Soka terus mengasah kemampuan berpedangnya. Kali ini ia bahkan latihan bersama pasukan ksatria kerajaan. Bukan rahasia lagi di kalangan ksatria bahkan komandan pasukan tentang ketertarikan salah satu pangeran Taesun tersebut dalam hal memainkan pedang.
Bukan hanya pedang, tetapi Soka juga pandai menembakkan anak panah kepada buruannya. Ia juga mulai belajar menembak dengan senapan pemburu. Sehingga Soka terkenal suka berbaur dengan pasukan di lapangan daripada duduk bersama bangsawan lain.
Sementara Soka sibuk mengatur postur tubuhnya sambil mengayunkan pedang, sepasang mata telah mengunci pergerakannya. Orang tersebut berada di atas menara dengan memakai mantel bulu yang tebal.
"Salam kepada Putra Mahkota."
Gara menoleh mendapati Kataz—kepala pelayan kastilnya datang.
"Ada apa?"
"Persiapan keberangkatan anda ke Lexo sudah hampir rampung."
Gara kembali fokus pada Soka. "Bagaimana dengan Azura? Dia tetap jadi ikut?"
"Seluruh barang Putri Azura telah berada di atas kereta. Ratu Kailu tampak membantu persiapannya."
Senyum miring tercipta pada sudut bibir Gara. "Bukankah di mata orang-orang di istana, Azura lebih cocok jadi saudara kandung Soka? Bahkan Ratu Kailu sangat memperdulikannya."
Kataz terkesiap. "Bagaimana anda bisa mengatakan hal seperti itu?" Ia kemudian mengikuti arah tatapan Gara. Melihat Soka sedang berlatih.
Gara dan Soka memiliki guru pedang serta tempat latihan yang berbeda. Tentu saja Gara mendapat semua yang terbaik sebagai putra mahkota. Namun tidak sedikit orang di istana, terutama para ksatria yang ingin melihat duel antara Gara dan Soka. Kedua memiliki gaya bertarung yang berbeda dengan kekuatan yang menurut ahli pedang bahwa keduanya seimbang, jika tidak memperhitungkan emosi saat bertarung.
"Minta seorang pengawal khusus untuk terus mengawasi pergerakan Azura selama di Lexo secara diam-diam. Aku tidak ingin ada masalah dalam perjalanan kali ini," titah Gara kemudian meninggalkan menara.
Kataz mengangguk pelan. Ia menatap kepergian Gara, lalu beralih kepada Soka yang masih memegang pedang. Matanya menyipit menyadari bagaimana perkembangan pesat Soka dari terakhir kali dirinya melihat pangeran itu berlatih.
♠︎♠︎♠︎
Penyakit yang menjangkiti di wilayah Asgam semakin meluas, hingga mulai memasuki daerah lain. Raja Miroh langsung mengadakan pertemuan dengan seluruh pejabat tinggi untuk membahas hal tersebut di Aula Dewan.
Tabib Kasgu dengan gugup menyampaikan penyelidikannya tentang penyakit tersebut. "Mohon maaf Yang Mulia. Kami belum mendapat obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Hanya mengurangi gejala seperti obat penurun demam."
Seketika aula menjadi riuh oleh para pejabat yang mulai khawatir bahwa penyakit tersebut dapat menyebar. Wajah-wajah ketakutan oleh kerakusan akan nikmat dunia yang bisa saja lenyap.
"Diam!" seru Raja Miroh mencoba meredam suara-suara di dalam aula.
"Lalu solusi yang terbaik untuk saat ini? Mengisolasi penduduk wilayah Asgam?" Raja Miroh menatap tabib kerajaan dan para menterinya.
"Ya. Kita harus membatasi setiap orang yang keluar masuk wilayah Asgam, bahkan mungkin daerah terdekatnya juga," ucap Tuan Bizum menyetujui rencana isolasi.
"Itu sulit dilakukan. Wilayah Asgam adalah penghasil anggur terbaik yang selalu didistribusikan ke seluruh penjuru Taesun bahkan sampai ke Savaro," tolak Hulwer—menteri perekonomian dan perdagangan, sekaligus sepupu raja. Ia memikirkan dampak secara ekonomi dan penghidupan penduduk wilayah Asgam sebagai petani anggur.
"Kita mengerti akan dampak tersebut. Tetapi penyakit ini menyebar dengan cepat dan mengakibatkan kematian kurang dari seminggu setelah menjangkiti seseorang," balas Tuan Bizum masih bersikukuh untuk melakukan isolasi.
Keriuhan kembali terjadi. Terdapat kelompok yang menolak isolasi, karena dampak kehidupan dari wilayah Asgam dan sekitarnya. Namun tidak sedikitpula menyetujui usulan isolasi setelah mengetahui gejala penyakit yang dapat menyebabkan kematian dengan cepat.
Tabib Kasgu mengangkat tangannya dan Rajah Miroh mengangguk sebagai tanda mengizinkannya untuk bicara.
"Kita tidak punya pilihan selain melakukan isolasi. Namun sebelumnya kita bisa melakukan pengecekan menyeluruh terhadap penduduk wilayah Asgam dan sekitarnya, lalu memisahkan antara yang telah menunjukkan gejala dan yang tidak."
Aula menjadi hening beberapa saat setelah penjelasan Tabib Kasgu. Raja Miroh yang duduk menyandar mengubah posisinya menjadi tegak dan mendapat perhatian dari semua orang yang ada di sana.
"Menteri Kesehatan bersama Tabib Kasgu agar menyiapkan tabib serta perawat untuk memeriksa penduduk wilayah Asgam dan sekitarnya. Kemudian Menteri Pertahanan bersama Komandan Pasukan Garda Depan untuk membuat barak dan tembok pembatas yang memisahkan penduduk yang dinyatakan menderita penyakit dan sehat. Batasi setiap kegiatan, kecuali yang bersifat penting dan dapat mengganggu stabilisasi suatu wilayah," titah Raja Miroh mengambil jalan tengah.
"Baik Yang Mulia," jawab para pejabat hampir bersamaan dengan keputusan yang telah dikeluarkan oleh sang raja.
♠︎♠︎♠︎
Sazta sedang memandangi lautan dari atas menara spritual. Tidak seperti wanita kerajaan lainnya yang lebih senang berjalan-jalan di sekitar taman sambil memandang bunga-bunga, Sazta lebih suka laut.
Menurutnya lautan adalah cerminan kebebasan dan kekuatan yang tak terbatas. Luas dan dalam, sehingga sulit dijangkau dan diprediksi. Sebagai anak pertama, Sazta merasa dirinya harus berpikir satu langkah ke depan. Meski ia tahu bahwa tugas itu lebih cocok untuk pewaris tahta.
Suara deru ombak tak membuat Sazta gentar. Tumbuh besar tanpa sosok ibu membuatnya sadar bahwa untuk mendapatkan apa yang dirinya inginkan, maka tidak ada cara lain selain mengusahakannya. Sekali lagi, Sazta selalu merasa selangkah di belakang karena posisinya yang hanya sebagai anak pertama dan seorang putri. Bukan pewaris tahta.
"Tuan Putri."
Perhatian Sazta terdistraksi oleh suara pelayan yang dikenalinya. Setelah berbalik, ia menemukan pelayan kastilnya itu maju lebih dekat dan mengulurkan sebuah surat.
"Tuan Bizum mengirimkannya kepada anda. Dia berpesan bahwa sedang melakukan perjalanan menuju wilayah Asgam," kata pelayan itu dengan pandangan menunduk.
Sazta terkesiap, namun tetap memasang wajah datar. "Aku mengerti. Kau boleh pergi."
"Baik Yang Mulia Putri."
Setelah pelayan pergi, barulah Sazta membuka surat yang memiliki cap segel berlambang padi. Lambang dari keluarga ibunya.
"Wabah ini aneh. Jangan lengah dan tetap waspada akan sekitarmu," baca Sazta akan isi surat yang begitu singkat, tetapi memiliki penafsiran yang luas.
Wajah Sazta menegang. Selama ini ia selalu berusaha tenang menghadapi akan segala hal yang terjadi. Mulai dari intrik kehidupan kerajaan, konflik antar bangsawan atau menentang kebijakan Ratu Kailu yang tidak sesuai idealismenya. Namun mendengar Tuan Bizum selaku pamannya memberikan peringatan, maka sudah pasti itu hal serius yang memiliki konsekuensi besar.
Tanpa berlama-lama lagi berdiri di atas menara, Sazta langsung turun dan berjalan menuju suatu tempat. Sayangnya, di depan perpustakaan kerajaan dirinya berpapasan dengan Ratu Kailu. Demi menghormati protokol kerajaan, ia tetap memberi salah hormat kepada Ratu Kailu.
"Kau tampak terburu-buru," komentar Ratu Kailu di dampingi oleh dua dayangnya.
Sazta memasang senyuman kaku. Ia tahu bahwa Ratu Kailu pasti menyadari ke mana dirinya akan pergi. Karena arah lorong yang Sazta tuju adalah menuju kastil Putra Mahkota Gara.
"Aku ingin bertemu dengan Putra Mahkota, sebelum dia berangkat. Perjalanan kali ini akan memakan waktu cukup lama," jawab Sazta masih dengan senyuman yang sama.
"Ya. Apalagi Putri Azura yang lebih muda dan baru pertama kali menginjak wilayah di luar Taesun. Kau juga akan mengunjunginya bukan?"
Sazta mengerjap. "Tentu saja. Aku akan memberikan beberapa nasihat kepada Putri Azura ... tentang dunia yang tak seindah kehidupan di istana ini," sarkasnya.
Sazta tahu bagaimana Ratu Kailu yang selalu memberikan perhatian khususnya kepada adiknya itu. Entah karena hanya karena hubungan emosional atau maksud lainnya, Sazta belum mendapat jawabannya.
"Putri Azura memiliki jiwa yang bebas. Dia pasti bisa menyesuaikan diri," balas Ratu Kailu membuat Sazta mengepalkan tangannya.
"Jangan sungkan datang ke kastilku jika kau butuh sesuatu, Putri Sazta," kata Ratu Kailu kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Aula Spritual.
Meninggalkan Sazta yang masih diliputi rasa emosional. Bahkan dayang Ratu Kailu tidak berani menatap ke arah Sazta. Mereka hanya terus menunduk.
Setelah langkah Ratu Kailu mulai menjauh, Sazta berbalik badan. Hubungan keduanya yang kurang harmonis bukan rahasia lagi di lingkungan istana. Bahkan Raja Miroh juga mengetahui hal tersebut.
Sazta selalu meragukan kemampuan Ratu Kailu dalam mengelola urusan istana dalam. Sedangkan Ratu Kailu yang merasa Sazta terlalu ikut campur dalam segala urusan kerajaan.
Sazta tidak pernah berpikir lengah, bahwa Ratu Kailu pasti memiliki hasrat terdalam dan tersembunyi akan pewaris tahta. Adalah Gara dan Soka yang telah lama diperbincangkan dan diperbandingkan secara kemampuan oleh orang-orang di dalam istana. Meski mengetahuinya, Sazta tidak pernah menunjukkan keberpihakannya. Sebaliknya ia selalu memperingatkan Gara akan posisi yang bisa saja direbut sewaktu-waktu.
♠︎♠︎♠︎