Chereads / DESTINY : Rebellion / Chapter 3 - 2. Wabah dan Jubah

Chapter 3 - 2. Wabah dan Jubah

Raja Miroh sedang mengadakan pertemuan dengan menteri bagian ekonomi dan pangan. Mereka membahas tentang bagaimana pendapatan musim ini dari hasil tambang dan panen gandum. Namun ketika Raja Miroh memerintahkan menteri bagian pangan bernama Yanzi untuk mengkalkulasikan bagian untuk diadakan barter dengan Lexo, pintu Aula Dewan tiba-tiba terbuka.

Menteri kesehatan sekaligus tabib utama keluarga kerajaan masuk dengan langkah terburu-buru, membuat Raja Miroh mengalihkan perhatiannya.

''Maaf menganggu pertemuan Yang Mulia,'' kata Kasgu, tabib kerajaan sambil membungkuk ke arah raja sebagai tanda penghormatan.

''Ada apa?''

''Saya baru saja mendapat laporan pada bagian wilayah Asgam bahwa terdapat kematian tidak wajar di sana,'' ujar Tabib Kasgu. Asgam adalah salah satu daerah yang berada dekat dengan wilayah Lexo.

Alis Raja Miroh terangkat. ''Apa maksudmu? Dia dibunuh dengan cara tidak biasa?''

Tabib Kasgu menggelengkan kepalanya cepat. ''Tidak, salah satu tabib kerajaan mendatangi lokasi dan tidak menemukan tanda pembunuhan atau bahkan kekerasan. Laporan dari penduduk juga mengatakan demikian."

''Terus apa?'' tanya raja dengan raut wajah penasaran. Ia baru pertama kali mendengar kasus seperti itu.

''Kemungkinan adalah karena penyakit.''

''Bukankah sewaktu masih sakit bisa diatasi dengan obat?'' tanya raja yang tidak meragukan kemampuan tabib Taesun.

Tabib Kasgu menggeleng. ''Tabib setempat telah mencoba berbagai ramuan obat, tetapi tidak ada yang bisa menyembuhkannya. Ini jenis penyakit baru. Masalahnya....'' Ucapan Tabib Kasgu yang terhenti membuat raja mendesis tidak tahan ingin segera mendengarnya.

''Masalahnya apa?'' seru Raja Miroh cukup keras.

''Beberapa warga setempat mulai menujukkan gejala yang sama.''

Raja Miroh menghela napas. "Gejala seperti apa yang mereka tunjukkan?"

Tabib Kasgu memasang wajah serius, seolah apa yang ingin disampaikannya adalah sesuatu yang terdengar mengerikan.

"Pada mulanya mereka akan mengalami demam tinggi dan rasa menggigil, kemudian muncul ruam di kulit yang terasa panas. Warga yang meninggal ditemukan dengan pendarahan yang keluar dari setiap lubang pada tubuhnya seperti hidung atau mulut," jelas Tabib Kasgu.

Seluruh isi Aula Dewan menjadi riuh setelah mendengar penjelasan tersebut. Mereka sudah biasa menemukan penyakit dengan gejala demam atau ruam, serta sudah memiliki obat untuk menyembuhkannya. Namun pendarahan dalam tubuh adalah pertama kalinya.

Raja Miroh berpikir sejenak, sebelum tangannya menepuk meja agar membungkam semua orang yang ada di Aula Dewan.

"Sekretaris kerajaan, aku ingin kau membentuk kelompok untuk menangani masalah ini. Mulai dari yang bertugas mencari tahu sebab pasti penyakit tersebut. Tentu saja Tabib Kasgu yang akan memimpin masalah itu. Lalu juga meminta Komandan Degis untuk mengamankan wilayah Asgam yang penduduknya menunjukkan gejala dan membatas aktivitas atau kontak dengan penduduk lainnya," titah Raja Miroh.

"Baik Yang Mulai."

Pertemuan di Aula Dewan lalu ditutup setelah Raja Miroh meninggalkannya. Ia juga meminta agar semua yang telah mendengar masalah itu untuk diam sementara, agar tidak menimbulkan kecemasan masyarakat. Apabila hal itu tersebar, sebelum Raja Miroh yang mengumumkannya, maka hukuman pancung telah menanti.

♤♤♤

Dua orang memakai tudung panjang menyusuri lorong kediaman ratu ketika langit masih gelap. Salah satunya memegang obor, sedangkan satunya melirik sekitar. Begitu bertemu dengan pintu Aula Spiritual, seorang cenayang keluar sambil sedikit membungkuk memberi hormat, lalu mempersilakan mereka untuk masuk.

Salah satu dari orang itu menurunkan tudung yang dipakainya dan wajahnya mulai terlihat begitu memasuki Aula Spiritual. Seorang wanita.

''Aku menerima pesanmu pagi tadi,'' ujar wanita itu mengikuti sang cenayang memasuki Aula Spiritual lebih dalam hingga menuruni sebuah tangga menuju ruang bawah tanah. Cahaya bulan yang sedang purnama pun tidak bisa menembus ruang bawah tanah tersebut, tetapi cenayang itu telah menyalakan obor.

Wanita yang telah melepas tudung kemudian melangkah memasuki sebuah ruangan yang pintunya telah dibuka diikuti oleh wanita lainnya yang masih memakai tudung.

Mata wanita terbelalak begitu sang cenayang berjalan mendahuluinya dan mengarahkan obor ke arah depannya.

''Itu bukankah jubah yang dipakai Permasuri dari Wizun dalam lukisan yang berada di Ruangan Tahta Raja?'' ujar wanita itu mendekat.

Cenayang tersenyum. ''Benar sekali Yang Mulia Ratu Kailu, sekaligus jubah yang pernah dipakai oleh Ratu Puri sewaktu melarikan diri dari Taesun menuju Naro yang ternyata sedang mengandung Putri Azura.''

Ratu Kailu menatap nanar jubah berwarna hijau tersebut. Tangannya terulur kemudian memegangnya. Ia masih begitu ingat dengan jelas bagaimana jubah ini begitu melegenda, karena konon dipakai oleh seorang permasuri dari Bangsa Wizun yang telah lenyap sekitar tiga ratus tahun lalu. Banyak rumor yang mengatakan bahwa Bangsa Wizun menghilang karena wabah penyakit, tetapi dalam buku sejarah di Pulau Sancos menuliskan bahwa mungkin masih ada. Namun bersembunyi di wilayah Wizun yang sampai sekarang tidak pernah terjamah oleh bangsa lain lagi.

''Bagaimana kau menemukannya?'' tanya Ratu Kailu beralih menatap cenayang.

''Penyihir dari Vinji yang mengirimkannya.''

''Dan apakah itu benar, jika jubah ini bisa berubah warna jika terkena sinar bulan?'' tanya Ratu Kailu yang dari kecil telah mendengar cerita soal bagaimana jubah yang dipakai oleh salah satu permaisuri dari Wizun akan berubah warna apabila terkena cahaya bulan.

Bulan merupakan simbol dari Bangsa Wizun meski memiliki lambang tersendiri, sebagaimana Taesun dengan matahari sebagai simbolnya. Wilayah Bangsa Wizun berada di ujung bagian utara, di mana tebing menjulang bersentuhan dengan laut membuat sulit bangsa lain untuk menjelajahnya bahkan bangsa sekeras seperti Bangsa Savaro yang terkenal sebagai bajak laut handal dan penguasa laut. Tidak ada kapal yang sanggup melawan kekuatan ombak laut Sancos yang akan langsung meremukkan kapal ke tebing batu yang terkenal akan kekukuhannya.

''Tidak ada yang tahu Yang Mulia. Tidak ada orang hidup sekarang yang pernah melihatnya. Lagipula jubah itu katanya akan berubah jika yang memakainya ... adalah keturunan dari Wizun dan cahaya dari gerhana bulan.''

Ucapan cenayang membuat Ratu Kailu tidak bisa tertidur, meski kini dirinya telah berada di kamarnya. Ia mengingat ketika Ratu Puri mengenakannya yang memang warnanya tetap hijau dan tidak pernah berubah. Hari-hari di mana pemberontak dari bangsa pulau tidak bertuan datang ke Taesun sehingga Ratu Puri harus mengungsi ke Pulau Naro, bersama Gara, sedangkan Sazta yang saat itu masih kecil menyelinap keluar dari kapal dan kembali ke Taesun.

Semenjak itulah Raja Miroh merasa begitu berhutang budi kepada prajurit dan bangsa Naro, di samping mengirim pasukannya, mereka juga bersedia menampung Ratu Puri. Namun keputusan Ratu Kailu yang dulunya masih selir untuk tetap tinggal hingga perjuangan Bangsa Taesun selesai ternyata membawa cerita lain dalam hidupnya.

Ratu Puri yang dulu masih putri sebagai istri Raja Miroh sebagai pangeran meninggal dunia ketika melahirkan Putri Azura, yang tidak lama kemudian Raja Jehsun juga meninggal, sehingga membuat Pangeran Miroh naik tahta menjadi raja dan Selir Kailu naik tahta menjadi ratu.

♤♤♤

Berita bahwa jubah dari Wizun telah ditemukan kembali telah sampai di telinga Raja Miroh yang membuat raja mengambil keputusan untuk meletakkan jubah tersebut di menara tertinggi Aula Spiritual yang hanya diberi dinding kaca sebagai wadahnya, agar setiap malam cahaya bulan bisa menyinari jubah tersebut. Meskipun itu tidaklah penting lagi, tetapi Raja Miroh menghormati peninggalan bangsa lain, apalagi jubah tersebut pernah dipakai oleh istri pertamanya.

Banyak pejabat kemudian berbondong-bondong naik ke atas menara untuk melihat jubah yang melegenda tersebut, tetapi tidak dengan Sazta yang hanya melihat dari atas kejauhan bagaimana orang mengantre untuk melihat jubah tersebut.

''Bagaimana menurutmu Putra Mahkota?'' tanya Sazta tidak berdiri sendirian.

Gara tersenyum tipis. ''Raja telah memberi keputusannya. Kalau kau tidak suka, jangan menghiraukan jubah tersebut.''

''Jubah dari bangsa yang telah lenyap, dikirim dari bangsa penyihir dan ... kuyakin Ratu Kailu ditemani oleh para cenayang yang membuat hal ini bisa terjadi,'' ujar Sazta sinis. Masih tidak tahu manfaat dari jubah yang terpajang tersebut. Ia selalu tahu tentang Ratu Kailu yang menyukai hal-hal spritual disamping hobi berkebunnya.

''Tapi jubah itu dipakai Ibu bukan ketika mengandungku,'' ujar Azura ikut bergabung.

Sazta melirik sekilas Azura. ''Yeah, sekarang orang-orang akan mulai tertarik denganmu dengan cerita jubah tersebut,'' ujarnya lalu berjalan pergi. Tidak ingin mendengar kembali kisah Azura di dalam kandungan beserta jubah yang dipakai oleh ibu mereka tersebut. Sazta sudah muak mendengarnya.

Gara mendekat dan menepuk bahu Azura. ''Jangan perdulikan dia. Sazta hanya iri dengan kisahmu yang luar biasa bahkan sebebum lahir.''

Ucapan Gara tidak membuat Azura tersenyum. Sebaliknya gadis menatap sendu kakak laki-lakinya tersebut.

''Tetapi karena aku bukan Ibu sampai meninggal dunia, karena melahirkanku?''

Gara terdiam. Ia dulu masih terlalu kecil untuk paham, meski bersama Ratu Puri melarikan diri ke Naro, tetapi ingatannya kabur akan hal tersebut. Bahkan ia tidak pernah melihat jelas bagaimana jasad ibunya ketika meninggal, karena setelah mendengar Ratu Puri hamil, dirinya di bawah ke tempat lain yang masih berada di wilayah Naro. Barulah ia bertemu ibunya yang telah meninggal setelah akan berangkat kembali ke Taesun.

♤♤♤

Irene bercermin, melihat ke arah punggungnya. Lebih tepatnya pada bagian bawah lehernya. Sebelah tangannya terulur menyentuh permukaan bagian itu, merasakan sesuatu yang timbul dikulitnya. Ia baru saja selesai mandi, lalu tiba-tiba pintu terbuka membuatnya segera memakai gaunnya kembali.

Ternyata adalah Azura yang masuk dengan pakaian basah kuyup. Irene berbalik menatap heran kepada perempuan yang kini malah tersenyum lebar kepadanya.

''Kau punya pakaian lain?'' ujar Azura membuat Irene mengangguk pelan, lalu menuju salah satu lemarinya dan memberi sebuah gaun kepada Azura.

Azura cengengesan menerima gaun tersebut. ''Aku takut kepala pelayan akan memarahiku kembali, ketika tahu baru saja dari bermain di sungai bersama beberapa anak petani.''

Azura membuka pakaian basah yang dipakainya. Irene mengernyit begitu menatap bagian bawah leher Azura yang sedang membelakanginya sambil memakai gaun darinya.

''Kau tidak punya tanda itu?'' tanya Irene heran.

Azura berbalik sambil tersenyum tipis. ''Maksudmu tanda kelahiran untuk keturunan raja?''

Irene mengangguk membenarkan. Ia begitu ingat di mana sebuah cap tetesan diberikan padanya pada bagian bawah lehernya terasa membakar kulitnya pada saat itu, tidak lama kemudian muncul seperti sebuah ukiran matahari di bagian itu. Itu dilakukan tujuh tahun yang lalu.

Azura kemudian menuju jendela dan menutupnya, membuat Irene bingung. Namun Irene begitu terperangah begitu Azura berdiri membelakanginya persis di hadapannya. Ukiran matahari miliknya berwarna cokelat, sedangkan milik Azura tampak bersinar layaknya matahari sungguhan.

''Menurut pengasuhku dan Ratu Kailu bahwa sewaktu aku masih kecil di mana tanda itu dibuat selalu gagal, hingga tanpa sengaja pada malam hari Ratu Kailu membawaku jalan-jalan dan menemukan fakta ini,'' jelas Azura dalam kegelapan di kamar Irene.

''Sinarnya akan bertambah terang jika terkena cahaya bulan. Menakjubkan bukan?'' lanjut Azura tersenyum lebar.

Irene mengerjap mendengarnya. ''Kau bisa memperlihatkannya padaku nanti.''

''Tentu saja. Akan kuperlihatkan ketika bulan purnama,'' balas Azura santai. Ia kemudian segera mengganti pakainnya dengan gaun pemberian Irene.

''Lalu kapan kau akan pergi ke Lexo?''

Azura memutar bola matanya sambil berpikir. ''Aku juga belum tahu pasti, tetapi kurasa secepatnya. Aku sudah tidak sabar dengan hal itu.'' 

"Kau sudah melihat jubah dari Bangsa Wizun?" tanya Irene yang sempat melihat kehebohan di sekitar menara Aula Spiritual.

"Ya dan seperti biasa Sazta selalu mengatakan hal yang menjengkelkan," balas Azura teringat pertemuannya dengan Sazta tadi pagi.

"Apa menurutmu Bangsa Wizun benar-benar telah lenyap?" Sebagai seseorang yang pernah menghabiskan waktunya di Vinji yang lebih dekat dengan Wilayah Wizun, ia memiliki informasi terbatas. Barulah ketika sampai di Taesun dirinya dapat membaca sejarah empat bangsa di perpustakaan raksasa milik Kerajaan Taesun.

"Entahlah, tapi petualanganku ke Lexo adalah langkah pertama untuk melihat dunia luar. Tidak seperti dirimu yang bahkan telah menginjakkan kaki pada dua wilayah kerajaan berbeda," ujar Azura tidak menyembunyikan rasa irinya akan fakta bahwa Irene berasal dari Vinji.

Irene tersenyum sekilas. "Kau pasti juga akan menyukai Vinji. Banyak tumbuhan dan hewan yang unik juga aneh di sana," ucapnya membuat mata Azura berbinar.

"Pasti sangat berbeda dengan di sini," ungkap Azura memikirkan Taesun yang menurutnya kurang hal menarik untuk dilihat. Meski terkenal akan bangsa yang paling stabil setiap tahunnya, tetapi Azura tidak puas. Rasa ingin tahu dan tantangannya jauh lebih besar.

♤♤♤