat bagaimana para petani meperoleh panen yang cukup besar. Gandum tumbuh dengan baik dan para nelayan juga berlayar dengan tenang,'' jelas Tuan Bizam kemudian ikut duduk dalam posisi berhadapan dengan Sazta.
''Ayolah Paman, itu cerita membosankan.''
Tuan Bizum tertawa. ''Baiklah, aku juga mengunjungi Gunung Tuxa yang berada di ujung negeri, berada pada pinggir laut menuju Kerajaan Vinji.''
Alis Sazta terangkat begitu mendengar kata Vinji. Ingatannya kemudian kembali ketika Irene pertama kali datang ke Taesun dari Vinji tujuh tahun lalu. Ia tidak menyangka bahwa Raja Miroh, yaitu ayahnya sendiri memiliki hubungan dengan wanita yang berasal dari Vinji. Negeri yang terkenal akan penyihirnya.
''Dan Gunung Tuxa tetap didatangi oleh cenayang untuk ritual tidak berguna,'' komentar sinis Sazta.
Tuan Bizum menyungging senyum. ''Mereka melihat pertanda. Ramalan akan datangnya langit tanpa matahari dan hanya ada air yang terus turun beserta badai bersamanya.''
''Itulah yang selalu mereka ceritakan ketika aku masih kecil. Menakut-nakuti kami jika tidak ingin berada di bawah sinar matahari,'' kata Sazta mengingat masa lalu ketika masih berumur sepuluh tahun dan mengikuti akademi pengetahuan umum kerajaan. Sudah menjadi rahasia umum, jika keturunan raja harus menyukai matahari.
''Itu pernah terjadi Sazta. Sejarah selalu mengatakan yang sebenarnya. Orang-orang terdahulu menulisnya dengan cermat pada buku yang tersimpan di Aula Spritual,'' kata Tuan Bizum dengan nada serius.
''Kurasa Paman tidak datang hanya unuk menceritakan sejarah tadi,'' ujar Sazta ingin tahu maksud sebenarnya kedatangan Tuan Bizum.
''Aku melihat surat pemberitahuan yang dikirim ke Lexo bahwa Pangeran Mahkota Gara akan ke sana,'' ujar Tuan Bizum mulai serius berbicara.
Sazta mengangguk pelan. ''Raja memerintahkannya ke sana, terkait kerjasama. Apakah ada hal lain?''
Tuan Bizum menggeleng tak yakin. ''Utusan Lexo selalu datang ke sini terlebih dahulu jika ingin sesuatu.''
''Tapi rakyat di sini lebih memerlukan obat-obatan, terlebih musim hujan akan segera datang,'' ujar Sazta berbagi pikiran.
''Tetapi kenapa harus Pangeran Gara? Raja bisa mengutus orang lain,'' ujar Tuan Bizum mencondongkan tubuhnya ke depan.
Sazta menyipitkan matanya mencoba membaca maksud perkataan pamannya itu. ''Apakah Raja berniat menjadikan anak Tuan Muko sebagai Putri Mahkota? Dia mempunyai satu anak laki-laki dan satu anak perempuan," tebaknya setelah otaknya bekerja memikirkan tujuan Gara dikirim oleh ayah mereka.
Tuan Bizum mengendikkan bahunya. ''Semua bisa saja terjadi.''
''Tapi Raja telah berjanji akan menikahkan Gara dengan keturunan Naro. Tuan mereka bahkan kehilangan nyawa dalam membantu Taesun menghadapi pemberontak yang berasal dari pulau tak bertuan,'' balas Sazta.
Sebelum Miroh menjadi raja, dia hanyalah pangeran. Adik dari Raja Jehsun Taesun yang terbunuh sebelum hari pernikahannya dalam peperangan Taesun melawan pemberontak yang menyusup di wilayah Taesun sebagai rakyat. Pemberontak tersebut berasal dari pulau-pulau yang tidak memiliki pemimpin sering disebut niemand. Mereka terkenal sebagai ninja dan petarung yang handal. Tuan Orugo Naro yang berjuang di garda terdepan ikut mati dalam mempertahankan wilayah Taesun, membuat Miroh yang diangkat sebagai raja memberi janji akan membuat Nona dari Naro akan menjadi seorang putri mahkota sekaligus ratu di masa depan.
Tidak seperti Raja Jehsun yang belum sempat menikah, karena sibuk berlatih serta belajar sewaktu menjadi putra mahkota. Raja Miroh sewaktu muda dinikahkan oleh ayahnya, yaitu Raja Suton dengan bangsawan asli Taesun, yaitu Ratu Puri, ibu Sazta, Gara dan Azura. Ternyata Raja Miroh juga menjalin hubungan dengan wanita asal Vinji yang diketahui sebagai ibu Irene. Sedangkan Ratu Kailu dulu hanyalah selir.
"Kita perlu bersiap akan segala kemungkinan Sazta," ujar Tuan Bizum tahu bahwa setiap pilihan dan tindakan akan memiliki konsekuensi.
Sazta terdiam. Ia tahu bahwa Taesun tidak seperti wilayah lain yang memiliki kekuasaan absolut. Terdapat Lexo, Naro dan Yumo yang selalu mencoba lebih dekat dan menjalin hubungan dengan penguasa Taesun, demi meningkatkan kekuasaan dan pengaruh mereka sendiri.
♤♤♤
Irene memandang pohon cemara dari balik kastil kamarnya. Di belakang pohon tersebut adalah jalan menuju hutan. Ingatan tujuh tahun lalu masih berbekas dalam kepalanya. Kala prajurit Taesun tiba di Vinji, ia yang awalnya hanya seornag pemetik buah, tiba-tiba dipanggil oleh pihak Kerajaan Vinji. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya ia terpana melihat kawasan Kerajaan Vinji yang didominasi oleh tanaman mulai dari pohon berbuah dan bunga-bunga. Sepanjang jalan menuju Aula Kerajaan beralaskan rumput rimbun.
Irene yang dari kecil tinggal di dekat perbukitan gersang, selalu berjalan di sekitar tempat tinggalnya dengan jalanan menanjak dan menurun, bersama batu-batu besar di sepanjang aliran sungai dekat rumahnya. Orangtua yang selama ini dianggapnya sebaga orang yang melahirkannya, ternyata dirinya hanya ditemukan pada sebuah perahu yang berada di perairan wilayah Vinji. Bukannya dirinya tidak senang berada di Taesun sebagai rumah Ayahnya, tetapi berada di wilayah yang memiliki lambang matahari membuatnya sulit bergerak bebas seperti sebelumnya. Menjadikan Irene harus menyembunyikan rahasia terbesar yang selama ini dimilikinya, rahasia yang berkaitakan erat dengan sterotip akan orang-orang Vinji.
♤♤♤