Hujan mengguyur wilayah Asgam sejak pagi hari. Awan mendung seolah akan memenuhi langit sepanjang hari. Jika biasanya penduduk Asgam akan menuju bar-bar untuk menghangatkan badan dengan minuman hasil fermentasi anggur kala hujan, maka kali ini sedikit berbeda.
Suasana Asgam lebih sepi. Hanya ada beberapa orang yang berjalan dengan menggunakan pakaian tertutup sampai penutup wajah yang hanya memperlihatkan mata. Tampak setiap orang yang saling berpapasan atau beriringan bertindak hati-hati ketika akan berinteraksi.
Perilaku penduduk Asgam yang tak lazim itu bukan tanpa sebab, karena kabar berita yang telah menyebar bahwa pihak kerajaan telah mengirim pasukan dan tenaga medis yang sementara dalam perjalanan. Rencana isolasi membuat penduduk merasa kebingungan sekaligus takut, karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Di antara pejalan kaki yang melangkah dalam senyap, terdapat tiga orang laki-laki dewasa yang berjalan dengan tempo yang lebih cepat. Namun yang paling mencolok adalah laki-laki yang berada di bagian tengah, sedikit berada di depan dari yang lainnya. Laki-laki itu memakai pakaian serba hitam yang memiliki penutup kepala dan wajahnya yang tak tertutupi apapun.
Sorot mata yang tajam berwarna biru dengan garis wajah yang tegas membuatnya tampak dingin. Belum lagi tinggi badan yang mencapai seratus delapan puluh tujuh sentimeter, membuat orang sekitar akan segan mendekatinya. Bukan hanya itu, sebilah pedang yang menempel dipunggungnya, menggambarkan sosok tersebut bukan penduduk biasa.
Ketiga laki-laki itu kemudian berhenti di sebuah kedai yang saat diketuk seorang wanita paruh baya muncul dan langsung memberi tanda penghormatan.
''Tuan Dario,'' gumam wanita itu.
Pintu kembali tertutup setelah ketiga laki-laki itu masuk. Namun kedai yang dimasuki ternyata hanyalah kamuflase, karena ternyata memiliki labirin yang panjang mengarah ke bangunan lain yang terletak di belakang. Terhimpit oleh rumah-rumah penduduk yang padat.
''Anda sudah datang,'' sambut seorang pria yang rambutnya telah memutih sebagian.
''Aku datang melihat bagaimana Asgam yang mulai menarik perhatian raja,'' balas Dario berjalan mendekati pria bernama Karar tersebut.
Karar tertunduk dengan wajah gugup. ''Ternyata lebih cepat dari perkiraanku.''
Dario tersenyum miring. ''Pasukan akan lebih dulu sampai di Asgam, sebelum Putra Mahkota bisa tiba di Lexo.'' Ia menatap lekat Karar lalu mengeluarkan sebilah belati tajam. Membaliknya lalu meletakkan ujung belati itu pada bawah mata Karar.
Tubuh Karar bergetar hebat. Ia tahu tindakan dari anak sulung Tuan Muko dari Lexo bukanlah sekadar ancaman belakang. Meski Dario terkenal akan sikap waspada dan terlihat misterius, tetapi bagi orang yang telah berinteksi dengannya dalam waktu cukup lama atau pernah bekerja sama dengannya, maka hal itu sangat berbeda.
"Saya janji ini tidak akan mempengaruhi apapun. Persiapan isolasi membutuhkan waktu dan Putra Mahkota terkenal akan sikap tergesa-gesanya," ujar Karar mencoba meredam kekesalan Dario.
Dario menarik belatinya dengan alis terangkat. "Sebaiknya kau menepati janjimu. Atau Asgam hanya akan tinggal kenangan." Ia mengancam tanpa ragu, lalu meninggalkan tempat itu.
Hujan yang semakin deras ketika Dario memutuskan untuk menuju salah satu bar yang juga merupakan rumah bordir. Meski penduduk Asgam sedang gentar oleh wabah dan rencana isolasi. Namun sebagian kecil kalangan dan kelompok tidak peduli.
Setelah masuk ke dalam, kedua bawahan Dario langsung menyambut baik wanita yang mendatanginya. Berbeda dengan Dario yang mengabaikan setiap godaan wanita penghuni bar tersebut. Bahkan dengan tatapan saja, Dario bisa membuat nyali wanita-wanita tersebut menciut.
"Tidak seperti biasanya. Kau tampak sedikit tegang," ujar seorang wanita berpakaian seksi yang duduk di sebelah Dario. Wanita yang mungkin satu-satunya tidak segan mendekati pria tersebut.
Dario melirik wanita yang sudah dikenalnya sejak lama. Serula-sang pemilik bar yang berasal dari Lexo. Paras Serula adalah jelmaan dari kecantikan yang jarang ditemui di Benua Taesun. Tidak heran, sejumlah pria bangsawan dan pejabat akan datang kepadanya, meski berasal dari daerah yang jauh. Namun Dario datang bukan karena penampilan fisik dari wanita tersebut.
"Apakah persediaanmu masih banyak? Wabah ini mungkin akan bertambah parah," kata Dario mengambil minuman yang telah dipersiapkan Serula.
"Jika isolasi terjadi, maka bisnisku harus tutup bukan?" tanya Serula memikirkan dampak ekonomi baginya.
"Ya, sementara."
Jawaban singkat Dario membuat Serula menghela napas panjang.
"Lebih baik melakukannya, daripada menimbulkan kecurigaan," balas Serula akhirnya.
Dario tersenyum tipis dan memegang dagu Serula. "Kau akan mendapatkan yang lebih banyak dan besar. Kau percaya padaku bukan?"
Serula tersenyum mendekatkan wajahnya. "Ya, aku percaya. Namun ... kau tetap tidak akan memberikan apa yang kudambakan selama ini bukan?"
Meski tamak akan emas dan hal yang materialistik, Serula memiliki keinginan terpendam yang selama ini jujur diutarakannya kepada Dario. Yaitu menghabiskan malam dengan calon Penguasa Lexo tersebut.
"Jangan memancingku," bisik Dario dingin. Ia beralih meremas kedua sisi pipi Serula dengan kasar hanya dengan satu tangan.
Bukannya takut, Serula malah tersenyum lebar. "Aku mendengar sang putri tumbuh menjadi bunga mawar yang tak tertandingi kecantikannya di penjuru Kerajaan Taesun."
Rahang Dario mengeras. "Apakah burungmu terbang sejauh itu?" Ia tahu keahlian Serula adalah mendapatkan informasi di istana, mau sejauh atau serahasia apapun itu. Namun ucapan Serula memantik sesuatu dalam dirinya.
"Apakah Tuan akan menumpahkan darahnya atau malah menghisap darah sang putri?"
Emosi Dario membumbung tinggi, hingga menghemaskan tubuh Serula ke belakang. Ia lalu bangkit bersiap untuk meninggalkan tempat itu sembari berkata, "Jangan melampaui batasmu. Bukan hanya darah, aku bisa menghancurkan setiap jengkal tubuhmu dan juga orang-orangmu saat ini juga."
Kali ini Serula terdiam dan hanya mengangguk pelan, lalu bangkit memberi tanda penghormatan kepada Dario sebelum pria itu pergi.
♠︎♠︎♠︎
Keberangkatan Gara dan Azura ke wilayah Lexo diantar langsung oleh Raja Miroh. Rombongan berkumpul di depan gerbang utama istana, di mana pasukan ksatria yang mengawal perjalanan itu juga berada di sana.
"Aku mempercayakan misi ini padamu," ujar Raja Miroh memegang pin berlambang matahari yang terpasang di baju pelindung Gara.
"Aku tidak akan mengecewakan Yang Mulia," balas Gara penuh percaya diri.
Raja Miroh mengulum senyuman bangga, lalu memberikan pelukan erat kepada sang putra mahkota. Ia kemudian beralih kepada Azura yang sedaritadi tidak berhenti bergerak.
"Simpan semangatmu. Perjalanan ini akan memakan waktu beberapa hari," kata Raja Miroh memandangi Azura.
Azura mengangguk pelan. "Semoga Yang Mulia selalu diberikan kesehatan dan kemakmuran," ucapnya sembari memberi tanda penghormatan sekaligus perpisahan.
Raja Miroh tertawa. Ia tahu bahwa Azura sedang tunduk pada protokol kerajaan, bertindak sebagai putri kerajaan. Bukan sebagai putrinya.
"Selalu berada di sisi Gara, apapun yang terjadi," ucap Raja Miroh memegang kedua pundak Azura yang telah dibalut oleh jubah berbulu. Ia lalu mendaratkan kecupan di kepala Azura.
Setelah Gara mengucapkan salam perpisahan, akhirnya rombongan mulai dilepas dan melangkah keluar dari gerbang istana yang bisa disaksikan oleh penduduk Bangsa Taesun.
Jika Gara menunggangi kuda bersama kesatria, maka Azura berada di dalam kereta layaknya perjalanan yang biasa dilakukan oleh keluarga kerajaan dan para bangsawan.
Rombongan keberangkatan ke Lexo menjadi salah satu perjalanan yang membawa banyak orang setelah sekian lama. Hal ini terjadi karena dalam beberapa tahun terakhir tidak adanya perang pertumpahan darah. Para ksatria akan pergi dalam kelompok kecil untuk membasmi pemberontak di wilayah Taesun yang telah terdeteksi sebelumnya.
Sebelum benar-benar menjauh dari gerbang istana, Gara menoleh untuk terakhir kalinya ke arah menara gerbang istana. Tempat di mana Sazta sedang berdiri mengamati. Meski tidak bisa melihat secara jelas keberadaan kakak perempuannya itu, tetapi Gara tahu Sazta berada di sana.
Gara lalu kembali menghadap ke depan sambil terus menunggangi kudanya. Sekilas ia mengingat pertemuannya dengan Sazta beberapa hari yang lalu. Hari di mana Sazta memberinya peringatan akan perjalanan ke Lexo.
Gara tahu bahwa Sazta tidak hanya sekadar berkelakar saja. Tidak seperti biasanya, Sazta tidak menunjukkan raut wajah sinis dan meremehkan. Melainkan wajah serius dengan sedikit ketakutan yang terpancar pada matanya.
Mencoba menepis pikiran negatif, Gara menengadah untuk melihat langit. Sejak meninggalkan istana, ia tidak merasakan hawa matahari menyengat seperti biasanya. Ternyata langit berawan perlahan mulai berubah menjadi mendung. Burung-burung berkoloni juga tampak terbang.
Tiba-tiba suara terompet peringatan terdengar. Tanda bahwa rombongan sebentar lagi akan melintasi gerbang utama yang memisahkan wilayah ibukota Taesun dengan wilayah luar. Meski masih dalam satu teritorial, tetapi wilayah di Taesun dipisahkan oleh ladang, hutan dan pegunungan yang jarang dihuni oleh kelompok masyarakat.
Sebelum melewati kawasan penghuni terakhir, Gara melihat keberadaan Soka di antara penduduk. Laki-laki itu memakai jubah yang sampai menutupi kepalanya. Mata mereka bertemu beberapa saat.
Soka memberi tanda penghormatan yang hanya dibalas anggukan kecil dari Gara. Namun sang putra mahkota lalu sadar bahwa Soka tidak datang untuk melihatnya, melainkan untuk Azura.
Gara menoleh dan mendapati Azura telah membuka jendela kereta sambil melambaikan tangan kepada Soka. Ia tahu kedekatan Soka dan Azura sebagai saudara lebih daripada dirinya. Bahkan tak jarang dirinya mendengar orang-orang di istana yang menyebut Soka dan Azura lebih mirip saudara kandung dengan warna rambut yang sama dan kepribadian yang dapat berbaur satu sama lain.
Gara pun berharap, perjalanan kali ini dapat membuatnya mengenal Azura lebih banyak. Sesuatu yang sulit dilakukannya di dalam istana karena kesibukan. Sebagai putra mahkota, ia merasa sudah sepantasnya melindungi dan mengarahkan saudaranya. Meski salah satu tantangannya selama ini juga adalah hubungannya dengan Sazta.
♠︎♠︎♠︎