Kertas yang Arvin dapatkan dari Kanit Gerdian tadi berisi catatan kriminal milik Daryo. Dia merupakan mantan karyawan di perusahaan Indra Wijaya yang mereka bicarakan sebelum kejadian nahas itu terjadi. Pada kertas itu tertulis bahwa Daryo melakukan pencemaran nama baik, dan menuduh orang lain tanpa bukti.
Di rumahnya juga ditemukan beberapa bungkus plastik klip ukuran paling kecil berisi sabu-sabu di dalam dapurnya. Kedua hal itu menggiring Daryo mendekam di penjara untuk waktu yang lumayan lama.
"Anda jadi terlihat lebih kesal daripada kami." Arvin berseloroh. Reaksi Daryo benar-benar jauh dari dugaannya.
Memang tidak aneh jika Daryo bersikap demikian. Toh keduanya pernah terlibat perseteruan yang sengit di masa lalu. Saling melaporkan satu sama lain. Sungguh contoh nyata ketidakharmonisan antara bos dan karyawan.
Dari informasi yang beredar waktu itu, baik Daryo maupun Indra Wijaya, keduanya tidak mengakui semua tuduhan yang dilemparkan kepada masing-masing pihak. Indra Wijaya bersikukuh tidak terlibat dalam pasar gelap, sementara Daryo yakin jika bosnya itu terlibat dan berusaha menutupinya dari publik.
Dia juga mengaku tidak tahu mengenai sabu-sabu yang polisi temukan di rumahnya. Dan Daryo kembali menyerang mantan bosnya itu dengan mengatakan jika orang itu memanipulasi semuanya.
Daryo yakin jika Indra Wijaya menjadikan dirinya sebagai kambing hitam. Diam-Diam menyuruh orang untuk meletakan benda terlarang itu ke dalam rumahnya, dan fokus penyelidikan pun beralih pada dia. Sayang sekali dugaannya itu tidak bisa dibuktikan. Lebih tepatnya, polisi tidak begitu serius menanggapi Daryo dan langsung menjadikannya sebagai tersangka. Janggal memang.
Tidak ada yang bisa Daryo lakukan saat itu. Dia hanya merutuki nasibnya yang malang. Dan entah apa yang akan dia lakukan kali ini. Bermasalah dengan orang yang sama, seperti halnya orang yang tidak pernah belajar dari kesalahan.
"Saya tidak menyangka reaksi Anda akan seperti itu. Tapi dari jawaban tadi, saya bisa menyimpulkan jika Anda ingin Indra Wijaya tewas. Benar begitu?" Arvin membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin.
Daryo menatap Arvin dengan bengis. Raut wajah tegang dan gugup, menguap begitu saja. Terganti dengan amarah yang tertahan.
"Menginginkan seseorang untuk mati, bukan berarti Anda bisa dengan bebas mencabut nyawa mereka sesuka hati. Tidak perlu dibunuh pun, setiap manusia akan mati. Anda tahu? Yang Anda lakukan itu hanya membuang tenaga, waktu, dan menambah dosa." Bian berceramah panjang lebar.
"Sudah saya katakan, saya tidak membunuh satu pun dari mereka!" Daryo berteriak. Matanya yang memerah menatap Bian dengan tajam. Seolah ingin menelan pria itu bulat-bulat.
"Tapi Anda merasa Indra Wijaya pantas mati, bukan?"
"Orang seperti dia memang pantas mati, tapi bukan berarti saya yang menghabisinya!" Daryo mengacak rambutnya dengan frustrasi.
"Lalu siapa?" Arvin bertanya dengan asal.
"Mana saya tahu! Orang-orang dari pasar gelap itu mungkin."
Arvin mengangkat sebelah alisnya. Daryo mengungkit pasar gelap itu lagi? Dalam kasus berbeda? Hebat.
"Wah, Anda benar-benar berpikir jika Indra Wijaya terlibat dalam pasar gelap? Gigih sekali pemikiran Anda."
Arvin menggeser kursinya. Lebih mendekat pada meja. Wajahnya menunjukkan ketertarikan yang kentara dalam hal ini.
Hal serupa terjadi pada Bian. Pria itu juga sepertinya ingin tahu lebih detail mengenai apa yang terjadi di antara bos dan mantan karyawannya ini. Meski begitu, dia merasa interogasi ini akan melebar ke arah yang tidak seharusnya. Menambah masalah jika boleh dia sebut.
"Saya selalu penasaran. Pasar gelap seperti apa yang Anda maksud di sini, Pak? Pasar gelap banyak sekali jenisnya. Ada yang menjual barang elektronik secara ilegal. Menjual barang haram diam-diam. Dan tempatnya pun, pasti tersembunyi dari jangkauan umum," ucap Arvin.
"Pasar gelap itu menjual barang haram dan merupakan tempat perjudian juga. Orang itu terlibat dalam judi."
"Dari mana Anda tahu?"
Daryo terdiam. Terlihat memikirkan sesuatu.
"Seperti halnya di masa lalu, Anda tidak bisa menjawabnya." Bian langsung menyela. Ingin menghentikan Arvin agar tidak melenceng lebih jauh lagi.
Daryo masih diam.
"Anda tidak bisa menjawabnya, berarti tuduhan itu memang berusaha mencemari nama baik mantan bos Anda itu."
Daryo kembali bereaksi, "Saya diberitahu oleh seseorang."
Bian menepuk dahinya dengan keras. Sampai membuat Arvin menoleh dengan tanda tanya di kepalanya. Ada apa dengan orang ini?!
"Polisi sudah mencari orang yang Anda maksud, tapi dia tidak pernah ditemukan. Kasus ditutup dan Anda masuk penjara." Bian menatap Arvin dengan berang, "dan bisakah kita kembali ke alasan semula kenapa pria ini ada di hadapan kita saat ini?"
Arvin terkekeh. Bian memang tidak pandai melakukan interogasi, tapi dia tidak bodoh dalam menilai suasana. Lagi pula, Arvin tahu jika yang dia lakukan memang sudah melenceng dari pembahasan semula. Dan dia sedikit menyesali perbuatannya itu. Karena sekarang di otak pria itu dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan lain.
Jika yang Daryo ucapkan adalah kebenaran, itu berarti semua penyidikan harus dimulai dari skandal itu lagi. Dia tahu, akan banyak yang menentang hal itu. Membuka kembali kasus lama, biasanya masyarakat akan sangat mencibir.
"Pak Daryo, apa yang Anda lakukan di kediaman Indra Wijaya dini hari tadi?" Bian mengulang pertanyaan yang entah sudah berapa kali Arvin ajukan pada Daryo sebelumnya.
Daryo kembali diam. Kali ini amarahnya sudah sedikit menguap. Otaknya sudah kembali sadar dan dia menyadari posisinya hampir serupa dengan yang menimpanya dulu. Benar yang dikatakan tadi, dia tidak belajar dari masa lalu.
"Saya memata-matai orang itu," jawab Daryo pada akhirnya.
Dia menunduk. Menyesal. Jika tahu akan berurusan dengan polisi lagi, dia pasti sudah menjauh dari kehidupan Indra Wijaya. Sejauh mungkin. Dan melupakan semua persoalan yang pernah terjadi di antara mereka. Namun sayang, amarah menuntunnya pada tempat yang tidak seharusnya.
"Untuk apa Anda melakukan itu?"
"Sudah jelas untuk dibunuh, kau pikir untuk apa lagi?!" Sembur Bian. Dia benar-benar sudah jengkel pada Arvin.
Kali ini Daryo tidak merespons apa yang Bian tuduhkan. Dia hanya kembali menunduk, dan memainkan jemarinya di bawah meja. Seolah mengiyakan.
Arvin dan Bian saling bertatapan. Padahal Bian hanya berucap dengan asal, tapi tidak disangka jika hal itu menggiring mereka pada pengakuan tak terduga dari Daryo.
"Pak, jika Anda bersedia bersikap kooperatif dengan kami. Mungkin hukuman Anda bisa sedikit ringan. Daripada berbelit seperti ini."
Bian kembali melembut. Lebih tepatnya, dia tidak mau lebih lama lagi berada di ruangan ini. Panas, gerah, dan rasa lapar mulai menggerogoti perutnya.
Pintu ruangan terbuka. Kanit Gerdian masuk dengan membawa beberapa lembar kertas. Dia langsung menghampiri kedua anak buahnya dan meletakan kertas-kertas itu di meja. Arvin dan Bian langsung memungutnya.
"Bagaimana perkembangan interogasi yang kalian lakukan?" tanya Kanit Gerdian langsung. Mengabaikan keberadaan Daryo di sana.
"Melebar ke mana-mana," jawab Bian.
Dia kembali mendelik pada Arvin. Memiliki rekan yang selalu ingin banyak tahu, terkadang memang menjengkelkan. Namun tidak bisa dipungkiri, sikap ingin banyak tahu yang dimiliki Arvin, selalu menggiringnya dalam memecahkan sebuah kasus.
"Jangan katakan kalian malah mengorek informasi tentang kasus yang sudah lalu?"
Bian mengangguk. Arvin menggeleng. Dan berakhir dengan saling tatap.
"Apa maksudmu dengan geleng kepala itu, Arvin?"
Kanit Gerdian tahu tabiatnya sudah lama. Jauh sebelum Bian. Jadi dia dengan mudah bisa menebak jika ada yang tidak beres.
"Kami tidak mengorek kasus itu, Komandan. Dia yang menggiring kami ke sana karena kertas yang Anda berikan kepada saya." Arvin berusaha membela diri. Memang begitu adanya.
Kanit Gerdian menggelengkan kepalanya. Bukan seperti ini yang dia harapkan, tapi apa boleh buat. Semuanya sudah terjadi.
Kemudian, penyidik dengan badan lumayan berisi itu mengambil laptop yang sedang dipakai oleh Bian. Dia mengeluarkan sebuah flashdisk dari saku jaketnya, dan menyambungkan benda itu pada laptop. Tidak berselang lama, Kanit Gerdian menunjukkan sebuah rekaman video pada kedua anak buahnya. Arvin yang awalnya ingin membaca kertas, fokusnya langsung teralihkan.
"Sepertinya Unit II melewatkan rekaman ini," ucap Kanit Gerdian.
Dia mengubah posisi layar laptop menjadi mengarah pada Daryo. Pria itu membelalakkan matanya, dan wajahnya kembali memucat.
"Rekaman ini didapatkan dari kamera CCTV yang dipasang di salah satu rumah, dekat gang di mana Arvin dan Iptu Kino menangkap Anda." Kanit Gerdian menerangkan dari mana rekaman itu didapatkan.
Dalam rekaman itu terlihat Daryo yang memakai pakaian serba hitam, berjalan memasuki gang. Pakaian yang dia gunakan dalam video itu, sama dengan pakaian yang dia pakai saat ditangkap di dekat kediaman Indra Wijaya.
Tanggal yang tertera pada rekaman itu adalah tanggal 1 Januari pukul sembilan lebih empat puluh lima menit. Lalu, pada tanggal 2 Januari Dewi Intan ditemukan tewas bersimbah darah di halaman rumahnya.
"Dengan ditemukannya rekaman ini, Anda tidak bisa mengelak lagi," ucap Kanit Gerdian.
"Saya tidak melakukan apa-apa. Sumpah, Pak."
"Lalu, apa alibi Anda?" Kanit Gerdian bersedekap. Menunggu jawaban apa yang akan Daryo ungkapkan.
"Saya ... saya memata-matai Pak Indra Wijaya."
Kanit Gerdian menunggu Daryo melanjutkan alibinya.
"Saya masih kesal padanya atas apa yang terjadi di masa lalu. Jadi saya memutuskan untuk melihat keadaannya." Daryo berhenti sejenak dan menarik napas panjang, "saya benar-benar tidak tahu mengenai kematian istrinya. Saya yakin itu hanya kebetulan."
Alibinya tidak bisa diterima dari sundut pandang mana pun. Meski pun itu benar adanya, tidak ada yang bisa mengkonfirmasi kebenarannya. Dan nasib Daryo sudah jelas berada di ujung tanduk. Lagi.
"Anda memata-matainya untuk membunuhnya. Kenapa jawaban Anda berbelit lagi?" tanya Bian.
"Saya memang berniat membunuh Indra Wijaya, tapi tidak dengan anak dan istrinya. Keinginan itu juga muncul setelah tahu anak dan istrinya tewas." Suara Daryo menjadi pelan. Tampaknya dia semakin sadar atas kesalahannya.
"Dan Anda berniat mengeksekusinya pada malam itu?"
Daryo mengangguk, "Tapi ketika saya datang, seseorang sudah menghabisinya. Tidak lama kemudian, kalian datang. Saya menjadi panik dan bersembunyi di balik pohon. Saya benar-bebar tidak melakukan apa-apa."
Hening untuk beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Jika jawabannya sesederhana ini, kenapa dari tadi Daryo hanya berbelit-belit? Bian kembali merasa kesal.
"Jika Anda berada di sana setelah korban tewas, apa mungkin Anda juga yang menghubungi saya?"
Arvin awalnya sibuk dengan kertas-kertas yang Kanit Gerdian bawa tadi, tapi fokusnya seketika teralihkan. Dia jadi kembali mengingat dua telepon yang didapatkan tepat ketika kasus pembunuhan terjadi.
Meski tidak yakin jika Daryo yang menghubunginya, tapi tidak ada salahnya bertanya. Toh, saat pria misterius itu menghubunginya, saat itu pula Daryo muncul. Berawal dari saksi, dan kini dicurigai sebagai tersangka.
"Saya tidak menghubungi siapa pun," tutur Daryo. Sirat matanya menyorotkan rasa penasaran.
Arvin terdiam beberapa saat, "Ketika Anda sampai di lokasi, apa ada orang lain yang mencurigakan?"
Daryo tampak mengingat-ingat. Sementara Kanit Gerdian dan Bian, keduanya menyimak. Bian tidak habis pikir, kenapa Arvin baru menanyakan hal ini sekarang? Kenapa tidak dari tadi? Jika dipikirkan lagi, terduga tersangka dan penyidiknya sama-sama berbelit. Entah pertanda apa.
"Mobil. Saya mendengar suara mobil." Setelah lumayan lama, Daryo berucap. Dia ingat betul ada suara mobil melintasi kawasan itu. Namun, dia tidak sempat melihat jenis mobilnya apa.
"Sebuah mobil?" Kanit Gerdian membeo.
Daryo mengangguk antusias. Setitik cahaya menerangi relung hatinya. Tidak. Dia tidak akan berakhir seperti dulu. Daryo yakin itu.
"Kita lihat apa yang Anda katakan itu benar, atau hanya bualan. Untuk sementara waktu, Anda kami tahan agar tidak mengacau atau menghilangkan barang bukti yang sedang kami cari." Kanit Gerdian berlalu.
Ucapannya seketika memadamkan cahaya yang baru datang pada Daryo. Tanpa ampunan. Membuat pria itu kembali merengut. Kesal. Marah. Semua menjadi satu.
Selepas perginya Kanit Gerdian, dua orang polisi berseragam datang menjemput Daryo dan menggiringnya ke sel tahanan sementara. Meski Daryo terus berontak dan berteriak jika dia tidak bersalah, tetap tidak ada yang peduli.
Arvin dan Bian membereskan mejanya dan ikut keluar ruangan. Hari yang sibuk, dan akan bertambah sibuk.
"Seseorang yang tidak belajar dari masa lalunya, sudah dipastikan akan selalu merugi." Bian bergumam.
Sepanjang jalan dia hanya meregangkan tulang-tulangnya yang terasa menjadi sedikit lebih pendek dari biasanya.
Sementara Arvin, justru terlihat memikirkan sesuatu dengan ekspresi yang sangat serius.