Gu Qingqing turut memperhatikan gerakan di belakangnya. Ia sengaja berpakaian lambat-lambat karena ia ingin Leng Sicheng meninggalkan ruangan terlebih dahulu. Tetapi, setelah ia beres mengenakan pakaiannya dan bahkan menyisir rambut dengan jemarinya, Leng Sicheng masih duduk terdiam. Gu Qingqing berbalik sedikit dengan kaku dan Leng Sicheng masih juga menatapnya. Terbesit seberkas terang dalam kedua mata kuning Leng Sicheng. Tidak ada jejak emosi yang bergelombang, seakan segala sesuatu sebelum ini tidak pernah terjadi sama sekali.
Udara di kamar itu penuh dengan bau setelah keintiman pria dan wanita. Meresap ke dalam kulit Gu Qingqing, hingga merangsang sarafnya yang rapuh. Tak satupun dari mereka berbicara untuk waktu yang lama. Leng Sicheng tampaknya ingin mengatakan sesuatu. Namun, ia melihat Gu Qingqing mengulurkan tangannya ke dinding untuk menopang dirinya yang susah bangkit. Semalam, Leng Sicheng membantingnya bolak-balik beberapa kali. Bahkan, ia baru saja menyerang Gu Qingqing tanpa ampun di atas sofa kecil hingga ia lemas seperti kubangan lumpur. Sekarang, Gu Qingqing tak bisa merasakan tubuhnya sendiri dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Akan tetapi, Gu Qingqing tidak bisa tinggal di sini lagi. Kamar ini tidak dikunci dan orang lain bisa masuk kapan saja. Jika ada yang melihatnya dan Leng Sicheng, ia mau bilang apa? Apa yang bisa ia jelaskan?
Gu Qingqing ingin pergi. Namun baru mengambil dua langkah, seluruh tubuhnya kehilangan kekuatan. Kakinya letih dan membuatnya nyaris jatuh ke lantai. Sebuah lengan kuat tiba-tiba membentang tepat saat ia akan jatuh, meraih pinggangnya yang ramping, dan menariknya dalam pelukan. Gu Qingqing pun bersandar pada bahu kuat dan lebar yang memeluknya. Begitu aroma yang tak asing menyapu ujung hidungnya, ia membeku. Leng Sicheng baru saja mengulurkan tangan dan membantunya.
Gu Qingqing sedikit bingung. Ia menoleh, lalu bertatapan dengan mata Leng Sicheng yang masih damai dan tenang. Baru saja hendak berbicara, Leng Sicheng melepaskan tangan yang memegangi pinggang rampingnya, kemudian berdiri dan menjauh dengan dingin. Tampaknya, apa yang baru saja Leng Sicheng lakukan hanyalah imajinasi Gu Qingqing. Ada sedikit kepahitan di sudut bibir Gu Qingqing. Ia pasti sudah gila karena baru saja mengira bahwa Leng Sicheng—mungkin—menyimpan perasaan untuknya.
Tidak lagi terpaku di tempat, Gu Qingqing menyeret dirinya sendiri dengan ringan, lalu menginjak sepatu hak tingginya dan berjalan terhuyung-huyung ke luar pintu. Leng Sicheng yang berada di belakangnya kini mengawasinya mendorong pintu sambil sedikit kesulitan berjalan keluar. Gu Qingqing sudah sangat lelah. Menginjak sepatu hak tinggi, melangkah terhuyung-huyung, kakinya gemetar, dan bersandar ke dinding seperti akan terjatuh. Sepotong besar rok Gu Qingqing dirobek oleh Leng Sicheng hingga memperlihatkan kulit putih dan beningnya. Pemandangan itu seperti penampakan warna pelangi yang meninggalkan jejak pada ingatan.
Gu Qingqing berjalan keluar dari kamar. Bukan memasuki aula, melainkan berjalan menuju pintu keluar. Leng Sicheng berdiri di tempat dan mengawasinnya berjalan menuju lift. Tidak jauh dari belakang, seseorang memanggilnya.
"Tuan Leng!" Suara sedikit gembira itu milik Chen Wenjie. Leng Sicheng menoleh, melihat Chen Wenjie yang tersenyum cerah padanya dan berjalan dua langkah ke depan. "Kemana saja Anda, Tuan Leng? Saya sudah lama mencari Anda."
Leng Sicheng melihat ke belakang tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kemudian berbalik ke aula. Perjamuan itu sudah mencapai acara puncaknya. Pria dan wanita menari dan menari. Leng Sicheng tidak bergabung ke lantai dansa, tapi langsung pergi ke bar. Ia meraih segelas wiski lalu meminumnya.
Chen Wenjie kembali melekat ke Leng Sicheng. Suasana malam ini begitu bagus. Ia harus bekerja keras dan naik ke ranjang Leng Sicheng.
Seusai menenggak segelas anggur, Leng Sicheng hendak mengambil gelas kedua. Tapi tiba-tiba saja, ada kilat yang menggelegar di luar. Jendela yang belum ditutup diterobos angin kencang hingga tirai-tirai berkibaran di udara dan beberapa tetes air hujan masuk ke aula.
Chen Wenjie memberikan segelas anggur pada Leng Sicheng. Mata yang menawan itu menatapnya dengan mabuk. "Tuan Leng, malam ini…"
Belum sempat Chen Wenjie selesai berbicara, Leng Sicheng mendorongnya menjauh. Matanya kini tampak sedikit khawatir. Ia segera memutar kepalanya, lalu kakinya bergegas melangkah membawanya pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
———