Chereads / Stars Elite / Chapter 10 - Kembang Api

Chapter 10 - Kembang Api

Pesawat sedang melaju dengan kecepatan cahaya dalam mode empat kali akselerasi. Setelah mengaktifkan auto pilot, Yora bersantai duduk sambil membaca buku di sisi dinding dek. Ramna sibuk di meja hologram yang ada di tengah dek. Dia memunculkan sebuah peta galaksi. Darma duduk di lantai dek sambil menyenderkan punggungnya ke dinding dek. Rasanya ada sesuatu yang terlewat ketika dia menginjakkan kaki di Bastie. Otaknya terus berpikir. Mulutnya mengunyah buah yang dia beli di Efora. Mau makan sayuran, harus dimasak dulu. Jadi dia makan buah yang dia beli hanya satu biji.

Mulut Darma terus mengunyah sambil berpikir apa yang terlewatkan. Setelah berapa lama, akhirnya dia ingat dan langsung berdiri menghampiri Ramna.

"Hei!" seru Darma sambil menatap serius Ramna.

Ramna hanya diam.

"Tadi kita turun di Bastie, kenapa gravitasi tidak terpengaruh padaku sementara aku tidak memakai GravBelt?"

"Oh itu. Tenang saja, gravitasi di sana tidak jauh berbeda dengan gravitasi Bumi. Tujuan kita juga sama. Di sana gravitasinya tidak jauh berbeda dengan Bastie. Kalau pun planet tujuan kita gravitasinya lebih besar, aku pasti akan memberimu GravBelt," Ramna menjelaskan.

Darma mengangguk.

"Lalu, planet apa tujuan kita?"

"Markas kami. Itu planet yang sudah ditinggalkan. Tidak ada namanya. Kami hanya menyebutnya markas."

"Ditinggalkan?"

"Planetnya sebesar bulan di Bumi. Tapi polusinya sudah sangat parah sekali. Langit gelap oleh asap industri. Sinar matahari tidak bisa masuk. Menurut kapten, sejak pertama kali dia tiba di sana, penghuninya sudah tidak ada. Pepohonan tersisa sangat sedikit sekali. Air dan tanahnya sudah tercemar.

"Jadi kapten membangun semacam menara besar yang di atasnya terdapat bangunan seperti gedung-gedung, rumah tempat tinggal, dan sebagainya. Bisa dikatakan itu adalah kota di atas menara. Setiap menara dihubungkan oleh jembatan. Semuanya hanya ada lima kota. Sebab divisi kita ini adalah divisi yang terakhir dan masih seumur jagung. Berbeda dengan divisi terdahulu yang sudah mempunyai pasukan dan senjata militer yang kuat."

"Lalu, berapa lama kita akan sampai?"

"Kalau dihitung dengan jam, kira-kira tiga puluh sampai tiga puluh lima jam."

Darma terhenyak kaget. Sebab sama saja seperti perjalanan selama dua hari.

"Lama sekali. Kalau aku lapar, apa yang harus aku makan sementara kompor di pesawat ini sudah tidak berfungsi lagi?"

"Tenang saja. Kami punya makanan cepat saji. Cukup tuangkan air panas. Kau bisa pakai alat pemanas air dan airnya bisa pakai air keran. Tenang. Airnya bersih, kok."

Darma mencoba mengerti. Dia kemudian memperhatikan Ramna yang sedang melihat-lihat hologram peta galaksi. Ramna tahu bahwa Darma memperhatikan. Dia lalu memperbesar peta galaksi yang berpusat pada titik di mana pesawat sedang berada dan menjelaskan ke mana tujuannya.

"Tujuan kita ke sini," Ramna menunjuk ke sebuah titik warna biru, "Dan di sini titik pesawat kita sedang berada," Ramna menunjuk ke arah titik warna kuning.

"Lumayan jauh," kata Darma sambil memperhatikan.

"Tapi tujuan planet kita masih di satu arah bintang. Yaitu bintang Tonggak."

Darma masih bingung soal peta galaksi. Dia meminta Ramna menjelaskan.

"Baiklah," Ramna memperkecil peta galaksi dengan kedua tangannya seperti sedang menepuk satu sama lain. Peta hologram galaksi itu mengecil seperti bulatan bola sebesar bola basket.

"Kau lihat peta galaksi ini yang bulat?" Ttanya dia kemudian.

Darma mengangguk.

"Ini adalah peta galaksi secara keseluruhan. Nah, pusat galaksi ada di tengah yang bercahaya sangat terang. Kita, ada di arah bintang Tonggak. Kenapa disebut begitu? Sebab di setiap peta, bintang Tonggak selalu berada di atas. Sebenarnya tidak ada atas ataupun bawah. Hanya saja ini jadi sebuah patokan saja agar tidak membingungkan.

"Kau perhatikan. Arah bintang galaksi itu ada enam. Sederhananya yaitu atas, bawah, kiri, kanan, depan dan belakang. Tapi masalah yang muncul adalah saat kau berada di luar angkasa, kau tidak bisa menentukan arah mana pun jika kau tidak menggunakan peta galaksi. Langkah yang harus kau ambil adalah belajar untuk menghafal ke enam nama arah bintang.

"Nama-nama tersebut adalah, arah bintang Tonggak, arah bintang Cakra, arah bintang Garda, aArah bintang Qufta, dan arah bintang Surja.

"Setelah menghafal, kau harus juga tahu bentuk rasi bintang dari masing-masingnya. Jika kau tarik sebuah garis, akan membentuk semacam gambar, Arah bintang Tonggak rasi bintangnya akan membentuk memanjang seperti tongkat. Arah bintang Sangga, rasi bintangnya akan membentuk seperti sebuah papan pipih bulat.

"Arah bintang Cakra, rasi bintangnya akan membentuk seperti sebuah panah. Arah bintang Garda rasi bintangnya akan membentuk seperti tameng persegi yang bawahnya lancip. Arah bintang Qufta, rasi bintangnya akan membentuk seperti dua buah bola mata. Dan arah bintang Surja, rasi bintangnya akan membentuk seperti roda yang ada jari-jarinya."

Sepertinya Darma mulai pusing dengan penjelasan Ramna.

"Markas kami tidak didaftarkan ke Federasi Galaksi. Jadi letak posisi planet kami sama seperti sebuah rumah di hutan belantara. Atau lebih tepatnya keseluruhan tata surya yang ada di hutan belantara tersebut," lanjut Ramna.

"Jika ada pesawat asing lewat, apa tidak ketahuan?"

"Nanti kau akan paham jika melihatnya langsung bagaimana sistemnya bekerja ketika mendapatkan ancaman."

Sepertinya Darma harus menyudahi bertanya. Dia kemudian berbalik lalu duduk di lantai dek dan melihat ponselnya. Sial sekali. Dia tidak menyimpan nomor Guldi. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia sadar bahwa menyimpan nomor komunikasi orang-orang terdekat itu sangat penting.

***

Di suatu tata surya di daerah bintang Qufta, pesawat luar angkasa induk yang sangat besar dan gagah sedang berada dekat di sebuah planet berwarna merah. Pesawat induk ini jika dibandingkan, hampir sebesar sebuah kota besar. Di sisi kiri dan kanan lambung pesawat terdapat sebuah kain merah yang menutupi sebagian dan bergambar pedang berwarna hitam. Di atas lambungnya ada banyak sekali meriam-meriam ukuran sedang.

Di bagian agak belakang, terdapat kokpit yang luas di mana di dalamnya terdapat alat kendali yang dikendalikan oleh banyak orang yang memakai seragam militer berwarna merah. Posisi kokpit lebih tinggi dibandingkan dengan lambung pesawat. Mereka bertugas sesuai tugasnya masing-masing. Lalu satu orang yang memakai jubah berwarna merah berdiri di tengah.

Tubuh tinggi dengan kulit keriput berwarna biru tua, matanya besar, bibir tipis, giginya rapi namun bergerigi, tangannya kurus berkuku tajam, dan suaranya yang berat. Dia memerintahkan untuk segera menyerang planet merah tersebut. Tentu saja perintah seorang kapten harus dilaksanakan.

Pesawat-pesawat tempur kecil berbentuk bulat yang terdapat ekor di atas dan sayap di kedua sisinya segera keluar dari bawah pesawat induk. Banyak sekali seperti lebah yang keluar dari sarangnya. Mereka semua mendekati planet merah tersebut. Tetapi, planet merah sepertinya melakukan perlawanan.

Mereka mengirim pesawat tempur juga yang seperti capung. Kemudian mereka terlibat sebuah pertempuran yang sengit. Saling menembak satu sama lain. Tentu saja jika pesawatnya hancur, pilotnya pun akan ikut hancur. Beberapa ada yang tidak hancur. Tetapi karena mesinnya sudah tertembak, maka pesawat tersebut meluncur bebas menembus atmosfer dan hancur sebelum menghantam tanah.

Di tengah pertempuran, di dalam kokpit kapten mendapat panggilan hologram dari planet merah. Muncullah wajah dengan mata yang sangat besar hampir menutupi wajahnya. Kalau dilihat, wajahnya mirip capung. Dia berkomunikasi dengan kapten.

"Apa yang kalian inginkan dari kami?" tanya makhluk yang wajahnya mirip capung.

"Kami menawarkan sebuah kerja sama," jawab Kapten dengan tenang.

"Kami tidak butuh kerja sama dengan Aliansi Merah," sambungan panggilan pun hologram ditutup.

"Kalau begitu, terimalah akibatnya."

Kapten tersebut memerintahkan sesuatu.

"Suruh pasukan kita untuk mundur. Kemudian arahkan senjata utama kita kepada planet yang bernama Basta ini. Pastikan untuk membidik pusat militer mereka."

"Anda serius Kapten Marlon?" tanya ajudannya yang lari mendekat ke arahnya.

"Divisi Sepuluh Aliansi Merah harus menunjukkan taringnya kepada divisi-divisi lain di Aliansi Merah. Kita ini divisi paling bawah. Jadi kita harus tunjukkan bahwa kita bukan divisi rendahan."

"Baik. Perintah dilaksanakan!" ajudan tersebut kembali ke posisinya.

Di atas pesawat induk, muncul sebuah senjata meriam yang sangat besar dari dalam lambung pesawat. Moncong kalibernya sungguh mengerikan. Dan seketika semua pasukan mundur lalu senjata tersebut membidik pusat militer. Setelah bidikan dikunci, tinggal menunggu perintah selanjutnya dari kapten.

"Tembak!" ucap Kapten Marlon dengan berteriak.

Ujung kalibernya berputar dan menghasilkan cahaya yang menyilaukan. Setelah berapa lama, tertembaklah sebuah sinar plasma yang memancar tepat ke arah pusat militer Basta. Dalam seketika pusat militer tersebut hancur. Bahkan tanahnya pun ikut hancur. Mereka tak sempat melarikan diri karena ketika melihat ke atas langit, sinar plasma dengan cepat menghantam. Ledakan besar terjadi di pusat militer. Menyebabkan kerusakan planet sekitar dua puluh persen.

Melihat kejadian mengerikan ini, prajurit Basta mundur. Di dalam pesawat mereka menangis. Sementara Kapten Marlon tertawa lepas melihat hasil kejahatannya. Dalam matanya, ledakan tersebut seperti layaknya kembang api.

Bersambung...